BismillahirrahmanirrahiimAllahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad
===
Ghali masih tertegun sambil menatap seragam di tangannya yang sudah berumur belasan tahun. Sampai saat ini, Ghali masih belum bisa menemukan siapa pemiliknya. Entah bagaimana lagi ia harus mencari. Jika mencari pun, Ghali mengalami kesulitan karena dia ...
“Ghali, cepat, Nak! Keburu siang nanti!”
Teriakan Ayah Faraz membuyarkan lamunan Ghali. Ia menyimpan seragam itu kembali di lemarinya lalu bergegas mengganti bajunya.
===
Inilah yang Ghali suka dari interaksinya bersama sang ayah. Mereka selallu bersepeda bersama. Dulu, saat Ghali masih kecil, Abah Ramli masih kuat ikut bersepeda bersama mereka. Namun, seiring bertambah usia, fisiknya tak lagi memungkinkan untuk bersepeda. Jadilah kini tinggal ayah Faraz dan Ghali. Abah Ramli dan Ambu Ratna paling hanya jalan-jalan santai berkeliling sekitar rumah atau membersihkan kebun bunga milik ambu sebagai aktivitasnya. Ghali juga ingin membina rumah tangga seperti aki dan eninnya, juga ayah dan ibunya.
Sepeda yang dikayuh oleh Ghali dan ayahnya tiba di vila milik Revan. Revan yang sudah menunggu kedatangan mereka di teras depan menyambutnya dengan senyum. Mereka berpelukan khas lelaki.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam. Ayo masuk! Kita ngobrol di dalam aja di teras belakang.”
Saat Revan, Ghali dan Faraz melangkah masuk menuju teras belakang, Shayna sudah rapi akan berangkat ke galeri bersama sang ibu, Nita. Mereka tak kaget melihat kedatangan Faraz dan Ghali karena Revan telah memberitahu sebelumnya. Ghali dan Shayna hanya bisa saling melempar senyum dan mengangguk.
“Abi, aku sama Bunda ke galeri dulu, ya.” Nita dan Shayna mencium tangan Revan bergantian.
“Iya, hati-hati ya. Bawa mobilnya pelan-pelan aja.”
“Oke. Faraz, Ghali, maaf ya saya gak bisa nemenin kalian. Shayna masih butuh bantuan di galeri,” ucap Nita.
“Iya, gak apa-apa. Santai aja, Nit,” ucap Faraz.
“Bi, nanti kalau butuh sesuatu ada Vania ya. Minta tolong aja sama dia,” pesan Nita.
“Iya, udah gak usah khawatir. Sana kalau mau pergi keburu siang.”
“Oke, wassalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Revan, Ghali dan Faraz akhirnya tiba di teras belakang. Mereka duduk di kursi santai sambil menikmati pemandangan kebun milik Revan yang masih di-bera-kan (diistirahatkan) karena baru saja panen beberapa waktu yang lalu. Revan meminta Vania untuk menyuguhkan makanan dan minuman untuk pasangan ayah dan anak itu.
“Ini Om, Kak. Silakan dicicipi,” ucap Vania sambil menyimpan tiga cangkir teh tawar hangat, beserta teko berukuran sedang dan juga sepiring pisang goreng kremes dan ubi goreng. Setelah itu, Vania kembali ke kamarnya. Mereka membicarakan banyak hal sambil menikmati kudapan. Ya, maklum saja sudah lama tak bertemu.
“Ghali, kamu kapan nikah?” tanya Revan sengaja. Ia sebenarnya bermaksud ingin tahu apakah Ghali sudah mempunyai calon atau belum. Jika belum, mungkin Revan masih berkesempatan menawarkan putrinya Shayna untuk dinikahi Ghali. Tapi, tentunya ia akan meminta persetujuan sang putri terlebih dahulu nanti.
“Eh? Oh, belum tahu, Om. Ghali masih nikmatin karir aja sekarang ini,” jawab Ghali.
“Oh, belum ada calon berarti, ya?” tanya Revan to the point.
“Iya, belum, Om.”
Faraz hanya bisa tersenyum penuh arti melihat anak lelakinya diinterogasi oleh Revan. Ia hanya diam mendengarkan tanpa berniat untuk menginterupsi. Sebagai seorang ayah yang juga memiliki anak perempuan, Faraz paham maksud dari pertanyaan Revan. Ya, jika Ghali mau, Faraz tak keberatan berbesanan dengan Revan. Faraz sudah melupakan masa lalu yang terjadi antara dirinya dan Revan.
“Hmm, menurut kamu, Shayna gimana, Ghal?” Revan sengaja bertanya. Ia ingin tahu pendapat Ghali tentang putrinya.
“Shayna, Om?”
Revan menganggukkan kepalanya.
“Hmm, kalau ditanya begitu, Ghali gak bisa jawab banyak. Soalnya baru aja kenal dan ketemu, kan. Ghali juga belum banyak berinteraksi sama Shayna. Tapi, kalau Ghali lihat, Shayna perempuan yang baik dan shalihah, cantik juga berbakat karena memilih meneruskan bisnis Bunda Nita.”
“Sudah cocok menikah belum, Ghal?”
“Siapa, Om?”
“Shayna.”
Ghali menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia merasa kikuk diberi banyak pertanyaan oleh Revan.
“Ya, kalau menurut Ghali, sudah, Om. Shayna sudah cocok untuk menikah. Ya, tapi itu menurut Ghali pribadi. Ghali rasa, Om sebagai ayahnya lebih tahu tentang Shayna.”
Revan menganggukkan kepalanya sambil mengelus dagunya, sedangkan Faraz tersenyum lalu kembali menyeruput tehnya.
“Udah, jangan interogasi anakku terus, Van. Eh, kapan-kapan kita berkuda bareng yuk? Kayaknya seru deh. Aku tahu tempat berkuda, memang agak jauh sih. Tapi, baguslah buat lelaki-lelaki kayak kita,” ucap Faraz berusaha mencairkan suasana.
“Boleh, ide yang bagus,” ucap Revan setuju.
===
Usai berkunjung ke vila Revan, Ghali tak pulang bersama Faraz. Ia memilih main ke rumah Yusuf karena lelaki itu sedang libur dan berada di rumah. Ghali memarkirkan sepedanya tepat di depan rumah Yusuf.
“Assalamu’alaikum. Ucup, main yuk!” teriak Ghali seperti anak kecil yang mengajak main temannya.
“Wa’alaikumussalam, eh kamu. Kirain siapa,” ucap Annisa yang berpenampilan sederhana gamis dan jilbabnya.
“Eh, iya, Bi. Si Ucupnya ada, kan?” tanya Ghali sopan.
“Ada. Yuk, masuk. Nunggunya di dalam aja. Dia baru mandi. Sombong deh kamu, Ghal. Jarang main ke sini lagi sekarang semenjak buka resto.”
“Aduh, bukan gitu, Bi. Emang sibuk, gak ada waktu bebas kayak dulu lagi. Maaf ya, Bi Nisa.”
“Iya, gak apa-apa atuh. Bibi juga paham. Bibi Cuma pura-pura marah aja.”
Ghali melenggang masuk ke dalam rumah Annisa dengan santai. Rumah Ucup sudah seperti rumah kedua baginya. Ia duduk di ruang TV menunggu Ucup selesai mandi.
“Bentar, Bibi buatin minum dulu, ya? Salsanya masih ngajar, jadi gak ada yang dimintain tolong deh.”
“Udah gak usah repot, Bi. Kayak sama siapa aja. Aku bukan tamu, kok. Aku nanti bikin minum sendiri kalau haus. Tadi juga udah minum di rumah Om Revan.”
“Om Revan? Dia lagi ada di sini?” tanya Annisa terkejut.
“Iya, Bi. Aku sama ayah abis dari rumahnya tadi.” Ghali tidak heran jika Annisa mengenal Revan. Faraz sudah menceritakan bahwa keluarganya, keluarga Revan dan juga keluarga Annisa saling mengenal dan berteman baik. Tapi, Faraz tidak menceritakan masa lalu buruk yang terjadi antara mereka dulu. Menurutnya, sangat tidak penting.
Tak lama Ghali menunggu di ruang TV, Ucup yang habis mandi dan sudah menggunakan kaos santai menghampirinya. Ucup duduk di sebelah Ghali lalu menyalakan TV.
“Cup, gue galau, nih.”
“Kenapa lagi, lo?” Ucup bertanya sambil mengubah-ngubah channel TV, mencari tayangan yang bagus.
“Lo masih inget kan, gue masih nyari cewek itu?”
Sontak saja Ucup langsung memusatkan perhatiannya pada Ghali dan menyimpan remote TV-nya. “Cewek yang nolongin lo dulu?”
“Iya, yang itu.”
“Terus kenapa?”
“Gue dulu sempat berdoa, supaya gue berjodoh sama cewek itu. Abisnya dia udah nolongin gue dulu.”
“Ya lagi lo mah ada-ada aja, Ghal,” ucap Yusuf ketika mengingat kenakalan sahabatnya dulu.
“Maklum lah, namanya juga anak cowok. Nakal sedikit mah wajar kali.”
“Terus sekarang kenapa?”
“Akhir-akhir ini gue sering mimpiin dia. Tapi gue bingung mau cari ke mana, soalnya ... “
“Eh, serius amat sih ngobrolnya. Nih diminum dulu. Bibi bikin s**u cokelat sama ada kue nih. Kemarin Salsa bikin,” ucap Annisa menyela obrolan anaknya dan Ghali.
“Iya, makasih, Bi. Kelihatannya enak nih.”
“Yaudah bibi tinggal ke dapur dulu, ya. Kalian ngobrol aja yang puas. Bibi gak mau ganggu.”
Annisa meninggalkan mereka menuju dapur.
“Terus kenapa lo galau, heh?”
“Iya, gue masih berdoa biar gue bisa ketemu dia. Yah, gue juga pengen berjodoh sama dia. Tapi, sekarang ada anaknya Om Revan namanya Shayna. Jujur, gue mulai tertarik sama Shayna.” Ghali mengaku di depan Ucup jika memang dirinya tertarik pada Shayna. Ghali belum berani menyebutnya cinta, masih terlalu dini.
“Oalah, jadi lo dilema gitu.”
“Iya. Menurut lo gimana, Cup? Ada saran?”
“Ya ampun, Ghal. Lo lebih tahu jawabannya daripada gue. Salat istikharahlah, minta petunjuk Allah. Rezeki sudah tertakar dan jodoh pun tak akan tertukar. Jadi, minta petunjuk sama Allah. Gue penasaran, emang Shayna kayak gimana orangnya?”
“Dia shalihah, cantik, baik dan berasal dari keluarga yang insya Allah baik. Cocok buat jadi istri. Tadi juga ayahnya udah interogasi gue gitu. Gak tahu deh, kenapa.” Ghali mengedikkan bahunya. Ia mengambil gelas s**u cokelat yang ada di depannya untuk membasahi kerongkongannya yang kering akibat banyak bercerita.
“Ya, gue cuma bisa saranin itu aja sih, Ghal. Selanjutnya, lo bisa diskusi sama ortu lo baiknya gimana. Gue yakin ortu lo bakalan ngasih solusi.”
“Eh, tapi mereka gak tahu kalau gue nunggu cewek itu.”
“Ya udah sih. Jodoh gak akan ke mana. Kalau gak ke pelaminan ya jadi tamu undangan, so simple like that. Kalaupun lo gak berjodoh, mungkin memang lo Cuma ditakdirkan ketemu dia saat itu aja. Dia Allah takdirkan cuma jadi penolong lo.”
“Btw, lo gak mau jadi adek ipar gue? Kalau cewek yang nolongin lo waktu itu Salsa gimana?”
“Apa? Masa iya?”
Ghali menghela napasnya, lalu termenung memikirkan semua ucapan Ucup.
“Ya, mungkin aja.”
===
Ghali dan Kayshila sedang mendengarkan arahan dari Vino. Hari ini adalah hari pertama mereka syuting acara CookFun di studio. Jadi, berdasarkan arahan Vino saat di Milks Heaven dulu, acara CookFun ini akan tayang Senin, Kamis dan Sabtu. Selama Senin dan Kamis mereka akan memasak di studio, sedangkan untuk Sabtu mereka akan memasak di luar studio. Vino dan tim telah menentukan tempat mana saja yang akan mereka datangi untuk proses syuting nantinya. Ghali dan Kayshila hanya tinggal mengikuti. Khusus perdana hari ini, acara akan ditayangkan secara live.
“Okay, gitu ya. Udah pada paham, kan?” tanya Vino pada Ghali dan Kayshila.
“Okay, sip,” jawab Ghali mantap. Ghali sudah menggunakan pakaian kebesaran seorang chef beserta apronnya. Tak lupa tadi ia sedikit dirias oleh tim agar tidak terlalu pucat.
“Ayo, siap-siap. Dua menit lagi kita mulai, ya!”
Ghali dan Kayshila bersiap di tempatnya. Meski bukan pertama kali berhadapan dengan kamera, tetap saja Kayshila merasa nervous. Apalagi kini ia berdua dengan Ghali. Kay akan berusaha seprofesional mungkin agar Ghali bisa kagum dan bangga padanya.
Saat Vino memberi aba-aba mulai, mereka berdua mulai beraksi. Kayshila dengan lihainya membuka acara lalu memperkenalkan Ghali sebagai chef yang juga mempunyai bisnis restoran. Setelah berbasa-basi sebentar, mereka berdua langsung memasak menu yang telah ditentukan oleh tim acara, yaitu seblak. Entah kenapa menu itu yang dipilih oleh tim.
“Nah, buat penonton yang usianya remaja atau ibu-ibu yang suka banget makan seblak, resep Chef Ghali ini bisa ditiru ya di rumah,” ucap Kay sambil membantu Ghali menuang bumbu ke dalam wajan.
“Ya betul. Tingkat kepedasannya bisa disesuaikan dengan selera masing-masing. Yang penting juga, keseimbangan gizinya perlu diperhatikan. Jangan terlalu banyak karbohidrat, tetapii harus diimbangi dengan protein dan juga serat. Kalian bisa menambahkan sayuran dan juga telur atau daging untuk menambah gizinya, tidak hanya kerupuk rebus.”
“Nah, kalian dapat ilmu baru tuh dari chef.”
“Ya dan yang penting lagi nih, pastikan semua bahannya halal ya. Makanan yang halal pasti baik.”
“Oke siap, Chef Ustadz! Eh, tapi ada hal yang penting juga lho dalam memasak, Chef.”
“Apa lagi?”
“Cinta. Memasak itu harus pakai cinta!” ucap Kay berapi-api sambil menatap Ghali penuh cinta.
===
David sedang berjalan dengan gagahnya, mengecek pekerjaan para karyawannya satu per satu di hotel. Inilah risikonya sebagai anak lelaki tertua, ia harus meneruskan bisnis hotel keluarganya dan mengubur mimpinya sebagai chef. Meski berat, David tetap melakukannya, karena jika bukan dia, siapa lagi? Adiknya Kayshila yang senangnya dandan dan foto itu? Mustahil!
Saat ia memasuki dapur hotel, ia terkejut karena para chef dan juga pegawai yang lainnya sedang fokus mengamati layar televisi. David yang penasaran pun melihat tayangan apa yang menarik perhatian para pekerjanya.
“Wah, hebat bener Chef Ghali. Berhenti kerja di sini, eh dia jadi artis di TV.”
“Iya, ya. Mana bareng sama adiknya Pak David lagi.”
David langsung dikuasai amarah. Ia tak terima Kayshila bisa berdampingan dengan Ghali dan apa itu tadi? Ghali menjadi chef di sebuah acara masak?
Tidak! David tidak suka itu!
“Kalian saya gaji buat kerja ya! Bukan buat nonton TV!” bentak David hingga semuanya terperanjat.
“Matikan TV-nya dan balik kerja lagi! Sekali lagi saya lihat kalian santai, saya pecat kalian!”
Usai membubarkan pekerjanya, David berjalan kembali menuju ruangannya. Amarah begitu membuncah di hatinya.
“Awas aja, Ghal. Gue gak akan pernah biarin lo hidup tenang! Selamanya lo bakal jadi rival gue!”