BAB-8. MENGHILANG.
PAGI yang sangat berbeda dengan hari-hari sebelumnya bagi Raka. Seperti berjam-jam yang lalu, Raka masih memandangi ponselnya. Tidak ada balasan pesan dari Reta. Dia sedikit panik. Sebenarnya ada begitu banyak wanita yang dekat dengannya tetapi entah mengapa Reta berbeda. Dia tidak seperti wanita lain pada umumnya. Raka mendengus. Mereka bahkan baru bertemu satu kali. Namun pesona Reta telah berhasil membuatnya tergila-gila. Raka menyukai bagaimana Reta berbicara. Kejujuran, kepolosan, dan juga tata krama wanita itu saat mereka bertemu. Rasanya tidak butuh waktu lama bagi Raka untuk menjatuhkan hatinya pada perempuan seperti Reta. Terlalu cepat mungkin tetapi Raka sama sekali tidak peduli akan hal itu. Dia menyukai Reta. Itu faktanya.
Reta telah membuatnya gila. Yah, saking gilanya, Raka sampai nekat mengajak gadis itu menikah. Tindakan itu dirasa sangat konyol meski hanya terucap lewat pesan singkat. Raka sama sekali tidak menyangka dia akan mengirim pesan itu. Meski hingga detik ini kecewa dengan dirinya sendiri karena tak kunjung mendapat balasan dari Reta, setengah hatinya masih berharap kalau kelak mereka akan menjadi sesuatu.
Dengan kesal, Raka membanting bantal yang sejak semalam menjadi tempatnya menumpahkan rasa kantuk. Ia memandang ponselnya sekali lagi, masih tidak ada balasan dari Reta meski jelas-jelas gadis itu telah membaca ajakannya untuk menikah. Demi menjaga kepalanya agar tetap waras, Raka akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamar. Dia harus mencari pelampiasan sebelum berubah menjadi orang gila. Begitu keluar dari kamar, orang pertama yang dia temui adalah ibunya yang masih sibuk memasak di dapur.
“Ah, sudah bangun anak Mama?”
Raka melintas separuh ruangan dapur kemudian berjalan enggan menuju kulkas. Ia mengambil s**u steril, menumpahkan ke dalam gelas, lalu menegaknya perlahan. “Masak apa, Ma?”
“Rendang. Jadi, coba katakan pada Mama apa penyebab muka kusutmu?”
Mengabaikan sindiran sang ibu, Raka meletakkan gelas kosong di atas bak cuci piring kemudian menghampiri ibunya. Ia memeluk sang ibu dari belakang. “Aku hanya kurang tidur?” dustanya.
“Apa yang membuatmu begadang, Nak?”
Berpikir sejenak, ia tidak mungkin berterus terang pada ibunya kalau ada seorang gadis manis yang membuatnya tidak bisa tidur. Seorang gadis yang dia temui di social media. “Hanya masalah pekerjaan. Seandainya saja aku bisa mengambil cuti lebih panjang. Aku tentu bisa menikmati masakan Mama lebih lama dari ini.”
“Kalau kamu menikah, kamu akan mendapatkan cuti tambahan.” Sindir Sang ibu halus.
“Hmm…” Raka melepas pelukan pada ibunya. “Kita lihat saja nanti.” Jawaban asal-asalan itu adalah bagian dari doanya. Raka sungguh berharap dia bisa menikahi Reta dalam waktu dekat. Namun kenyataan kembali menghantamnya. Jangankan menikah, mengenal Reta lebih jauh saja rasanya mustahil. Ia mendesah dalam hati. Rasanya Raka siap memberi semua yang dia miliki asalkan dia bisa bersanding dengan Reta.
“Siapa cewek ini? Kenapa kamu tidak membawanya kemari?”
“Belum saatnya, Ma. Nanti kalau kalau waktunya tiba Raka berjanji akan membawa dia kemari.”
Sebuah senyum simpul tercetak jelas di wajah ibu Raka. “Mama tidak sabar menunggumu dia datang.” Setelah mengucapkannya, ibunya mematikan kompor. Ia menyajikan masakan di atas meja makan lalu mengajak Raka untuk sarapan.
Raka tidak bisa memungkiri perutnya yang keroncongan setelah mencium aroma masakan sang ibu. Ia pun duduk berhaadapan dengan ibunya dan menikmati sarapan yang akan selalu dirindukannya saat sedang bekerja. Selama ini masakan sang ibu tidak pernah sekalipun mengecewakan lidahnya.
Usai sarapan, Raka pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia bertekad akan mencari tahu di mana Reta saat ini. Setelah memakai pakaian yang lebih layak, Raka mencari ponselnya. Ia hendak menghubungi Reta tetapi betapa terkejutnya dirinya saat melihat balasan pesan dari gadis itu. Hati Raka berbunga-bunga. Dia seperti sedang berada di taman bunga yang baru saja mekar. Seluruh kemarahan dan kekecewaaannya pudar hanya dalam hitungan detik. Dan tolong jangan lupakan senyum bodoh yang menghiasi wajahnya saat ini.
Reta benar-benar mampu membuatnya terlihat seperti badut bodoh yang tidak tahu malu.
**
“Ajaib! Rasanya bahkan tidak pernah berubah! Tetap konsisten seenak ini, ya, Les!” komentar Reta saat menikmati sendokan pertamanya. Lesa yang melihat itu hanya bisa terkekeh. “Hei, aku serius!”
“Aku bisa melihatnya,” gadis itu hanya mengedikkan bahu. “Itulah alasan aku membawamu kemari, Reta. Kamu pasti merindukan bubur ayam ini.”
“Sejujurnya,” Reta kembali memasukkan sesuap bubur ke dalam mulut lalu mengunyahnya dengan cepat. “aku tidak pernah menemukan bubur seenak ini di tempat kerjaku.”
“Di sana ada yang menjual bubur ayam?” tanya Lesa takjub. “Kupikir kamu hanya makan di café atau restoran saja.”
Reta melambaikan tangan. “Jangan ngaco! Aku makan apa yang mau aku makan tapi memang bubur di sana tidak ada yang seenak ini rasanya. Ini luar biasa!”
“Ya… ya… ya… makanlah sepuasmu sebelum kamu kembali ke sana,” Lesa meneguk teh hangat miliknya.
Tak sampai lima menit kemudian makanan mereka telah tandas. Reta mengambil tissue lalu mengusap mulutnya dengan tissue tersebut. Lesa memandanginya dengan kening mengerut dalam, sepertinya gadis itu menunggu apa yang akan keluar dari mulut Reta.
Sebelum memulai pembicaraan yang terbilang sensitive itu, Reta lebih dulu memastikan di sekeliling mereka tidak ada yang mendengarnya. Dia tidak ingin ada yang mengenal dirinya dan Lesa di sana kemudian mendengar pembicaraan yang akan melibatkan harga dirinya. Untuk saat ini Reta tidak mau mengambil resiko. Tidak sebelum dia menemukan jalan terbaik untuk masalah yang menimpanya.
“Jadi?” Lesa lebih dulu memulai. “Apa yang ingin kamu katakan padaku?”
“Apa yang akan kusampaikan nanti akan membuatmu terkejut.”
“Aku siap untuk apa pun,” Ujar Lesa tidak sabaran.
“Baiklah,” Reta memulai. “Sebelum sorenya sebelum Papa dilarikan ke rumah sakit sebenarnya aku bertengkar hebat dengan Papa dan Mama. Kurasa itulah yang memacu beliau mengalami serangan jantung. Aku tahu ini salahku tapi aku tentu punya alasan kenapa aku ingin sekali menikah dengan Radit.”
“Mamamu sudah menceritakan pertengkaran di antara kalian. Kamu yakin akan lebih memilih Radit di banding keluargamu?”
“Lesa,” Reta mengeluh dalam. “Selama empat tahun ini aku sudah berjuang mendapatkan restu mereka, tapi kamu tahu sendiri, kan? Bagaimana hasilnya? Mereka sama sekali tidak mau membuka mata mereka untuk menerima Radit meski hanya sedikit. Aku kehabisan cara, aku tidak tahu bagaimana lagi menghadapi situasi ini.” Ia meremas jemarinya di atas meja. Mendadak rasa mual itu kembali menyerang Reta, ia memalingkan wajah agar Lesa tidak melihat perubahan sikapnya yang tiba-tiba.
“Mereka hanya menginginkan yang terbaik untukmu, Reta. Itu saja.”
“Apa yang mereka pikir terbaik untukku belum tentu bisa membuatku bahagia. Dan sampai kapan aku harus menunggu mereka luluh? Aku lelah, Lesa. Sungguh!”
“Aku tidak tahu bagaimana menanggapinya, ini mungkin tidak mudah bagimu tapi kau harus tetap memikirkan perasaan kedua orangtuamu. Mereka telah merawatmu sejak kecil sedangkan Radit hanyalah orang baru di dalam kehidupanmu.”
Reta mendesah. Sepertinya sampai kapan pun Lesa tidak akan bisa memahami bagaimana perasaaannya. “Dengarkan aku, Lesa. Radit bukanlah orang baru di hidupku. Kami sudah menjalin hubungan cukup lama. Yang bersalah dalam kasus ini adalah kedua orangtuaku yang sama sekali tidak mau membuka mata hati mereka untuk Radit.”
“Iya,” Lesa memijit pelipisnya. “tapi meski begitu kau harus tetap menghargai mereka. Kita bisa mencari jalan keluar terbaik untuk kalian. Yang tentu saja tidak merugikan salah satu pihak.”
Kali ini Reta menggeleng dengan penuh prihatin. “Sayangnya aku tidak punya banyak waktu untuk itu.”
Lesa menelengkan kepala. Ia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Reta. “Maksudmu?”
Jauh sebelumnya Reta sudah mempertimbangkan dengan matang apa yang ingin ia katakan pada Lesa. Dia butuh tempat untuk berbagi. Saat ini Reta tidak menemukan orang yang bisa dia percaya kecuali sepupunya sendiri, Lesa. “Waktuku tidak banyak, Lesa. Aku tidak tahu sampai kapan lagi aku harus menunggu kepastikan kedua orangtuaku. Aku dan Radit sudah berjuang cukup lama hingga ke titik ini.”
“Kalian bisa mencobanya sekali lagi.”
“Sudah kulakukan.” Reta melihat sekeliling. Tampak pengunjung mulai berkurang seiring berjalanannya waktu. Sepertinya orang-orang sudah mulai disibukkan dengan kegiatan mereka masing-masing. “Kau tahu sendiri bagaimana akhirnya. Papa terkena serangan jantung. Aku takut jika aku mencobanya sekali lagi hasilnya akan lebih buruk.”
“Tidak sekarang maksudku. Kamu bisa mencobanya beberapa bulan dari sekarang.”
“Lesa, aku tidak punya waktu sebanyak itu. Sudah kubilang waktuku sempit.”
“Jadi?”
“Aku mengandung anak Radit.” Pungkas Reta dan berhasil membungkam mulut Lesa.
Keheningan merayap di antara mereka. Reta tahu apa yang saat ini Lesa pikirkan. Dia pasti tidak menyangka dengan berita yang disampaikan olehnya pagi ini. Jika berita itu mampu membuat Lesa terkejut, ia yakin kabar itu juga mampu mengantar kedua orangtuanya ke liang lahat. Semenmtara untuk saat ini Reta sama sekali tidak siap jika harus kehilangan kedua orangtuanya.
“Seperti yang kubilang padamu, waktu yang kumiliki tidak banyak. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.”
Lesa menggeleng, mengusir jauh-jauh keterkejutannya. “Apa kamu bercanda?”
“Tidak. Aku serius. Tidak ada waktu untuk bercanda jika menyangkut semua ini.”
Kali ini Lesa mencoba untuk lebih mengerti perasaan Reta. Ia mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. Lesa ikut melihat sekeliling, talut ada yang mendengar pembicaraan mereka. “Jadi, berapa usia kandunganmu?”
“Sejujurnya aku tidak tahu. Radit memintaku untuk pergi ke dokter tetapi aku belum sempat ke sana. Aku berencana ke dokter dan di sini lah aku sekarang. Semua di luar ekspektasku.”
Lesa mengangguk penuh pengertian. “Apa Radit mau bertanggung jawab?”
“Tentu,” Sahut Reta bangga. Dia tahu Radit tidak akan lari dari tanggung jawabnya. “Dia ingin kami segera menikah. Radit memintaku untuk berbicara dengan Mama dan Papa dengan hati-hati lalu aku tidak sabar mendengar cacian yang dilontarkan Mama untuk Radit. Kami bertengkar hebat dan mustahil rasanya aku bisa mendapatkan restu mereka. Aku butuh bantuanmu.”
Lesa mengangkat kedua tangan. Menyerah. “Aku sama sekali tidak bisa membantu.”
“Aku butuh solusi,” katanya lagi dengan nada frustasi. “Anak ini butuh kepastian. Jika Mama dan Papa terus berkeras dengan pendirian mereka, janin dalam kandunganku semakin membesar, itu artinya aku juga harus segera menikah. Aku tidak mungkin membiarkan kandungan ini membesar tanpa adanya kejelasan status.”
Mengetukkan jari ke meja makan, Lesa ikut memikirkan jalan keluar permasalahan sepupunya. “Setelah Papamu keluar dari rumah sakit, aku akan berbicara dengannya.”
“Mungkinkah dia akan luluh?”
Lesa mengedikkan bahu. “Aku tidak tahu. Kita akan segera tahu setelah mencobanya.”
“Ya.” Dengan jengah Reta melambaikan tangan ke udara. “Aku sempat berpikir untuk mengatakan pada mereka kalau saat ini aku mengandung anak Radit.”
“Itu hanya akan mempercepat kematian mereka.” komentar Reta penuh sarkastik.
“Aku setuju denganmu. Kehamilanku mungkin berita buruk bagimu tapi sejujurnya aku punya yang lebih buruk dari itu.”
Memperbaiki posisi duduknya, Lesa mencoba memasang senyum penuh kepalsuan. “Nah, coba sekarang katakan padaku apa berita buruk selanjutnya.”
“Radit memberiku cukup banyak uang. Kurasa ini pertama kalinya dia memberiku uang sebanyak itu. Dia memintaku pergi ke dokter dengan uang itu.”
“Bukankah itu bagus” Sela Lesa penuh semangat. “Itu menunjukkan kalau dia bertanggung jawab.”
“Dan setelah itu dia menghilang tanpa jejak. Aku tidak bisa menghubunginya sampai sekarang.”