Bismillahirrahmanirrahiim
Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad
===
Ghali memasuki studio tempat ia biasa syuting acara CookFun. Saat ia melangkah beberapa orang wartawan dari infotainment mulai menghampiri dan melayangkan beberapa pertanyaan. Ghali hanya bisa melempar senyum dan menjawab pertanyaan mereka dengan sopan. Ya, yang ditanyakan padanya masih seputar tentang siapa calon istrinya dan kapan pernikahannya digelar. Jujur saja, Ghali risih dengan pemburu berita ini, tapi menolaknya Ghali merasa tidak sopan.
“Chef, kapan nih hari-H nya? Kasih tahu kita dong!” ujar seorang wartawan.
“Ada, Mas. Maaf ya saya gak bisa kasih tahu. Mohon doanya aja,” ucap Ghali dengan sopan.
“Chef, calonnya siapa sih? Beneran bukan Mbak Kayshila? Lalu selama ini hubungan Chef dan Mbak Kayshila bagaimana?”
Usai pertanyaan itu dilontarkan, netra Ghali menangkap sosok Kayshila yang sedang berada lumayan jauh darinya. Tapi, Ghali masih bisa melihat dengan jelas bahwa sosok yang ia anggap adik itu tengah menatap ke arahnya.
“Alhamdulillah kami baik-baik aja. Hubungan kami sebatas rekan kerja dan saya udah anggap Kay kayak adik saya sendiri. Itu saja dan kami juga masih baik-baik saja sampai saat ini.”
Wartawan yang masih belum puas terus menyerang Ghali dengan berbagai pertanyaan. Saat itu, sosok Kayshila mendekati Ghali dan kerumunan wartawan.
“Maaf semuanya. Ini sudah waktunya Chef Ghali syuting. Jadi kami mohon undur diri, ya,” ucap Kay sopan.
Kay menarik lengan baju Ghali agar mengikutinya dan terbebas dari serangan wartawan. Setelah masuk di ruang rias Ghali merasa lega dan mengucapkan terima kasih pada Kay karena telah menolongnya.
“Makasih udah nolongin saya tadi, Kay,” ucap Ghali tulus sambil memerhatikan wajah Kay yang agak sendu. Rasa bersalah sedikit demi sedikit mulai kembali menyelimuti Ghali.
“Sama-sama. Ayo cepet, sebentar lagi kita mulai.” Kay lalu membalikkan tubuhnya hendak meninggalkan Ghali. Namun saat baru berjalan beberapa langkah, Ghali memanggil namanya.
“Kay!”
“Ya?”
“Kamu gak apa-apa? Apa kamu masih marah sama saya, Kay?”
Kay mendesah pelan lalu menyunggingkan seulas senyum di bibirnya. “Bohong kalau aku bilang gak apa-apa. Tapi, apa aku berhak marah sama Aa’?
Ghali tertegun mendengar pertanyaan Kay. Ia hanya bisa diam tanpa menjawab.
“Nggak kan, A’? Aku gak berhak marah sama Aa’. Ini hidup Aa’ dan Aa’ berhak menentukan mau nikah sama siapa dan aku gak bisa maksa kalau memang Aa’ gak milih aku. Aku udah coba untuk ikhlas. Memang kita gak jodoh, A.” Kayshila telah banyak merenung dan akhirnya ia mencoba untuk tegar, ikhlas dan menerima kenyataan yang ada walau luka di hatinya belum sepenuhnya sembuh.
Ghali sangat senang mendengar bahwa Kay mencoba untuk menerima kenyataan bahwa mereka memang tidak berjodoh. Setidaknya Kay sudah mau belajar menerima kenyataan dan tidak marah padanya. Tadinya, Ghali pikir Kay akan membencinya dan tidak mau lagi berhubungan walau sebatas rekan kerja atau kakak adik. Ghali mengucap syukur dalam hatinya.
“Alhamdulillah. Saya senang dengarnya, Kay. Insya Allah, Allah akan jodohkan kamu dengan lelaki yang lebih baik dari saya.” Itu adalah doa yang tulus dari lubuk hati Ghali yang terdalam untuk Kayshila.
Kay hanya tersenyum tipis. Ya, semoga saja ia dapat cepat menghapus Ghali dari hati dan pikirannya. “Aamiin.”
===
David menggoyangkan gelas wine-nya. Kini ia sedang berada di mini bar rumahnya sambil menikmati segelas wine kesukaannya. Pikirannya sedang kacau, kalut. Maka seperti biasa, ia melampiaskannya pada minuman keras. David tahu bahwa kebiasaannya ini tidak baik, tapi David tidak punya pilihan lain. Ia pikir ini masih lebih baik daripada ia bermain di kelab malam dengan wanita-wanita penghibur. Setidaknya minuman ini sebagai temannya di kala sedih.
Ingatan David menerawang pada kejadian siang tadi saat ia menyatakan perasaannya pada Shayna.
Flashback
David menemui Shayna di galeri. Ia telah berpikir dengan matang dan memutuskan bahwa ia akan menyatakan perasaannya pada Shayna. David tidak mau mengelak lagi. Ia telah jatuh cinta pada Shayna, bahkan saat pandangan pertama. Biarlah terdengar norak untuk lelaki seperti David. Sebelumnya, David telah memberitahu Shayna melalui pesan singkat jika ia akan datang ke galeri.
“Jadi, Kak Dave ada keperluan apa?” tanya Shayna dengan sopan. Kini keduanya ada di teras belakang galeri. Shayna merancang teras belakang dengan bangku panjang, beberapa meja bundar dengan dua kursi yang mengelilingi. Tak lupa meja bundar itu ditudungi dengan payung agar yang duduk tidak merasa panas. Biasanya tempat ini digunakan untuk pegawainya bersantai.
“Hmm, saya ingin bicara sesuatu yang penting, Shayna.”
“Tentang apa, Kak? Apa ada yang bisa Shayna bantu?”
“Ini tentang perasaan saya.”
Dahi Shayna mengernyit heran. Apa maksud lelaki ini sebenarnya? Membicarakan perasaan pribadi padanya? Batin Shayna bertanya-tanya.
“Saya ... saya suka sama kamu, Shayna,” ucap David dengan mantap sambil menatap kedua mata Shayna.
Senyum yang tadi mengembang di wajah Shayna kini menghilang. Suka? Apa maksudnya suka?
“Suka yang bagaimana maksud Kak Dave?” tanya Shayna bingung.
“Ya saya suka sama kamu, Shayna. Saya cinta dan sayang sama kamu.”
Deg!
Ah, kini Shayna paham. Jadi, Dave sedang menyatakan cinta padanya. Jujur, Shayna bingung dihadapkan pada situasi yang seperti ini. Ia sedang merencanakan pernikahannya dengan Ghali dan tiba-tiba seorang lelaki yang belum lama dikenalnya menyatakan cinta. Ini sungguh membuat Shayna bimbang dan pusing karena takut menyakiti perasaan David.
“Hmm, Shayna sangat menghargai kejujuran kakak tadi. Shayna juga berterima kasih kakak sudah mau jujur dan bisa mempunyai perasaan seperti itu sama Shayna, padahal kita belum lama kenal.”
Jantung David dag dig dug menanti jawaban Shayna. Sebenarnya, Shayna tak perlu menjawab karena yang dilontarkan David adalah pernyataan bukan pertanyaan. Jadi, tak butuh jawaban bukan? Tapi, Shayna tetap saja merasa harus memberi kejelasan daripada menggantung David.
“Tapi seperti yang sudah Kak Dave tahu, kalau Shayna akan menikah dengan seseorang. Hmm, jadi maaf sekali, Kak. Shayna gak bisa membalas cinta Kak Dave,” ucap Shayna dengan penuh penyesalan.
David sudah mengira akan mendapat jawaban pahit seperti tadi. Sudah tahu begitu, entah mengapa ia tetap nekad untuk menyatakan perasaannya. Ya kini ia harus menanggung risikonya sendiri. Tapi sisi lain hatinya merasa lega karena telah mengungkapkan perasaannya.
David memaksakan segaris senyum di bibirnya. “Iya, saya tahu, Shayna. Saya hanya ingin menyampaikannya. Semoga rencana pernikahan kamu berjalan lancar ya dan kamu bisa bahagia dengan pilihan kamu.”
Flashback off
David tertawa kecil, menertawakan dirinya. Dirinya tampan dan kaya, tapi mengapa sulit mendapatkan seseorang yang ia cintai? Tangannya bergerak meraih botol wine yang ada di sebelah kirinya. Tapi, saat ia akan menuang isi botol ke dalam gelas, seseorang menahannya.
“Kak, jangan!”
“Lepas, Kay!” David menepis tangan Kayshila dan menuang wine lagi ke dalam gelasnya.
Kay yang geram dengan tingkah sang kakak merebut gelas wine itu dan membantingnya ke lantai hingga pecah berhamburan.
“Kay!” bentak David.
“Kenapa? Aku udah bilang sama kakak kalau ada masalah itu cerita. Kakak bisa cerita sama aku, bukan minum-minum kayak gini. Gak baik, Kak.”
“Ah, tahu apa kamu! Kamu udah rela melepas lelaki itu nikah sama orang lain?” tanya David tiba-tiba.
Kay merasa heran dengan pertanyaan David. Apakah kakaknya ini sudah mabuk atau belum. Tapi, Kay putuskan untuk tetap menjawabnya. “Ya, mau gak mau, suka gak suka, memang harus ikhlas, Kak. Kalau Aa’ Ghali bukan jodohnya aku, ya aku bisa apa?
Kayshila merasa ada yang aneh dengan kakak lelaki satu-satunya ini. Apa Kak Dave sedang patah hati? Batinnya bertanya.
“Kenapa? Kakak patah hati juga? Sama siapa? Siapa perempuan yang udah berani nolak kakak?” cerocos Kayshila.
David tertawa hambar. “Ya, kita emang sama-sama patah hati, Kay.” David akhirnya mengakui keadaannya pada Kayshila.
Benar saja dugaan Kayshila. “Kakak patah hati sama siapa?” tanya Kay penasaran.
David mengacuhkan pertanyaan Kay. Tak tanggung-tanggung, ia lebih memilih menenggak wine langsung dari botolnya. Kini, minuman itu sudah mempengaruhi kesadaran David.
“Ada, dia calon istri Ghali.”
“Hah? Apa?!” Kayshila yang masih terkejut, mencoba untuk mencerna semua perkataan kakaknya. Jadi, Kakak naksir sama istrinya Aa’ Ghali? Bagaimana bisa? Batinnya.
“Iya, kamu patah hati sama Ghali dan kakak patah hati sama calon istri Ghali, Kay.”
“Ghali udah menghancurkan semuanya. Dia rebut perempuan itu dari kakak dan dia juga udah buat kamu patah hati. Apa sebaiknya kita gagalkan aja pernikahan mereka, Kay? Biar kamu bisa sama Ghali dan kakak bisa sama perempuan itu?” tanya David melantur.
“Kak jangan ngaco! Kakak udah mulai mabuk!”
“Gak! Kakak masih sadar!” elak David. “Dan lihat aja, kakak gak akan biarin Ghali bahagia!” setelah itu kepala David terkulai lemas di atas meja dengan mata yang terpejam.
Tadinya, Kayshila ingin bertanya siapa perempuan itu, tapi melihat kakaknya yang sudah tak sadarkan diri, Kay mengurungkan niatnya.
===
Salma mengendarai mobilnya menuju Maryam’s Gallery seperti yang disarankan oleh Sinta. Jujur ia baru tahu tentang galeri ini di Bandung. Berdasarkan rekomendasi dari Sinta, Salma memutuskan untuk membeli tas, cardigan dan syal rajut untuk eyangnya. Salma menutup pintu mobilnya lalu melangkah ke arah pintu masuk.
Saat memasuki galeri, Salma terpana dengan hasil-hasil rajutan yang dipajang. Sangat menarik dan bagus, sesuai seperti yang dikatakan oleh Sinta. Salma melangkahkan kakinya ke arah deretan tas-tas rajut. Ia mengambil sebuah tas dengan model sederhana namun elegan. Ia rasa cocok untuk sang mama, Hana. Salma putuskan untuk membeli tas juga untuk mamanya. Lalu ia melihat-lihat ke deretan lainnya untuk memilih tas yang cocok dengan eyangnya. Setelah mendapatkan semua barang yang ia butuhkan, Salma membawanya ke arah meja kasir. Namun, Salma melihat seorang gadis yang sedang menata barang di rak atas menggunakan tangga dan tangga itu goyang sehingga sang gadis memekik. Salma dengan cepat berlari ke arahnya dan tubuhnya ikut jatuh tertimpa tubuh si gadis tadi.
Bruk!
Kini keduanya jatuh bertindihan dengan tubuh Salma yang menjadi alas tubuh sang gadis.
“Aw! Aduh!” ringis Salma.
“Ya ampun, maaf ya, Mbak. Mana yang sakit?” tanya gadis itu khawatir sambil mengecek bagian tubuh Salma.
“Gak apa-apa, Mbak. Cuma kebentur dikit, nanti juga sembuh kok.” Salma mencoba bangun dan merubah posisinya menjadi duduk. Bahu kiri dan sikutnya masih terasa nyeri akibat berbenturan dengan lantai tadi. Untung saja, tangga yang dipakai gadis itu tidak menimpa mereka juga tadi. Jika iya, maka lengkap sudah nasib Salma. Sudah jatuh tertimpa tangga pula.
“Ya ampun, Mbak Shayna kenapa?” tanya seorang pegawai galeri.
“Gak apa-apa. Tadi jatuh pas nyimpang barang. Tolong bantu beresin barang mbak ini, ya.”
Shayna membantu Salma berdiri sedangkan pegawainya membereskan barang yang akan dibayar Salma di meja kasir. Salma duduk di bangku panjang yang ada di dekat pintu masuk galeri sambil mengurut pelan bahunya. Tak lama, Shayna datang membawakan secangkir teh hangat untuk Salma.
“Gak usah repot-repot, Mbak.”
“Gak repot. Justru saya yang gak enak karena saya mbaknya jadi sakit. Itu beneran gak apa-apa?”
“Iya, nanti juga sembuh sendiri kok. Tenang aja.”
Keduanya saling tersenyum meski Shayna masih merasa tidak enak. Tak lama, pegawai Shayna membawakan barang-barang Salma.
“Mbak ini barang-barang yang mau dibeli tadi,” ucapnya sambil menyerahkan tas jinjing pada Salma.
“Oh iya, berapa semuanya?”
“Gak usah, Mbak. Ini ucapan terima kasih saya karena mbak udah nolong saya tadi.”
“Yah, jangan gitu dong, Mbak. Itu barangnya banyak lho, nanti Mbak rugi. Saya kan niatnya mau beli. Kok jadi dikasih, sih. Kalau digratisin kayak gini saya gak jadi beli ah.” Salma kembali menyodorkan tas jinjing itu pada Shayna. Shayna jadi bingung karena ia tak bisa berbuat apa-apa untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya.
“Terima aja, Mbak. Saya benar-benar niat kasih ini untuk Mbak. Saya harap jangan ditolak.”
Salma menggeleng. “Saya tetap gak mau, Mbak. Untuk yang tadi, memang sudah kewajiban saya menolong Mbak. Sudah sepantasnya sesama muslim saling tolong menolong.” Salma mengambil dompetnya dari dalam tas lalu mengeluarkan kartu debitnya dan menyerahkannya pada Shayna.
Shayna menatap kartu dan wajah Salma bergantian. Karena Salma memaksa, maka Shayna akhirnya menerima kartu tersebut dan menyerahkannya ke kasir untuk diproses. Setelah semuanya beres, keduanya kembali duduk di kursi panjang dan mengobrol.
“Oh ya, kita belum kenalan. Saya Shayna, pemilik galeri ini.”
“Saya Salma, Mbak.”
Keduanya berjabat tangan sambil melempar senyum manis. Salma sangat kagum dengan kecantikan Shayna dan juga kesuksesannya mengelola bisnis hasil kerajinan tangan tersebut. Ya, Salma kagum karena ia tidak bisa merajut atau menghasilkan kerajinan tangan lainnya. Saat sekolah dulu, nilainya pada mata pelajaran keterampilan tangan selalu pas-pasan. Begitu saja, Salma sudah bersyukur. Mungkin, tangannya memang ditakdirkan untuk berkutat dengan dapur dan peralatannya.
“Kayaknya saya gak asing sama wajah Mbak deh,” ucap Shayna sambil menelisik wajah Salma.
“Ah, masa sih? Saya baru pertama kali ketemu Mbak Shayna di sini. Apa sebelumnya kita pernah ketemu di lain tempat tapi kita lupa?” tanya Salma.
“Entahlah.”
“Kalau iya, maaf ya, Mbak. Saya orangnya memang pelupa kalau ketemu orang cuma sekilas atau ketemu cuma sekali.”
Lalu keduanya terusik dengan kedatangan seseorang yang menegur Shayna.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Salma terkejut dengan kedatangan Ghali ke galeri milik Shayna.
“Salma?”
“Ghali?”
Sedangkan Shayna hanya bisa menatap Salma dan Ghali bergantian dengan tatapan bingung.