8. Seragam Kenangan

1549 Kata
Bismillahirrahmanirrahiim Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad === Revan masih saja merasa gusar meski Nita sudah menenangkan dan meyakinkannya jika Shayna akan baik-baik saja meski jauh dari pengawasannya. Tapi, Revan sebagai seorang ayah tetap merasa memikul tanggungjawab yang berat akan kedua putri yang diamanahkan oleh Allah padanya. Sebelum kedua putrinya menikah, tanggungjawab mereka masih berada di pundaknya. Jika kedua putrinya melakukan perbuatan dosa, ia juga tentu akan memikulnya sebagai wali mereka. Termasuk jika ia menikahkan putrinya dengan lelaki yang salah, maka sebagai seorang wali ia pun akan berdosa. Dalam surat Al Baqarah ayat 221 yang artinya: “Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik dengan perempuan yang beriman sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran. “...Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik dengan perempuan yang beriman sebelum mereka beriman.” Menurut para ulama tafsir, kamu dalam ayat ini merujuk pada wali sang anak perempuan, yang berarti adalah sang ayah. Revan jadi teringat kisah Umar bin Khattab, sang khalifah yang juga bisa dijadikan contoh sebagai ayah teladan. Beliau memilihkan jodoh yang shalih dan shalihah bagi putra dan putrinya. Pertama, Umar menawarkan putrinya Hafshah yang telah ditinggal mati syahid oleh suaminya di medan Uhud, pada sahabat-sahabatnya. Umar berharap putrinya bisa berjodoh dengan salah satu sahabatnya yang shalih dan berakhlak baik. Mungkin bagi sebagian orang yang belum paham, hal itu akan menimbulkan citra negatif. Seorang ayah yang menawarkan putrinya untuk dinikahi. Namun, dalam Islam hal itu bukanlah hal yang tercela. Justru, salah satu tugas atau kewajiban seorang ayah pada putrinya adalah memilihkan jodoh yang shalih.  Umar sebagai ayah kandung dan wali bertannggungjawab penuh memilihkan pendamping yang baik agama dan akhlaknya untuk sang putri. Hingga akhirnya Hafshah berjodoh dengan lelaki terbaik yaitu Nabi Muhammad SAW. Ayah mana yang tak gembira jika putrinya bisa bersanding dengan lelaki sekelas Nabi Muhammad SAW? Maka, Revan juga bisa ingin mencontoh Umar, menikahkan putrinya dengan lelaki shalih. Kedua, Umar menikahkan putranya yang bernama Ashim dengan gadis penjual s**u yang akhlaknya baik karena enggan mencampur s**u yang dijualnya dengan air. Meski anak lelaki tidak terpaku pada wali seperti anak perempuan, Umar tetap ingin putra mendapatkan pendamping yang baik akhlak dan agamanya. Umar yang kagum dengan akhlak sang gadis. Beliau berharap kepada Allah semoga mengeluarkan seseorang dari keturunannya yang dengannya Allah mempersatukan kaum muslimin. Kewajiban seorang ayah terhadap anak-anak mereka bahkan sebelum mereka lahir adalah memilih perempuan yang shalih sebagai calon ibunya, pun sebaliknya. Jadi, sangat penting dalam memilih seseorang yang akan menjadi pendamping hidup. Ashim menikah dengan gadis penjual s**u lalu dikaruniai anak perempuan bernama Laila. Kemudian saat dewasa, Laila menikah dengan Abdul Aziz bin Marwan dan mereka dikaruniai anak lelaki yang menjadi seorang khalifah besar, Umar bin Abdul Aziz. Terbukti, doa dan harapan dikabulkan oleh Allah. Begitulah seharusnya peran seorang ayah pada putra putrinya. “Lagian, ada keluarganya Ghali di sini. Kita bisa titip Shayna ke mereka, kan? Shayna bisa jadi teman si kembar Zia dan Fiyya juga,” tambah Nita. Seketika Revan jadi teringat dengan Ghali Arkana Fawwaz.  Istrinya benar. Mereka bisa saja menitipkan Shayna pada keluarga Faraz. Tetapi, mereka tidak mempunyai hubungan kekeluargaan yang terikat darah. Revan khawatir malah akan menimbulkan fitnah. Apa perlu aku menikahkan Shayna dengan Ghali? Batinnya bermonolog. Jika ia menikahkan Shayna dengan Ghali, ia bisa dengan tenang meninggalkan Shayna karena menurutnya Shayna sudah berada di tangan yang tepat dan dengan cara yang tepat pula. Revan tak ragu dengan akhlak Ghali karena Ghali adalah anak lelaki yang dididik oleh Faraz dan Abah Ramli yang sudah Revan kenal dengan baik, termasuk juga dengan keshalihannya. “Abi, Bunda, yuk masuk! Sebentar lagi maghrib,” ajak Shayna yang mendekati mereka. Revan dan Nita menengok ke arah Shayna yang berdiri di pintu teras. “Shay, duduk sini sebelah abi,” pinta Revan sambil menepuk bangku sebelah kirinya yang kosong. Shayna menuruti perintah abinya. Kini, Revan diapit oleh Nita dan Shayna. “Kalau kamu abi nikahin sama Ghali anaknya Om Faraz, kamu mau?” tanya Revan tiba-tiba. “Apa, Bi?” Nita dan Shayna saling bertatapan karena terkejut dengan pertanyaan Revan. Nita memang ingin sekali Shayna bisa berjodoh dengan Ghali, tapi ia tak menyangka sang suami akan secepat ini memberi pertanyaan pada putrinya. “Abi, mending kita masuk dulu, yuk. Sepertinya mau hujan besar ini. sebentar lagi juga masuk waktu maghrib, kita maghriban dulu,” ajak Nita untuk mengalihkan. === Revan baru saja mengimami tiga bidadarinya shalat maghrib. Saat tadi hendak pergi ke mesjid untuk salat berjamaah, tiba-tiba hujan turun deras hingga akhirnya ia memilih untuk shalat berjamaah di rumah. Ketiga bidadarinya bergantian mencium tangannya dengan takzim usai berdoa bersama. Hingga Nita menanyakan maksud pertanyaan Revan tadi sebelum maghrib. “Bi, maksud abu tadi apa nanya gitu ke Shayna?” tanya Nita yang masih menggunakan mukena. Revan menghela napasnya. “Iya, abi Cuma khawatir ninggalin Shayna di sini sendirian meski gak selamanya. Terus pas bunda bilang Shayna kita titipin ke keluarganya Faraz, tiba-tiba abi tercetus ide untuk menikahkan Ghali sama Shayna biar gak timbul fitnah aja kalau Shayna kita titip ke mereka,” jelas Revan. Shayna tersenyum hingga menampilkan lesung di pipi kanannya. Jujur saja, jantungnya berdentum tak karuan, pipinya juga bersemu merah kala mendengar usul abinya untuk menikahkan dirinya dengan Ghali. Shayna memang terkesan dengan pertemuan pertamanya. Ghali pemuda yang tampan, cerdas, berasal dari keluarga yang terhormat dan yang paling penting adalah Ghali adalah pemuda yang shalih berdasarkan cerita bundanya. Ghali adalah lelaki yang diidamkan oleh perempuan untuk menjadi pasangan hidup, termasuk dirinya sendiri. Shayna tak menampik, jika perempuan biasa seperti dirinya juga ingin bisa bersanding dengan Ghali. Ia ingin memiliki pendamping yang bisa membimbingnya dunia akhirat. Tapi, ia tak berani apalagi mereka baru pertama kali bertemu. Shayna juga tak yakin jika Ghali menginginkan bersanding dengannya. Pasti banyak juga perempuan yang mengidam-idamkan Ghali menjadi pendampingnya, pikir Shayna. Ia merasa terlalu cepat jika dirinya menikah dengan Ghali sekarang. “Abi, insya Allah Shayna bisa jaga diri kok. Abi dan bunda tenang aja.” Shayna coba mengalihkan perhatian Revan. “Memang kamu gak mau nikah sama Ghali?” tanya Nita penasaran. Blush! Kedua pipi Shayna makin bersemu merah dan ia hanya bisa menunduk, tak berani menatap abi dan bundanya. Nita yang paham akan perasaan putrinya hanya bisa tersenyum. Ia paham watak sang putri yang malu-malu mau. “Kenapa kamu diam, Shay?” “Duh, Bi. Mbak Shayna itu diam ya kayak anak perawan ditanya mau nikah atau nggak. Kalau diam itu berarti iya, Bi,” jawab Vania sambil tersenyum menggoda kakak perempuannya. === Ghali terengah mengatur nafasnya sambil bersembunyi di balik semak-semak. Ia sesekali mengintip dari celah-celah semak, berharap dirinya tidak diketahui musuh. Saat beberapa orang yang ditakutinya melintas, ia kembali merunduk agar tidak ketahuan. Setelah, suara dan langkah kakinya menjauh, Ghali baru bisa bernapas lega. Ghali berani menyembulkan kepalanya ke luar dari semak-semak. “Hei, kamu ngapain?!” tanya seorang anak perempuan yang Ghali tak sadari keberadaannya. Astaghfirullahal’adzim ... Ghali terbangun dari tidur malamnya. Ia terduduk, lalu menguap. “Huh, mimpi itu lagi?” gumamnya. Ghali melirik jam yang tergantung di dinding kamarnya menunjukkan pukul setengah empat pagi. “Eh, gue kesiangan bangun nih.” Ghali memang biasa bangun untuk qiyamul lail pukul setengah tiga pagi. Jadi, wajar saja jika ia berkata dirinya kesiangan. Ghali dengna piyama tidurnya berjalan cepat menuju kamar mandi untuk berwudhu dan bersiap melaksanakan qiyamul lail sebelum pergi shalat subuh berjamaah bersama aki dan ayahnya. === Ghali baru saja kembali dari mesjid bersama aki dan ayahnya lalu langsung disapa oleh sang ibu. Ghali duduk di kursi makan lalu menuang air dalam gelas. Usai mengucap basmalah, ia menenggaknya perlahan. “Eh, awas! Jangan tidur lagi, Aa’.” “Iya, Bu. Mau ganti baju koko dulu sebentar, terus mau sepedaan sama ayah, mau ke vilanya Om Revan, Bu.” Lisa yang sedang membereskan meja makan langsung menatap Ghali dengan penuh maksud. “Hmm, modus kamu. Bilang aja mau ketemu Shayna, kan?” ucap Lisa sambil menaikturunkan alisnya menggoda sang anak bujang. “Ah, ibu mah apaan, sih!” Ghali salah tingkah digoda oleh Lisa. Ghali malah menengguk habis air minumnya agar  tak terlalu kelihatan gugup oleh ibunya. “Ah, ulah sok pura-pura kitu. I know you so well, Boy.” (Ah, jangan suka pura-pura gitu. Ibu kenal kamu, Boy.) “Kamu juga kesemsem (suka) sama Shayna, kan?” “Ya, siapa yang gak suka sih, Bu? Cowok normal kalo ditanya gitu juga pasti bilang suka. Shayna cantik, baik dan kelihatannya shalihah juga.” “Ekhemm ... tuh kan ... tuh kan. Kamu mau gak ibu jodohin sama Shayna? Mau ya? Kamu itu udah pantes nikah, Ghal.” “Ngomongin apa sih?” tanya Faraz yang ikut bergabung. “Ini si Ghali suka sama Shayna, Yah. Terus ibu tawarin aja mau gak dijodohin sama Shayna.” “Ih, kapan aku bilang kalau suka sama Shayna, Bu?” “Udah gak usah ngeles kamu!” “Beneran, Ghal? Kalau mau ya gak apa-apa. Nanti biar ayah lamarin Shayna buat kamu.” “Nanti Ghali istikharah dulu ya, Yah. Nanti Ghali kasih tahu ayah sama ibu lagi.” “Iya, kamu istikaharah. Minta petunjuk Allah ya, semoga kamu diberi yang terbaik.” “Aamiin.” “Ya udah kamu cepat sana ganti baju, keburu siang nanti.” Ghali beranjak meninggalkan kedua orang tuanya yang masih di meja makan. Ia segera masuk kamar dan membuka lemarinya. Ia mencari kaus santai yang biasa dipakainya untuk bersepeda. Saat ia menarik kausnya, tiba-tiba ada yang jatuh bersamaan dengan ia menarik kaus. Ghali tertegun melihat benda itu kembali. Ia berjongkok lalu memegang benda yang terjatuh itu. Sebuah seragam yang dulu menolongnya untuk kabur. Ghali hanya bisa tersenyum mengamati benda yang memiliki kenangan itu. “Apa ada hubungannya dengan mimpi gue akhir-akhir ini? Kamu siapa dan di mana?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN