18. Salma dan Kayshila

1833 Kata
Bismillahirrahmanirrahiim Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad === David memarkirkan mobilnya di pinggir jalan tak jauh dari galeri Shayna. Meski sejak ungkapan cintanya tak berbalas ia tak lagi menunjukkan batang hidungnya pada Shayna, diam-diam lelaki itu masih sering mengamati Shayna dari jauh layaknya seorang penguntit. Jika David sedang rindu, ia hanya bisa melampiaskannya dengan mengamati Shayna dari jauh seperti yang dilakukannya sekarang. Dari dalam mobilnya, David mengamati Shayna yang sedang berada di ruangannya menatap air hujan dari jendelanya. Sesaat kemudian, entah mengapa tiba-tiba Shayna jadi melihat ke arah mobilnya dan menatapnya agak lama. David sempat takut akan ketahuan, tapi ia ingat jika jendela mobilnya dilapisi oleh kaca film sehingga tidak bisa dilihat oleh orang yang berada di luar. David berdoa dalam hati semoga saja Shayna tidak menyadari jika ini adalah mobilnya. Tak lama, Shayna menutup kembali jendela ruangannya. Saat itu pula David merasa lega. === Hujan sudah reda dan kini lembayung senja bergelayut manja di angkasa. Bersamaan dengan berhentinya hujan, rasa rindu pada David pada Shayna juga bisa sedikit tertuntaskan. David memutuskan untuk meninggalkan galeri dengan melajukan mobilnya. Namun, saat ia melintasi halaman depan galeri ia melihat Shayna yang sedang dikerubungi oleh beberapa orang wartawan. Tadinya David ingin tak peduli, tapi nyatanya ia tak bisa. David kembali memarkirkan mobilnya dan kini ia memberanikan diri untuk turun dari mobilnya. Dari yang ia perhatikan, sepertinya Shayna tidka nyaman dengan para pemburu berita itu. Belum sempat David menghampiri mereka, Shayna lebih dulu berjalan cepat meninggalkan para pemburu berita itu. David pun jadi mengekori Shayna dengan setengah berlari. Hingga Shayna hampir terpeleset di undakan tangga karena lantainya licin. Shayna memekik karena ia mengira akan terjerembap jatuh. Tapi, nyatanya tidak. Ada lengan kokoh yang menahan tubuhnya sehingga tidak membentur lantai teras galeri. “Allahu akbar!” pekik Shayna. Ia melihat siapa orang yang telah menolongnya. “Kak Dave!” David hanya bisa tersenyum tipis lalu membantu Shayna agar bisa kembali berdiri tegak. Setelah itu suasana canggung menyelimuti mereka. Suasana itu hendak dimanfaatkan oleh para wartawan yang masih berada di halaman galeri. Mereka melangkah mendekati David dan Shayna. David yang menyadari segera menyuruh Shayna masuk ke dalam galeri. “Ayo kamu cepat masuk!” Namun telat. Para wartawan itu telah lebih dulu menghampiri mereka. “Mbak Shayna ada hubungan apa dengan Mas David pemilik hotel ini?” “Iya, Mbak. Kok bisa Mas David ada di sini? Apa hubungan Mbak Shayna dengan pengusaha hotel di kota ini?” Shayna hanya bisa terdiam karena terlalu shock dengan semuanya. David lah yang menjawab pertanyaan para wartawan. “Saya dan Shayna tidak ada hubungan apa-apa. Saya pelanggan di galerinya, jadi kami kenal dan berteman baik. Iya, kan?” tanya David pada Shayna. “I – Iya, betul,” jawab Shayna dengan gelagapan. “Mas ini kan kakaknya Mbak Kayshila, kan? Lalu gimana dengan Mbak Kayshila, Mas Dave?” “Iya, apa Mbak Kay gak patah hati Chef Ghali mau nikah?” David tak memedulikan pertanyaan para wartawan. Ia malah izin pamit. “Nah, teman-teman wartawan, sepertinya sudah mau maghrib. Tolong ya, cukup sudah informasi yang diberikan Shayna. Saya harap teman—teman bisa menghormati dan menghargai privacy Shayna. Terima kasih.” Usai mengucapkan itu semua, David dan Shayna masuk ke dalam galeri meninggalkan para wartawan yang masih berada di teras depan galeri. === Jarum jam sedang menunjukkan pukul setengah delapan malam. Salma baru saja melaksanakan shalat isya di ruangannya. Setelah merapikan kembali mukena dan penampilannya, Salma turun ke lantai satu untuk memeriksa kondisi cafenya. Saat musim hujan sudah tiba begini, cafenya saat malam hari memang tidak akan terlalu ramai. Salma yang memerhatikan lantai satu cafe mengamati hanya lima meja terisi oleh tamu. Meski begitu, Salma tetap merasa bersyukur. Ia bersyukur lima meja masih terisi, daripada kosong sama sekali? Mama dan papanya selalu mengajarkan dirinya untuk selalu bersyukur atas setiap nikmat Allah yang diberikan. Mau dalam jumlah sedikit atau banyak, nikmat yang Allah beri harus tetap disyukuri agar semakin berkah dan mengundang ridha dari-Nya. Saat Salma hendak melangkah menuju pantry, pintu cafe dibuka oleh seseorang yang sudah sangat Salma kenal. “Kay?” “Halo, Salma,” ucap Kayshila sambil menyunggingkan senyum dan melambaikan tangan ke arah Salma. === Dua perempuan itu kini tengah duduk di meja cafe yang dekat dengan kaca sehingga mereka bisa mengamati air hujan yang semakin deras mengguyur bumi malam ini. Salma menyajikan dua cangkir s**u jahe hangat dan juga roti bakar keju. Cafenya juga menyajikan menu seperti menu kaki lima. “Apa kabar, Kay? Kok kelihatannya lesu banget? Jadwal syuting lagi padat, ya? Atau lagi sepi pesanan endorse?” tebak Salma lalu menyeruput s**u jahe di cangkirnya. Mereka memang sudah berteman dan memutuskan untuk memanggil dengan nama saja. Kay yang sedang memandang hujan melalui kaca sebelah kanannya menoleh ke arah Salma. Tangannya terulur mengambil ponsel lalu ia mengambil foto hujan dari jendela cafe. setelah itu ia mengambil gambar secangkir s**u jahe dan roti bakar di depannya. Usai mengambil gambar yang menurutnya bagus dan artistik, ia menguploadnya di i********:. Kay lalu menatap Salma lalu mendesah pelan. Meski sudah coba untuk mengikhlaskan Ghali yang akan menikah, tetap saja hati Kay masih berdenyut perih ketika mengingatnya. Ia mengaduk sebentar s**u jahe dengan sendok kecil di piring kecilnya. Lalu kemudian menyeruputnya sedikit. Salma merasa ada yang aneh dengan Kay yang ada di depannya, seperti bukan Kayshila saja. “Kabar gue buruk. Gue lagi patah hati, Salma.” Salma yang sedang mengunyah roti bakarnya sontak saja terkejut. Apa mungkin, karena Ghali juga? Batin Salma. Ya, Salma sebagai perempuan normal bisa melihat ada pancaran tak biasa dari tatapan Kay pada Ghali. Salma hanya menduga saja berdasarkan pengamatannya dan ternyata sepertinya dugaannya benar. “Ya, biasalah patah hati itu, Kay. Emang lo patah hati sama siapa?” Kayshila mendengus pelan. “Menurut lo, siapa yang bikin gue patah hati? Coba tebak?” tanya Kay. Salma terkekeh geli. Dalam kondisi seperti ini, perempuan itu masih bisa bermain tebak-tebakan dengannya. “Siapa dong? Mana gue tahu,” jawab Salma sambil mengedikkan bahunya acuh. “Ah, lo pasti tahulah. Sama siapa lagi kalau bukan sama Aa’ Ghali.” Salma hanya tersenyum tipis lalu kembali menyeruput s**u jahenya. Ah, dugaannya tepat. Belakangan ini memang kabar tentang pernikahan Ghali menjadi headline di beberapa portal berita internet juga di infotainment. Dari yang Salma baca, Ghali tertangkap kamera sedang fitting baju dengan calon istrinya di sebuah butik ternama di Bandung. Ternyata, calon istri Ghali adalah perempuan cantik dan shalihah pemilik galeri rajut yang waktu itu ditolong oleh Salma. Ah, mengapa dunia ini begitu sempit? “Kok lo diam aja, sih? Gak mau hibur gue gitu?” tanya Kay sambil mengerucutkan bibirnya. “Lo aneh-aneh aja, Kay. Emang gue harus ngapain buat hibur lo? Joget-joget gitu?” “Ah! Boleh tuh! Ide yang bagus! Udah lama gue gak nyanyi sambil joget-joget. Gimana kalau kita karaoke-an, yuk?” ajak Kay dengan mata berbinar. Salma tertawa. Ia tak menyangka ide yang asal ceplos dari bibirnya itu disambut baik oleh Kay. “Jangan ah, mending lo liburan aja ke mana kek gitu. Biar sekalian refreshing. Ah, ya, gue ada ide bagus!” Tetiba aja sebuah ide melintas di kepala Salma. “Apaan tuh?” tanya Kay penasaran. Salma mengisyaratkan dengan jarinya agar Kay mendekat. Setelah jarak keduanya dekat, Salma membisikkan sesuatu di telinga Kay yang membuat perempuan itu tersenyum. === “Ahhh ... segarnya!” ucap Kayshila sambil merentangkan kedua tangannya dan menghirup udara pagi khas vila sambil memejamkan mata. Sudah lama ia tak berlibur ke daerah pedesaan seperti ini. Kabut belum hilang sepenuhnya, tapi berkas-berkas sinar matahari sedikit demi sedikit mulai menyibaknya. “Gimana? Suka?” tanya Salma yang sudah berdiri di samping Kayshila. Kay menganggukkan kepalanya semangat. “Suka banget! Kenapa lo gak bilang kalau tinggal di tempat sebagus ini?” “Ya, ngapain. Gak penting juga kok menurut gue. Lagian ini punya mama papa gue, bukan punya gue,” jawab Salma datar. Salma memang mengajak Kayshila untuk menginap di vilanya agar perempuan itu bisa sedikit melupakan patah hati dan kesedihannya sekaligus refreshing. Kedua orang tuanya pun tak keberatan jika Kay menginap. Adam dan Hana menyambutnya dengan tangan terbuka sebagai teman putrinya. Keduanya masih berdiri di balkon kamar Salma, menikmati keindahan alam di pagi hari usai shalat subuh. Sesuatu yang jarang sekali Kayshila dapatkan. Tak lupa ia mengabadikan pemandangan yang indah dengan kamera ponselnya lalu menguploadnya di i********:. Salma hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Kay yang tidak bisa jauh dari ponsel dan medsos. Dasar selebgram! “Mending lo mandi deh, Kay. Biar kita sepedaan keliling kebun terus nanti gue kenalin sama pacar gue,” perintah Salma. “Ah, ogah! Masih dingin, Sal! Nanti aja pulang sepedaan baru gue mandi, deh. Emang pacar lo siapa, sih?” “Lo bisa pakai air hangat kali mandinya. Ada water heater kan di kamar mandi. Pacar gue? Ada deh. Pokoknya lo siap-siap aja ya.” Kayshila mengerucut sebal. Sebenarnya ia paling malas untuk mandi pagi. Tapi, demi menghormati Salma sebagai tuan rumah, apa boleh buat, ia akan mandi sepagi ini. Hanya untuk kali ini saja. Setelah keduanya rapi dan sarapan bersama, Salma mengajak Kayshila untuk berkeliling perkebunan menggunakan sepeda. Sudah lama juga ia tak berolahraga menggowes sepeda miliknya di vila. Sesekali mereka menyapa para petani ketika berpapasan di jalan. Hingga Salma mengajak Kayshila untuk bertemu dengan pacarnya. Memang jarak yang ditempuh lumayan jauh, tapi tak apalah. Menggowes sedikit lebih jauh baik untuk kesehatan, bukan? “Gila lo, Sal! Ngajakin gue ke sini gowes sepeda. Buset, betis gue bisa bengkak dan gak seksi lagi kalo begini,” keluh Kay usai memarkirkan sepedanya di parkiran peternakan kuda. Kay duduk di kursi panjang yang ada di parkiran sambil menselonjorkan kakinya dan mengatur napasnya. Sesekali ia mengipas-ngipas dengan telapak tangannya untuk menghalau cuaca yang mulai terik. “Ah, lebay lo! Jangan manja, ah! Ayo cepet kita masuk!” ucap Salma sambil menarik lengan Kay. Kay sangat penasaran sebenarnya siapa pacar Salma. Setelah menemui Pak Ari, Salma mengajak Kay ke kandang tempat Armando berada. “Nah, kenalin nih, pacar gue. Namanya Armando.” Mata Kayshila membelalak tak percaya. Ia menatap Salma dan kuda jantan itu bergantian. “Jadi yang lo maksud pacar lo itu, dia?” tanya Kay. Salma hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Ia mengusap-usap wajah kudanya dengan sayang. “Fiks, lo stress, Sal! Lebih stress daripada gue!” ejek Kayshila. Salma tertawa terbahak mendengar ejekan Kay yang ditujukan padanya. “Biarin aja. Yang penting pacaran sama dia ini gak pernah bikin gue sakit  hati atau patah hati, Kay,” ejek balik Salma pada Kay sambil memeletkan lidahnya. === David sedang meneliti laporan hotel yang dikelolanya dengan teliti. Jika sedang bekerja seperti itu, entah mengapa ada aura lain yang menguar dari dirinya yang membuat siapa saja yang melihatnya merasa takjub sekaligus segan. David seperti tak tersentuh. Yusuf sedang berada di ruangan David menunggu  koreksi dari laporan yang diberikannya. “Bagaimana, Pak?” tanya Yusuf dengan sopan. “Hmm, bagus. Semua sudah saya periksa.” “Alhamdulillah kalau begitu, Pak.” Yusuf menerima berkas laporan yang disodorkan oleh David. “Oh ya, bagaimana persiapan pesta ulang tahun Kay?” tanya David serius. “Alhamdulillah semuanya sudah siap, Pak. Kemarin saya baru rapat dengan tim EO yang akan menangani acara ultahnya adik bapak. Semua sudah disiapkan dengan baik. Pengisi acara, dekorasi, undangan dan juga tema acara semuanya sudah ditangani oleh tim EO, Pak.” “Oh begitu. Lalu apa kamu sudah tanya Kayshila apa dia cocok?” “Tentu, Pak. Saya kemarin rapat bersama Bu Kayshila. Beliau yang mengutarakan konsep acara yang diinginkan pada tim EO. Lalu Bu Kayshila juga menginginkan ballroom yang agak luas untuk pestanya nanti.” “Oh, baguslah kalau begitu. Tolong semuanya dipersiapkan dengan baik, jangan sampai ada yang kurang. Kalau ada sesuatu kamu bisa hubungi saya.” “Baik, Pak.” “Ya sudah, kamu boleh kembali kerja.” “Baik terima kasih, Pak.” Selepas kepergian Yusuf, David memutar kursi kerjanya hingga menghadap jendela di belakangnya. “Akhirnya waktu itu akan tiba. Lihat aja, Ghal. Sejauh mana lo mampu bertahan,” ucap David lalu menampilkan evil’s smirk-nya.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN