Miracle Met You 6

1375 Kata
"Apa aku boleh memanggilmu Elden saja? Sepertinya kamu tidak suka kalau aku panggil dengan kata kak," ujar Valerie. Elden mengangkat bahu acuh. "Terserah, nggak penting juga. Mau Lo manggil gue mas, om ataupun bapak, gue gak peduli," cetus Elden sambil memutar bola matanya malas. Valerie tersenyum kecil sambil terkekeh pelan. "Manggil sayang boleh nggak?" "NGGAK! SIAPA LO MANGGIL GUE SAYANG-SAYANGAN SEGALA?!" "Tadi kamu bilang terserah, ya aku manggil sayang lah." "Anjir nih arwah aneh-aneh aja tingkahnya, nggak-nggak, manggil nama aja." "Hahaha ok deh." Elden kemudian memakai helm nya dan naik ke atas motor, dan ia pun melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi mengingat sepuluh menit lagi bel masuk akan berbunyi. Lima belas menit kemudian Elden baru saja tiba di sekolahnya, dan pagar sekolah sudah tertutup. Elden terlambat. Elden mendesah, ia telat dan peraturan SMA Nusa Bangsa adalah melarang siswa yang terlambat untuk masuk ke dalam. Siswa itu dianggap alfa dan dibiarkan untuk pulang. "Apa kamu mau aku bukain pagarnya? Kebetulan aku cek tadi guru-guru belum masuk, mereka semua ada di kantor," celetuk Valerie. Elden berpikir. Ia bisa saja masuk dengan pertolongan Valerie tapi rasanya ia sangat malas untuk masuk sekarang. "Nggak usah, gue mau bolos aja." Valerie melotot. "Kamu serius?" Elden mengangguk acuh sebagai jawaban. "Hm, bagaimana kalau kamu mulai membantuku," ujar Valerie sedikit ragu dengan apa yang ia ujarkan, ia takut Elden tidak setuju dengan apa yang ia katakan. Elden mengangguk setuju dan menyalakan kembali mesin motornya. Sungguh di luar dugaan, ia berpikir Elden akan menolak ajakannya, tapi ternyata tidak. "Pertama, kita ke rumah lo dulu, lo masih ingat kan rumah lo di mana?" "Iya, kamu tau kompleks perumahan Farlely? Rumahku di kompleks itu," balas Valerie. Elden mengangguk, ia tau perumahan itu dan cowok itu pun melajukan motornya membelah jalanan menuju rumah Valerie. Tidak membutuhkan banyak waktu, mereka telah sampai di depan rumah Valerie. Elden membuka helmnya dan bersandar pada motornya, mata cowok itu meneliti setiap sudut rumah itu. "Nyokap lo kerja?" tanya Elden. Valerie menunduk, yang ia tahu setelah insiden kematian dirinya kedua orangtuanya sibuk bekerja, termasuk Ibunya. Hal itu dilakukan semata-mata agar Ayah dan Ibu Valerie tidak larut dalam kesedihan dan berusaha mengiklaskan putri kesayangan mereka. "Iya, kalau jam segini biasanya Ibu udah pergi ke kampus," jawab Valerie sambil mengingat-ingat kalau Ibunya seorang dosen di salah satu unversitas ternama. "Bokap lo?" tanya Elden lagi. "Ayah juga pasti lagi kerja." "Ada-" "Kamu sebenarnya mau ngapain?" sela Valerie, menatap curiga Elden walaupun cowok itu tidak bisa melihat wajahnya. Menurut Valerie, Elden sudah seperti wartawan saja yang haus akan berita atau informasi tentang suatu hal. Elden menghembuskan nafasnya lalu melipat kedua tangannya di depan d**a. "Gue berencana untuk nanya tentang kejadian kecelakaan yang lo alamin ke orang terdekat lo, kali aja mereka tau dan bisa cepat nemuin orang yang udah nyelakain lo." "Tapi Ayah sama Ibu nggak ada di rumah sekarang, tapi..." Elden menaikkan sebelah alis matanya. "Ya! Bi Reni pasti ada di dalam dan mungkin Bi Reni mengetahui sesuatu," ujar Valerie mantap. "Oh oke, gue bakal coba masuk dan nanya ke Bi Reni yang lo maksud itu." Elden berjalan mendekati rumah bercat abu-abu itu dan mengetuk pintu. Sedari tadi Elden mengetuk pintu tetapi tidak kunjung dibuka, Elden dengan kesal mengetuk ointu itu dengan kuat. "Hei! Kenapa harus marah-marah, Bi Reni ada kok di dalam cuman lagi nyuci. Mungkin Bi Reni nggak kedengeran kalau ada tamu yang datang," omel Valerie. Elden mendengus kesal. "Maka dari itu, gue ngetuk pintunya keras-keras biar Bi Reni cepet bukain pintunya," ketus Elden. Valerie menggeleng-gelengkan kepalanya melihat sikap Elden yang tidak sabaran, cowok itu memang keras kepala dan ketus, menunggu sebentar saja sudah seperti singa yang mengamuk. Cklek! Pintu itu pun terbuka, seorang wanita paruh bayalah yang membukakan pintunya. "Cari siapa ya, dek?" Elden terdiam, ia mengumpat kesal karena lupa menanyakan nama Ayahnya Valerie. Melihat hal itu, Valerie terkekeh. "Bilang aja nyari Pak Arham, itu nama Ayahku." "Pak Arham nya ada, Bi?" Bi Reni menatap lekat Elden, "Kamu siapa? Ada urusan apa mau menemui Pak Arham?" "Saya temannya Valerie, Bi," jawab Elden tanpa ragu. "Setau saya Vally nggak punya teman cowok apalagi udah SMA kayak kamu," ujar Bi Reni dengan tatapan menyelidik menatap Elden. "Duh, Bi Reni banyak nanya ih," dengus Valerie yang tentu saja hanya di dengar oleh Elden. "Saya kakak kelasnya dulu." Elden menjawab sambil tersenyum simpul menatap Bi Reni. Bi Reni hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kamu mau ngapain ketemu sama Pak Arham, akhir-akhir ini Pak Arham selalu sibuk dan pulang malam hari." Valerie sedih mendengar hal itu, biasanya jika Ayahnya pulang malam ia lah yang memarahi Ayahnya dan ngambek seharian. Tetapi sekarang semua berubah, seiring dengan tidak ada dirinya yang berada di dekat kedua orang tuanya. "Saya mau menanyakan soal kecelakaan yang dialami Valerie, saya ingin tau semuanya." Bi Reni terdiam dan menunduk, Bi Reni menghembuskan nafasnya berat dan mempersilahkan Elden untuk masuk ke dalam rumah. Elden pun duduk di salah satu sofa dan menatap Bi Reni dengan tatapan bingung, karena sedari tadi wanita paruh baya itu diam saja setelah ia menanyakan soal kecelakaan Valerie. "Malam itu Vally datang ke dapur untuk menemui saya," Bi Reni menjeda. Valerie mendengarkan semuanya dengan fokus, namun di hati kecilnya ia sangat sedih melihat wajah Bi Reni yang dihiasi oleh kesedihan. "Vally bilang kalau dia akan pergi ke toko alat tulis dan dia ingin Bibi menemaninya, tapi Bibi nggak bisa nemenin karena Bibi lagi sibuk dengan pekerjaan Bibi di dapur. Vally nggak mau minta tolong sama Tuan untuk mengantarkannya ke toko alat tulis, karena saat itu Bu Ranti sedang memijit kepala Pak Arham. Karena Pak Arham yang sedang sakit kepala saat itu sehabis pulang kerja, jadi Vally pergi sendirian dengan berjalan kaki." Bi Reni menangis, begitu pula dengan Valerie ia mengingat hal itu. "Sampai akhirnya, ada seorang warga datang ke rumah dan bilang kalau Vally mengalami kecelakaan." "Hm, Bibi tau siapa pelaku yang menabrak Valerie?" tanya Elden. Bi Reni menghapus air matanya, lalu menatap Elden. "Bibi nggak tau, Pak Arham dan Bu Ranti juga belum tau. Tapi polisi masih berusaha untuk mencari pelakunya, dek." Elden mendengar suara tangisan Valerie, sepertinya semua sudah jelas dan beberapa rencana juga sudah terbenak dipikirannya. "Ya udah Bi, kalau gitu saya pamit pulang dulu," pamit Elden. Bi Reni mengangguk. "Hati-hati, dek." Elden berjalan keluar dari rumah itu dan menaiki motornya. Elden mengendus, bau lavender tidak tertangkap oleh indra penciumannya sekarang, sepertinya Velerie masih ingin berada di rumahnya. Elden menghela nafas dan melajukan motornya meninggalkan perumahan tempat tinggal Valerie dulu. *** Elden pulang lebih awal karena ia sedang membolos sekolah, ia memasuki rumah dengan santainya lalu merebahkan diri di sofa. Elden seketika tersentak kaget sambil memegangi dadanya ketika melihat Azka yang baru saja keluar dari kamar sambil mengeringkan rambutnya. "Ternyata Lo bang! Gue kira siapa tadi! Ah, buat kaget aja Lo!" Azka menatap Elden dengan kening yang mengernyit sambil melangkah mendekati Elden. "Lo ngapain di sini, kenapa nggak sekolah?!" ucap Azka galak yang langsung membuat Elden menciut dan terkekeh pelan tanpa dosa sambil mengusap tengkuk lehernya. "Anu, itu, apa ya, tadi telat, males banget di hukum panas-panasan di lapangan. Ya udah pulang deh. Lo sendiri, kenapa baru selesai mandi?" "Gue baru pulang, nggak mungkin ke sekolah jam segini, ya udah bolos juga," ucap Azka santai sambil duduk di sofa dan melempar asal handuknya ke meja lalu menatap Elden lagi. "Jangan bolos lagi, ini pertama dan terakhir kalinya gue lihat Lo bolos sekolah. Denger Lo?" Elden berdecak kesal, padahal Azka sendiri sering sekali bolos sekolah dan sekarang malah memperingati dirinya. "Iya, iya, Lo sendiri suka bolos bang." Azka langsung menatap Elden dengan tatapan horornya. "Lo kalo dibilangin nurut ngapa, ngejawab mulu Lo." "Iya, iya, sensitif banget dah." "Udah sono masak mie rebus, laper gue." "Eh buset dah, gue di rumah ngebabu jadinya," umpat Elden kesal sambil melempar asal tasnya. Azka mengernyit pelan lalu menatap sinis ke arah Elden. "Apa Lo bilang tadi? Coba ulang!" Elden langsung terkekeh pelan dan mengacungkan kedua tangannya di depan wajah. "Nggak bang, bercanda, aelah Lo lagi datang bulan ya?" "Buru! Gue ketekin juga Lo lama-lama." "Iya, iya abangku sayang," ucap Elden sambil berlari terbirit-b***t ke dapur takut-takut Azka akan menggantung dirinya di pohon mangga depan rumah. "Najisin banget sih punya adek kayak gitu," umpat Azka kesal sambil menyalakan televisi dari remote nya. *** Tap love jangan lupa ya! Share cerita ini ke teman-teman kalian yuk!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN