Miracle Met You 4

1547 Kata
Valerie POV Ini adalah hari ke delapanku menjadi hantu, aneh ya kalimat aku tadi? Oke deh aku ulangi hehehe. Ini adalah hari ke delapan aku meninggal dan aku tidak menyeberang ke sana. Kenapa? Karena ada satu urusan yang belum aku selesaikan di sini. Seperti biasa, pagi-pagi aku pulang ke rumahku walaupun Ibu nggak bisa melihatku tapi aku bisa melihatnya. Aku sedih melihat Ibuku yang begitu terpuruk atas kematianku, aku melihat Ibu sebentar-bentar menangis bila melihat barang-barang lamaku yang masih berada di rumah. Tidak jauh berbeda dengan Ibu, Ayah pun sama. Ayah sering terlihat tidak fokus bila sedang bekerja, jujur aku sangat sedih melihat itu. Seharusnya Ayah dan ibu tidak boleh menangisiku lama-lama, karena itu akan membuatku semakin sedih di sini. Di hari pertamaku menjadi hantu yang berkeliaran di dunia manusia alias duniaku dahulu, aku sangat ketakutan karena belum terbiasa. Banyak hantu yang menatapku dengan sinis, dan wajah mereka tampak menyeramkan. Aneh nya tidak denganku, wajah ku tidak terdapat sama sekali luka dan darah. Mungkin mereka menatapku sinis karena wajahku tidak menyeramkan pikirku dalam hati. Di hari kelimaku menjadi hantu, aku bertemu dengan Eliza, dia merupakan hantu yang baik selama lima hari aku temukan. Dia membantuku ketika aku akan dijahati oleh hantu lain. Eliza adalah sosok hantu yang berparas cantik dengan rambut panjang yang indahnya itu, sosoknya yang menyeramkan namun terlihat manis di mata Valerie membuatnya ingin untuk berteman baik dengan Eliza. Ia berpikir jika Eliza adalah sosok hantu yang menyeramkan dan tidak peduli dengan hantu sepertinya namun ternyata dugaannya salah, Eliza menerima dengan sangat baik kehadirannya dan mau berteman dengannya. Valerie senang bisa berinteraksi dengan Eliza. "Hm, kak Eliza. Kakak tau nggak orang yang bisa bantu menyelesaikan masalah kita yang tertinggal dunia?" tanyaku, menatap wajah Eliza yang cantik menurutku. Ada sedikit goresan dan darah di sekitar pipinya, tapi itu tidak membuat kecantikan Eliza hilang. "Ada." Eliza membalas cuek. Aku menatap Kak Eliza dengan mata berbinar. "Benarkah? Siapa dia kak?" tanyaku antusias. "Kamu beneran mau selesaikan masalah kamu itu?" tanya Eliza balik, menatapku serius. Aku mengangguk. "Tentu saja, aku ingin menyeberang dan aku ingin tenang," jawabku jujur. Eliza mengangguk pelan. "Aku tahu satu orang yang bisa membantumu, tapi kemungkinan besar ia pasti menolak," ujar Eliza, hantu perempuan itu terkekeh di akhir kalimat, kekeh uang sepertinya sukses membuat bulu kuduk manusia berdiri mendengarnya. "Kenapa, kak?" tanyaku penasaran. Eliza tertawa. "Dia galak soalnya, satu tahun lalu aku pernah nyoba tapi dia ngusir aku." Aku ikut tertawa. "Nggak apa-apa galak, yang penting aku coba dulu. Siapa dia kak?" "Namanya Elden Archilles, cowok remaja yang lagi sekolah di SMA Nusa Bangsa," jawab Eliza. "SMA Nusa Bangsa, SMA swasta yang di dekat jalan Sudirman bukan?" Eliza mengangguk. "Tepat sekali, manis." Aku mengangguk paham. "Baiklah aku akan menemui cowok bernama Elden, makasih Kak Eliza!" Aku pergi meninggalkan Kak Eliza, karena tujuan ku sekarang mencari Elden Archilles. Eliza mengangguk, melambaikan tangannya sambil berseru. "Semoga beruntung!" Di hari ke delapan ini aku memberanikan diri untuk menemui Elden Archilles. Aku berjalan sampai di pinggir jalan, sesekali tubuhku dengan santai menembus tubuh pejalan kaki lainnya. Awalnya terkesan aneh bagi Valerie namun lama kelamaan ia sangat menikmatinya dan bergerak tak tentu arah, melesat ataupun berjalan santai. Tak lama, aku sampai di SMA Nusa Bangsa, aku masuk ke dalam. Ah, mereka sedang melakukan upacara bendera. Dan itu dia pria yang selama 3 hari ini aku intai. Elden Archilles. Dan benar saja ucapan Eliza, cowok bernama Elden itu sangat lah galak dan sinis ketika merasakan kehadiran nya bahkan Valerie sampai menahan dadanya ketika mendapat ucapan pedas, tajam dan menusuk Elden kepadanya. Hari ini, aku membuat kesalahan dengan membuat Elden di keluarkan dari kelas. Aku merasa sedikit bersalah padanya, sepertinya aku sudah keterlaluan. Aku terpaksa pergi saat Elden mulai hormat tiang bendera dan ia tampak acuh dengan keberadaanku. Tapi aku tak akan melepaskan Elden, karena sore hari sepulang sekolah aku mengikutinya pulang. Dan di sini lah aku berada, semalaman di rumah Elden. Tapi aku sengaja untuk tidak membiarkan aroma tubuhku tercium oleh Elden, kalau Elden tahu aku berada di sini mungkin ia sudah mengusirku. Jika dilihat-lihat Elden adalah sosok manusia yang sangat sulit untuk dijangkau namun Valerie harus berusaha keras untuk mendapatkan pertolongan dari cowok itu bagaimana pun caranya urusannya di dunia manusia harus segera selesai agar ia bisa menyeberang dengan tenang. Valerie POV End~ *** Elden terbangun dari tidurnya, ia merasakan ada sesuatu yang menggelitik telapak kakinya. Elden mengumpat saat mencium bau bunga lavender yang di kenalnya sejak kemarin di sekolah. Elden kembali mendesah saat mendengar sebuah seruan yang pasti dari makhluk tak kasat mata itu. "Hei!" Elden menghela nafas kesal, "Lo siapa sih? Mau lo apa sih? Ganggu mulu dari kemarin! Gedeg gue lama-lama!" "Ahahaha." Elden mengumpat kesal, ingin sekali ia meruqyah arwah itu agar pergi ke dunia asalnya dan tidak menganggunya lagi. Elden menarik selimutnya dan kembali tidur, mengabaikan arwah itu yang sedang tertawa seperti orang gila di kamarnya. "Hei! Kok malah tidur lagi sih!" Elden mengabaikan bisikan setan yang kini sedang mengganggu tidurnya yang damai. "Kamu nggak sekolah apa?" Seketika mata Elden terbuka sempurna dan dengan cepat ia bangun dan menatap jam dindingnya, ternyata benar ia bersiap-siap karena jam sudah menunjukkan angka 6. Elden langsung mengambil handuknya dan berlari menuju kamar mandi, tetapi langkahnya terhenti ketika ia sudah sampai di depan pintu kamar mandi. "Hei arwah aneh, lo jangan ngikutin gue dan jangan ngintipin gue mandi!" "Dih, nggak bakal! Kepedean banget kamu mau diintip, ck!" Arwah kurang ajar itu yang mengejeknya, dan itu membuat Elden kesal setengah mati. Elden tidak mempedulikan arwah itu dan langsung bersiap untuk mandi. Beberapa menit kemudian Elden keluar dari kamar mandi lengkap dengan seragam sekolahnya, cowok itu mengambil sepatunya dan memakainnya. Cklek! Elden mendongak, melihat Azka yang berjalan ke arahnya dan duduk di sebelahnya. Diam-diam Elden lega, karena Azka sudah mengenakan seragam sekolahnya yang artinya hari ini Azka akan pergi ke sekolah, ia tidak bolos lagi. "Mau ngapain?" tanya Elden sambil mengikat tali sepatunya. "Parfum lo mana?" ketus Azka. "Noh di atas nakas, tumben lo nggak punya parfum." Azka hanya diam sambil menyemprotkan parfum ke bajunya. "Mobil lo kenapa bang? Kok gak ada di---" Azka melenggang pergi begitu saja mengabaikan ucapan Elden. Elden menghela nafasnya dan kemudian menyambar tasnya dan segera berangkat ke sekolah. *** Elden dan Vino tengah berada di kantin sekolah, mereka sedang menghabiskan jam istirahat mereka dengan mengisi perut. Elden memakan mie ayamnya dengan diam tetapi berbeda dengan Vino, cowok itu sedari tadi tidak henti-hentinya berceloteh tidak jelas. "Eh lo tau nggak El, si Ipeh udah jadian sama bang Fian. Njir, gue nggak nyangka ketua futsal sekolah yang tampangnya setara sama lo jadian sama cewek yang mukanya pas-pasan, bodinya juga rata depan belakang." Vino kemudian tertawa karena ucapannya sendiri. Elden menatap Vino sebentar lalu kembali memakan mie ayamnya, terlihat acuh. "Lo tau AwAirin kan? Cewek sok cantik itu?" Elden hanya mengangguk sebagai jawaban. "Lo tau? Astaga ngusap d**a gue liat kelakuannya. Kemarin si AwAirin ngepost foto, nah foto itu muka dia yang diedit kayak muka Lisa blackpink, terus dia buat caption, tulisannya gini No Oplas! Tuh anak nggak punya rasa malu apa? Udah mirip kayak Awkarin aja, jangan-jangan dia saudara miper lagi!" Lagi-lagi Vino terbahak dengan ucapannya sendiri. Vino kembali berceloteh membuat telinga Elden seperti ingin terbakar, ingin sekali Elden menyumpal mulut Vino dengan botol saus agar mulut cowok itu berhenti berbicara. Tubuh Elden terpaku, ia meletakkan sendok dan garpunya. Elden merasakan jika arwah pengganggu itu berada di dekatnya sekarang, bau bunga lavender juga menyeruak masuk ke indra penciumannya saat ini. Elden mengendus, mencari di mana arwah itu berada. Vino yang melihat kelakuan aneh Elden, lantas menepuk bahu cowok itu. "Lo kenapa?" tanyanya dengan alis terangkat. Elden menatap Vino, "Pilek, kayak ada lendir gitu nyangkut di hidung gue tapi dari tadi nggak keluar-keluar." Vino menatap Elden jijik. "Dih, jorok lo. Jauh-jauh lo sana, ntar gue ketularan virus jorok lo itu lagi," usir Vino seraya memberi jarak antara dirinya dengan Elden. Elden hanya terkekeh dan mengendus kembali, ternyata bau bunga lavender itu memang berada disekitarnya dan Vino. "Hai Elden!" Elden mendengus kesal ketika mendegar suara arwah itu lagi, dan ia memilih untuk kembali melanjutkan makannya, mengabaikan arwah itu. "Hei! Aku kok dicuekin sih?" "Berisik!" Vino tersentak, memandang Elden heran. "Dari tadi gue diem-diem bae perasaan! Lo ngape sih, aneh banget?!" "Bukan lo, tapi cewek-cewek itu," alibi Elden seraya melirik meja yang berada di seberang mereka yang dihuni oleh sekumpulan siswi-siswi yang mungkin tengah bergosip. "Tapi lo kayak ngebentak gue bukan cewek-cewek itu," cibir Vino. "Dih, lo nya aja yang baperan." Vino hanya berdecih pelan dan mendengus. "Elden, aku sedih semua orang nggak ada yang bisa dengerin ucapanku, termasuk kedua orangtuaku." "Cuma kamu yang bisa dengar aku, tapi kamu malah bersikap cuek dan ngehindar." "Lo curhat sama gue? Maaf gue bukan tempat orang curhat!" selak Elden dengan galak. Vino yang duduk di depan Elden semakin memandang Elden heran sekaligus aneh. "Lo sakit, El? Ngoceh-ngoceh sendirian gitu!" Elden diam ia mengabaikan ucapan Vino, ia menatap lurus ke depan di mana arwah itu mungkin berada di sana. Elden mengendus, tetapi bau bunga lavender itu perlahan menghilang yang berarti arwah itu sudah pergi. Elden menghela napas lega, akhirnya dia pergi. Elden menjadi bersalah. Ia telah memperlakukan orang lain dengan buruk, eh maksudnya arwah itu dengan sikap yang buruk. Elden berharap arwah yang ia terka merupakan seorang perempuan tidak marah padanya dan tidak menghantuinya lagi. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN