Bismillahirrahmanirrahiim
Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad
===
Ghali baru saja ke luar dari dapur. Ia masih menggunakan pakaian santai kaos oblong dan celana pendek rumahan. Ia berpapasan dengan Fiyya yang ke luar dari kamar. Fiyya masih menggunakan piyama tidur bermaksud hendak ke dapur. Adik kembarnya yang satu ini memang agak lebih pendiam daripada Zia yang cenderung ceria, cerewet dan supel. Kalau saja wajah mereka tidak mirip, mungkin tak ada yang percaya jika keduanya adik kakak, bahkan kembar identik. Mereka kembar tapi beda karakter. Sudah lama sekali sejak Ghali sibuk dengan pekerjaannya ditambah menjadi chef seleb, ia tak mengobrol berdua dengan adiknya.
Ghali langsung menjahili sang adik dan merangkul lehernya hingga Fiyya memekik.
“Aa’! Lepasin ih! Sakit tahu!” pekik Fiyya dengan kesal.
“Aa’ kangen banget sama kamu, Fi. Kamu sibuk banget ya di rumah sakit?” Ghali mencium rambut Fiyya yang tak tertutup jilbab dengan gemas.
Fiyya dengan sekuat tenaga berhasil menepis lengan Ghali yang merangkul lehernya tadi. Ia berjalan ke arah dispenser, bermaksud untuk mengambil minum.
“Ada juga Aa’ tuh yang sibuk semenjak jadi sering wara-wiri di TV,” ucap Fiyya sambil mengisi gelasnya dengan campuran air dingin dan panas. Setelah itu ia duduk di kursi makan. Ghali pun mengekori sang adik sambil terkekeh.
“Hehe, iya deh, maafin, ya. Eh, mumpun sekarang lagi libur kita jalan, yuk! Udah lama kita gak jalan bareng lho. Kamu libur? Jangan bilang minggu begini kamu juga harus jaga di rumah sakit.”
Fiyya berpikir sejenak. Dirinya memang libur dan tidak ada kegiatan apa pun hari ini. Tadinya ia hanya ingin bermalas-malasan di rumah menikmati waktu liburnya. Tapi, ketika Ghali mengajaknya jalan, Fiyya tergiur. Sudah lama mereka tak menghabiskan waktu bersama dan Ghali yang sebentar lagi akan menikah. Fiyya rasa ia harus memanfaatkan waktu bersama kakak lelaki satu-satunya sebelum menikah dan tidak bisa punya waktu yang bebas dengannya.
“Heh? Kok malah bengong! Ayo, mau gak? Nanti kalau Aa’ udah nikah dan tambah sibuk, kita bakalan jarang bisa jalan bareng lho.” Fiyya mencibir pada Ghali yang over percaya diri. Ternyata Ghali pun berpikiran yang sama dengan Fiyya.
“Emang Aa’ mau ajak aku jalan ke mana?”
“Ke mana aja deh.”
“Oke deh, Aa’. Aku mau, tungguin ya. Aku mandi sama dandan dulu.”
Ghali sangat senang adiknya mau diajak jalan olehnya. “Oke deh, tapi gak pakai lama ya, Fi.”
“Oh ya, Zia ke mana? Dia ikut juga nggak?”
“Dia gak ikut. Tadi udah Aa’ ajakin. Katanya dia mau urus pesanan bunga untuk dekor nikahan orang hari ini.”
“Oke.”
===
Ghali dan Fiyya berjalan-jalan keliling menggunakan motor Ghali. Mereka hanya berkeliling Bandung sambil makan di pinggiran kaki lima. Tadinya Ghali mengajak Fiyya untuk makan saja di restonya atau di resto lain yang memiliki private room, tapi adiknya itu menolak. Ia lebih ingin menikmati suasana kaki lima khas Bandung. Ghali pun terpaksa mengikuti keinginan Fiyya meski dengan berat hati.
“Tenang aja, Aa’. Makanannya enak dan tempatnya bersih kok.” Fiyya mengira Ghali masih dengan gayanya yang sok steril dan punya standar khusus untuk makanannya sendiri. Padahal, ia sudah tidak begitu sejak dimarahi oleh ibunya, Lisa. Justru yang ia takutkan adalah hal yang lain.
“Ih, bukan soal itu, Fi. Tapi, ekhem, gini. Aa’ takut nanti ada yang ngenalin Aa’, malah jadi gak konsen makannya, gitu.”
Fiyya menepuk dahinya. Ia lupa jika sekarang ia tengah berduaan bersama dengan chef seleb yang sedang digandrungi kaum hawa.
“Yah, maaf aku lupa, Aa’. Tapi, gimana dong? Aku udah laper banget dan pengen makan mie ayam di sana.”
“Ya udah deh, gak apa-apa. Nanti Aa’ pake kacamata sama masker aja. Biar gak ada yang ganggu kita.”
“Ih jangan gitu, Aa’.” Fiyya tidak setuju dengan ide Ghali.
“Emang kenapa?”
“Kesannya nanti jadi sombong. Udah biasa aja atuh. Kalau ada yang minta foto yaudah foto aja, minta kenalan ya kenalan aja. Risiko Aa’ itu mah.”
“Huh, yaudahlah.”
Kini keduanya tengah menikmati mie ayam langganan Fiyya yang terkenal enak. Fiyya dengan semangat melahapnya karena memang sudah lama sekali ia tidak ke sini. Kesibukannya sebagai dokter telah menyita waktunya. Fiyya menuang banyak sambal ke dalam mangkuknya. Tak lupa ia juga membuka keripik pangsit yang sudah tersedia di meja makan.
“Fi, jangan banyak-banyak sambalnya nanti sakit perut.” Ghali menggelengkan kepalanya melihat mangkuk adiknya yang penuh dengan sambal.
“Ah, gak apa-apa, A’. Gak nikmat kalo gak pedes.” Fiyya tak memedulikan nasihat Ghali dan kembali menyantap mie ayamnya.
“Yaudah deh, terserah kamu. Ntar kamu sakit kamu juga kan yang bisa ngobatin sendiri.” Ghali pun melahap mie ayamnya. Pilihan Fiyya tak salah. Ghali akui memang mie ayam ini benar-benar enak. Ghali jadi berpikir apa ia harus memasukkan menu mie ayam ke dalam restonya ya nanti? Ah, biarkanlah nanti ia pikirkan bersama dengan Mario dan Giandra.
Ghali dan Fiyya menghabiskan dua mangkuk mie ayam. Entah karena lapar atau karena mereka suka. Benar seperti dugaan Ghali, ada beberapa ibu-ibu dan remaja yang minta foto dan berkenalan dengannya. Fiyya hanya bisa menertawakan ketika kakaknya pasrah menjadi bahan rebutan kaum hawa. Untung saja mereka masih sopan dan tidak berlaku bar-bar sehingga Ghali masih bisa dengan tenang melayaninya.
Setelah kenyang mengisi perut mereka, Ghali mengajak Fiyya keliling daerah Dago membeli beberapa baju di outlet dan distro, lalu mampir sebentar mengecek restonya. Setelah puas, Ghali dan Fiyya memutuskan untuk pulang ke rumah.
Saat dalam perjalanan pulang, Fiyya melihat ada penjual siomay. Fiyya meminta Ghali untuk menghentikan motornya. Keduanya makan siomay lagi di pinggir jalan. Untung saja ada bangku tembok panjang sehingga mereka bisa makan sambil duduk.
“Aa’, apa yang buat Aa’ gak mau nungguin gadis itu?” tanya Fiyya.
Ghali yang sedang asyik mengunyah siomaynya tertegun sejenak. Masalah tentang gadis yang ditunggunya memang hanya Fiyya yang tahu, sebelum ayahnya tahu. Ghali memang sering bercerita pada Fiyya karena ia yakin adiknya yang pendiam itu tak akan membocorkan rahasianya pada siapa pun. Beda dengan Zia yang ember, terutama pada ayah dan ibunya juga aki dan eninnya.
Ghali dengan cepat menghabiskan siomaynya lalu memberikan piring kotor pada abang penjualnya.
“Iya. Aa’ udah pikirin matang-matang. Aa’ juga udah istikharah dan minta saran dari ayah.”
“Alhamdulillah kalau begitu, aku senang dengarnya. Semoga Aa’ bahagia sama Teh Shayna, ya.”
“Aamiin.”
Saat mereka hendak pulang, terdengar suara orang ribut dari arah beberapa meter. Seperti suara orang yang sedang berkelahi dalam jumlah banyak. Ghali dan Fiyya pun saling bertatapan melempar tanda tanya melalui pandangan.
“Aya naon tah, Mang?” (Ada apa tuh, Bang?)
“Duh, aya nu tawuran deui eta mah. Pan barudak di dieu teh ayeuna meni resep tawuran, A’.” (Duh ada tawuran lagi itu. Anak-anak di sini sekarang suka pada tawuran, A’).
Penjual siomay itu bergidik ngeri lalu mendorong gerobaknya menjauh agar tidak kena sasaran pelajar yang sedang tawuran.
“Hmm, persis sama Aa’,” ucap Fiyya sambil memicingkan matanya menatap Ghali.
“Ck, dulu Cuma sekali, Fi. Khilaf, abis itu kan tobat, nggak lagi.”
“Ayo kita pergi, A’. Nanti kita ikutan kena lagi. Mana Cuma pakai motor,” ucap Fiyya mengajak Ghali agar cepat meninggalkan tempat itu.
Keduanya telah bersiap menaiki motor Ghali. Namun, netra Ghali menangkap sesosok perempuan yang sangat dikenalnya sedang berada di dekat kerumunan para pemuda yang sedang tawuran itu. Ghali memicingkan matanya untuk menajamkan penglihatannya.
Salma.
Ghali pun kembali menyimpan helm dan turun dari motornya. Fiyya terperangah melihat kakaknya.
“Aa’! Aa’ mau ke mana?” teriak Fiyya.
“Kamu jalan duluan Fi. Cari tempat yang aman, nanti Aa’ telepon kamu. Aa’ mau nolongin teman Aa’ dulu.”
Fiyya yang kesal jadi memutuskan untuk mengendarai motor Ghali dan menyimpannya ke tempat yang aman agar tidak menjadi sasaran amuk pemuda yang sedang tawuran.
Ghali bergidik ngeri ketika melewati kerumunan para pemuda yang sedang terbakar emosi itu. Semuanya tersulut api emosi. Banyak dari mereka yang membawa senjata tajam untuk melukai musuhnya. Ghali masih heran di zaman modern begini masih saja ada yang tawuran. Mengapa mereka tidak memilih duel lewat medsos saja? Menurut Ghali itu lebih aman. Atau ini adalah puncak kekesalan mereka setelah duel di medsos? Ah, entahlah! Ghali tak mau ambil pusing. Yang penting ia harus menyelamatkan Salma sekarang.
===
Salma baru saja membeli batagor pesanan Naufal. Saat mengendarai motornya dengan kecepatan sedang, tiba-tiba dari arah berlawanan datang segerombolan pemuda yang berlari sambil mengacungkan senjata tajam. Salma jadi takut dan memutuskan untuk meminggirkan motornya dan bersembunyi untuk menyelamatkan dirinya. Naas, dirinya terkena lemparan batu yang cukup besar pada bagian pundak kanan dan kaki kirinya. Motornya sempat oleng dan hampir jatuh.
“Aw!” pekik Salma. Meski merasakan nyeri, ia tetap menguatkan dirinya untuk memapah motornya dan akhirnya ia berhasil mengamankan diri dan motornya.
Ternyata dari arah belakangnya pun ada segerombolan pemuda yang menjadi lawan tawurannya. Salma mengambil ponselnya bermaksud untuk menghubungi Naufal agar kakaknya itu bisa menjemputnya. Namun, malang nasib Salma. Ponselnya mati karena lowbat. Salma mendesah kecewa. Ini akibat dirinya yang lupa men-charge baterai ponselnya di cafe sebelum pulang. Mana papa dan mamanya sedang ada urusan di Jakarta dan tidak ada di vila.
Salma hanya bisa berdoa dalam hati agar Allah memberinya jalan atau pertolongan agar ia bisa ke luar dari situasi mencekam ini. Salma bersembunyi di samping motornya sambil sesekali mengintip apakah tawuran itu sudah selesai atau belum. Nyatanya, situasi semakin memanas. Salma jadi semakin khawatir. Ia memejamkan mata sambil berdoa pada Allah.
“Salma!”
Salma yang masih memejamkan mata bingung ketika telinganya mendengar seseorang memanggil namanya. Mungkinkah ia berhalusinasi?
“Salma!”
Suara itu kembali terulang. Ia membuka matanya dan kaget ketika melihat siapa yang memanggilnya.
“Ghali!” Salma mengerjapkan matanya tak percaya. Mengapa lelaki ini bisa ada di hadapannya? Apakah ini jawaban Allah atas doanya tadi?
“Ayo cepet, kamu ikut saya sekarang!” ajak Ghali.
“Gak mau, Ghal! Itu mereka lagi berantem gitu. Nanti yang ada malah kita yang luka. Udah tunggu di sini aja sampai mereka beres. Gak mungkin juga mereka kayak gitu terus-terusan, kan?”
“Kamu mau sampai kapan di sini? Nih lihat, saya gak apa-apa tadi nerobos mereka. Ayo, bismillah aja.”
“Gak deh, Ghal. Motor saya ini gimana? Masa mau ditinggal? Saya lebih baik balik ke cafe aja kalau begini.”
“Kamu lebih sayang motor kamu dibanding nyawa kamu sendiri, Sal?”
“Tapi, Ghal ini motor kesayangan saya!” Salma tetap bersikeras pada pendiriannya. Sebenarnya bukan itu yang menjadi alasan utama, kaki Salma yang terkena lemparan batu masih terasa nyeri jika dipakai untuk berjalan. Namun, ia enggan mengatakannya pada Ghali.
Ghali hanya bisa mendengus kesal melihat Salma yang keras kepala. Akhirnya Ghali menemani Salma bersembunyi sampai tawuran warga reda. Sebelumnya, Ghali sudah menghubungi Fiyya dan ia sudah mengetahui keberadaan Fiyya dengan motornya. Ia meminta sang adik menunggunya di tempat yang aman itu.
===
Shayna kini sendiri di galerinya. Semua pegawainya sudah pulang, hari juga sudah larut. Tapi Shayna masih betah mengerjakan laporan bulanan galerinya. Sebenarnya bisa saja ia mengerjakannya di rumah atau besoknya. Tapi, Shayna tipe yang disiplin dalam berkerja. Ia tidak mau menunda pekerjaan selama masih bisa dikerjakan saat itu juga. Tak lama ponselnya bergetar menandakan ada panggilan masuk.
Shayna melihat nama ‘David’ tertera di layar ponselnya. Dahinya mengernyit. David mau apa telepon malam-malam begini? Batinnya.
“Assalamu’alaikum, Halo?” Shayna menjawab panggilan dari David.
“Wa’alaikumussalam. Shayna bisa kita ketemu sebentar. Saya ada perlu sama kamu. Saya lagi di depan galeri kamu. Kamu di mana?”
“Oh, eh, iya, Kak. Shayna juga lagi di galeri. Sebentar, Shayna ke depan. Tutup ya teleponnya.”
“Oke.”
Tak lama, Shayna menemui David di teras depan galerinya. Lelaki itu masih menggunakan pakaian kerjanya.
“Ada apa, Kak?” tanya Shayna.
“Saya hanya mau antar ini,” ucap David sambil menyerahkan sebuah undangan.
“Undangan siapa, Kak?”
“Undangan adik saya, Kayshilla. Minggu depan dia ulang tahun. Saya harap kamu mau datang ya, Shayna.”
“Oh, iya. Insya Allah, Kak. Terima kasih udah undang Shayna.”
“Kamu belum pulang?”
“Ah, nggak. Shayna malam ini mau nginap di sini, Kak. Ada lemburan.”
“Kenapa gak kerjain di rumah. Bahaya kan kalau kamu di sini sendirian. Lagian ini kan usaha kamu sendiri.”
“Gak usah khawatir, Kak. Insya Allah Shayna baik-baik aja, kok. Udah biasa begini. Ini bukan yang pertama kali. Hmm, ada lagi yang mau Kak Dave sampaikan ke Shayna? Kalau nggak, Shayna mau masuk lagi ke dalam.”
“Oh ya, silakan. Maaf mengganggu kamu.”
Shayna kembali masuk dan mengunci pintu galerinya. David menghela napasnya. Entah kenapa kakinya terasa berat meninggalkan galeri itu ketika mengetahui Shayna berada seorang diri. Nalurinya mengatakan untuk menemaninya dan melindungi gadis itu. Tapi, apa Shayna mau dan bersedia dilindungi olehnya.
Dengan berat David melangkahkan kakinya menuju mobil yang terparkir. Sesudah duduk di bangku kemudi, ia tak lantas menjalankan mobilnya. Ia malah termenung sambil menatap bangunan galeri Shayna.