Bab 6. Sosok aneh

1566 Kata
Setelah obat untuk Riana jadi, Bi Narti mengantarkannya ke kamar. Rangga membantu Riana untuk meminum obat itu. Sama seperti yang terjadi kemarin, cairan kental berwarna hitam keluar bersamaan saat Riana batuk. Rangga segara membersihkan mulut Riana dan sekitarnya menggunakan sapu tangan. Setiap cairan itu keluar setelah meminum obat, Riana merasakan sesak luar biasa di bagian dadanya. Meskipun tidak berlangsung sama, mungkin sekitar 15 menit, namun itu cukup menyakitkan. Rangga membantu membaringkan Riana yang tengah memegangi dadanya yang sesak. Dia tidak sanggup sebenarnya melihat Riana terus-terusan seperti itu. Makanya Rangga sangat khawatir dan marah jika Riana tidak mendengarkan perkataannya. Riana tidak boleh terlalu lama terpapar sinar matahari. Lagi pula mereka berbeda, tidak seperti Ryan. Hanya Ryan sajalah yang bisa hidup bebas seperti itu tanpa ada pantangan. Obat racikan Bi Narti tidak akan selamanya bisa membantu Riana. Cepat atau lambat memang semuanya akan terungkap. Yang bisa mereka lakukan sekarang adalah mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan yang terjadi. Mereka harus melanjutkan rencana yang sudah mereka sepakati. __00__ Setelah lima belas menit memegang, memperhatikan setiap sisi dari berlian tersebut, Ryan benar-benar takjub dengan keindahan berlian itu. Dia tidak tahu bagaimana bisa seseorang mengirimkan benda mahal itu kepadanya. Desain dari potongan segi delapannya terlihat sempurna. Ryan tidak heran mengapa berlian itu berhasil memikat hati Raja Philip IV dari Spanyol. Dirinya saja yang tidak tahu menahu tentang perhiasaan dibuat takjub dengan benda mahal itu. Ryan juga sudah membaca artikel tentang berlian itu. Berlian jenis termahal dan hanya ada satu di dunia. Berarti berlian yang ada di tangannya bisa membuat yang sudah kaya jadi semakin kaya. Dia harus memberitahukan kepada Farhan benda apa yang ada padanya sekarang. Ryan mengambil ponselnya dari atas nakas, memotret berlian, kemudian mengirimkan gambarnya kepada Farhan. Belum satu menit, Farhan sudah menelponnya. “Kamu gila? Itu kan berlian Wittelsbach-Graff!” seru Farhan kegirangan dan tidak menyangka Ryan bisa memiliki benda bernilai triliunan itu. “Kamu dapet dari mana?” “Dikirimin orang yang gak dikenal,” ujar Ryan tak kalah semangat. “Maksudnya?” “Tadi pagi ada yang nganter paket dan aku baru buka sekarang. Gak ada alamat dan data diri pengirimnya.” “Gak percaya aku!” “Kalau kamu gak percaya, sekarang ke rumah. Kamu liat berlian ini.” Sambungan telepon langsung terputus. Dari perkiraan Ryan, sebentar lagi Farhan pasti akan datang ke rumahnya. __00__ “Gila!” Mata Farhan berbinar takjub memandangi berlian yang sekarang sedang dipegangnya. “Benar-benar indah!” Farhan tidak pernah membayangkan kalau dia bisa memegang benda tersebut, bukan hanya melihatnya saja dari gambar. Benda mahal itu terasa asing di tangannya. “Kamu bisa kaya mendadak kalau begini, Yan?” ujarnya. Beberapa detik kemudian Farhan tersadar. “Eh, tapikan kamu memang sudah kaya. Kalo gitu buat aku aja gimana?” Farhan menaik turunkan alisnya. “Enak aja!” Ryan merebut berlian itu dari tangan Farhan. “Ini mau aku jadikan mas kawin istriku nanti.” Farhan terkekeh geli. Mendengar perkataan sahabatnya barusan benar-benar menggelitik dirinya. Bertemu dengan perempuan saja Ryan tidak berani dan sering kali marah jika ada yang berusaha mendekatinya. “Kenapa ketawa?” “Gaya kamu. Kamu aja selalu marah kalo dideketi perempuan.” “Masa depan kan gak ada yang tau, Han.” Ryan memasukkan kembali berlian tersebut ke dalam kotak hitam, kemudian menyimpannya di dalam lemari. Mungkin Ryan benar. Tidak ada yang tahu masa depan akan terjadi seperti apa. Tapi Farhan tahu, bahwa Ryan bisa memberikan lebih dari berlian yang tengah dipegangnya sekarang. Bahkan ribuan berlian bisa Ryan berikan kepada calon istrinya nanti. “Kamu udah makan belum?” tanya Farhan. Sekarang dia sedang duduk di atas tempat tidur Ryan sembari memegangi perutnya yang lapar. Ryan menutup pintu lemari, menoleh ke belakang menjawab pertanyaan Farhan dengan gelengan kepala. “Makan yuk!” ajak Farhan. “Kamu belum makan emangnya?” “Sudah.” “Jadi?” “Laper lagi.” Farhan memamerkan deretan giginya yang rapi. Ryan menggeleng heran. Memang perut sahabatnya itu benar-benar terbuat dari karet. Padahal dia sudah makan, dan sekarang lapar lagi. Kalau Ryan lapar wajar karena dia memang belum makan dari tadi siang. Ryan ikut duduk di samping Farhan. “Mau pesen apa?” “Aku ayam geprek.” “Oke.” Ryan mengambil ponselnya, membuka aplikasi yang biasa digunakan orang untuk layanan pesan antar makanan. Dia memilih menu yang sama dengan Farhan. “Minumannya boba, ya.” “Iya, iya.” Farhan memang tidak mengenal kata kenyang. Farhan berdiri, berjalan mendekati rak buku Ryan yang berada di samping meja belajarnya. “Ada n****+ baru gak, Yan?” Ryan mematikan ponselnya, meletakkan kembali di atas nakas. Dia sudah selesai memesan, tinggal menunggu saja. “Ada. Negeri para b*****h karya Tere liye.” “Aku pinjem, ya?” Farhan mencari buku yang disebutkan Ryan tadi. “Di mana?” Ryan menghampiri Farhan, mencarikan buku tersebut untuknya. “Nih.” __00__ Farhan baru sampai di halaman ke dua puluh dan pesanan mereka sampai. Ryan segera turun ke bawah untuk mengambil makanan yang dipesannya. Usai membayar, Ryan masuk ke dalam rumah. Sebelum balik ke kamar, Ryan singgah ke dapur terlebih dahulu untuk mengambil piring dan sendok. Tiba di kamar, Farhan langsung menyambut Ryan dengan senyuman ceria. Memang dasar sahabatnya itu. Ryan memberikan piring yang dibawanya kepada Farhan. Ryan memindahkan makanan dibantu Farhan ke piring. Sesi makan pun dimulai. Dengan lahap Farhan menyantap makanan miliknya. Ryan juga menikmati makanannya. Lima belas menit kemudian piring mereka sudah bersih. Entah angin dari mana, Farhan meminta piring dan gelas kotor milik Ryan. Farhan turun ke bawah membawa semua piring kotor. Merasa ada yang tidak beres, Ryan mengikuti Farhan turun. Tiba di dapur, Farhan sudah mencuci semuanya. Ryan menghampiri Farhan lalu memegang jidatnya. “Kamu demam?” Farhan tersenyum, menyingkirkan tangan Ryan dari jidatnya. “Nggak,” jawabnya disertai gelengan kepala. “Jadi? Kesambet apa kamu nyuci piring di rumahku?” Tentu saja Ryan merasa aneh. Selama 11 tahun mereka bersahabat, belum pernah sekali pun Farhan mencuci piring kotor bekas makan mereka. Ini kali pertamanya. “Ini disebut taktik.” Untuk beberapa saat, Ryan mencerna perkataan Farhan barusan. Dia langsung menjitak kepala Farhan ketika berhasil memahami maksud dari perkataannya. “Dasar mata duitan!” __00__ Setelah mengantarkan Farhan ke depan hingga dia pulang, Ryan masuk ke dalam kamarnya. Tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Sudah waktunya untuk tidur. Ryan ke kamar mandi terlebih dahulu untuk mencuci wajah dan menyikat gigi. Dua hal itu adalah ritual yang biasa dilakukannya sebelum tidur. Usai keluar dari kamar mandi dan mengeringkan wajah, Ryan merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Ah, ada yang kelupaan. Ryan bangkit lagi mematikan lampu baru kembali ke tempat tidur. Lima belas menit berlalu, Ryan tak kunjung bisa tidur. Dia sudah berkali-kali membolak-balik badannya, mencoba beberapa kali membenarkan posisi bantal, tak juga bisa tidur. Ryan membuka kembali matanya, menatap langit-langit. Ryan menjadikan kedua tangannya sebagai bantal tambahan. Dengan posisi telentang seperti itu, Ryan bisa melihat sepenuhnya langit-langit kamarnya. Dia menghela napas. Tiba-tiba saja terlintas di benaknya bertanya siapa yang mengirimkan benda berharga itu kepadanya. Manusia mana yang mau memberikan benda yang sangat langka untuk ditemukan seperti itu. Seandainya pun si pengirim memang orang kaya, apa dia tidak merasa sayang mengirimkan berlian itu untuknya? Jika itu dia, Ryan pasti akan berpikir berkali-kali untuk melakukan hal semacam itu. Ryan duduk. Dia memegang kepalanya sesaat. Aneh. Untuk pertama kalinya, dia kesulitan untuk tidur. Biasanya Ryan selalu mudah untuk tertidur. Tidak seperti sekarang ini. Sudah tiga puluh menit dan dia masih juga belum tidur. Gerangan apa yang sebenarnya terjadi? Tiba-tiba cahaya yang berasal dari langit menyambar, membuat Ryan terkejut. Ryan turun dari tempat tidurnya untuk menutup gorden. Baru satu kaki menyentuh lantai, suara guntur menggelegar membelas bumi. Seketika bulu roma Ryan berdiri, dia merinding. Entah kenapa Ryan merasa suara guntur malam ini terdengar berbeda dari biasanya. Ryan melanjutkan langkah kakinya yang sempat tertunda. Angin mulai bertiup kencang. Kain jendela bergoyang-goyang tertiup angin. Ryan menutup jendela dan menguncinya, kemudian menutup dengan kain gorden. Sepertinya malam ini akan terjadi hujan lebat. Saat berjalan kembali menuju tempat tidur, suara guruh kembali terdengar. Kali ini suaranya lebih besar daripada yang pertama. Ryan juga masih bisa melihat kilat dari balik gorden. Hawa dingin berhasil menembus kamar Ryan. Begitu naik ke atas tempat tidur, Ryan langsung menyelimuti tubuhnya dengan selimut. Ryan memejamkan matanya. Beberapa menit berikutnya, kesadarannya melayang entah ke mana. Tanpa Ryan sadari, ada makhluk yang tengah mengawasinya. __00__ Ryan membuka matanya. Dia mengambil ponselnya. Masih pukul 2 dini hari. Ryan tidak tahu mengapa bisa terbangun di jam segitu. Karena sudah terlanjur bangun, Ryan beranjak dari kasurnya menuju kamar mandi untuk buang air kecil. Tak lupa dia juga menyalakan lampu kamar. Keluar dari kamar mandi, Ryan menjerit kuat. Dia otomatis berjongkok, menenggelamkan wajahnya di antara lipatan kaki. Tubuhnya bergetar ketakutan. Sekilas namun begitu menakutkan. Sosok berjubah hitam dengan penutup kepala terlihat dari pantulan cermin. Kukunya panjang dan tinggi sosok itu mencapai 2 meter. Mendadak lampu di kamarnya padam. Tubuh Ryan semakin bergetar hebat. Kadar ketakutan di dalam dirinya semakin bertambah volumenya. Irama jantungnya seperti drum yang dipukul bertubi-tubi tanpa henti. Ryan benar-benar takut saat ini. Masih dalam posisi yang sama, Ryan tidak berani untuk memeriksa sekitarnya. Tubuh Ryan menggelinjang seketika saat mendengar suara pintu terbuka. Lampu dinyalakan. “Kamu kenapa, Yan?” Ryan mendengar suara laki-laki yang dapat dia kenali. Dia berdiri. Benar. Itu papanya. “Ada apa?” Ryan menggeleng ketakutan. Dia menunjuk ke arah cermin. “Ada makhluk aneh di kamar ini, Pa,” ujarnya dengan suara bergetar. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN