15. Nostalgia Ghali

1822 Kata
Bismillahirrahmanirrahiim Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad === Hari ini Shayna llibur datang ke galeri karena tantenya, Tante Shofi akan datang berkunjung bersama suami dan anaknya ke vila. Jadilah Shayna membantu bundanya memasak untuk makan siang sedangkan Revan mengajak Vania mengontrol supermarketnya sebentar dan akan kembali sebelum makan siang. “Eh, bunda mau nyalain TV dulu, ah. Ada calon mantu biasanya jam segini,” ucap Nita sambil mengelap tangannya dengan serbet lalu melangkah ke ruang tengah yang bersebelahan dengan dapur. Mereka yang memasak di dapur masih bisa melihat TV yang ada di ruang tengah karena tak ada sekat apa pun. Shayna hanya bisa malu-malu ketika bundanya menyebut Ghali sebagai calon mantu. “Shay, lihat deh sini. Ini Ghali masak sama siapa, ya?” tanya Nita sambil menunjuk TV dengan remote di tangannya. Shayna yang sedang memotong cabe menengok ke arah TV. Ia tak mengenal gadis yang sedang memasak bersama Ghali. Biasanya, bukannya Kayshila yang selebgram itu? Batinnya bertanya. “Shayna gak tahu, Bun,” jawab Shayna jujur lalu kembali memotong cabe. Nita membesarkan volume TV lalu kembali ke dapur. “Kamu, gimana perasaannya kalau Ghali kayak gitu?” tanya Nita penasaran. “Kayak gitu gimana, Bun?” “Ya, dia sering kerja bareng cewek-cewek cantik. Emang kamu gak cemburu, Shay?” Shayna tersenyum mendengar ucapan bundanya. “Ya, kalau sekarang sih, nggak, Bun. Kita juga belum sah jadi suami istri. Gak tahu deh kalau nanti udah sah, mungkin Shayna bakalan jealous juga. Tapi itu kan memang pekerjaannya, Bun. Apa gak apa-apa kalau Shayna ikut campur masalah pekerjaan suami Shay nanti?” tanya Shayna dengan ragu. “Ya kalau kamunya merasa gak nyaman ya kamu utarakan aja sama Ghali, mudah-mudahan dia mau ngerti dan nurutin permintaan kamu itu. Gak ada salahnya juga kok.” “Oh gitu. Tapi dari yang Shayna lihat, kayaknya Kak Ghali juga bisa jaga pergaulannya sama lawan jenis meski dalam hubungan kerja, Bun.” “Iya memang. Ya, doakan aja mudah-mudahan dia tetap istiqomah, ya.” “Aamiin.” “Memang risiko sih kalau punya pasangan shalih, ganteng, mapan. Emang pasti banyak yang suka. Tinggal kamunya aja nanti yang harus pintar jagain Ghali ya biar dia gak mengalihkan pandangannya sama perempuan lain,” ucap Nita menasihati putrinya. “Insya Allah, iya, Bun.” === Usai membintangi acara CookFun bersama Ghali, Salma mendapat banyak interogasi dari kedua orang tuanya. Keduanya kepo lalu Salma menceritakan kejadian yang sebenarnya. Kini, Adam, Hana, Naufal dan Salma sedang makan malam. “Jadi, kamu udah kenal lama sama Ghali, Fal?” tanya Adam. “Ya lumayan, Pa. Sejak aku masok sayur dan buah ke restonya, dari situ jadi kenal deh. Dia dan keluarganya juga cukup dikenal sih, setahu Naufal. Kakek sama ayahnya petani besar juga gak jauh dari daerah sini.” “Oh, gitu. Lah, terus kalau gitu kenapa dia minta kamu jadi pemasoknya? Kan bisa masok dari kebun ayah atau kakeknya?” tanya Adam heran. “Ya, kan Naufal masok sayur dan buah yang gak diproduksi di kebunnya, Pa. Kadang juga buat nambahin stok kalau kurang sih.” “Kamu cocok lho sama Ghali, Salma. Eh, dia udah punya calon belum, Fal?” tanya Hana penasaran. “Ma, jangan mulai lagi deh!” ucap Salma kesal. Sejak acara itu, Hana selalu menanyakan tentang Ghali, apakah sudah memiliki calon istri atau belum. “Naufal gak tahu kalau soal itu, Ma. Kita kan hanya dekat sebatas rekan kerja aja. Kalau masalah pribadi jujur aja Naufal gak tahu.” “Duh, yaudah deh nanti mama searching di internet aja.” “Oh ya, lusa kita ke rumah eyang ya. Kita ke Jakarta. Udah lama kita gak nengokin eyang,” ucap Adam. “Hah? Yang bener, Pa?” tanya Salma senang. “Iya, kamu siap-siap aja weekend ini. Kita mungkin nginep di sana dua malam ya. Setelah itu baru kita balik lagi ke sini.” “Kumpul semua, Pa? Ada keluarga Bude Hawa juga?” tanya Salma. “Iya, insya Allah kumpul semua, Sayang. Makanya kita juga ikut ke sana, biar eyang senang,” jawab Hana. === Salma sedang melamun di salah satu meja tamu yang menghadap ke dinding kaca cafe, menampilkan lalu lintas jalan yang sore itu cukup ramai. Ia menopang wajah dengan kedua tangannya. Tak lama Sinta menepuk bahunya sehingga ia menengok ke arah belakang. “Mbak Salma.” “Kenapa, Sin?” “Ngapain deh ngelamun aja?” “Ya, gak apa-apa. Emang gak boleh, mumpung cafe lagi gak rame. Kalau lagi rame kan gak bisa nyantai kayak gini.” Sinta pun duduk di sebelah Salma. “Mbak, yang chef ganteng itu gak syuting lagi di sini? Cocok lho sama Mbak Salma.” “Eh kamu apaan sih.” Salma malas jika orang di dekatnya sudah mulai membahas Ghali dan mereka berdua yang katanya cocok. Padahal, Salma merasa biasa saja. “Tapi kan semenjak ada di TV, pengunjung cafe lumayan meningkat lho, Mbak. Followers di IG juga nambah.” Ya, seperti yang dikatakan Ghali dulu, acara CookFun di cafe ini membawa dampak positif meski belum terlalu besar memang. Tapi Salma sudah merasakannya. Incomenya beberapa hari terakhir ini bertambah. “Tapi dari gosip yang Sinta denger nih, Mbak, katanya Chef Ghali mau nikah dalam waktu dekat ini, lho.” Salma yang sedang menatap keramaian jalanan langsung menoleh ke arah Sinta ketika mendengar kabar itu. “Ah, yaudah biarin aja, terus kenapa kalau dia mau nikah? Normal, kan? Lagian kamu bacaan sama tontonannya jangan ghibah terus, Sin. Gak baik.” “Ih, tapi ini gosip yang menjurus pada fakta, Mbak. Orang pas ditanya wartawan Chef Ghali juga senyum mesem-mesem gitu kayak salting. Berarti gosip yang beredar hampir seratus persen benar itu! Cuma yang sampai sekarang belum tahu itu calon istrinya Chef Ghali tuh, Mbak. Belum ketahuan siapa yang jadi calonnya chef ganteng.” Salma hanya menghela napas lalu menggelengkan kepalanya ketika Sinta antusias menceritakan Ghali dan asmaranya. “Udah ah! Jangan ngomongin orang terus! Dosa! Mending kamu bantu saya cari oleh-oleh buat eyang saya, Sin. Kira-kira apa ya oleh-oleh yang cocok buat eyang?” tanya Salma pada Sinta. “Mbak beli syal rajut atau tas rajut aja di Maryam’s Gallery. Bagus-bagus slho, Mbak. Sinta suka lihat-lihat di feed instagramnya. Sinta rasa cocok tuh buat oleh-oleh eyangnya Mbak Salma.” === Ghali sedang berada di rumahnya. Kini ia dan kedua orang tuanya sedang makan siang bersama karena aki dan eninnya sedang berkunjung ke pesantren sahabat Abah Ramli menghadiri kajian rutin sedangkan si kembar sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Fiyya di rumah sakit sedangkan Zia di toko bunganya. Sehabis ini, Faraz dan Lisa akan menjemput Abah Ramli dan Ambu Ratna ke pesantren. “Kamu mau ikut sama kita, Ghal?” tanya Ayah Faraz. “Hmm ... maaf gak bisa, Yah. Ghali udah ada acara lain habis ini.” Faraz hanya bisa mendesah pelan. Ia rasa, Ghali semakin sibuk sejak membintangi acara TV. Buukannya tak suka. Hanya saja, Faraz sebagai orang tua khawatir jika popularitas yang sedang dialami oleh Ghali akan membuatnya lupa dengan ibadah-ibadahnya. “Kamu udah jarang ikut kajian di pesantrennya Abah Ammar lho, Ghal. Kamu baik-baik aja, kan?” tanya Faraz. Ghali sedikit heran dengan pertanyaan sang ayah. “Iya, Ghali baik-baik aja, Yah. Kan ayah lihat sendiri, Ghali sehat wal afiat nih.” Ghali kembali menyuapkan makanan ke mulutnya. “Bukan, bukan itu maksud ayah. Bukan fisik kamu, Ghal. Tapi, keadaan ruhiyah kamu, ibadah kamu, amalan kamu, Ghal.” Ghali langsung tersentak ketika mendengar pertanyaan sebenarnya dari sang ayah. Ia menelan dengan paksa makanan yang masih ada di mulutnya. Ia meletakkan sendok dan garpunya lalu mengambil segelas air minum dan meminumnya. “Alhamdulillah baik, Yah. Ghali masih shalat wajib, shalat sunnah juga. Tilawah juga, kok. Ya Cuma memang kadang bolong kalau Ghali lagi padat banget, Yah. Tapi gak sering kok.” “Ayah gak mau ketenaran kamu malah bikin kamu menjauh dari Allah dan melupakan ibadah-ibadah yang sudah kamu rutinkan. Kamu paham maksud ayah, kan?” “Iya, Yah.” “Ayah hanya minta itu, Ghal. Tolong jaga ibadah kamu. Kalau ketenaran dan popularitas malah melalaikan kamu, ayah sarankan untuk tinggalkan saja. Aktivitas kamu yang biasa tapi bisa menjaga amalan-amalan ibadah rutin, itu lebih baik daripada kamu terkenal tapi melalaikan.” Lisa sebagai ibu hanya bisa diam. Suaminya memang setegas itu kalau sudah menyangkut masalah akhlak dan ibadah anak-anaknya. Tak segan Faraz sebagai suami, ayah dan kepala keluarga mengevaluasi rutinitas ibadah anak-anaknya. Ya karena memang seperti itulah tugas seorang lelaki yang menjadi kepala keluarga. === Ghali menyetir mobilnya menuju studio. Kini mobilnya sedang berhenti di perempatan lampu merah. Saat melihat anak-anak sekolah berseragam SMP dan SMA, ingatan Ghali kembali menerawang ke masa lalu saat ia ditolong oleh seorang gadis yang hingga kini ia tak tahu identitas dan keberadaannya. “Eh, Neng Geulis. Ningali b***k lalaki teu tadi?” (Eh, anak cantik. Lihat anak lelaki gak tadi?) “Ih, da saya ge baru lewat, A’. Mana tahu atuh! Emang kumaha ciri-cirina?” tanya anak perempuan itu penasaran. (Ih, saya juga baru lewat, A’. Mana saya tahu. Memang ciri-cirinya bagaimana?) “Sagede kamu da asaan mah. Make jaket hideung anu aya kuplukan.” (Kayaknya sih sebesar kamu besar badannya. Pake jaket hitam yang ada tudungnya.) “Ih beneran saya mah gak tahu, A. Atuh coba aja cari ke sana, da meureun lumpatna ka arah ditu.” (Mungkin aja larinya ke arah sana.) Akhirnya kelima remaja berseragam SMA itu mengikuti saran sang gadis. Lalu karena kelelahan gadis berkuncir ekor kuda itu duduk di dekat bangku tembok yang ada di sebelah semak-semak. Ia membenarkan letak kacamata masker medis yang menutupi sebagian wajahnya. Setelah, suara dan langkah kaki kelima remaja tadi menjauh, Ghali baru bisa bernapas lega. Ghali berani menyembulkan kepalanya ke luar dari semak-semak. “Hei, kamu ngapain?!” tanya seorang anak perempuan yang Ghali tak sadari keberadaannya. “Astaghfirullahal’adzim!” ucap Ghali spontan. Ia tak menyadari keberadaan gadis itu padahal ada di dekatnya. Mungkin ia terlalu fokus memperhatikan kelima remaja tadi. Gadis itu memerhatikan anak lelaki itu. Ia menggunakan jaket hoodie berwarna hitam dan lelaki itu menutupi wajahnya dengan kain yang diikatkan seperti masker. Apa mungkin lelaki ini yang dicari oleh kelima remaja tadi? “Kamu cowok yang tadi dicariin sama anak—anak itu, ya?” “Ssst! Jangan berisik!” “Ya ampun merekanya juga udah pergi kali! Gak usah berlebihan kayak gitu. Udah kamu kabur aja sana mumpun mereka udah gak ada! Lagian kenapa sih pakai dicariin mereka kayak begitu?” “Aduh, ini urusan cowok dewasa. Anak kecil gak boleh tahu.” Cewek itu berdecih dan mencebik ke arahnya. Tak lama segerombolan remaja tadi kembali ke tempat awal dan anak lelaki itu cepat-cepat kembali bersembunyi. Gadis itu duduk dengan tenang seolah tak terjadi apa pun. “Neng, beneran teu ningali b***k lalaki di dieu?” (Neng, beneran gak lihat anak lelaki di sini?) “Ih, beneran, A. Da masa saya teh bohong.” (Ih beneran, A. Masa saya bohong, sih.) “Duh, kamananya eta bocah?” (Duh, kemana ya itu anak?) “Geus weh ayeuna mah urang mencar. Maneh ka ditu, urang jeung maneh ka arah die, terus maneh jeung maneh ka sabeulah ditu.” (Sekarang kita berpencar saja. Kamu ke sana, saya sama kamu ke sini, kamu sama kamu ke arah sebelah sana.) Usai kelimanya berpencar, gadis itu kembali menengok ke arah semak. “Kamu kenapa sih sampai bisa dikejar mereka?” “Duh, udah ada deh alasannya. Sekarang kalau gini caranya saya gak bisa pulang. Mereka berpencar gitu,” ucap lelaki itu khawatir. Gadis itu merasa iba dan ingin menolongnya. “Rumah kamu di mana? Jauh dari sini?” tanya gadis itu. “Lumayan sih. Tapi bisa jalan kaki. Udah biasa. Yang jadi masalah kalau ketahuan mereka bisa habis saya.” Gadis itu terlihat berpikir. Tak lama ia mempunyai ide yang menurutnya sangat cemerlang dan jenius. “Saya punya ide biar kamu bisa pulang tanpa dikenali sama mereka!” “Hah? Gimana?” tanya lelaki itu penasaran. Gadis itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya dan menunjukkannya pada Ghali. Ghali melotot melihat apa yang ada di hadapannya. Tin ... Tin ... Tin! Suara klakson mobil di belakang membuyarkan lamunan Ghali. Ia tak menyadari lampu lalu lintas telah berubah menjadi hijau karena asyik bernostalgia. Ghali tersenyum lalu menarik, melepas rem tangan mobilnya dan kembali melajukan mobilnya.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN