BAB-9. HI…

1598 Kata
BAB-9. HI… LESA membuka mulut lebar-lebar mendengar pernyataan Reta. Setelah semalaman dia nyaris tidak memejamkan mata, paginya dia harus menerima semua rahasia yang Reta tumpahkan padanya pagi ini, lalu diakhiri dengan berita kepergian Radit yang tanpa jejak. Bagaimana Reta bisa menyimpan semua ini sendirian? Bagaimana wanita yang tengah mengandung, tidak memiliki pendamping, ditinggalkan oleh kekasihnya, dan yang terburuk harus menghadapi keegoisan orangtuanya mengadapi semua ini sendiri? “Hmmmm…” “Aku tahu apa yang kamu pikirkan,” potong Reta sebelum Lesa berhasil mengeluarkan isi kepalanya. “Kau mungkin berpikir uang yang diberikan Radit adalah bekal untukku dan anak ini. Lalu dia pergi dari tanggung jawabnya. Bukankah begitu, Lesa?” “Tepat sekali,” Ujar Lesa cepat dengan nada frustasi di dalamnya. Lesa mengambil napas dalam-dalam, ia memandangi sepupunya yang tampak kurang sehat. Kini dia tahu apa penyebab Reta selalu mual setiap waktu. “Jadi, apa kau sudah menemukan solusi untuk masalahmu?” Reta menggeleng, “Sejujurnya belum, aku tidak tahu bagaimana menghadapi semua ini dan sampai kapan aku harus menunggu Radit kembali. Itu pun jika dia memang ingin kembali. Jika tidak? Mungkin keluargaku harus menanggung malu atas dosa yang kuperbuat. Dan yang terparah adalah… anak ini. Aku tidak bisa membiarkan dia lahir tanpa ayah.” Lesa setuju dengan gagasan itu. Dia pun mengangguk-anggukan kepala selama beberapa kali sebelum akhirnya berkata, “Kira-kira berapa usia kandunganmu?” “Hei, kenapa kau bertanya seperti itu padaku? Aku tidak tahu berapa usia kandunganku karena aku belum pernah mengunjungi dokter sekali pun.” Mendengar jawaban Reta, memunculkan setitik senyum di wajah gadis itu. Kurasa kita bisa mencari tahu lewat internet.” Gadis itu lalu mengelurkan ponselnya. Ia mencari di mesin pencari google bagaimana menghitung perkiraan kehamilan seseorang. Setelah menemukan jawabannya, Lesa mengangkat wajah dan bertanya, “Kau hari terakhir kau menstruasi?” Pertanyaan itu memaksa Reta untuk berpikir. Ia merenungkannya selama beberapa saat sebelum berkata, “Tanggal lima bulan lalu.” Setelah mendengar jawabannya, Lesa kembali memusatkan perhatian pada ponsel di tangannya. “Kalau begitu usia kandunganmu kurang lebih enam minggu.” Reta yang mendengar pernyataan itu hanya bisa mengerutkan keningnya, “Lesa, apa kamu serius? Ini bukan bahan candaaan. Tolong jangan mengada-ada, Lesa.” Lesa memutar bola matanya, “Aku mengikuti petunjuk di sini.” ia menunjuk sebuah tabel di dalam ponselnya. “Begitu cara perhitungannya. Untuk lebih jelasnya kita bisa bertanya pada dokter.” “Oke-oke. Terserah kamu saja. Ngomong-ngomong kenapa kamu bertanya tentang usia kandunganku? Ada masalah?” Lesa mengangguk singkat. “Begini, kita harus tahu usia kandunganmu terlebih dahulu. Cepat atau lambat kandunganmu akan segera terlihat. Jadi, kita bisa menghitung berapa banyak waktu yang kita miliki. Kamu masih punya kesempatan menikah dengan Radit jika dia kembali nanti. Kita hanya perlu menunggu sampai kondisi Papamu membaik lalu mengatakan yang sejujurnya. Katakan kalau mau mengandung dan Radit siap bertanggung jawab. Dengan begitu masalah selesai.” “Bagaimana jika Radit tidak kembali? Apa yang harus kulakukan dengan bayi ini?” Pertanyaan itu cukup membungkam mulut Lesa. “Hmmm… mari kita berpikir positif.” “Baiklah…” Reta melipat kedua tangan di depan d**a sembari bersandar di kursi yang nyaman. “Mari kita berpikir positif dan pikirkan kemungkinan terburuknya. Positif dulu, silakan.” “Sudah kujelaskan di atas,” Sahut Lesa dengan nada panik. “Jadi, opsi kedua. Negatif.” Keduanya terdiam sejenak. Lesa tampak berpikir lebih keras dari sebelumnya. Ia lalu mengangkat kedua tangan ke udara dan berkata, “Aku menyerah!” “Aborsi mungkin?” “Aku tahu kamu tidak akan melakukannya, Reta.” Komentar Lesa ketus. “Lalu?” “Kita tunggu tiga bulan dari sekarang. Jika Radit tidak juga kembali, maka kita harus memikirkan cara lain.” “Jangan gila!” Reta menepuk meja dengan sebelah tangan karena emosi mendengar saran Lesa. “Tiga bulan bukan waktu yang singkat, Lesa. Coba bayangkan betapa besar perutku tiga bulan dari sekarang!” ia menaikkan nada suaranya. Ucapan Lesa benar-benar memantik kemarahannya. “Maaf, Lesa. Tapi aku tidak bisa menunggu selama ini.” “Oke… Oke…” Lesa menepuk kepalanya. “Dasar bodoh!” umpatnya pada diri sendiri. “Kita pikirkan cara lain jika Radit benar-benar lari dari tanggung jawab.” “Kamu saja yang berpikir. Otakku buntu.” Reta melambaikan tangan pada pelayan dan memesan segelas cappuccino hangat. Dia tidak bisa membiarkan otaknya terbakar karena masalah ini. “Katakan padaku jika kamu sudah menemukan solusi yang tepat.” Lesa mengeluh dalam. “Aku bertanya-tanya, sebenarnya siapa yang hamil di luar nikah di sini? Aku atau dirimu?” “Well… kita berdua tahu jawabannya.” Tak berapa lama kemudian, selama Lesa berpikir, seorang waiter datang dengan membawakan pesanan Reta. Pria muda itu meletakkan cappuccino milik Reta di atas meja. Setelah menerima pesanannya Reta mengucapkan terima kasih dan begitu punggung pria itu menghilang dari pandangan, Lesa bergegas mengungkapkan ide barunya. “Begini…” Lesa melihat sekeliling sebelum melanjutkan. “Kamu mungkin bisa tetap tinggal di rumahmu di kota sampai kamu melahirkan. Dengan begitu, oramg-orang tidak akan tahu kalau kamu sedang mengandung. Bagaimana?” Saran yang diberikan oleh Lesa terasa cukup masuk akal. Dia tidak perlu mengkhawatirkan tentang kedua orangtuanya lagi, gunjingan dari saudara, tetangga, dan mungkin teman-teman lamanya. Reta hanya perlu tinggal di rumahnya di kota dan melahirkan dengan selamat di sana. Dia bisa mencari asisten rumah tangga untuk membantunya selama dia mengandung dan melahirkan. Sempurna! Tapi… “Hei, bagaimana dengan pekerjaanku? Teman-temanku pasti bertanya-tanya siapa suamiku, bukan? Oh, Lesa, orang-orang di kantor tidak akan tinggal diam melihatku punya anak tanpa seorang suami! Lagi-lagi saranmu sama sekali tidak membantu!” “Hei, aku sudah berusaha semampuku!” Keluh Lesa. Ia meletakkan kepala di atas meja dan menyalahkan kebodohannya. “Aku lupa kalau kamu punya pekerjaan. Maafkan aku.” Melihat sikap Lesa, rasa bersalah yang sangat besar menghantui diri Reta. Dia meletakkan kedua tangan di rambut sepupunya dan mengangkat kepala Lesa dengan hati-hati. “Kamu tidak perlu minta maaf. Aku mendengar semua saranmu dan semuanya masuk akal. Hanya saja… entahlah. Mungkin kita memang belum menemukan solusi yang tepat. Itu saja.” “Kamu tahu ‘kan aku hanya ingin membantumu.” “Tentu saja. Dan aku menghargainya, Lesa. Aku tahu kamu tulus membantuku. Terima kasih banyak.” Katanya sambil mengucap lebar. “Nah, bisakah kita pulang sekarang? Kurasa aku butuh istirahat.” Lesa pun ikut menguap lebar. “Aku juga harus tidur. Jadi bagaimana dengan masalahmu?” “Kita pikirkan lain kali, Lesa. Kuharap aku masih punya waktu kurang lebih tiga bulan sampai perutku membuncit.” “Kita tidak bisa memprediksinya,” Lesa bangkit dari duduknya. “Aku akan membayar di kasih. Kamu bisa menungguku di motor.” “Okay,” Reta menepuk bahu sepupunya dengan sayang. “Sekali lagi, terima kasih, Lesa.” “Seandainya aku bisa membantumu…” “Hei, kamu sudah banyak membantuku. Jangan hiraukan masalahku! Kita akan menemukan solusi yang tepat untuk yang satu ini.” “Semoga saja.” ** Sesampainya di rumah, Reta bergegas memeriksa ponselnya. Ia ingin tahu apakah Radit menghubunginya atau tidak. Sekian detik berlalu dengan tergesa, Reta kembai harus menelan kekecewaan. Ia mengumpat dalam hati mendapati laki-laki yang telah menghamilinya pergi begitu saja tanpa pamit. Menolak menyerah, Reta memutuskan untuk menghubungi Radit terlebih dahulu. Dia berharap panggilannya disambut hangat oleh sang kekasih. Namun lagi-lagi Reta harus menerima kenyataan kalau nomor ponsel Radit tidak aktif. Reta memandangi ponselnya dengan perasaan gelisah, dia tidak menyangka kalau kisahnya akan berakhir seperti ini. Dia tidak menyangka kalau Radit benar-benar pergi meninggalkannya. “Tenangkan dirimu, Reta…” ia bergumam pada dirinya sendiri. Setelah dirasa lebih baik, Reta memutuskan untuk duduk di kursi dan menenangkan diri. Ia meletakkan ponselnya, tanpa dia sadari air matanya mengalir begitu saja. Empat tahun lamanya Reta berhubungan dengan Radit, mempercayai pria itu dengan segenap jiwanya. Kini tiba-tiba saja Radit pergi meninggalkan dirinya di saat ia tengah berbadan dua. Reta sama sekali tidak menyangka kalau hidupnya akan berakhir seperti sekarang. Di saat dia begitu merasa bahagia karena memiliki Radit, pria yang mencintainya luar-dalam, kini pria itu mengkhianatinya dengan begitu kejamnya. Mungkinkah Radit pergi karena terlalu muak dengan sikap orangtuaku? Pemikiran itu terlintas begitu saja di benak Reta. Hal itu bisa saja terjadi, bukan? Lagipula, laki-laki mana yang akan tinggal diam saat harga dirinya diinjak-injak oleh orang lain? Bukan hanya sekali, melainkan berkali-kali. Dan sekarang Radit membalas semua perbuatan orangtua Reta dengan mempermalukan Reta dengan kehamilannya. Reta meninju kasur dengan kedua tangan. Kali ini ia menangis sejadi-jadinya karena memikirkan hal itu. Dia membenci kedua orangtuanya. Dia juga membenci Radit yang sudah menghamilinya. Dan yang terburuk adalah dia membenci dirinya sendiri karena terlalu mudah diperdaya oleh laki-laki seperti Radit. Sisi lain dari dirinya tidak bisa memungkiri betapa indahnya hubungannya dengan Radit. Reta selalu menikmati sentuhan pria itu saat mereka bersama. Baginya Radit adalah candu yang mustahil dihilangkan dengan cara apa pun. Puas menangis, Reta akhirnya menyerah menghadapi semua ini sendiri. Dia tidak bisa menyalahkan Radit karena pria itu tidak ada di sampingnya. Untuk saat ini Reta hanya ingin menenangkan diri sampai dia bisa menemukan solusi atas masalah yang menimpanya. Reta mengambil ponsel, berniat ingin mencari musik yang pas untuk menemani kegundahannya saat ini. Matanya yang mulai mengantuk juga membutuhkan tidur panjang atau dia akan jatuh sakit. Saat ini Reta tidak boleh sakit. Tidak di saat dia berada di rumah bersama kedua orangtuanya dengan janin kecil di dalam perutnya. Reta melupakan niat awalnya saat melihat pesan dari Raka. Ada begitu banyak chat masuk dari pria itu. Dengan rasa penasaran yang tak terbendung, Reta akhirnya membaca satu per satu pesan Raka. Ujung bibirnya terangkat hingga membentuk senyum simpul saat merasakan perhatian Raka yang terlalu bersar untuk ukuran teman baru. Demi menghargai Raka, ia akhirnya membalas pesan dari pria itu. Hi…  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN