BAB-7. MANTRA.

1891 Kata
BAB-7. MANTRA. TIBA di rumah sakit, Reta melihat Lesa melambai ke arahnya. Gadis itu tampak kelelahan, terlihat dari kantung matanya yang berwarna hitam. Ia bergegas menghampiri Lesa dan menyapanya. “Hai…” “Kau membuatku khawatir,” ujar Lesa sembari mendesah panjang. Lesa memeluk Reta cukup erat sembari mengusap punggungnya. “Syukurlah kamu tiba dengan selamat. Aku pkunya kabar baik untukmu.” “Bagaimana Papa?” “Beliau sudah melewati masa kritisnya. Sekarang Papamu sudah dipindahkan ke ruang perawatan.” Mendengar hal itu, Reta mendesah lega. Ia mengucap syukur dalam hati, mengetahui kondisi ayahnya yang sudah membaik membuatnya begitu tenang. “Aku akan melihatnya sekarang.” “Mungkin sebaiknya kamu istirahat, Reta. Papamu sudah jauh lebih baik. Kamu harus makan atau minimal-“ “Tidak,” Reta memotong ucapan sepupunya. “Aku tidak bisa tenang sebelum memastikan Papa baik-baik saja. Lesa, tunjukkan padaku di mana Papa dirawat.” Lesa hanya bisa pasrah. Ia mengenal kepribadian sepupunya dengan sangat baik. Semakin dilarang maka Reta akan semakin keras kepala. Demi menjaga persaudaraan mereka agar tetap utuh, maka Lesa pun mengalah. Ia membawa Reta ke ruang perawatan pamannya. Keduanya berjalan dalam hening. Reta sepertinya sibuk dengan angan-angannya sendiri. Lama mereka berjalan, akhirnya Reta dan Lesa tiba di ruang perawatan ayah Reta. Reta memandang pintu yang menjulang tinggi di hadapannya. Ia membayangkan bagaimana jika sang ayah mengembuskan napas terakhirnya di sini? Sanggupkah dia menerima semua itu? Cepat-cepat Reta menghapus bayangan mengerikan yang sempat terlintas di benaknya. Ia memegang handle pintu lalu mendorong daun pintu itu dengan hati-hati. Detik berikutnya pintu terbuka separuh. Reta melangkah masuk dan betapa terkejutnya ia saat melihat sang ayah terbaring dengan mata terpejam rapat di atas ranjang rumah sakit. Dengan hati hancur, Reta bergegas menghampiri ayahnya. Reta tidak menyadari kehadiran sang ibu yang sejak tadi termenung sendirian di sofa. “Pa…” ucapnya lirih saat tiba di sisi ayahnya. Reta memeluk pria paruh baya itu dengan hati-hati. Air matanya tumpah begitu saja tanpa perlu diperintah. “Pa… maafin Reta, Pa,” ucap Reta sekali lagi di sela isak tangis. Di belakangnya, Lesa menghampiri Ibu Reta yang justru menangis mendengar isak tangis Reta. Wanita paruh baya itu memandangi sang putri dan suaminya dengan tatapan pilu. Lesa hanya bisa mengusap punggung ibu Reta dan mencoba menenangkannya. “Tante, yang sabar, ya.” Ibu Reta hanya mengangguk pelan. Ia menyeka air matanya dengan punggung tangan kemudian bangkit menghapiri sang putri. Sesampainya di sisi Reta, sang ibu segera memeluk bahu anaknya dengan sayang. “Papa akan segera pulih, Nak.” “Mama tidak bohong, kan?” Reta mengalihkan pandangan pada ibunya. Ia menatap lekat manik mata sang ibu, berusaha mencari kebohongan di sana. “Bagaimana jika-“ “Tidak. Mama sudah bertanya pada dokter. Dia bilang Papa akan segera pulih. Dia sudah melewati masa kritisnya.” Jawaban sang ibu sedikit banyak melegakan perasaan Reta. Ia menggenggam tangan sang ayah erat, mencoba berpikir positif meskipun tidak mudah. Ketika ia melepas genggangam tangannya, Reta segera memeluk sang ibu dan meminta maaf. “Maafkan Reta, Ma…” “Ssttt…” Ibunya mengusap punggung Reta dengan sayang. “Apa pun yang pernah Mama dan Papa katakan padamu, semua itu hanya untuk kebaikanmu, Nak. Tidak lebih. Mama harap dengan kejadian ini kamu bisa belajar banyak.” Kata-kata yang keluar dari mulut ibunya mungkin tidak banyak tetapi Reta memahami tujuan sang ibu. Semua ini pasti berkaitan dengan hubungannya dengan Radit. Dengan hati hancur, Reta mengiyakan ucapan sang ibu. Posisinya sulit, dia tidak bisa membantah ibunya di saat seperti ini. “Mungkin sebaiknya kamu pulang dan istirahat,” ibunya menyeka sisa air mata yang masih menggenang di pelupuk Reta. “Kamu pasti sangat lelah.” Reta menggeleng. Dia tidak mungkin meninggalkan kedua orangtuanya di saat seperti ini. “Tidak, Ma. Reta tidak akan pulang. Reta-“ “Nak,” potong sang ibu dengan suara pelan. “Pulang dan istirahatlah. Jika kamu memaksa berada di sini, kamu akan berakhir sakit seperti Papa. Mama mohon,” Melihat ketulusan di mata ibunya, Reta akhirnya mengangguk pasrah. Ia sekali lagi mencium pipi ayahnya kemudian pergi meninggalkan ruangan itu dengan diikuti oleh Lesa di belakangnya. Sesampainya di luar, Reta memeriksa ponsel yang ia simpan di saku celana. Berharap Radit menghubunginya atau setidaknya meninggalkan pesan singkat untuknya. Namun yang Reta temui justru sebaliknya, kekecewaan. Pria itu tidak menghubunginya sama sekali. Ini kali pertama Radit mengabaikannya sampai selama ini. Lagi-lagi bayangan Radit meninggalkannya dalam kondisi mengandung anak pria itu kembali terlintas di benaknya. Melihat raut wajahnya yang berubah drastis, Lesa berinisiatif bertanya pada Reta. “Ada apa?” tanya gadis itu penuh pengertian. “Tidak ada,” dusta Reta. Lesa mengabaikan jawaban Reta. “Apa ini semua ada kaitannya dengan Radit?” tanya gadis itu seolah bisa membaca jalan pikiran Reta. Menanggapi hal itu, Reta hanya tersenyum tipis. “Aku akan menceritakannya padamu nanti.” “Nanti…” ulang Lesa sembari memutar bola mata. ** Sesampainya di rumah, Reta bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara Lesa pulang ke rumahnya untuk mandi dan berjanji akan menemui Reta secepatnya. Sialnya, hingga detik ini Reta masih belum bisa melupakan Radit. Dia tidak hentinya memikirkan pria itu. Di mana Radit berada? Sedang apa dia? Dan kira-kira sedang bersama siapa Radit saat ini? Usai mandi, Reta kembali ke kamar yang sudah lama tidak dia tempati. Sejak menginjak bangku Universitas hingga detik ini Reta telah meninggalkan kamar tersebut. Kamar itu masih sama seperti yang bisa diingatnya terakhir kali, nyaris tidak pernah berubah. Reta mengambil napas dalam-dalam. Seandainya saja dia tidak merantau, mungkin saat ini dia tidak menjalin hubungan dengan laki-laki bernama Radit. Juga tidak mengandung anak dari pria itu. Memikirkan Radit membuatnya pening. Dan rasa mual itu kembali menyerangnya dengan begitu kejam. Reta terpaksa berlari ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perutnya. Ia memijit sendiri tengkuknya, setengah hatinya Reta berharap setidaknya dalam situasi seperti sekarang ada laki-laki yang bertanggung jawab atas apa yang menimpanya. Sialnya, tidak ada siapa pun di sana kecuali dirinya yang tiba-tiba merasa dibodohi oleh Radit. Reta kembali ke kamar, ingin cepat-cepat memeriksa ponselnya. Seharusnya Radit menghubunginya pagi ini. Mereka biasa berbincang sebelum disibukkan dengan rutinitas masing-masing. Namun lagi-lagi dia harus menerima kekecewaan. Tidak ada balasan pesan dari Radit atau bahkan panggilan dari pria itu. Dengan hati dongkol, Reta membanting ponselnya di atas kasur sambil mengumpat keras. Setelah itu ia juga membanting pintu kamarnya. Reta mengambil sepasang baju lalu memakainya dengan cepat. Ia bersumpah akan memberi pelajaran pada pria itu jika nanti Radit kembali padanya. Masih mencoba berpikir positif, Reta duduk di depan meja rias, menyisir rambut, dan memberi riasan tipis pada wajahnya. Ia akan menunggu sampai besok, jika Radit memang tidak menghubunginya, itu berarti sesuatu telah terjadi pada hubungan mereka. Untuk saat ini yang harus dipikirkannya adalah sampai kapan dia harus menyembunyikan kehamilannya? Bagaimana jika kedua orangtuanya tahu kalau anak yang dikandungnya adalah anak Radit? Mereka pasti akan sangat murka. Sibuk memikirkan akan kehamilannya, Reta dikejutkan oleh suara ketukan pintu. Ia mengerjap berkali-kali sebelum memutuskan untuk bangkit dan melihat siapa yang datang. Dengan langkah gontai, Reta berjalan mengampiri pintu. Begitu daun pintu terbuka, senyum riang Lesa terpampang jelas di hadapannya. “Aku tahu kamu pasti belum keluar dari kamar,” tuduh gadis itu dengan nada riang khas Lesa. Reta melambaikan tangan dan berbalik cepat menuju tempat tidur. “Aku baru saja selesai mandi.” “Kenapa kamu malah kembali ke kasur?” dia memutuskan untuk ikut masuk ke kamar Reta. “Ayo kita keluar dan cari sarapan. Kamu pasti lapar.” “Aku tidak lapar, Lesa. Pergilah sendiri!” sahut Reta ketus. “Setelah berkendara semalaman penuh sekarang kamu bilang kalau kamu tidak lapar. Reta, itu sama sekali tidak lucu.” “Aku memang tidak lapar.” Tukas Reta. “Aku tahu kamu punya masalah dengan Radit, tapi bukan berarti kamu mengabaikan kesehatanmu seperti ini. Reta, kamu butuh asupan makanan untuk menjagamnu tetap waras. Sekarang bangkit dan kita keluar untuk mencari sarapan.” Reta melirik Lesa dari sudut matanya. “Apa kamu akan berada di sana sampai aku mengatakan ‘Ya’?” “Tentu,” ucap Lesa penuh percaya diri. “Sial!” Sekarang mau tidak mau Reta harus menuruti keinginan Lesa. Dia mengenal baik sepupunya yang keras kepala itu. Dan Lesa tidak akan pergi sebelum dia menuruti semua keinginannya. Reta tidak tahu apa yang sedang direncanakan oleh si Cerdik Lesa, satu hal yang pasti dia tidak bisa menghindar. Dengan mberat hati, Reta akhirnya bangkit dari duduknya. Dia mengambil tas tangan, ponsel, dan tak lupa kunci mobil. Melihat hal itu Lesa cepat-cepat melayangkan protes. “Kita akan keluar memakai motorku. Tolong jangan berpikir kalau kita akan memakai mobil.” “Kenapa?” “Ribet.” Sahut Lesa singkat. Reta melambaikan kedua tangan ke udara. Dia lalu melempar kunci mobilnya ke atas kasur dan bergegas menyusul Lesa. “Jadi, kemana kamu akan membawaku?” “Bubur ayam cocok untuk menu sarapan kita pagi ini. Kuharap kamu tidak keberatan.” Bubur ayam? Sambil berjalan menuju pintu, Reta memikirkan makanan tersebut. Perutnya tiba-tiba saja terasa sangat kosong. Mendadak selera makannya naik drastis. Rasanya Reta sanggup menghabiskan dua mangkuk penuh bubur ayah dengan topping melimpah. Ah, tak lupa dia akan mengaduk bubur di mangkuk itu hingga seluruh isi mangkuk tercampur sempurna. “Ide bagus,” sahut Reta lengkap dengan senyuman. “Nah, itu baru Reta yang kukenal,” Lesa menaiki motornya dengan penuh semangat. Dia menunggu Reta duduk di belakangnya kemudian mereka berdua keluar dari pekarangan rumah. “Mari sejenak kita nikmati pertemuan kita dan lupakan masalah apa pun yang menimpamu.” “Termasuk Papa yang sekarang terbaring di rumah sakit?” tanya Reta jengah. Lesa terkekeh, “Oh… maafkan aku, Reta. Tentu yang satu itu tidak termasuk. Ngomong-ngomong, setelah perutmu terisi penuh, kamu harus segera tidur. Kantung matamu mengerikan.” “Aku tidak mungkin bisa tidur nyenyak di saat Papa berada di rumah sakit.” “Apa pun itu, kamu harus tetap tidur.” Lesa membunyikan klakson saat memlihat tetangga mereka melambaikan tangan. “Aku akan mengantarmu ke rumah sakit. Kita bisa menunggu Papamu di sana. Bagaimana?” Reta melambaikan tangan saat melihat teman masa kecilnya membeli bahan makanan di salah satu tukang sayur keliling. “Kamu yakin aku bisa tidur?” “Sangat yakin.” “Kenapa begitu?” tanya Reta yang sedikit terhibur dengan ucapan Lesa. Lesa terkekeh, “Aku mengenalmu dengan baik. Kamu akan mudah tidur saat kenyang. Apakah kebiasaan itu sekarang sudah berubah, Reta?” “Sama sekali belum,” Reta membenarkan. Mendadak kehangatan menjalari hati Reta. Setidaknya dalam situasi seperti sekarang ada Lesa yang senantiasa menghiburnya. Reta tidak bisa membayangkan bagaimana jika dia harus menghadapi kehamilan seorang diri. Belum lagi masalah yang menimpa ayahnya. Dia mungkin tidak akan sekuat sekarang tanpa Lesa di sisinya. “Nah, kalau begitu dugaanku benar. Ingat mantra ajaibnya, Reta. ‘Lesa tidak pernah salah’.” Keduanya terkekeh keras begitu mantra itu diucapkan. “Astaga, itu konyol! Sampai kapan kita akan memakai mantra itu?” “Entahla…” Lesa terbatuk sambil terus mengemudi. Ia akhirnya membawa motornya menepi begitu melihat kedai bubur ayam langganan mereka sejak masih kanak-kanak. “Baiklah, kita sampai.” Reta turun lebih dulu kemudian disusul oleh Lesa. Ia menatap lama kedai itu. Puas membaca tulisan yang tertera di sana, Reta mengalihkan pandangannya pada Lesa sembari berkata, “Ada yang ingin kubicarakan padamu.” Lesa hanya melempar senyum simpul sebelum berkata, “Aku bisa menunggunya. Sebaiknya kita urus dulu urusan perut ini.” “Ide bagus!” sahut Reta riang.                        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN