Biografi KH. Chudlori
KELAHIRAN
KH. Chudlori lahir di Tegalrejo. Beliau merupakan putra kedua dari sepuluh bersaudara, dari pasangan K. Ikhsan dan Ibu Mujirah. Ayahnya adalah seorang pegawai (penghulu) yang menangani administrasi urusan agama di daerah pedalaman kabupaten Magelang yang meliputi kecamatan Candimulyo, Mertoyudan, Mungkid dan Tegalrejo.
Pada zaman Belanda, seorang penghulu dan keluarganya dihormati sebagai priyayi, sedangkan Ibu Mujirah adalah putri Karto Diwiryo yang menjadi Lurah di Kali Tengah.
KELUARGA
KH. Chudlori melepas masa lajangnya dengan menikahi putri KH. Dalhar Watucongol, ia sempat mengajar di pesantren mertuanya tersebut. Namun mengajarkan ilmu agama di kampung halamannya adalah cita-citanya yang menggebu-gebu sehingga ia selalu melakukan mujahadah dan meminta petunjuk Allah SWT untuk niatnya itu.
KH. Chudlori dikarunia sepuluh anak. Semua putranya adalah seorang Kiai dan meneruskan perjuangan dakwahnya dengan merawat dan mengembangkan Pondok pesantren API Tegalrejo, perjuangan dipartai politik, dan sebagai da’i.
PENDIDIKAN
Pada tahun 1923, seteleh menyelesaikan Hollandsch-Inlandsche School (HIS), lembaga pendidikan setingkat Sekolah Dasar zaman Belanda, Chudlori kecil dikirim ayahnya ke Pesantren Payaman yang diasuh KH. Siroj. Ia menghabiskan 2 tahun di pesantren tersebut. Kemudian pindah ke pesantren Kuripan di bawah asuhan KH. Abdan.
Tapi kemudian pindah lagi ke pesantren Kiai Rahmat di daerah Gragab hingga tahun 1928. Kehausan akan ilmu agama, ia kemudian nyantri ke Pondok Tebuireng yang waktu itu diasuh Hadratussyekh KH. Hasyim Asy'ari. Di pesantren pendiri NU tersebut, ia mempelajari beragam kitab.
Saat di Tebuireng, ayah Chudlori mengirim uang sebanyak Rp. 750,- per bulan, tetapi ia hanya menghabiskan Rp.150,- dan mengembalikan sisanya. Chudlori hanya makan singkong dan minum air yang digunakan untuk merebus singkong tersebut.
Dia melakukan ini dalam rangka riyadlah, amalan yang biasa dilakukan para santri. Cerita lainnya tentang Chudlori, di kamarnya di Tebuireng, ia membuat kotak belajar khusus dari papan tipis dan menempatkan kotak tersebut diantara loteng dan atap. Kapan saja bila ingin menghafal atau memahami pelajarannya, Chudlori muda naik dan duduk di atas kotak sehingga bisa berkonsentrasi dengan baik.
Kotak ini sempit, tidak nyaman dan berbahaya untuk duduk. Jadi dengan kedisiplinan dia dapat belajar setiap hari hingga tengah malam. Kapan saja tertidur sebelum tengah malam, dia menghukum dirinya sendiri dengan berpuasa pada hari berikutnya tanpa makan sahur. Kemudian pada tahun 1933, ia pindah lagi Pondok Bendo, Pare, Kediri, menjadi santri Kiai Chozin Muhajir.
Di situ ia belajar fiqih dan tasawuf seperti kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali. Empat tahun berikutnya, ia mengaji di Pesantren Sedayu, belajar ilmu membaca al-Qur’an selama 7 bulan. Pada tahun 1937, ia nyantri lagi ke Pondok Lasem, Jawa Tengah, yang diasuh KH. Ma'shum dan KH Baidlowi.
Ketika sudah menguasai semua kitab yang diajarkan, Chudlori sering diminta oleh Kiai Baidlowi untuk mengajar para santri lainnya. Di pesantren inilah Chudlori menggali bakatnya sebagai seorang kiai. Meskipun tetap tinggal di sana, Chudlori tidak begitu banyak belajar, karena harus mengabdi pada kiai agar memperoleh karomah untuk memastikan bahwa dimasa yang akan datang itu yang diperoleh dari para kiai itu akan tetap memiliki potensi spiritual dan berkualitas.
MENDIRIKAN PESANTREN
Semasa KH Chudlori, selalu dekat dengan masyarakat setempat. Kiai yang pernah berguru langsung kepada pendiri NU, KH Hasyim Asy'arie, tersebut selalu menjadi tempat bagi warga untuk berkeluh kesah tentang kehidupan maupun memecahkan berbagai persoalan kemasyarakatan. Kiai Chudlhori selalu menemani mereka dengan penuh kegembiraan.
Suatu ketika, serombongan warga Tepus, Kecamatan Pakis, Magelang, datang sowan Mbah Chudlori di pondoknya. Menurut catatan Gus Yus, peristiwa itu terjadi saat Gus Dur nyantri di Tegalrejo, karena disebutkan saat itu Gus Dur ikut mendampingi Mbah Chudlori menemui para tamu tersebut.
Para tamu itu datang bukan hanya untuk silaturahmi. Rupanya ada perbedaan pendapat sengit dari warga terkait pemanfaatan dana kas desa. Ada yang menginginkan untuk membangun masjid, namun sebagian ingin membeli gamelan untuk hiburan warga. Mereka meminta pertimbangan kepada Mbah Chudlori untuk menentukan pilihan.
Saran Kiai Chudlori sungguh di luar dugaan. fatwa berharap agar masyarakat guyub dan rukun. "Kiai Chudlori spontan mengatakan, bahwa yang penting masyarakat guyub, rukun, dan desanya tentram. Untuk itu, Kiai Chudlori menyarankan dana kas tersebut lebih baik untuk membeli gamelan saja," kata Gus Yusuf.
Atas hal ini, kata Gus Yusuf, orang bisa mengambil satu nilai bahwa Islam tidak hanya simbolik untuk bangunan, namun lebih pada pendekatan nilai-nilai.
"Kiai Chudlori mengatakan, 'Nanti kalau masyarakatnya rukun dan guyub, masjidnya pasti akan berdiri dengan sendirinya'. Akhirnya betul, setelah masyarakat yang menginginkan masjid bisa mengalah (uangnya) untuk beli gamelan, akhirnya belakangan warga kompak lalu gotong royong membangun masjid yang besar," papar Gus Yus.
"Apalah gunanya masjid itu berdiri megah, tapi masyarakatnya congkrah (tak bersatu), masyarakatnya tidak rukun. Akhirnya masjid hanya simbol, tapi kosong tidak ada isinya. Yang diharapkan tidak seperti itu. Masjid ya harus betul-betul dari masyarakat, itu salah satunya," katanya.
Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo didirikan pada tanggal 15 September 1944 oleh KH. Chudlori, seorang ulama yang juga berasal dari desa Tegalrejo.
KH. Chudlori mendirikan Pondok Pesantren di Tegalrejo pada awalnya tanpa memberikan nama sebagaimana layaknya Pondok Pesantren yang lain. Baru setelah berkali-kali beliau mendapatkan saran dan usulan dari rekan seperjuangannya pada tahun 1947 ditetapkanlah nama Asrama Perguruan Islam (API). Nama ini ditentukannya sendiri yang tentunya merupakan hasil dari sholat Istikharoh.
Dengan lahirnya nama Asrama Perguruan Islam, beliau berharap agar para santrinya kelak di masyarakat mampu dan mau menjadi guruyang mengajarkan dan mengembangkan syariat-syariat Islam.
Adapun yang melatar belakangi berdirinya Asrama Perguruan Islam adalah adanya semangat jihad ”I’Lai kalimatillah” yang mengkristal dalam jiwa sang pendiri itu sendiri. Dimana kondisi masyarakat Tegalrejo pada waktu itu masih banyak yang bergelumuran dengan perbuatan-perbuatan syirik dan anti pati dengan tata nilai sosial yang Islami.
Respon Masyarakat Tegalrejo atas didirikannya Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam Tegalrejo pada waktu itu sangat memprihatinkan. Karena pada saat itu masyarakat masih kental dengan aliran kejawen. Tidak jarang mereka melakukan hal-hal yang negatif yang mengakibatkan berhentinya kegiatan ta’lim wa-taa’llum (kegiatan belajar-mengajar).
Sebagai seorang ulama yang telah digembleng jiwanya bertahun-tahun di berbagai pesantren, KH. Chudlori tetap tegar dalam menghadapi dan menangani segala hambatan dan tantangan yang datang.
Pada tahun 1947, ketika Belanda melakukan Agresi Militer, Pesantren API menjadi benteng perjuangan mempertahankan kemerdekaan oleh para gerilyawan. Bahkan Chodlori yang kini sudah bergelar kiai, mengizinkan santrinya untuk turut berjuang. Aktivitas belajar-mengajar dihentikan untuk sementara waktu.
Karena perjuangan itu diketahui Belanda, pesantrennya kemudian dibakar habis. Santri, keluarga, dan Kiai Chudlori sendiri mengungsi dari satu desa ke desa lain. Kemudian di tahun 1949, ia kembali ke desanya dan membangun kembali pesantren.
Pada akhir tahun 1949, Tegalrejo dalam keadaan lebih aman sebagai akibat hasil goncatan senjata dengan Belanda.
Pengalihan kedaulatan kepada Indonesia, termasuk Irian Jaya berlangsung pada tanggal 27 Desember 1949 ((M.Cricklefe, 1987:220).
Kiai Chudlori keluar dari persembunyian dan mulai mengaktifkan dan membangun kembali pesantrennya. Namun beliau tertimpa musibah. Kurang dari satu tahun setelah bertemu dengan keluarga dan para santri, ibunya meninggal. Beberapa bulan kemudian, Abdullah, salah seorang santri kesayangannya juga meninggal.
Masih di penghujung tahun 1951, istrinya juga meninggal. Oleh karena itu, baru pada tahun 1952 Kiai Chudlori dapat berkonsentrasi pada pekerjaanya. Pada tahun ini Kiai Chudlori menikah untuk kedua kali dengan Nyai Nur Halimah atas saran mantan mertuanya. Menurut Kiai Yasin (62), salah seorang alumni Pesantren Tegalrejo, yang sekarang memimpin pesantrennya sendiri, tantangan yang paling berat yang dialami waktu itu adalah kurangnya keuangan dan sumber daya.
Meskipun ayahnya seorang pengulu, Kiai Chudlori bukanlah orang yang kaya. Dia hanya mendapat warisan rumah dan tanah yang digunakan untuk pesantren. Kiai Yasin menceritakan kepada saya betapa miskinnya Kiai Chudlori pada masa-masa awal perjuangan membangun kembali pesantrennya. Suatu hari, kata Kiai Yasin, Kiai Chudlori pernah minta saya meminjaminya beberapa kilogram beras. Menyadari betapa miskinnya Kiai Chudlori, sejak itu keluarga Yasin memberikan sumbangan beras secara kontinyu.
Kiyai Yasin juga ingat bagaimana Kiai Chudlori melakukan apa saja yang bisa mengatasi persoalan keuangan. Bahkan beliau pernah berusaha beternak ayam dan itik, dan menyuruh para santri mengamalkan salawat idrok.
اَلصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَـلَيْـكَ يَاسَيِّــدِىْ يَارَسُوْلَ اللّـهِ, خُذْ بِــيَـدِىْ قَـلَّتْ حِيْلَــتِى أَدْرِكْـنِى
Usaha tersebut berhasil sehingga beberapa bulan berikutnya dapat membeli domba dan tidak lebih dari dua tahun mampu membeli beberapa ekor sapi. Kiai Chudlori memeras sendiri s**u sapi dan dijual kepada santrinya. Untuk mengenang saat miskinnya, Kiai Chudlori memberi nama anaknya yang ketiga, yang dilahirkan saat itu, Mudrik, yang berarti setiap orang yang mengamalkan salawat idrok. Bahkan saat itu, salawat idrok merupakan salah satu dari doa-doa harian yang ditawarkan pada santri di Tegalrejo.
Kurikulum kajian keagamaan yang diajarkan di Pesantren Tegalrejo membutuhkan waktu 7 tahun. Ajaran dan amalan-amalan tasawuf dulu dan sampai sekarang merupakan bagian inti kurikulum. Bahkan Kiai Chudlori menyebut tingkat yang paling tinggi (tingkat tujuh) dengan ihya’, meminjam judul kitab tasawuf terkenal, ihya’ ‘Ulum ad-Din.
Program pendidikan yang diselenggarakan sejak dahulu menggunakan sistem klasikal. Bentuk pendidikan yang ada berupa madrasah yang terdiri dari 7 kelas. Kurikulum yang dipakai dari kelas 1 sampai kelas terakhir secara berjenjang mempelajari khusus ilmu agama, baik itu fikih, aqidah, akhlaq, tasawuf dan ilmu alat (nahwu dan sharaf) yang semuanya dengan kitab berbahasa Arab
Kitab-kitab yang diajarkan di bidang fikih antara lain Safinatun-Najah, Fathul Qarib, Minhajul Qowin, Fathul-Wahhab, al-Mahalli, Fathul Mu’in, dan Uqdatul-Farid. Di bidang ushul fiqih antara lain Faraidul-Bahiyah. Di bidang tauhid antara lain Aqidatul-Awam. Di bidang nahwu antara lain ash Shorof Tasrifiyat. Di bidang balaghah antara lain Jauharatul Maknun, Sullamul Munauraq. Di bidang akhlaq/tasawuf antara lain Ta’limul Muta’alim, Ihya Ulumiddin. Di bidang tafsir Al-Quran antara lain Tafsir Jalalain. Di bidang hadis antara lain Shahih Bukhari. Di bidang musthalah hadis antara lain al-Baiqunyah.
Kelas satu s/d tujuh di Ponpes API Tegalrejo, oleh masyarakat lebih dikenal dengan nama kitab yang dipelajari. Seperti di tingkat I dikenal jurumiyah jawan, Tingkat II dengan nama Jurumiyah, tingkat III dengan nama Fathul Qarib, tingkat IV dengan Alfyah, tingkat V dengan Fathul Wahab, tingkat Vi dengan alMahalli , tingkat VII dengan Fathul Mu’in dan dngkat Vill dengan Ihya Ulumuddin.
Kegiatan ekstrakurikuler
Sejak tahun 1993, Ponpes API Tegalrejo setiap bulan Ramadlan mengirimkan santri seniornya ke daerah-daerah yang membutuhkan dai/muballigh. Daerah yang sering mengajukan permintaan antara lain daerah Gunungkidul, Bojonegoro, Sragen dan Banyumas. Di lingkungan Ponpes API ini juga diselenggarakan Bahtsul Masail, yakni pembahasan masalah-masalah aktual. Kegiatan lainnya adalah Jam’iyatul Quro, yaitu membaca al-Quran secara bersamasama. Selain itu juga “Khotbah Komplek”, yaitu latihan berkhotbah/pidato,
Kemudian pertemuan setiap hari Senin yang dihadiri para alumni Ponpes API. Per temuan ini dikenal sebagai acara Seninan.
Pertemuan mutakhorijin (alumni) Ponpes API diselenggarakan setiap 35 hari, yaitu pada hari Ahad Kliwon. Acara ini lebih dikenal sebagai acara Selapanan.
Karena amalan-amalan tasawuf mewarnai kehidupan sehari-hari Pesantren Tegalrejo, maka pesantren ini terkenal sebagai pesantren tasawuf.
Berkat ketegaran dan keuletan KH. Chudlori dalam upayanya mewujudkan Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam baik secara dhohir maupun batin. Santri yang pada awal berdirinya hanya berjumlah delapan, tiga tahun kemudian sudah mencapai sekitar ratusan.
Gus Dur Pernah Mondok
Gus Dur pindah dari Yogyakarta ke Magelang, tepatnya di Pesantren Tegalrejo pada tahun 1957. Di pesantren ini Gus Dur nyantri selama sekitar 2 tahun lebih sedikit, di bawah asuhan KH. Chudlori. Greg Barton menyebut demikian: “Gus Dur membuktikan dirinya sebagai siswa yang berbakat dengan menyelesaikan pelajarannya di bawah asuhan KH. Chudlori selama 2 tahun di Tegalrejo. Kebanyakan siswa lain memerlukan waktu 4 tahun untuk menyelesaikan pelajaran ini. Bahkan di Tegalrejo ini Gus Dur menghabiskan sebagian besar waktunya di luar kelas dengan membaca buku-buku Barat (2003: 50).
Meski sudah di Tegalrejo, Gus Dur kadang menyempatkan waktunya untuk belajar paruh waktu ke Denanyar-Jombang di bawah asuhan Mbah Bishri (2003: 51). Dan pad saat yang sama, Gus Dur juga mencari peluang menonton wayang kulit, kegemarannya yang sudah dilakoninya ketika di Yogyakarta. Untuk hal itu, menurut Greg, Gus Dur harus berjalan kaki cukup jauh agar dapat menonton wayang kulit.Sang guru, KH. Chudlori adalah anak dari seorang penghulu di Tegalrejo zaman penjajahan Belanda, bernama Kyai Muhammad Ihsan.
Oleh Bambang Pranowo dalam buku Islam Jawa Kyai Chudlori digambarkan sebagai “sosok kyai yang membekali santrinya dengan berbagai ilmu dan riyadloh (tirakat) dalam rangka olah batin mengasah kemampuan spiritual santri atau yang dikenal dalam dunia tasawuf sebagai mujahadah.” Tentang tirakat Kyai Chudlori mendirikan pesantren itu, dikemukakan oleh Bambang Pranowo dalam buku Islam Jawa (hlm. 171-173).
Ketika Gus Dur di pesantren Tegalrejo, sebagai santri dia juga diwajibkan menghafalkan Alfiyah dan beberapa kitab yang harus dikaji, yang kemudian hafalan Alfiyah ini didaras ulang ketika di Tambakberas. Di samping itu, sebagaimana disebut Greg, Gus Dur kadang pergi ke Denanyar. Gus Dur juga mengaji kitab al-Hikam kepada Kyai Dalhar Watucongol, sebagaimana disebutkan dalam Ensiklopedi Abdurrahman Wahid (I: 107). Cerita belajar al-Hikam ini, menurut Mukhlas Syarkun, penulis Ensiklopedi Abdurrahman Wahid itu (I: 95), bersumber dari Kholish Muzakki yang mendapat cerita dari keluarga yang dulu satu kamar dengan Gus Dur di Tegalrejo, yang bercerita begini: “Gus Dur juga pernah berguru kepada Kyai Dalhar dalam bidang tasawuf, Gus Dur mengaji kepada beliau kitab al-Hikam yang merupakan kitab yang sangat berpengaruh pada pola kesufian Gus Dur. Akan tetapi menurut Gus Yusuf Chudlori, Gus Dur itu ngalap tabaruk dengan Kyai Dalhar, dan itu dikatakan ketika Gus Dur mondok di Tegalrejo, Magelang” (IV: 220).
Kyai Dalhar menurut masyarat pesantren diyakini sebagai wali, dan makamnya ada di Gunungpring di dekat Raden Santri, dan merupakan mursyid tarekat Sadziliayh. Beberapa kali penulis sendiri mengunjungi makam ini. Mbah Dalhar ini juga guru dari Gus Miek, sehingga dalam wasilah dzikir surat al-Fatihah seratus kali di kalangan Dzikrulo Ghofilin, salah satu wasilahnya juga ditujukan kepada Mbah Dalhar Watucongol. Selain kepada Kyai Dalhar, Gus Dur kemudian juga ngalap barokah al-Hikam kepada Kyai Imam Sarang. Mukhlas Syarkun menyebutkan bahwa berdasarkan informasi dari Kyai Muslih, alumni Sarang, Gus Dur sempat ngaji kepada Mbah Imam Kholil Sarang (I: 99). Dari Kyai Dalhar, juga menurut cerita Kholis Muzakki yang mendapat cerita dari saudaranya yang pernah satu kamar dengan Gus Dur ketika di Tegalrejo, seperti disebut Muklas Syarkun, Gus Dur memperoleh Ijazah Dalail.
Mukhlas Syarkun juga mengutip Kyai Nu’man (yang mimpin JQH zaman PBNU dipegang Gus Dur), yang menurut ceritanya Gus Dur pernah bercerita kepadanya bahwa ketika nyantri di Tegalrejo, dia mengamalkan riyadhoh dan tirakat yang diajarkan Kyai Chudlori. Sementara detil tirakat di pesantren Tegalrejo diceritakan oleh Bambang Pranowo dalam buku Islam Jawa, di antaranya, santri harus berpuasa Ya man Huwa, yang selama 41 hari; dan Yaman Huwa itu (rangkaian doa yang diawali Ya Man Huwa) harus dibaca. Sementara juga dari cerita Kyai Nu’man, Gus Dur bercerita bahwa dia diajarkan untuk ngrowot oleh Kyai Chudlori. Menurut Bambang Pranowo, wirid Hizib yang diamalkan di pesantren Tegalrejo Hizib Ghozali, dimana santri kelas Alfiyah diwajibkan mengamalkn Hizib ini, dengan puasa 7 hari, dan membaca Hizib ini minimal 7-41 x setelah itu.
Menurut cerita Kyai Nu’man juga, Hizib Ghozali ini dibaca Gus Dur bukan hanya ketika di pesantren saja, tetapi juga ketika sudah tidak di pesantren (Ensiklopedi, IV: 224-225). Bagi mereka yang sudah pernah menamatkan riyadhoh dalam ilmu-ilmu hikmah, tentu, pembacaan itu setelah riyadhoh, seiring waktu berjalan, menyesuaikan kondisi dan keadaan, bisa duduk, berjalan, berbaring, dan lain-lain. Hal ini biasa dilakukan oleh mereka yang jalan hidupnya mengurusi umat, menyebarkan ilmu, dan melakukan perubahan sosial, cara berdzikir dari wadzifah-wadzifah wiridnya, dilakukan menurut kondisinya itu.
Dan, ketika di Tegalrego, ada beberapa cerita yang berkaitan dengan Gus Dur, di antaranya adalah:
Ikan yang Dicuri Menjadi Halal
Salah satu sanad cerita ini bersumber dari Kyai Yusuf Chudlori, seperti diwawancarai detik (22 Oktober 2017), dan telah beredar dalam humor-humor Gus Dur di masyarakat. Berawal dari ajakan tiba-tiba Gus Dur kepada teman-teman sekamarnya. Suatu malam Gus Dur mengajak teman-teman sekamarnya untuk makan ikan segar. Gus Dur meyakinkan teman-temannya yang sempat heran dan tidak percaya karena sudah malam. Gus Dur meyakinkan teman-temannya yang awalnya ragu dan protes, dan mereka hanya perlu mengikutinya jika ingin makan ikan.Mereka kemudian berbagi peran, meski sebagian teman-temannya sempat protes, sebelum menyetujui gagasan Gus Dur. Mereka diajak Gus Dur ke kolam, tepat pada jam 12 malam, yaitu kolam milik Kyai Chudlori. Gus Dur berjaga di sekitar kolam, sementara 4 teman lainnya bertugas masuk ke kolam air. Saat itu belum ada listrik, sehingga mereka tidak begitu kelihatan melakukan aksinya.
Akan tetapi tepat pada saat itu juga, ternyata Kyai Chudlori datang dan mendekat ke kolam. Ketika dekat dengan kolam, Kyai Chudlori menurut Gus Yusuf: “Kyai meneriaki dan menanyakan siapa yang ada di kolam.” Saat kyai sudah mendekati kolam, Gus Dur menjawab, bahwa hanya dirinya yang ada di tempat tersebut. Sementara 4 temannya, ketika melihat Kyai Chudlori berbincang dengan Gus Dur, lebih dulu lari menyelamatkan diri. Lalu, Kyai Chudlori bertanya ke Gus Dur: “Kenapa ada ember-ember yang ada ikannya?” Gus Yusuf kemudian bercerita:“Gus Dur kemudian menjawab bahwa ada beberapa santri berniat mencuri ikan, dan dia menggagalkan rencana tersebut. Adapun ikan-ikan yang ada di ember adalah barang buktinya,” kata Gus Dur. Mendengar cerita itu, Gus Dur diperintahkan Kyai untuk memasak ikan-ikan itu bersama teman-temannya.
Sesampai di kamar, Gus Dur diprotes teman-temannya, karena tidak mengaku kalau dia adalah otak pencurinya.
Gus Yusuf yang diwawancarai detik kemudian menyebutkan: “Gus Dur hanya menjawab. Kalian mau makan ikan nggak. Ini ikannya sudah ada, halal lagi, karena diberikan oleh Kyai. Tadi itu kan proses, yang penting makan ikan.”Tentu saja teman-temannya, akhirnya mau juga makan ikan yang sudah halal itu.
Kyai Chudlori dan Pembagian Bondo Desa
Cerita tentang ini sudah beredar luas, dan salah satunya disebutkan dalam n****+ Peci Miring yang ditulis Aguk Irawan. Pada saat itu, Gus Dur meyaksikan aktivitas Kyai Chudlori yang didatangi oleh penduduk kampung. Suatu hari masyarakat kampung di sekitar kampung Kyai Chudlori mendatangi pesantren. Mereka sebelumnya sudah terlibat musyawatah dan belum ada titik temu, untuk membagi bondo desa yang ingin digunakan untuk apa. Sebagian masyarakat, menginginkan untuk pembangunan renovasi masjid dan sebagian menginginkan untuk membeli alat-alat kebudayaan, yaitu gamelan.
Ketika mereka sampai dan diterima Kyai Chudlori, masing-masing kelompok menuturkan keinginannya, dan ketika giliran Kyai Chudlori memberikan pendapat, mereka semua berdebar mendengarkan. Kelompok yang ingin bondo desa itu untuk renovasi masjid, sangat senang, karena mengira Kyai Chudlori sebagai Kyai pesantren, pasti akan memberikan fatwa bahwa bondo itu untuk masjid.
Akan tetapi, Kyai Chudlori justru mengatakan “sebaiknya dana itu digunakan untuk membeli gamelan.” Sontak perkataan Kyai Chudlori itu mengagetkan banyak orang, termasuk mereka yang mendukung dana itu untuk pembelian gamelan. Menurut Kyai Chudlori, kalau gamelannya sudah ada, nanti dengan sendirinya yang untuk masjid nanti ada. Ada juga versi yang menjelaskan, Lalu kemudian mengatakan “kalau kita tidak ngemong kepada masyarakat yang senang gamelan, nanti yang sholat di masjid siapa.”Rombongan tamu itu akhirnya menerima keputusan Kyai Chudlori, dan Gus Dur melihat tamu-tamu itu, dan argumen-argumen mereka, juga melihat keputusan Kyai. Sebuah keputusan yang dapat merekonsiliasikan antara kebutuhan kebudayaan dan masjid, kedua-duanya dapat terakomodasi tanpa terjadi perpecahan. Hal ini yang di kemudian hari juga mengilhami aksi-aksi dan pemikiran kebudayaan Gus Dur, dan rekonsiliasi kebudayaan-Islam.
Imtihan/Khataman dan Wayang
Cerita lain yang beredar luas, ketika Gus Dur di Tegalrejo adalah ketika Imtihan, yaitu masa akhir tahun para santri, yang diisi dengan doa dan hiburan. Kalau sekarang, di pesantrn API Tegalrejo, ketika Khataman arau Imtihan tidak jarang menanggap kirab budaya dan wayang. Dokumentasi soal ini banyak diunggah di video youtube dan diberitakan oleh fast-fmmagelang. Pesantren API, dari sudut penerimaan mereka dan terhadap wayang dan pagelaran budaya memang unik, dibandingkan pesantren-pesantren yang tidak melakukan demikian itu.Di antara salah seorang Kyai penerus Kyai Chudlori yang melakukan ini dalah KH. Ahmad Muhammad (dan kemudian Kyai Yusuf Chudlori), yang wafat pada Jumat, 6/3/2009. Bahkan kewafatan beliau, saat itu berbarengan dengan akan diadakannya pentas “ Orkestra Afala Tatafakarun” yang sedianya akan digelar di kompleks PP API Tegalrejo. Akan tetapi acara ini kemudian dibatalkan, karena pada saat itu, KH. Ahmad Muhammad API Tegalrejo wafat.
Sejarah rekonsiliasi dan penggunaan budaya untuk dakwah di API, telah dimulai sejak zaman Kyai Chudlori sendiri, yang ketika itu Gus Dur adalah salah satu santrinya. Dalam satu Imtihan, yang akan dilakukan di API Tegalrejo, Gus Dur diajak diskusi oleh Kyai Chudlori, tentang apa kira-kira yang akan dilakukan untuk mensyukuri akhir tahun pelajaran, atau Imtihan. Akhirnya, Gus Dur mengusulkan diundangnya masyarakat yang dulu pernah datang untuk menanyakan soal bondo desa. Kyai Chudlori pun setuju. Maka, setelah itu, Imtihan yang panitianya dilakukan Gus Dur, salah satunya adalah nanggap wayang, di sampaing ada rangkaian-rangkaian mujahadah dan doa.
Tentu saja, bahwa mengundang acara sejenis wayang atau seni lain ke pesantren, panitia-panitia Imtihan santri itu pasti sudah berdebat sebelumnya tentang hubungan Islam dan seni. Bahwa akhirnya Kyai Chudlori dan API Tegalrejo memilih mengambil jalan terjadinya pertemuan Islam dan seni dan berdakwah dengan seni, adalah juga meneruskan apa yang telah dirintis oleh para wali-wali sejak zaman Walisongo. Hanya, belakangan hal ini memang mulai berubah ketika wayang dan seni tidak lagi banyak dipentaskan pada Imtihan pesantren-pesantren di Nusantara, dan di antara pengecualian itu adalah API Tegalrego, ada juga pernah dilakukan PP Sunan Pandanaran.
Sebelum wafat, Kiai Chudlori meninggalkan empat wasiat untuk para santri di API Tegalrejo. Wasiat tersebut terpampang di sekitar komplek makam. Ditulis dengan tulisan Jawa pegon.
Nurwahidi, salah satu pengelola makam menunjukkan wasiat tersebut kepada wartawan koran ini. Isinya yakni, pertama untuk mengkhatamkan Alquran di makam Kiai Chudlori bisa satu kali, tujuh kali, maupun 41 kali. Kedua, bagi yang tidak bisa membaca Alquran dapat membaca dzikir 70 ribu kali. Ketiga, jika sudah selesai nyantri disarankan untuk mengajar, menularkan ilmunya serta tetap belajar Alquran. Keempat, imbauan kepada santri agar tidak menjadi pegawai negeri.
Nurwahidi pun menuturkan para santri maupun alumni masih berpegang teguh tentang wasiat tersebut. Banyak yang datang ke makam Kiai Chudlori untuk mengkhatamkan Alquran. Paling ramai ketika menjelang Ramadan. “Makam Mbah Chudlori pasti selalu ada peziarah setiap harinya. Biasanya kalau malam Jumat dan hari Minggu lumayan ramai,” ujarnya.
WAFAT
KH. Chudlori wafat pada tanggal 28 Agustus 1977. Jenazah beliau dimakamkan di komplek makam keluarga Pesantren API Magelang.
Setelah KH Chudlori wafat pada tahun 1977, Ponpes API dilanjutkan diasuh oleh KH Abdurrahman Chudlori (kakak tertua) dan KHA Muhammad Chudlori. Namun setelah keduanya meninggal, pengasuh ponpes diteruskan, KH Mudrik Chudlori, KH Hanif Chudlori dan Gus Yusuf.
Para putra ini tetap berusaha menjaga tinggalan-tinggalan orang tua yang baik dan relevan. Oleh karena itu, pondok pesantren salaf dengan racikan dan metode kuno, namun masih dibutuhkan tetap dijaga.
"Pondok pesantren salaf yang dengan metode-metode kuno, tetapi masih sangat dibutuhkan, ini kita jaga. Di sini ada yang salaf itu tanpa terikat kurikulum Diknas maupun Kemenag dan tidak ada ijazah formal. Itu murni racikan kurikulum Pesantren Tegalrejo. Ini masih kita rawat sampai hari ini ada sekitar 6.000 santri putra dan 4.000 santri putri," ujarnya.
Namun demikian dalam perkembangannya, Gus Yusuf bersama KH Abdurrahman Chudlori, mendirikan Yayasan Syubbanul Wathon yang membawahi pendidikan formal. Pendidikan formal yang dikelola mulai dari TK, SD, SMP, SMA/SMK hingga Sekolah Tinggi. Para siswa ini, pagi harinya sekolah formal, namun sore dan malam ngaji dengan sistem boarding.
"Jadi pagi sekolah formal, sore ngaji, malam ngaji, itu sekarang ada sekitar 4.000-an santri, itu perkembangannya bahkan juga Syubbanul Wathon setahun ini kita Alhamdulillah berhasil mendirikan rumah sakit ya untuk pelayanan masyarakat dan santri. Artinya bahwa Tegalrejo itu terus berkembang sesuai dengan tuntutan masyarakat," kata Gus Yusuf.
Lebih dari itu, hingga kini Ponpes Tegalrejo juga tetap menjalin hubungan baik dengan kelompok-kelompok seni lokal di Magelang dan sekitarnya. Gus Yus masih terus mengikuti dan mendukung kegiatan kesenian rakyat yang berkembang di daerah tersebut. Meneruskan berdakwah dengan hati ala Mbah Chudlori. (***) Aji Setiawan
Daftar Pustaka :
1. Abdullah Alwi, KH Chudlori, Santri Kelana Pendiri API Tegalrejo, nu.or.id
2. Budi, Biografi KH. Chudlori, ladunni.id , 1 September 2022
3. Muhyiddin, KH Chudlori, Ulama Rendah Hati dan Bersahaja, Republik, 20 Desember 2020
4. Eko Susanto - detikNews, Gaya Dakwah KH Chudlori: Beli Gamelan Dulu, Masjid Menyusul Kemudian, Jumat, 19 Jul 2019
5. Kiai Chudlori Tinggalkan Empat Wasiat untuk Para Santri API Tegalrejo, Radar Semarang, Rabu, 21 April 2021
6. Nur Khalik Ridwan, Ketika Gus Dur Ngaji Kepada Mbah Chudori Tegalrejo (1957-1959), Bangkit Media, 19 Desember 2019
7. Sejarah dan Profil Pondok Pesantren API Tegalrejo
Pesantren, Wikisantri, 2021
8. Naeli Rohmah, Mengenal Sosok KH Chudlori, Pendiri Pesantren API Tegalrejo, PCNU Cilacap, Jumat, 17 Juni 2022