10. Fall in Love

1869 Kata
Bismillahirrahmanirrahiim Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad === Kayshila memarkirkan mobil di halaman parkir rumahnya. Sepanjang perjalanan pulang ia tersenyum ceria. Mungkin jika Giandra melihatnya, ia akan mengejek Kayshila memiliki gangguan jiwa karena senyam-senyum tak jelas. Bukannya tak jelas, Kay hanya terlampau senang acara perdananya dengan Ghali mendapat sambutan yang begitu antusias dari para penonton. Menurut Vino tadi, untuk ukuran acara yang tayang perdana, CookFun mempunyai rating yang cukup bagus. Mereka semakin bersemangat membuat acara itu lebih baik lagi agar semakin banyak ditonton oleh masyarakat. Kayshila turun dari mobilnya dan melenggang masuk ke dalam rumahnya. Ia melangkah dengan santai menapaki anak tangga, menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Saat itu ia berpapasan dengan sang kakak lelaki satu-satunya, David. Lelaki itu menggunakan kemeja hitam dengan lengan panjang yang telah digulung sampai siku. David langsung mencekal lengan adiknya itu. “Aw! Apaan sih, Kak?!” ucap Kay sambil meringis. “Kamu yang apa-apaan, Kay!” “Lho, emang aku kenapa?” tanya Kay bingung. Seingatnya, ia sama sekali tak berbuat salah pada David. Lalu, kenapa kakaknya terlihat begitu marah? “Jangan sok belaga bodoh! Ngapain kamu sama si Ghali di acara TV, hah?” “Oh, ya ampun. Aku kirain apa, Kak. Ya, terus memang kenapa? Ada yang salah kalau aku kerja bareng sama A’ Ghali?” “Ck, kamu kan tahu kakak gak suka sama dia, Kay.” David berdecak kesal. “Ya itu urusan kakak lah. Kalau kakak gak suka, terus aku juga harus ikutan gak suka juga sama A’ Ghali, gitu? Cihh, kekanakan banget!” “Kenapa yang jadi chefnya harus Ghali, Kay? Emang gak ada kandidat lain?” “Memang menurut kakak, A’ Ghali gak cocok? Terus kalau dia gak cocok, siapa yang menurut kakak cocok? Kakak?” tanya Kay. Mereka masih berada di anak tangga. “Ya, kamu bisa cari yang lain lah. Lagian kamu nempelin dia kayak ulet keket gak malu apa? Emang dia nganggap keberadaan kamu, Kay?” tanya David. "Kak, udahlah. Aku mau suka sama siapa, ya terserah aku aja." "Ck, kakak cuma gak mau kamu disakitin sama dia. Lagian dia dulu udah pernah bilang nganggap kamu cuma adik, kan?" "Kak, udahlah. Kakak doain aja yang terbaik buat aku. Prinsipku, kalau A' Ghali belum nikah, dia masih berpotensi kok buat jadi sama aku nanti." "Ck, terserah kamu lah! Susah banget dibilanginnya!" Kay memutar bola matanya jengah menghadapi tingkah kekanakan sang kakak. “Kak, daripada uring-uringan gak jelas, mending kakak urusin pesta ultah aku yang dua bulan lagi. Aku mau ada pesta di ballroom hotel kita, undang orang-orang penting.” “Itu masalah kecil. Gak usah kamu pusingin.” Meski begitu marah dengan Kay yang bekerja dengan Ghali, David tetap menyayangi adik perempuannya itu. Ia akan membuat pesta ulang tahun adiknya yang ke-25 itu berjalan meriah dan tak akan terlupakan.  Ya, David menganggap itu adalah kadonya sebagai seorang kakak. Mengingat mereka hanya tinggal berdua sekarang. Kedua orang tuanya mengurus bisnis di luar negeri. “Ah, aku sayang sama Kakak!” Kayshila berhambur memeluk David erat. “Ih, bau! Sana mandi dulu!” ucap David sambil menghindar dari Kay. “Dih, bau apaan?” Kay mencium ketiaknya kanan dan kiri. Ia merasa masih wangi karena ia menggunakan deodorant dan parfum dari pagi tadi. “Udah sana mandi dulu!” “Iya, bawel!” === Salma sedang mencoba resep baru untuk kudapan di cafenya. Kali ini, bukan macaroon yang ia buat. Biasanya, jika Salma gagal mencoba satu resep, ia akan menyelangnya dengan uji coba resep yang lain untuk menghibur diri dan menghilangkan rasa sakit karena kegagalan. Ya, memang begitulah karakter Salma. Ia meninggalkan dapur uji coba di cafenya lalu melihat ke ruangan cafe. Para pegawainya sedang asyik melihat layar televisi. Penasaran, Salma pun ikut bergabung bersama para pegawainya. “Lagi nonton apa sih kalian?” tanya Salma penasaran. “Acara masak?” Para pegawainya langsung kaget karena Salma datang tiba-tiba dan mengagetkan mereka yang sedang serius menatap layar TV. “Eh, ya Allah, Mbak Salma bikin kaget aja. Iya nih, kita lagi nonton chef ganteng yang waktu itu pernah ke sini lho, Mbak.” “Chef ganteng?” Salma bertanya sambil mengernyitkan dahinya. “Iya, yang dulu datangnya sama selebgram Kayshila itu lho, Mbak. Nah, mereka sekarang ada di acara masak itu tuh!” ucap Sinta sambil menunjuk layar televisi. Salma jadi ikut mengamati tayangan di televisi itu. Ya, mereka berdua, Ghali dan Kayshila terlihat serasi di acara itu. Kayshila yang nampak cantik dengan setelan apa pun yang dikenakannya dan Ghali terlihat gagah dan tampan dengan pakaian kebesarannya sebagai seorang chef. Entah kenapa, Salma jadi teringat sesuatu saat mengamati mereka berdua. Tapi, Salma segera menepisnya karena hal itu tidak mungkin. Salma menggelengkan kepalanya lalu menoleh ke arah pintu masuk. Ia melihat perempuan yang sedang dipikirkannya mendekat ke arahnya. “Selamat siang Mbak Salma.” “Siang juga, Mbak Kay. Ayo kita duduk dulu di meja sana. Sinta tolong bikinin menu kesukaan Mbak Kay, ya,” perintah Salma pada Sinta. Salma memang ada janji dengan Kayshila untuk membicarakan masalah kerjasama endorse. Salma ingin Kay bisa mempromosikan cafe dan menu-menu andalannya untuk diposting di akun Instagramnya yang memiliki jutaan followers itu. Salma rasa, strategi marketing itu bisa cukup ampuh untuk mendongkrak nama cafenya dan meningkatkan profitnya. Setelah satu jam lebih membicarakan masalah pekerjaan, mereka akhirnya sepakat dan saling berjabat tangan. Kemudian Kay menyantap hidangan yang telah dipesankan oleh Salma secara gratis. “Mbak Salma jangan lupa nonton acara aku di TV, ya?” ucap Kay sambil melahap chocolavanya. “Oh, ya acara CookFun itu?” “Iya, betul, yang bareng Aa’ Ghali,” ucap Kay bersemangat. Salma hanya tersenyum tipis menanggapinya. Ia sedikit aneh mendengar panggilan Aa’ yang terlontar dari Kay untuk Ghali. Apa memang hubungan mereka sudah sedekat itu? Ah, sudahlah! Bukan urusannya juga. “Oh, iya, Mbak.” “Mbak Salma, kalau lain kali aku sama Aa’ Ghali syuting di cafe ini bisa, Mbak?” tanya Kay tiba-tiba. “Eh? Di sini?” “Iya, di sini. Ya, gampang sih nanti bisa diatur. Sekalian bisa ikut promoin cafe ini juga, Mbak. Siapa tahu jadi tambah terkenal dan Mbak Salma juga bisa ikut masak di TV bareng aku.” Kayshila melontarkan ide briliannya dengan sumringah pada Salma. Salma termenung setelah mendengar ide dari Kay. Menurutnya, itu ide yang cukup bagus. Mereka bisa syuting memasak di Milks Heaven sekaligus mempromokan cafenya ini. untuk hal yang satu itu Salma setuju. Tapi, untuk ide mereka masak bareng, Salma tidak setuju. “Boleh juga idenya, Mbak. Calling saya aja kalau Mbak dan tim mau syuting di sini, nanti biar saya siapkan tempatnya. Tapi, kalau untuk ikut masak bareng, kayaknya nggak deh, Mbak. Saya gak pede action di depan kamera,” aku Salma jujur. “Oh gitu. Ya udah gak apa-apa. Hmm, berarti mulai besok aku endorse cafe ini ya di sosmedku.” “Sip, Mbak. Makasih lho udah mau kerjasama sama saya.” “Ya, sama-sama,Mbak. Lagian cafe ini bagus dan menunya juga enak-enak, saya suka. Jadi saya gak ragu buat endorse soalnya saya juga termasuk orang yang pilih-pilih. Kalau memang kualitasnya gak bagus, saya juga males ngendorsenya.” Memang begitulah Kayshila. Meski sudah menjadi selebgram tenar, ia tidak sembarangan mau mengendorse produk atau jasa. Ia harus buktikan dulu sendiri jika memang produk atau jasa itu bagus dan layak untuk ia endorse. === Shayna sibuk melayani pengunjung yang datang ke galerinya. Ia dibantu oleh sang bunda dan tiga orang karyawannya. Galerinya cukup ramai untuk ukuran galeri yang masih bayi, mengingat baru beberapa waktu lalu mereka melakukan grand opening. Saat ini, Shayna dan bundanya sedang berada di ruangan Shayna untuk menikmati makan siang yang telah mereka bekal dari rumah. “Abi sama bunda kapan mau pulang ke Jakarta?” tanya Shayna. “Bunda juga nggak tahu. Abi mu gak mau ninggalin kamu sendirian di sini.” Shayna menghela napasnya lelah. Memang begitulah abinya. Yang membuat Shayna heran, mengapa setelah di sini lelaki cinta pertamanya itu berubah pikiran? Padahal sebelumnya, saat masih di Jakarta, beliau sudah menyetujui dan mengizinkan Shayna tinggal selama beberapa waktu di Bandung. “Bunda bantu bujukin abi dong. Shayna kan udah gede. Insya Allah Shayna bisa sendiri dan gak apa-apa kok. Abi mah lebay gitu deh,” gerutu Shayna. “Yah, kamu tahu sendiri lah, Sayang. Abimu memang begitu. Bunda udah bujukin, tapi ya belum mempan tuh. Memang kamu keberatan kalau kami ikut nemenin di sini?” “Ya bukan gitu, Bun. Cuma kan abi sama bunda juga punya pekerjaan yang harus diurus di Jakarta. Shayna bisa kok di sini sendiri, Bun.” “Shay, kalau abi mau nikahin kamu sama Ghali, kamu mau?” Shayna yang sedang mengunyah makanan langsung tersedak dan batuk. Nita langsung menepuk-nepuk punggung Shayna lalu memberinya segelas air setelah batuknya agak reda. “Kamu, pakai keselek segala. Gimana? Mau kan? Bunda udah tahu deh jawabannya. Kamu gak usah malu-malu, ya. Bunda udah tahu kamu luar dalam.” Wajah Shayna bersemu merah. Entah karena efek tersedak tadi atau karena malu-malu ditanya soal Ghali. “Bundaa,” rajuk Shayna malu-malu. Shayna tak bisa berkutik jika bundanya sudah berkata demikian. Memang bundanya tahu betul dirinya luar dalam. “Tapi, kalau Kak Ghalinya udah punya calon atau gak mau sama Shayna gimana, Bun? Shayna malu nanti.” “Udah kamu tenang aja. Yang penting kamu berdoa aja sama Allah ya, biar dimudahkan semua prosesnya. Kalau kalian jodoh insya Allah semua lancar, yang penting kita ikhtiar yang terbaik juga. Supaya abi dan bunda juga tenang kamu udah ada yang bimbing dan jaga.” Nita merasa sangat senang. Mudah-mudahan ia bisa berbesanan dengan Lisa dan Faraz sehingga tali kekerabatan mereka makin bertambah erat. === David mengendarai mobilnya menuju galeri rajut yang sedang tenar di Bandung. Hal itu ia lakukan bukan atas dasar inisiatifnya sendiri. Adiknya, Kayshila yang ingin dibelikan tas rajut olehnya. Akhirnya, sepulang kerja David memutuskan untuk mampir terlebih dahulu. David mendesah lega ketika melihat galeri itu masih buka. Tadinya ia takut galeri itu sudah tutup. Kayshila bisa mengamuk padanya nanti. Usai memarkirkan mobilnya, David dengan cepat melangkah lalu membuka pintu galeri. Sungguh, sebagai lelaki ia tak mengerti berbelanja hal seperti ini. Saat ia sedang kebingungan sambil berdiri di depan deretan tas rajut, sebuah suara yang sangat lembut dan sopan dan juga senyum yang amat manis menyapanya. “Selamat malam, Pak. Ada yang bisa dibantu?” “Ma – lam.” David tercengang mendapati seorang perempuan cantik dengan gamis dan jilbab berdiri di hadapannya dengan senyum yang merekah. Jantungnya mendadak berdetak lebih cepat. Apa mungkin dirinya nervous berhadapan dengan Shayna? Entahlah. “Saya Shayna, pemilik galeri ini. Boleh saya bantu, Pak? Sepertinya bapak sedang kebingungan.” Akhirnya David mengutarakan maksudnya dan Shayna memberi beberapa pilihan yang mungkin cocok dengan adiknya. David sangat terbantu dengan adanya Shayna. Apalagi menurutnya, Shayna seperti jelmaan bidadari surga. Kadang ia yang sedang fokus mengamati wajah cantik Shayna tidak mendengar apa yang Shayna ucapkan padanya. Ia mendadak terlihat seperti orang bodoh dan linglung. “Pak?” tanya Shayna. “Eh, iya apa tadi. Maaf.” “Bagaimana kalau yang warna maroon ini? Saya rasa akan cocok dengan adik bapak,” ucap Shayna sambil menyodorkan tas rajut warna merah maroon berukuran sedang. “Boleh, saya ambil yang ini saja.” Keduanya berjalan beriringan ke arah kasir. “Terima kasih ya, Pak. Semoga adiknya cocok dengan tasnya.” “I-iya, Mbak. Terima kasih juga sudah bantu saya untuk memilih tadi. By the way, panggil aja Dave atau David, saya rasa saya belum setua itu untuk dipanggil bapak,” ucap David protes. “Sama-sama. Itu sudah tugas saya. Ah, saya memanggil bapak dengan maksud menghormati. Okelah kalau begitu, tapi saya rasa Anda lebih tua beberapa tahun dibanding saya. Boleh saya panggil Kak Dave saja?” “Kak Dave? Oke, not bad.” Keduanya saling melempar senyum. David segera pamit dan ke luar  galeri menuju mobilnya. Ia mengamati bangunan galeri dari dalam mobilnya sambil tersenyum. Ia menyimpan kantung belanja di jok sebelahnya lalu ia memegangi dadanya. Sungguh, debaran jantungnya belum bisa ditenangkan hingga kini. Apa pengaruh Shayna sebegitu dahsyat hingga memengaruhi kinerja jantungnya? Oh, entahlah. David tidak paham. Apa mungkin ... ia jatuh cinta pada Shayna? David menggelengkan kepalanya. Mana mungkin? Jatuh cinta pada pandangan pertama? Sungguh terdengar norak untuk lelaki berprinsip sepertinya. “Kok namanya Maryam’s Gallery? Padahal namanya tadi Shayna. Ah udahlah. Namanya tetap cantik, secantik orangnya,” ucap David sambil tersenyum ceria.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN