Bismillahirrahmanirrahiim
Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad
===
Kayshila senang bukan kepalang ketika Ghali menyetujui untuk menjadi chef di acara TV milik temannya. Hari ini, Kayshila mengajak Ghali untuk berbicara mengenai program tersebut secara detail di cafe Milks Heaven bersama temannya yang menjadi penanggungjawab acara masak tersebut. Ghali mengajak Giandra yang sedang kebagian jatah libur menjaga resto, karena saat ini adalah gilirannya yang berjaga.
Awalnya Giandra menolak karena ia malas bertemu dengan manusia berjenis kelamin perempuan yang bernama Kayshila. Tapi, gara-gara diiming-imingi mendapat jatah libur milik Ghali, Giandra pun setuju. Kini mereka berdua sedang berada dalam perjalanan menuju cafe memakai mobil milik Ghali.
“Kenapa gak di resto kita aja sih, Ghal?” tanya Giandra malas yang duduk di samping kemudi sambil memainkan ponselnya.
“Kay-nya yang pengen, Gi. Gak apa-apa lah, sekali-kali di luar. Cari suasana baru. Katanya dia juga pengen lihat cafe itu karena dapat tawaran untuk endorse.”
“Hmm.” Giandra, lelaki berkulit sawo matang dan berkacamata itu hanya menganggukkan kepalanya malas tanpa menoleh pada Ghali.
“Duh, kalo gak lo iming-imingin jatah libur punya lo gue ogah deh. Ganggu waktu gue pacaran sama bantal guling aja.”
Ghali tersenyum tipis sambil menaikkan sebelah alisnya. Tangannya dengan lihai memutar kemudi. “Lagian lo berdua kenapa sih berantem terus tiap ketemu? Gak capek apa?”
“Gak tahu, ah! Males! Udah jangan bahas tuh cewek lagi.” Ghali menyimpan ponsel di pangkuannya dan mengambil botol berisi jus jeruk siap minum yang dibawanya dari rumah. Ia membuka dan menenggaknya untuk menghilangkan haus.
“Hmm, atau jangan-jangan lo suka lagi ya sama si Kay?” tebak Ghali asal.
“Uhuukk!” Giandra langsung tersedak dan air jus tumpah sebagian membasahi celana dan dashboard mobil Ghali. Ia buru-buru mengelap mulutnya dengan tisu yang ada di mobil.
“Weits, santai dong, Gi! Jangan pakai keselek segala,” ucap Ghali sambil menepuk-nepuk punggung Giandra dengan tangan kirinya.
Giiandra dengan kesalnya menepis tangan Ghali. “Lagian, lo apa-apaan tadi pakai ngomong gitu sama gue? Gue? Suka sama tuh cewek? Dih, ogah!” ucap Giandra sambil bergidik ngeri.
“Eh, jangan gitu lo. Ntar beneran suka baru nyaho ente!” (Nanti beneran suka baru tahu kamu.)
“Ya Allah, jangan ya Allah. Mending gue jadi adek ipar lo aja, Ghal. Sama Zia atau gak sama Fiyya gak apa-apa deh. Jadi mantu Ayah Faraz gak apa-apa deh, mau banget gue! Ridho dan ikhlas dunia akhirat,” ucap Giandra antusias.
“Yeh, dasar lo!” ucap Ghali sambil menoyor kepala Giandra.
Tak terasa mereka sudah sampai di tempat tujuan. Ghali memarkirkan mobilnya lalu mengamati suasana dan bangunan cafe sejenak dari dalam mobilnya. Setelah itu ia turun dan masuk bersama Giandra. Mereka langsung menuju meja yang telah diisi oleh Kayshila dan temannya yang bernama Vino. Tampang Kayshila merengut ketika mengetahui Ghali datang bersama Giandra. Tapi, perempuan itu tak bisa menolak. Akhirnya mereka berempat membahas program TV itu setelah memesan minum dan kudapan terlebih dahulu.
“Nah jadi begitu sih garis besarnya tentang acara Cook Fun, Mas Ghali,” ucap Vino lelaki berkulit putih dengan hidung mancung dan mata agak sipit sebagai penanggungjawab acara TV itu.
Ghali menganggukkan kepalanya sambil membolak-balikkan kertas di tangannya. “Oke, secara keseluruhan saya sih oke sama acaranya.”
“Syukur kalau begitu, berarti pilihan lo gak salah ya, Kay.”
“Oh iya dong, Vin,” ucap Kayshila. Selebgram yang hari itu mencepol rambutnya tersenyum menang dan bangga lalu menyeruput banana milkshakenya dengan anggun. Giandra yang melihat tingkahnya hanya bisa mendengus jengkel. Ia memilih untuk menghabiskan chocolavanya dengan lahap.
“Oh ya, nanti Kayshila juga yang akan jadi pembawa acara di acara masak itu ya, Mas Ghali,” lanjut Vino.
Ghali dan Giandra terkejut dan saling bertatapan. Tapi Ghali langsung bisa menguasai dirinya dan menganggukkan kepala tersenyum pada Vino dan Kayshila sedangkan Giandra berdecih sebal. Menurutnya, mengajak Ghali tergabung dalam acara Cook Fun ini adalah memang kesengajaan Kayshila agar dirinya bisa terus dekat dengan Ghali.
“Ekhem, kayaknya ada udang dibalik bakwan nih,” sindir Gian pada Kay. Tapi entah perempuan itu sadar atau tidak.
“Eh, iya maksudnya gimana, Mas Gian?” tanya Vino tak mengerti dengan ucapan Gian.
“Eh, nggak kok. Gak apa-apa, Mas Vino. Saya Cuma lagi pengen makan bakwan udang aja, kayaknya enak. Nanti sampai rumah saya mau bikin.”
“Ooh.” Vino hanya menganggukkan kepalanya sedangkan Kay hanya mendelik malas ke arah Giandra. Mereka kembali bercengkrama beberapa hal mengenai Cook Fun. Lalu, Ghali pamit sebentar untuk ke kamar kecil. Saat berjalan, ia kembali bertabrakan dengan Salma.
“Aduh!”
“Aw!”
“Kamu lagi? Bisa gak sih kalau jalan itu matanya dipakai?” ucap Ghali kesal saat menyadari yang menabraknya adalah adik Naufal.
Salma berdecak kesal dalam hati. Ck, lo lagi, lo lagi! Ngapain nih cowok ada di cafe gue? Batinnya. Namun, saat ia ingin membalas Ghali, tetiba suara dari salah satu pegawai menghentikannya.
“Mbak Salma, macaroonnya gosong!”
“Apa?” Salma langsung berjalan cepat menuju pantrynya mengecek macaroonnya yang kembali gagal.
Ghali heran dengan perempuan itu. Kenapa dia bisa masuk ke pantry cafe ini? Apa dia juga bekerja di sini? Batin Ghali. Ghali memutuskan untuk bertanya kepada pegawai pantry yang memberitahu Salma jika macaroonnya gosong.
“Hmm, Mbak, maaf. Itu tadi mbaknya kerja di sini juga?”
“Eh? Siapa? Yang tadi, Mbak Salma?” tanya perempuan bernametag Santi itu.
“Iya.”
“Duh, Mbak Salma mah yang punya cafe ini, Mas. Mas baru ke sini ya?”
“Oh gitu. Eh, iya saya baru sekali ke sini.”
Santi segera meninggalkan Ghali karena dipanggil oleh Salma dan Ghali melanjutkan niatnya untuk ke toilet.
===
Salma mendengus lelah ketika melihat macaroonnya yang awalnya berwarna cerah kini menghitam semuanya. Ia memijit kepalanya yang semakin berdenyut nyeri. Padahal ia sudah menitipkan pada Santi untuk mengecek oven karena ia sedang beristirahat di atas. Tapi, ia sedang tidak mood untuk marah karena mungkin Santi juga sibuk untuk melayani pelanggan. Salma murni menyalahkan dirinya sendiri.
“Duh, maafin Santi ya, Mbak Salma,” ucap Santi dengan penuh rasa bersalah dan wajah yang cemas. “Mbak jangan marah ya, jangan pecat Santi ya, Mbak,” ucap Santi dengan mimik memelas. Ia sangat takut kehilangan pekerjaannya ini.
“Iya, gak apa-apa, San. Salah saya juga,” ucap Salma sambil tersenyum maklum.
“Tapi, ini beneran salah Santi deh. Kan Mbak udah nitipin oven ke Santi. Tapi Santinya yang lupa malah anter pesenan pelanggan. Maafin Santi ya, Mbak.”
“Udah gak apa-apa. Nanti saya bisa bikin lagi, gampang itu. Ya udah, kamu balik kerja lagi sana ya. Saya mau istirahat dulu di atas. Kepala saya gak tahu kenapa pusing banget hari ini.”
Salma meninggalkan pantri berniat menuju kamarnya yang berada di lantai tiga cafe. Namun, saat ia telah melangkah melewati cafe, ia dikejutkan dengan kehadiran Kayshila, selebgram terkenal yang pernah ia tawari untuk mengendorse cafenya agar lebih terkenal tapi belum kunjung mendapat jawaban.
“Halo Mbak Salma!” sapa Kayshila ramah dan penuh senyum.
“Eh, hai Mbak Kay! Wah, gak nyangka ketemu di sini. Lagi ada urusan kerjaan?”
“Iya, tuh di meja sana,” tunjuk Kay pada meja yang masih diisi Vino, Ghali dan Giandra. Salma menengok ke meja yang ditunjuk oleh Kay. Oh, Salma baru paham sekarang kenapa Ghali bisa berada di cafenya. Ia tak menyangka Ghali dan Kayshila bisa saling mengenal.
“Oh iya saya mau ngomongin endorse yang Mbak Salma pernah tawarin ke saya, bisa? Di meja sebelah sana gimana?” ajak Kay.
Sebenarnya Salma ingin sekali menolak karena ia ingin sekali istirahat. Tapi, kapan lagi ia bisa bertemu Kayshila langsung. Mungkin ini kesempatan bagus baginya. Akhirnya, Salma menyanggupi dan berusaha untuk bersikap profesional. Kay dan Salma mengobrol di meja sebelah Ghali. Ghali melirik sedikit lalu kembali fokus dengan obrolannya dengan Vino dan Giandra.
===
Revan dan Nita memutuskan untuk menempati vilanya yang dulu sebelum meninggalkan Shayna sendirian mengurus galerinya. Sebenarnya, agak berat bagi Revan dan Nita untuk melepas putrinya itu tinggal sendiri di kota ini karena tidak ada sanak saudara yang menemani. Tapi, Shayna yang bersikeras jika dirinya bisa menjaga diri sendiri karena sudah dewasa. Abi dan bundanya hanya perlu mendukung melalui doa.
“Bun, apa perlu kita pindah ke sini lagi, ya? Nemenin Shayna. Jujur aja, abi khawatir.” Sore ini Revan dan Nita sedang berdua saja di teras belakang vila sedangkan kedua putrinya sedang asyik menyiapkan makan malam di dapur sebelum maghrib tiba.
“Kenapa abi jadi galau lagi sih? Kan kemarin udah setuju Shayna buka galeri di Bandung dan dia tinggal sementara di sini buat mantau,” tanya Nita ragu. Sebagai seorang ibu Nita pun merasa khawatir. Tapi, ia mencoba memahami keinginan putrinya untuk hidup mandiri.
“Abi juga gak tahu. Tiba-tiba jadi galau lagi begini, Bun.” Awalnya Revan sempat tidak setuju dengan Shayna membuka cabang galeri di luar kota dan ia tinggal menetap sementara waktu hingga bisnisnya stabil, tapi tak lama setelah diyakinkan Nita dan Shayna, Revan setuju. Entah mengapa setelah pembukaan galeri, ayah dua anak itu jadi galau lagi.
“Terus kerjaan abi di Jakarta gimana? Bisa ditinggal?” tanya Nita lagi.
“Gampanglah masalah kerjaan mah. Gak ada apa-apanya dibandingin anak-anak abi,” ucap Revan sedikit cemas. Revan memang seposesif itu pada kedua putrinya.
Nita beranjak mendekati sang suami lalu bersender di bahunya. Sebagai seorang istri dan ibu, Nita berusaha mencari jalan tengah agar bisa memahami keduanya.
“Bunda ngerti ayah khawatir, bunda juga sama, Yah. Tapi, kita juga perlu coba untuk percaya sama putri kita sendiri.”
“Tapi tetap aja, Bun. Ayah khawatir. Putri kita baik, tapi mungkin aja nanti ada lelaki yang berniat buruk sama dia.”
Nita tersenyum maklum. Ia sangat memahami kekhawatiran yang dirasakan oleh Revan. apalagi mengingat masa lalu keduanya yang begitu kelam, terjerumus dalam kubangan dosa besar. Mereka tak ingin kedua putrinya terjerumus pada hal yang sama. Tidak. Mereka tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Oleh karenanya, mereka sebagai orang tua menanamkan nilai-nilai agama sedari kecil pada kedua putrinya.
“Insya Allah, putri-putri kita gak akan seperti kita, Yah. Insya Allah mereka sudah berada dalam didikan yang baik dan ada dalam lindungan Allah.” Nita berusaha meredam kecemasan suaminya. Tapi, Revan masih enggan bergeming meski Nita sudah menghiburnya.
“Lagian, ada keluarganya Ghali di sini. Kita bisa titip Shayna ke mereka, kan? Shayna bisa jadi teman si kembar Zia dan Fiyya juga,” tambah Nita.
“Abi, Bunda, yuk masuk! Sebentar lagi maghrib,” ajak Shayna yang mendekati mereka.
“Shay, duduk sini sebelah abi.”
Shayna menuruti perintah abinya.
“Kalau kamu abi nikahin sama Ghali anaknya Om Faraz, kamu mau?” tanya Revan tiba-tiba.
“Apa, Bi?”