KH Abdullah Zen Salam Pati
Wali Yang Penuh Karomah
Oleh: Aji Setiawan
Abdullah Zen Salam atau yang akrab disapa dengan Mbah Dullah dilahirkan di Kajen Margoyoso Pati.
KH. Abdullah Zen Salam adalah keturunan ke tujuh dari pihak ayah sampai kepada Syaikh Mutamakkin. Silsilahnya adalah KH. Abdullah Zen Salam bin KH. Abdussalam bin KH. Abdullah bin Nyai Muntirah binti KH. Bunyamin bin Nyai Toyyibah binti KH. Muhammad Hendro bin KH. Ahmad Mutammakin. Yang jika ditarik garis keturunan menunjukkan beliau, KH. Abdullah Zen Salam masih mempunyai garis darah sampai pada Nabiyullah Muhammad SAW yang tepatnya ketururan ke 35.
Sebenarnya pendidikan beliau di Tebuireng belum rampung, namun ditarik pulang oleh abahnya, KH. Abdussalam yang kemudian dinikahkan dengan Nyai Aisyah. Awal pernikahan beliau bertempat tinggal di Bugel – Jepara, tepatnya di kediaman mertua beliau KH. Ismail. Selang beberapa waktu beliau ditimbali pulang oleh KH. Abdussalam ke Kajen.
PENDIDIKAN
Ada beberapa versi yang menjelaskan perjalanan pendidikan KH. Abdullah Zen Salam, salah satunya bahwa sejak kecil Mbah Dullah telah terbiasa hidup mandiri dan terpisah dari keluarganya, belum genap tujuh tahun beliau ikut pamannya dari pihak Ibu di Jepara yaitu kiai Sholihin untuk belajar mengaji al-Qur’an binnadhor.
Saat usianya mencapai tujuh tahun, beliau melanjutkan pendidikan di Kajen, tepatnya di Perguruan Islam mathali’ul falah dimana Abahnya sendiri KH. Abdussalam sebagai mudir (kepala sekolah) waktu itu.
Setelah lulus dari Mathole’ beliau diantar kakaknya KH. Mahfudz ke Madura untuk menghafal al-Qur’an di bawah asuhan Kiai Mohammad Sa’id dan kemudian melanjutkan ke Pesantren Tebuireng, Jombang dibawah asuhan KH. Hasyim Asy’ari.
Versi lain mengatakan bahwa setelah beliau mengaji al-Qur’an binnadhor di Jepara beliau melanjutkan ke Sampang Madura baru kemudian kembali ke Kajen untuk Tholabul Ilmi di Perguruan Islam Matholi’ul Falah. Setelah itu baru diantar kakaknya ke Tebuireng.
Di Tebuireng beliau seangkatan dengan teman-teman sesama dari Kajen antara lain KH. Duri Nawawi, KH. Ni’am Tamyis dan KH. Abdul Hadi. Diantara dua yang terakhir usia beliau termasuk yang paling muda, namun demikian justru beliaulah yang sering membantu mencarikan tambahan bekal bila kedua teman tersebut kehabisan bekal.
Selain itu, beliau juga masih aktif belajar pada beberapa kiai di pesantren, termasuk pada KH. Muhammadun Kajen pada tahun 1956/1957. Sepulang dari Kudus, yaitu setelah mengaji Qiro’ah Sab’ah dengan KH. Arwani Kudus. Beliau mengajar di Perguruan Islam Matholi’ul Falah dan sebagai Pengasuh di Pesantren Matholi’ul Huda.
Barang siapa yang mencari keuntungan akhirot maka Allah akan menambah keuntungan tersebut, namun barang siapa yang mencari keuntungan dunia semata maka Allah tidak akan memberinya keuntungan di akhirat dan hanya sedikit keuntungannya di dunia. Ayat pendek tersebut dibaca berulang-ulang oleh beliau. Dan yang ayat tersebut dijabarkan dalam sebuah kalimat mantra yng menjadi landasan atau motto Perguruan Islam Matholi’ul Falah, I’daadu Al-Insan Al-sholih wa Al-akrom.
SOSOK KIAI SUFI
KH. Abdullah Zen Salam adalah sosok seorang figur yang karakternya patut untuk diteladani, amalan ibadah beliau mencakup seluruh amaliyah keseharian yang selalu beliau jaga dan istiqomahkan, tidak ada kata “nganggur”. Dalam kamus hidup beliau.
Konon semasa hidup KH. Abdullah Zen Salam selalu disibukkan dengan jadwal ketat yang memang adalah amaliah keseharian beliau, mulai dari bangun tidur sampai dengan jadwal beliau hendak tidur lagi selalu beliau niatkan Lillahi Ta’ala dalam semua jenis kegiatan. Perilaku, akhlak, tindakan sampai dawuh beliau adalah hikmah yang menjadi uswah teladan bagi orang-orang di sekitarnya.
Beberapa bidang pengajaran yang beliau aktif terjun di dalamnya adalah sebagai Pengasuh di pesantren Tahafudz untuk para siswa PIM dan guru Thoriqoh, salah satu staf pengajar di PIM, koordinator Masjid Kajen, Pengampu pengajian kitab kuning mingguan pada hari Rabu dan Kamis di ndalem beliau dan lapangan Margoyoso juga banyak aktivitas lain yang beliau turut gawe di dalamnya.
Di samping karakter Mbah Dullah yang tak membiarkan amalannya mejadi kesia-siaan dalam ibadah, beliau adalah sosok fleksibel di mata masyarakat. Mbah Dullah yang dipandang sebagai sosok Sufi, ahli fikih dan tsawuf ini juga paham akan permasalahan selain keilmuan.
Di nilai seperti itu karena konon, dulu saat masyarakat yang datang dari berbagai kelas sosial dan mata pencaharian yang tidak sama datang pada beliau untuk sowan dan mengutarakan permasalahan, belaiu pasti paham dan memberikan solusi dengan tepat.
AKTIF DI ORGANISASI
KH. Abdullah Zen Salam adalah seorang Manager yang hebat dari masanya hingga ketiadaannya. Sosok karismatik, berwawasan dan pendidik yang patut diteladani. Dulu pada zamannya Mbah Dullah adalah orang yang tidak senang merepotkan orang lain, beliau lebih suka melakukan sendiri semuanya dan turun langsung dalam semua kegiatan.
Contohnya organisasi sebagai staf pengajar di PIM, pondok pesantren dan Masjid Kajen, beliau mengkoordinir semuanya dengan rapi dan baik. Di Masjid Kajen beliau yang mengatur, mulai Khotib sholat Jum’at, Badal Imam sholat, Bilal, hingga Mu’adzin. Menstruktur pengajar dan kegiatan murid di PIM mendidik dan memilih kader sebagai pengurus di pesantren. Di dalam keluarga pun Mbah Dullah adalah sosok kepala keluarga yang sukses mengantarkan putra putri beliau menjadi manusia yang sholih dan akrom,
Dengan gaya mengajar tegas dan disiplin, beliau mendidik mereka sesuai bidang pribadi masing-masing dengan catatan Al-Qur’an adalah fokus pertama yang harus diutamakan. Setelah dirasa mampu akhirnya Mbah Dullah mengatur manajemen pesantren ketangan para putra beliau dimana beliau masih mengomando dari belakang.
Banyak pondok pesantren yang fakum sementara setelah Romo Kiyainya meninggal dunia karena Gusnya (putra Kiai) belum mampu menggantikan posisi Abahnya sebagai Pengasuh Pondok, namun KH. Abdullah Zen Salam telah membuktikan bahwa metode pendidikan yang beliau terapkan telah berhasil, terbukti setelah ketiadaan beliau para putra beliau telah siap tampil menggantikan posisi beliau.
FIGUR YANG DIHORMATI
Terhormat, adalah kata yang lazim bila disandingkan dengan KH. Abdullah Zen Salam, berbagai sifat dan akhlak mulia yang beliau contohkan telah membangun pribadi yang layak untuk menyebutnya sebagai seorang yang terhormat.
Konon pada tahun 1999, KH. Abdurrahmahman Wahid yang biasa disapa Gus Dur saat itu baru resmi dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, selang beberapa hari kurang lebih belum ada satu minggu beliau sudah menyempatkan diri untuk sowan kekediaman KH. Abdullah Zen Salam untuk silaturrahmi dan meminta restu dari beliau.
Pernah ditulis dalam beberapa buah buku biografi KH. Abdurrahman Wahid bahwa beliau adalah salah seorang Waliyullah yang karismatik dan ma’rifat, tertulis juga dalam sebuah buku tentang beliau, bahwa ada tiga orang Kiai di Indonesia yang sangat beliau hormati dan segani yang juga tergolong Waliyullah, nama–nama beliau sama, yaitu menggunakan nama panggilan Abdullah. Yaitu KH. Abdullah Abbas Cirebon, KH. Abdullah Faqih Jawa Timur dan KH. Abdullah Zen Salam Jawa Tengah.
Ada sebuah cerita dari ibu Hj.Sholichah Muchtar, bahwa pernah pada tahun 1970 beliau sowan kekediaman KH.Hamid Pasuruan, oleh beliau Ibu Sholichah ditanya alamat, setelah Ibu Sholihah menjawab bahwa beliau berangkat dari Kajen, KH. Hamid bercerita, ditanah Jawa banyak terdapat kiai karismatik namun hanya tinggal dua Waliyullah yang sekarang masih ada yaitu KH. Muhammadun dan KH. Abdullah Zen Salam yang berada di tanah Kajen Pati.
KEWALIAN
Kewalian Mbah Dullah, KH Abdullah Salam dari Kajen Pati, diakui justru karena sepanjang hidupnya, ia berusaha melaksanakan ajaran dan keteladanan pemimpin agungnya, Muhammad SAW. Terutama dalam sikap, perilaku, dan kegiatan-kegiatannya; baik yang berhubungan dengan Allah maupun dengan sesama hambaNya. Berperawakan gagah. Hidung mancung. Mata menyorot tajam. Kumis dan jenggotnya yang putih perak, menambah wibawanya. Hampir selalu tampil dengan pakaian putih-putih bersih, menyempurnakan kebersihan raut mukanya yang sedap dipandang. Melihat penampilan dan rumahnya yang tidak lebih baik dari gotakan tempat tinggal santri-santrinya, mungkin orang akan menganggapnya miskin; atau minimal tidak kaya. Tapi tengoklah; setiap minggu sekali pengajiannya diikuti oleh ribuan orang dari berbagai penjuru dan semuanya disuguhi makan.
Selain pengajian-pengajian itu, setiap hari ia menerima tamu dari berbagai kalangan yang rata-rata membawa masalah untuk dimintakan pemecahannya. Mulai dari persoalan keluarga, ekonomi, hingga yang berkaitan dengan politik. Bahkan pedagang akik dan minyak pun beliau terima dan beliau ‘beri berkah’ dengan membeli dagangan mereka. Ketika ia masih menjadi pengurus (Syuriyah) NU, aktifnya melebihi yang muda-muda. KH Abdullah Salam tidak pernah absen menghadiri musyawarah semacam Bahtsul masaail, pembahasan masalah-masalah yang berkaitan dengan agama, yang diselenggarakan wilayah maupun cabang. Pada saat pembukaan muktamar ke 28 di Situbondo, panitia memintanya –atas usul kiai Syahid Kemadu—untuk membuka Muktamar dengan memimpin membaca Fatihah 41 kali. Dan ia jalan kaki dari tempat parkir yang begitu jauh ke tempat sidang, semata-mata agar tidak menyusahkan panitia.
Semasa kondisi tubuh nya masih kuat, ia juga melayani undangan dari berbagai daerah untuk memimpin khataman Quran, menikahkan orang, memimpin doa, dsb. Ketika kondisi nya sudah tidak begitu kuat, orang-orang pun menyelenggarakan acaranya di rumahnya. Mbah Dullah, begitu orang memanggil kiai sepuh haamilul Qur’an ini, meskipun sangat disegani dan dihormati termasuk oleh kalangan ulama sendiri, ia termasuk kiai yang menyukai musyawarah. Ia bersedia mendengarkan bahkan tak segan-segan meminta pendapat orang, termasuk dari kalangan yang lebih muda. Ia rela meminjamkan telinganya hingga untuk sekedar menampung pembicaraan-pembicaraan sepele orang awam. Ini adalah bagian dari sifat tawaduk dan kedermawanannya yang sudah diketahui banyak orang. Tawadu atau rendah hati dan kedermawanan adalah sikap yang hanya bisa dijalani oleh mereka yang kuat lahir batin, seperti Mbah Dullah. Mereka yang mempunyai (sedikit) kelebihan, jarang yang mampu melakukannya. Mempunyai sedikit kelebihan, apakah itu berupa kekuatan, kekuasaan, kekayaan, atau ilmu pengetahuan, biasanya membuat orang cenderung arogan atau minimal tak mau direndahkan. Rendah hati berbeda dengan rendah diri. Berbeda dengan rendah hati yang muncul dari pribadi yang kuat, rendah diri muncul dari kelemahan.
Mbah Dullah adalah pribadi yang kuat dan gagah luar dalam. Kekuatannya ditopang oleh kekayaan lahir dan terutama batin. Itu sebabnya, disamping dermawan dan suka memberi, Mbah Dullah termasuk salah satu –kalau tidak malah satu-satunya – kiai yang tidak mudah menerima bantuan atau pemberian orang, apalagi sampai meminta. Pantangan. Seolah-olah beliau memang tidak membutuhkan apa-apa dari orang lain. Bukankah ini yang namanya kaya? Ya, mbah Dullah adalah tokoh yang mulai langka di zaman ini. Tokoh yang hidupnya seolah-olah diwakafkan untuk masyarakat. Bukan saja karena ia punya pesantren dan madrasah yang sangat berkualitas; lebih dari itu sepanjang hidupnya, mbah Dullah tidak berhenti melayani umat secara langsung maupun melalui organisasi (Nahdlatul Ulama).
Mungkin banyak orang yang melayani umat, melalui organanisi atau langsung; tetapi yang dalam hal itu, tidak mengharap dan tidak mendapat imbalan sebagaimana mbah Dullah, saya rasa sangat langka saat ini. Melayani bagi mbah Dullah adalah bagian dari memberi. Dan memberi seolah merupakan kewajiban bagi beliau, sebagaimana meminta –bahkan sekedar menerima imbalan jasa– merupakan salah satu pantangan utama. Ia tidak hanya memberikan waktunya untuk santri-santrinya, tapi juga untuk orang-orang awam. Beliau mempunyai pengajian umum rutin untuk kaum pria dan untuk kaum perempuan yang beliau sebut dengan tawadluk sebagai ‘belajar bersana’.
Mereka yang mengaji tidak hanya beliau beri ilmu dan hikmah, tapi juga makan setelah mengaji. Pernah ada seorang kaya yang ikut mengaji, berbisik-bisik: “Orang sekian banyaknya yang mengaji kok dikasi makan semua, kan kasihan kiai.” Dan orang ini pun sehabis mengaji menyalami mbah Dullah dengan salam tempel, bersalaman dengan menyelipkan uang. Spontan mbah Dullah minta untuk diumumkan, agar jamaah yang mengaji tidak usah bersalaman dengannya sehabis mengaji. “Cukup bersalaman dalam hati saja!” katanya. Konon orang kaya itu kemudian diajak Mbah Dullah ke rumahnya yang sederhana dan diperlihatkan tumpukan karung beras yang nyaris menyentuh atap rumah, “Lihatlah, saya ini kaya!” kata mbah Dullah kepada tamunya itu. Memang hanya hamba yang fakir ilaLlah-lah, seperti mbah Dullah, yang sebenar-benar kaya.
Kisah lain; pernah suatu hari datang menghadap Mbah Dullah, seseorang dari luar daerah dengan membawa segepok uang ratusan ribu. Uang itu disodorkan kepada Mbah Dullah sambil berkata: “Terimalah ini, mbah, sedekah kami ala kadarnya.” “Di tempat Sampeyan apa sudah tak ada lagi orang faqir?” tanya mbah Dullah tanpa sedikit pun melihat tumpukan uang yang disodorkan tamunya, “kok Sampeyan repot-repot membawa sedekah kemari?” “Orang-orang faqir di tempat saya sudah kebagian semua, mbah; semua sudah saya beri.” “Apa Sampeyan menganggap saya ini orang faqir?” tanya mbah Dullah. “Ya enggak, mbah …” jawab si tamu terbata-bata. Belum lagi selesai bicaranya, mbah Dullah sudah menukas dengan suara penuh wibawa: “Kalau begitu, Sampeyan bawa kembali uang Sampeyan. Berikan kepada orang faqir yang memerlukannya!” Kisah di atas yang beredar tentang ‘sikap kaya’ mbah Dullah semacam itu sangat banyak dan masyhur di kalangan masyarakat daerahnya.
Mbah Dullah ‘memiliki’, di samping pesantren, madrasah yang didirikan bersama rekan-rekannya para kiai setempat. Madrasah ini sangat terkenal dan berpengaruh; termasuk –kalau tidak satu-satunya— madrasah yang benar-benar mandiri dengan pengertian yang sesungguhnya dalam segala hal. 32 tahun pemerintah orde baru tak mampu menyentuhkan bantuan apa pun ke madrasah ini. Orientasi keilmuan madrasah ini pun tak tergoyahkan hingga kini. Mereka yang akan sekolah dengan niat mencari ijazah atau kepentingan-kepentingan di luar ‘menghilangkan kebodohan’, jangan coba-coba memasuki madrasah ini. Ini bukan berarti madrasahnya itu tidak menerima pembaruan dan melawan perkembangan zaman. Sama sekali. Seperti umumnya ulama pesantren, beliau berpegang kepada ‘Al-Muhaafadhatu ‘alal qadiimis shaalih wal akhdzu bil jadiidil ashlah’, “ Memelihara yang lama yang relevan dan mengambil yang baru yang lebih relevan”. Hal ini bisa dilihat dari kurikulum, sylabus, dan matapelajaran-matapelajaran yang diajarkan yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman.
Singkat kata, sebagai madrasah tempat belajar, madrasah mbah Dullah mungkin sama saja dengan yang lain. Yang membedakan ialah karakternya. Agaknya mbah Dullah –rahimahullah — melalui teladan dan sentuhannya kepada pesantren dan madrasahnya, ingin mencetak manusia-manusia yang kuat ‘dari dalam’; yang gagah ‘dari dalam’; yang kaya ‘dari dalam’; sebagaimana ia sendiri. Manusia yang berani berdiri sendiri sebagai khalifah dan hanya tunduk menyerah sebagai hamba kepada Allah SWT. Bila benar; inilah perjuang yang luar biasa berat. Betapa tidak? Kecenderungan manusia di akhir zaman ini justru kebalikan dari yang mungkin menjadi obsesi mbah Dullah. Manusia masa kini justru seperti cenderung ingin menjadi orang kuat ‘dari luar’; gagah ‘dari luar’; kaya ‘dari luar’, meski terus miskin di dalam. Orang menganggap dirinya kuat bila memiliki sarana-sarana dan orang-orang di luar dirinya yang memperkuat; meski bila dilucuti dari semua itu menjadi lebih lemah dari makhluk yang paling lemah. Orang menganggap dirinya gagah bila mengenakan baju gagah; meski bila ditelanjangi tak lebih dari kucing kurap. Orang menganggap dirinya kaya karena merasa memiliki harta berlimpah; meski setiap saat terus merasa kekurangan.
Sayang sekali jarang orang yang dapat menangkap kelebihan mbah Dullah yang langka itu. Bahkan yang banyak justru mereka yang menganggap dan memujanya sebagai wali yang memiliki keistimewaan khariqul ‘aadah. Dapat melihat hal-hal yang ghaib; dapat bicara dengan orang-orang yang sudah meninggal; dapat menyembuhkan segala penyakit; dsb. dst. Lalu karenanya, memperlakukan orang mulia itu sekedar semacam dukun saja. Masya Allah! Dari sentuhan tangan dinginnya di Pesantren yang terletak di pinggiran pantai utara Jawa itu, lahir ulama-ulama besar seperti KH Sahal Mahfudz, KH Abdurrahman Wahid dll. Begitulah; Mbah Dullah yang selalu memberikan keteduhan itu telah meninggalkan kita di dunia yang semakin panas ini. Ia sengaja berwasiat untuk segera dimakamkan apabila meninggal.
Agaknya ia, seperti saat hidup, tidak ingin menyusahkan atau merepotkan orang. Atau, siapa tahu, kerinduannya sudah tak tertahankan untuk menghadap Khaliqnya. 25 Sya’ban 1422 bertepatan 11 November 2001 sore, ketika Mbah Dullah dipanggil ke rahmatullah, wasiat pun dilaksanakan. Ia dikebumikan sore itu juga di dekat surau sederhananya di Polgarut Kajen Pati.
Abdullah Zen Salam dikaruniai sembilan orang anak yang dua meninggal saat masih kecil yakni:
Ibu Nyai Hj. Munawwaroh, menikah dengan KH. M. Busro Abdul Latif menetap di Purwodadi. Pengasuh pondok Pesantren. Nurul Hidayah. Dikaruniai 4 orang anak. Laki- laki, meninggal Saat Masih Kecil
Ahmad Nafi’ Abdillah, menikah dengan Nyai Hj. Mahmudah Nafi’. Menetap di Kajen. Pengasuh pondok PMH PUSAT dan sekarang menjadi Direktur Perguruan Islam Mathaliul Falah. Dikarunia 8 orang anak.
Ibu Nyai Hj. Hanifah Menikah Dengan KH. Ma’mun Muzayyin. Menetap di Kajen, Pengasuh PP. Al-Hikmah Dan Madrasah Perguruan Islam Al-Hikmah (PRIMA). Dikarunia 11 orang anak.
Ahmad Minan Abdullah menikah dengan Nyai Hj. Maftukhah Minan, menetap di Kajen, pengasuh PP. Nurul Quran. Dikaruniai 5 orang anak.
Nyai Hj. Ishmah menikah dengan KH. Ulin Nuha Arwani, menetap di Kudus, pengasuh yayasan Arwaniyah-Yanbu’a. Dikaruniai 2 orang anak namun meninggal semua saat masih kecil.
Zaki Fuad, menikah dengan Nyai Hj. Robiatul Adawiyah, menetap di Kajen, pengasuh PP. Al-Kautsar dan SMK Cordofa. Dikaruniai 9 orang anak.
Nyai Hj.Shofwatin Nikmah, menikah dengan KH.Abdullah Ubaid, menetap di Tegal, pengasuh PP. Darul Quran. Dikaruniai 7 orang anak, 1 meninggal.(***) Aji Setiawan
Daftar Pustaka
1. Aji Setiawan, Wali Yang Penuh Karomah, Jaringan Santri, 26 Oktober 2020
2. Aji Setiawan, Wali yang Penuh Karamah - NU Online, 3 Okt 2013