Mbah Dalhar Pejuang dari Muntilan
Ia memang masih keturunan dari Laskar pejuang Pangeran Diponegoro di eks Karsidenan Kedu. Tak heran selain berdakwah, Mbah Dalhar juga mewarisi semangat perjuangan dalam merebut dan mempertahankan Kemerdekaan RI.
Mbah Kiai Dalhar lahir di komplek pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang pada hari Rabu, 10 Syawal 1286 H (12 Januari 1870 M). Ketika lahir ia diberi nama oleh ayahnya dengan nama Nahrowi. Ayahnya adalah seorang mudda’i ilallah bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo. Kiai Abdurrauf adalah salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Nasab Kiai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kiai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Diriwayatkan, Kiai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton karena ia lebih senang mempelajari ilmu agama daripada hidup dalam kepriyayian. Belakangan waktu baru diketahui jika ia hidup menyepi didaerah Godean, Yogyakarta. Sekarang desa tempat ia tinggal dikenal dengan nama desa Tetuko.
Sementara itu salah seorang puteranya bernama Abdurrauf juga mengikuti jejak ayahnya yaitu senang mengkaji ilmu agama. Namun ketika Pangeran Diponegoro membutuhkan kemampuan beliau untuk bersama – sama memerangi penjajah Belanda, Abdurrauf tergerak hatinya untuk membantu sang Pangeran.
Dalam gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro sempat mempertahankan wilayah Magelang dari penjajahan secara habis–habisan. Karena Magelang bagi pandangan militer Belanda nilainya amat strategis untuk penguasaan teritori lintas Kedu. Oleh karenanya, Pangeran Diponegoro membutuhkan figure–figure yang dapat membantu perjuangannya melawan Belanda sekaligus dapat menguatkan ruhul jihad di masyarakat. Menilik dari kelebihan yang dimilikinya serta beratnya perjuangan waktu itu maka diputuskanlah agar Abdurrauf diserahi tugas untuk mempertahankan serta menjaga wilayah Muntilan dan sekitarnya.
Untuk ini Abdurrauf kemudian tinggal di dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan. Beliau lalu membangun sebuah pesantren sehingga masyhurlah namanya menjadi Kiai Abdurrauf. Pesantren Kiai Abdurrauf ini dilanjutkan oleh putranya yang bernama Abdurrahman. Namun letaknya bergeser ke sebelah utara ditempat yang sekarang dikenal dengan dukuh Santren (masih dalam desa Gunung Pring). Sementara ketika masa dewasa mbah Kiai Dalhar, beliau juga meneruskan pesantren ayahnya (Kiai Abdurrahman) hanya saja letaknya juga digeser kearah sebelah barat ditempat yang sekarang bernama Watu Congol.
Nama “Dalhar” Mbah Kiai Dalhar adalah seorang yang dilahirkan dalam ruang lingkup kehidupan pesantren. Oleh karenanya semenjak kecil beliau telah diarahkan oleh ayahnya untuk senantiasa mencintai ilmu agama. Pada masa kanak-kanaknya, ia belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri yaitu Kiai Abdurrahman. Menginjak usia 13 tahun, mbah Kiai Dalhar mulia belajar mondok.
Ia dititipkan oleh sang ayah pada Mbah Kiai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Desa Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Disini ia belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.
Sesudah dari Salaman, saat ia berusia 15 tahun mbah Kiai Dalhar dibawa oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen. Oleh ayahnya, mbah Kiai Dalhar diserahkan pendidikannya pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Delapan tahun mbah Kiai Dalhar belajar di pesantren ini.
Dan selama di pesantren beliau berkhidmah di ndalem pengasuh. Itu terjadi karena atas dasar permintaan ayahnya sendiri pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani. Kurang lebih pada tahun 1314 H/1896 M, mbah Kiai Dalhar diminta oleh gurunya yaitu Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera laki – laki tertuanya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani thalabul ilmi ke Makkah Musyarrafah.
Dalam kejadian bersejarah ini ada kisah menarik yang perlu disuri tauladani atas ketaatan dan keta’dziman mbah Kiai Dalhar pada gurunya. Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani punya keinginan menyerahkan pendidikan puteranya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani kepada shahabat karibnya yang berada di Makkah dan menjadi mufti syafi’iyyah waktu itu bernama Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani (ayah Syeikh As_Sayid Muhammad Sa’id Babashol Al-Hasani). Sayid Abdurrahman Al-Hasani bersama mbah Kiai Dalhar berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang.
Dikisahkan selama perjalanan dari Kebumen, singgah di Muntilan dan kemudian lanjut sampai di Semarang, saking ta’dzimnya mbah Kiai Dalhar kepada putera gurunya, beliau memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan mbah Kiai Dalhar agar naik kuda bersama. Namun itulah sikap yang diambil oleh sosok mbah Kiai Dalhar.
Sesampainya di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kiai Dalhar dan Sayid Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh As-Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah. Sayid Abdurrahman dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani selama 3 bulan, karena ia diminta oleh gurunya dan para ulama Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari serangan sekutu.
Sementara itu mbah Kiai Dalhar diuntungkan dengan dapat belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun. Syeikh As-Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar” pada mbah Kiai Dalhar. Hingga ahirnya ia memakai nama Nahrowi Dalhar.
Dimana nama Nahrowi adalah nama aslinya. Dan Dalhar adalah nama yang diberikan untuk beliau oleh Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani. Rupanya atas kehendak Allah Swt, mbah Kiai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kiai “Dalhar”.
Ketika berada di Hejaz inilah Kiai Nahrowi Dalhar memperoleh ijazah kemusrsyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan namanya di tanah Jawa. Hizb Bambu Runcing Mbah Kiai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Selama di tanah suci, mbah Kiai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun disuatu goa yang teramat sempit tempatnya.
Dan selama itu pula beliau melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk medoakan para keturunan beliau serta para santri – santrinya. Dalam hal adab selama ditanah suci, mbah Kiai Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat, ia lari keluar tanah Haram.
Setelah pulang dari tanah suci, sekitar tahun 1900 M ia kemudian meneruskan perdikan peninggalan nenek moyangnya yang berupa pondok kecil di kaki bukit kecil Gunung Pring, Watu Congol, Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang. Kurang lebih 3 kilometer sebelah timur Candi Borobudur.
Pondok pesantren kecil ini lambat laun tidak hanya dihuni oleh santri-santri sekitar eks Karsidenan Kedu saja namun sampai pelosok tanah Jawa. Bahkan ketika masa-masa perang pra dan masa kemerdekaan, pondok pesantren Watucongol menjadi markas dan sekaligus tempat singgah para pejuang tentara bambu runcing yang datang Jogjakarta dan wilayah Jawa bagian barat seperti eks Karsidenan Banyumas dan sebagian dari Jawa Barat. Konon ceritanya, bambu runcing para pejuang harus di asma hizb dahulu oleh KH Dalhar dan KH Subekhi (Parak, Temanggung) sebelum menyerang markas penjajah Belanda di Ambarawa, Semarang, (lihat buku: Jejak Kaki Pesantren, karya KH Saifuddin Zuhri).
Tentara Sekutu mendarat di Semarang pada 20 Oktober 1945 dibawah pimpinan Brigjen Bethel. Awalnya rakyat Indonesia ikut membantu pergerakan Tentara Sekutu yang kedatangannya ingin menyisir sisa-sisa tentara Nippon (Jepang) di Indonesia pasca Sekutu mengalahkan Jepang lewat bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.
Tetapi seperti terjadi di daerah-daerah lain, serdadu NICA menyalakan obor fitnah dan mengadu domba sehingga terjadilah insiden antara rakyat Indonesia dengan tentara Sekutu. Insiden karena adu domba NICA ini menjalar ke sejumlah wilayah di Jawa Tengah, seperti Magelang. Bung Tomo, setelah secara perkasa membantu perjuangan santri di Surabaya, dia menuju ke Jawa Tengah karena situasi sama gentingnya seperti yang terjadi di Jawa Timur.
Namun demikian, kondisi ini juga mendapat perhatian serius dari para ulama Magelang. Diriwayatkan oleh KH Saifuddin Zuhri (1919-1986), ulama se-Magelang mengadakan pertemuan di rumah Pimpinan Hizbullah di belakang Masjid Besar Kota Magelang pada 21 November 1945. Pertemuan ini dilaksanakan pada tsulutsail-lail atau saat memasuki duapertiga malam (sekitar pukul 03.00 dini hari).
Ulama yang dipanggil sedianya hanya 70 orang, namun yang hadir melebih ekspektasi yaitu 200 orang ulama dalam pertemuan riyadhoh ruhaniyah itu. Para ulama menilai, gerakan batin atau gerakan rohani ini untuk menyikapi situasi genting yang terjadi di dalam Kota Magelang dan sekitarnya, terutama sepanjang garis Magelang-Ambarawa-Semarang. Karena di Pendopo rumah Suroso tidak cukup, sebagian ditempatkan di markas Sabilillah yang jaraknya 100 meter.
Disaat ratusan ulama sudah terkumpul, mayoritas hadirin berharap-harap cemas ketika menanti kedatangan sejumlah ulama khos yang belum hadir, di antaranya KH Dalhar (Pengasuh Pesantren Watucongol), KH Siroj Payaman, KH R. Tanoboyo, dan KH Mandhur Temanggung. Mereka adalah ulama “empat besar” untuk Magelang dan sekitarnya yang akan memimpin riyadhoh ruhaniyah tersebut.
Dalam pertemuan yang juga dihadiri oleh Letkol M. Sarbini dan Letkol A. Yani dan satu regu pengawal siap tempur itu, para ulama dan rakyat dipimpin ulama “empat besar” itu membaca aurod yang sudah terkenal di kalangan ulama Ahlussunnah wal Jamaah antara lain, Dalail Khoirot, Hizib Nashor li Abil Hasan Asy-Syadzili, Hizib al-Barri, dan Hizib al-Bahri, keduanya Li Abil Hasan Asy-Syadzili yang termasyhur.
Adapun KH Dalhar Watucongol (1870-1959) yang saat itu telah menginjak usia 75 tahun memunajatkan doa khusus. Kiai Dalhar memang dikenal sebagai ulama yang paling ‘alim di antara hadirin yang datang. Ulama yang amat rendah hati, tenang, dan tawadhu tersebut memanjatkan doa agar rakyat Indonesia diberi kesanggupan dalam berjuang mengenyahkan penjajah, khususnya Inggris yang bercokol di Magelang. Berikut munajat agung Kiai Dalhar Watucongol:
Anta yaa Robbi bika nastanshiru ‘alaa a’daainaa wa anfusinaa fanshurnaa wa ‘alaa fadhlika natawakkalu fii sholahinaa falaa takilnaa ilaa ghoirika ya Robbanaa. Wa bibaabika naqifu falaa tathrudnaa waiyyakaa nas’alu falaa tukhoyyibna. Allahumma irham tadhorru’anaa wa aamin khaufana wa taqobbal a’maalanaa wa ashlih ahwaalanaa wa ij’al bi thoo’atika isytighoolanaa wa akhtim bissa’adati aajaalanaa. Haadzaa dzulunaa la yakhfaa ‘alaika. Amartanaa fa tarokna wa nahaitanaa fartakabnaa walaa yasa’unaa illaa ‘afwika fa’fu ‘anaa ya khoiro ma’mulin wa akroma mas’uulin innaka ghofurur roufur rohiim ya Arhamar Rohimiin.
(Ya Allah, hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan untuk mengalahkan musuh-musuh kami, dan untuk keselamatan jiwa raga kami mohon pertolongan-Mu. Atas keunggulan kelebihan-Mu, ya Allah kami menyerahkan nasib baik kami, sebab itu tidak berserah diri kepada yang bukan Engkau ya Tuhan kami. Kami berdiri di depan pintu Rahmat-Mu, maka janganlah Engkau mengusir kami. Hanya kepada-Mulah kami mengajukan permohonan, maka janganlah Engkau gagalkan permohonan ini. Ya Allah belas kasihanilah sikap rendah diri kami ini dan lenyapkanlah ketakutan kami terhadap musuh. Mohon Engkau terima amal kami, dan keadaan kami mohon diperbaiki. Jadikanlah kami senantiasa rajin menjalankan perintah-perintah-MU dan menjauhi larangan-larangan-Mu. Jika telah datang ajal kami, mohon diakhiri dengan keadaaan yang berbahagia. Inilah sikap renah diri kami di hadapan-Mu, dan tentang hal ihwal kami Engkau pasti Maha Tahu. Engkau memerintahkan kami supaya mengerjakan tugas kewajiban tetapi telah kami abaikan. Sebaliknya, Engkau mencegah kami berbuat durhaka bahkan kami gemar melakukannya. Tapi semua itu tidak menghanyutkan kami untuk memohon Ampunan-Mu. Wahai Dzat yang menjadi tumpuan segala keinginan dan permohonan, yang paling dermawan untuk menjadi tempat meminta-minta. Engkaulah Maha Pengampun, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Wahai Dzat yang paling kasih sayang).
Dikisahkan, dengan bermodalkan bambu runcing, para pejuang kemerdekaan menyerang benteng Belanda di Ambarawa, bambu-bambu runcing mampu terbang dengan sendirinya bak senapan menyerang tentara-tentara Belanda. Sementara bombardir peluru serta granat tangan kumpeni Belanda tidak mampu melukai apalagi menyentuh kulit para pejuang Republik Indonesia.
Karya mbah Kiai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum adalah Kitab Tanwirul Ma’aly. Salah satu kitab yang sudah di cetak adalah kitab Manaqib, biografi pendiri Thoriqoh Syadziliyyah, Al-Imam Abul Hasan Ali bin Abdulloh Al-Syadzily atau sering maayhur dengan sebutan Imam Syadzaly.
Di sampul kitab ini judulnya Tanwirul Ma'aaly fi Manaqib Al-Syaikh Ali Abil Hasan Al-Syadzily, tetapi di halaman empat disebut Al-Tasabbuh Al-Shoghir bi Al-Akabir fi Dzikri nubzatun min manaqib ustadzi Al-Kabir.
Dalam pembukaan kitab ini disebut tujuan penulisan kitab Manaqib ini adalah supaya kita mengerti tata cara thoriqoh Syadziliyyah, faidah ikut Thoriqoh Syadziliyyah, dan supaya kita semakin senang dengan lelampahan ( amaliyah ) dari Syekh Abu Hasan Al-Syadzily yang menunjukkan kepada perilaku, akhlaq dari Nabi Besar Muhammad SAW.
Dalam pandangan para Ulama bahwa kisah kisah, kabar dari perjalanan hidup orang orang terdahulu sangat besar sekali pengaruh dan kesannya bagi setiap orang. Sebagaimana disebut dalam Al-Qur'an surat Al-Arof ayat 176 :
فَٱقْصُصِ ٱلْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
" Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah- kisah itu agar mereka berfikir."
Dalam kitab tafsirnya Imam Al-Thohir Ibnu 'Asyur menyebut :
فَإنَّ في القَصَصِ تَفَكُّرًا ومَوْعِظَةً فَيُرْجى مِنهُ تَفَكُّرُهم ومَوْعِظَتُهم،
" Sesungguhnya dalam kisah kisah ada perenungan dan mauidzoh, pitutur ( pelajaran ) yang diharapkan darinya perenungan dan pengambilan pelajaran tersebut".
Dan Nabi SAW pun seringkali bercerita tentang berita umat terdahulu yang dalam cerita tersebut terkandung hikmah, pelajaran dan makna yang banyak. Untuk menguatkan keimanan para sahabat, meneguhkan hati sahabatnya dalam keimanan, dan sekaligus mencerahkan dan mendamaikan perasaan dan jiwa mereka.
Kiai Dalhar juga memperoleh ijazah mursyid Tarekat Syadziliyah dari Syaikh Muhtarom al-Makki dan ijazah aurad Dalailul Khairat dari Sayyid Muhammad Amin al-Madani. Nantinya Kiai Dalhar menurunkan ijazah Tarekat Syadziliyah kepada 3 orang muridnya, yakni Kiai Iskandar Salatiga, Abuya Dimyati Cidahu, Banten dan putranya sendiri yakni KH Ahmad Abdul Haq.
Ia adalah tokoh spiritual yang cukup disegani hampir semua kalangan, dari masyarakat bawah hingga ulama dan tokoh nasional lainnya karena kharisma dan kewalian yang dipercayai masyarakat.
Mbah Dalhar kerap mengisahkan doa agar tekun bekerja :
Allahumma ubat-ubet, biso nyandang biso ngliwet
Allohumma ubat-ubet, mugo-mugo pinaringan slamet
Allohumma kitra-kitri, sugih bebek sugih meri
Allohumma kitra-kitri, segih sapi sugih pari (KH. Dalhar Watucongol)
Syair Doa dengan bahasa jawa ini sering di munajatkan oleh KH. Achmad Chalwani Nawawi, Berjan Purworejo yang di terima dari KH. Dalhar bin Abdurrohman, Watucongol.
Tentang Doa-doa berbahasa jawa, al-Maghfurlah Romo KH. Idris Marzuki, Lirboyo, pernah dawuh:
Koe ki nek nompo dungo-dungo Jowo seko kiai sing mantep, Kae kiai-kiai ora ngarang dewe. Kiai-kiai kae nompo dungo-dungo Jowo seko wali-wali jaman mbiyen. Wali ora ngarang dewe kok. Wali nompo ijazah dungo Jowo seko Nabi Khidlir. Nabi Khidlir yen ketemu wali Jowo ngijazahi dungo nganggo boso Jowo. Ketemu wali Meduro nganggo boso Meduro.
(Kamu jika mendapat doa-doa Jawa dari kiai yang mantap, jangan ragu, Kiai-kiai itu tidak mengarang sendiri. Mereka mendapat doa Jawa dari wali-wali jaman dahulu. Wali itu mendapat ijazah doa dari Nabi Khidlir. Nabi Khidlir jika bertemu wali jawa memberi ijazah doa memakai bahasa Jawa. Jika bertemu wali Madura menggunakan bahasa Madura.).
Bahkan, ia sering disowani seseorang yang akan maju menjadi pejabat. Mereka biasanya sowan dulu ke Mbah Dalhar untuk minta doa restu. Bukan hanya itu, tokoh-tokoh nasional dan pejabat negara juga sering berkunjung untuk meminta nasihat kepadanya.
Riyadah Mbah Dalhar adalah menghidupkan malam dengan memperbanyak shalat sunnah dan dzikir. Di samping itu, ia sangat tekun melakukan ziarah ke beberapa makan auliya dan ulama. Riyadah melekan ini ia jalani sejak kecil hingga menjelang wafat.
Ia juga dikenal memiliki kelebihan dari sisi ilmu dibanding kiai pada umumnya. Misalnya, ia bisa mengetahui makam para wali yang sebelumnya tidak diketahui orang sekitar. Bahkan kelebihan ini terlihat sejak dia kecil.
Sepanjang perjalanan hidupnya dipergunakan untuk menyampaikan pesan-pesan agama kepada umat. Dalam mengemban tugas mulia mengajarkan ajaran-ajaran syar’i. Mbah Dalhar seolah tidak mengenal tempat, waktu, situasi, dan kondisi. Bahkan di tempat yang sukar dilalui kendaraan, ia tetap bersedia dengan berjalan kaki.
Mbah Dalhar sering berpesan kepada putra-putrinya agar selalu menghormati tamu, tidak meremehkan pejabat, serta menyapa kepada semua siapa pun tanpa melihat status sosial maupun agamanya.
Banyak sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepadanya semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus, Lirboyo ; KH Hamim Jazuli (Gus Miek,Ploso,Kediri), Abuya Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo , KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dll. Sesudah mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah
Kiai Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April 1959 M dan beliau kemudian di makamkan di komplek makam Gunung Pring, Watucongol, Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Ia meninggalkan putra dan putri yakni Putra: K. H. Ahmad Abdul Haq Dalhar, Ny. Hj. Chunnah Dalhar, isteri pertama KH. Chudlori Ihsan, pendiri PP. API Tegalrejo. Yang menurunkan K. H. Abdurrahman dan K. H. Ahmad Muhammad. Seorang putri Mbah Mad yang kemudian hari juga menjadi penerusnya yakni Ny. Hj. Nur Hannah Hasanah Maryam, pengasuh PP. Tahfidzul Qur'an Ad Dalhariyyah.
Cucu-cucu Mbah Dalhar juga adalah penerus pesantren yang tangguh diantaranya K. H. 'Abdul Karim Ahmad Abdul Haq Dalhar, K. H. 'Ali Qoishor Ahmad Abdul Haq Dalhar, K H. Nurul Hidayat Ahmad Abdul Haq Dalhar dan Ny. Hj. Siti Sa'adah Ahmad, isteri K H. Ahmad Chalwani Nawawi, pengasuh PP. An-Nawawi, Berjan, Gintungan, Gebang, Purworejo.
Sekalipun jasadnya telah terkubur dalam tanah, karya dan penerus perjuangan Mbah Dalhar tetap berkelanjutan sampai sekarang. Pondok Pesantren Darussalam, Watu Congol adalah saksi sejarah napak tilas perjuangan dakwah Mbah Dalhar. Jalan menuju makam Watucongol memang terbilang mudah.
Peziarah ruhani biasanya melengkapi ziarah Wali Songo atau wisata liburan dengan melewati jalur tengah yang menghubungkan jalan utama dari Jogjakarta menuju Semarang.Ketika melewati kota Muntilan, dari arah pasar Muntilan cukup sekitar 5 kilo ke sebelah barat menunuju kawasan Gunung Pring. Untuk memperingati jejak sejarah Mbah Dalhar dan Pesantren Darusalam Watu Congol Muntilan, setiap akhir bulan Sya’ban tahun Hijriah biasanya haulnya diperingati di kompleks Pesantren Darussalam Watucongol, dan Kompleks makam Gunung Pring Muntilan Magelang. Dipastikan kedua kompleks perdikan bersejarah itu tak pernah sepi oleh penziarah yang datang tidak saja dari penjuru Nusantara namun juga negeri mancanegara.
Makam Gunung Pring terletak di kompleks makam Kiai Raden Santri yang terletak di sisi barat Muntilan, tepatnya di atas bukit Gunung Pring pada ketinggian kurang lebih 500 meter di atas permukaan laut.
Di kompleks tersebut juga berjejer makam di antaranya: Kiai Raden Santri, KH. Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo, KH. Dalhar Watucongol., Kiai Krapyak Kamaluddin, KH. Harun, Nyai Harun, Kiai Abdul Sajad, Gus Jogorekso, Nyai Suratinah Jogorekso, KH. Qowaid Abdulloh, Kiai Kertonjani, KH. Chusain, KH Ahmad Abdul Haq dll.
Haul diperingati bulan Ramadhan, untuk tanggal haul pihak keluarga pesantren yang akan memberitahu acara haul diperingati.
Ketika melewati kota Muntilan, dari arah pasar Muntilan cukup sekitar 5 kilo ke sebelah barat menunuju kawasan Gunung Pring. Untuk memperingati jejak sejarah Mbah Dalhar dan Pesantren Darusalam Watu Congol Muntilan, setiap akhir bulan Sya’ban tahun Hijriah biasanya haulnya diperingati di kompleks Pesantren Darussalam Watucongol, dan Kompleks makam Gunung Pring Muntilan Magelang. Dipastikan kedua kompleks perdikan bersejarah itu tak pernah sepi oleh penziarah yang datang tidak saja dari penjuru Nusantara namun juga negeri mancanegara. (***)
Penulis: Aji Setiawan, mantan wartawan Majalah alKisah Jakarta dan Ketua ... Account Simpedes BRI no : 372001029009535
Daftar Pustaka:
1. "Mbah Kyai Dalhar, Wali Allah Keturunan Raja yang Tak Gila Harta • BangkitMedia". BangkitMedia.
2. Guru, Dawuh (2022-04-22). "Bu Nyai Nur Watucongol (Nyai Hj. Nur Hannah Hasanah)". Dawuh Guru. Diakses tanggal 2022-12-13.
3. "Pondok Pesantren Ushuluddin (Bawang, Salaman, Magelang), Bawang, Ngadirejo, Salaman., Magelang (2022)". www.schoolandcollegelistings.com. Diakses tanggal 2022-07-24.
4."Biografi KH. Muhammad Dimyati al-Bantani (Abuya Dimyati)". Biografi KH. Muhammad Dimyati al-Bantani (Abuya Dimyati) (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-07-24.
5. Fathoni Ahmad . Hizib Kiai Dalhar Watucongol saat Hadapi Penjajah, nu.or.id 2019
6.Kisah Mbah Dalhar Bikin Bambu Runcing Terbang Layaknya Senapan
Laduni.id , 21 Agt 2019
7. Aji Setiawan, Mbah Dalhar Watucongol Waliyullah Gunung Pring dan Pejuang ...Bangkit Media, 28 Agt 2019
8. Aji Setiawan, "KH Dalhar Watucongol, Kiai Pejuang dan Cucu Panglima Perang Jawa". nu.or.id. Diakses tanggal 2022-03-12.
9. Aji Setiawan, Hizb Bambu Runcing Mbah Dalhar Watucongol, Bangkit Media , Agustus
2019
10. Aji Setiawan, Mengenang Abuya Dimyati Pandeglang - Jaringan Santri
9 Okt 2020
11. Aji Setiawan, KH Ahmad Abdul Haq Dalhar Watucongol Magelang Ulama Lintas Golongan, nu.or.id, 2 Agt 2021
12. pcnukabmagelang.or.id , https://www.pcnukabmagelang.or.id › ...Ngaji Kitab Manaqib Karya Al-Maghfurlah KH. Dalhar Watucongol, 13 Jun 2020
13. mondok.id, https://mondok.id › 2020/05/19 › ...Karya Mbah Dalhar : "Tanwirul Ma'ali fi Manaqibi as-Syeikh Ali Abu Hasan as ...19 Mei 2020
14. Ziarah Makam KH. Dalhar Watucongol, Wali Hakekat dari Magelang, laduni.id . 29 Juni 2022