BAB-6. BE MY WIFE.
RETA memutus sambungan telepon karena tidak tahan mendengar cacian sang aya. Ia mulai berpikir percuma saja membela Radit di hadapan kedua orangtuanya. Mereka tidak akan pernah memahami perasaannya dan juga tidak akan bisa menerima Radit sampai kapan pun. Dan sampai kapan pun, Reta akan terus mempertahankan pria itu meski tanpa restu dari keuarganya.
Meninggalkan jendela tempatnya bersandar sejak lima menit yang lalu, Reta membawa kedua kakinya menuju kamar. Ia mengambil handuk kemudian bergegas mandi. Ia menanggalkan seluruh pakaiannya kemudian mematut diri di depan cermin. Seharusnya tidak ada yang saah dengan bentuk tubuhnya. Namun ia tidak bisa memungkiri satu atau dua bulan lagi perubahan itu akan nampak jelas di bagian perutnya. Reta membawa sebelah tangan untuk mengelus tepat di sana, di bagian perutnya yang saat ini masih rata. Kehamilannya ini mungkin terlalu mendadak tetapi Reta bersumpah dia telah siap dengan segalanya. Anak itu, akan menjadi bagian terbesar dari dirinya. Dan tanpa sadar, ia telah memberikan setengah hatinya untuk janin yang bahkan belum pernah ditemuinya.
Cepat-cepat Reta menepis bayangan buruk untuk melenyapkan sosok mungil yang kini bersemayang dalam tubuhnya. Dia tidak akan tega melakukan hal itu. Anak itu sama sekali tidak bersalah. Dia berhak hidup bahagia tanpa harus menanggung beban orangtuanya. Reta lalu berdiri di bawah shower dan hanya dalam hitungan kurang dari sepuluh menit ia telah menyelesaikan ritual mandinya. Ia keluar dari kamar mandi dengan rambut basah. Guyuran air itu membuatnya bebannya sedikit berkurang.
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam saat dia menikmati makan malam sederhana yang dibelinya lewat aplikasi. Semangkuk bakso dengan kuah yang masih panas serta segelas cappuccino berhasil dilahapnya sembari menonton sebuah film yang cukup terkenal di Netflix. Sebenarnya Reta menunggu balasan pesan singkat dari Radit tetapi sepertinya pria itu benar-benar sibuk. Reta memainkan ponselnya kemudian tidak sengaja melihat pesan singkat dari Raka. Ia membaca pesan itu lalu tersenyum simpul.
Hai…
Reta…
Di mana kamu?
Kamu baik-baik saja?
Ah, rupanya Raka mencarinya. Tanpa menunggu lama, Reta membalas pesan itu. Hai, maaf aku agak sibuk tadi. Ada apa?
Enam puluh detik kemudian dia menerima balasan dari Raka. Reta berseru kaget. Cepat sekali. Batinnya.
Akhinya kau muncul juga. Aku mengkhawatirkanmu. Ada masalah? Kenapa kau tidak membalas pesanku sejak tadi?
Reta mengetuk-etukkan telunjuk di atas layar ponselnya sambil berpikir. Tidak ada masalah. Aku baru saja menghubungi orangtuaku. Itu saja.
Bagaimana kabar mereka? Baik?
Baik. Balas Reta singkat.
Syukurlah. Sudah makan?
Reta melirik alat makan kotor yang masih berada di atas meja. Dia akan segera menyingkirkannya nanti setelah selesai dengan filmnya. Sudah. Kamu?
Aku juga sudah. Ngomong-ngomong, apa besok kamu bekerja?
Ujung bibir Reta terangkat mendengar pertanyaan itu. Tentu saja. Aku takut menjadi gelandangan jika aku tidak bekerja.
Ah, itu tidak mungkin.
Mungkin saja. Aku bukan dari keluarga yang cukup banyak uang, Raka. Maka dari itu aku harus tetap bekerja.
Mungkin kalau kamu punya suami kamu tidak perlu bekerja terlalu keras. Kamu bisa meminta suamimu untuk bekerja.
Seharusnya memang seperti itu. Reta juga berharap dia bisa tinggal di rumah seperti seorang Ratu dan menunggu suaminya pulang dari kantor. Sial, hidupnya tidak seindah itu. Nah, masalahnya aku belum punya suami.
Hmmm…
Jawaban Raka sungguh membuat Reta kesal. Ia nyaris membanting ponselnya tetapi kemudian melihat pesan lain yang dikirim oleh salah satu sepupunya. Belum sempat Reta membaca pesan itu, ia lebih dulu membuka balasan pesan lain dari Raka.
Kalau kamu mau jadi istriku, kamu bisa berhenti bekerja. Kamu tidak perlu terbebani dengan pekerjaanmu.
Kening Reta mengerut dalam saat membaca rangkaian kata yang dikirim oleh Raka. Ia meneguk salivanya kasar sembari merenungkan apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Raka lewat pesan itu. Sembari menerka-nerka Reta memberanikan diri berkatanya, Maksudnya?
Jadilah istriku
Reta terbatuk kala membaca dua kata itu. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Raka akan berkata demikian. Belum sempat Reta membalas pesan teman dunia mayanya itu, tiba-tiba sepupunya menghubunginya. Reta bergegas mengusap ikon telepon berwarna hijau kemudian panggilan tersambung.
“Hi, Lesa. Ada apa malam-malam telepon?” sapanya dengan nada riang.
“Oh, akhirnya! Kemana saja kamu? Aku mengirim pesan padamu tapi tidak kamu balas.”
Reta meringis, “Oh, aku minta maaf. Tadi aku sedang makan. Ada apa? Kamu terdengar panik.”
Lesa, nama salah satu sepupunya yang sejak kecil dekat dengan Reta. Wanita itu mendesah pelan sebelum akhirnya berbicara. “Reta, Om dilarikan ke rumah sakit. Dia terkena serangan jantung.”
Bagai disambar petir di siang bolong, berita dari Lesa sungguh menghantam telak d**a Reta. Dia sama sekali tidak menyangka kalau ayahnya mendadak terkena serangan jantung. Bayangan akan pria itu tak lagi bisa membuka mata seolah berputar di depan wajah Reta. Dia kembali teringat dengan pertengkaran mereka beberapa jam yang lalu. Reta mengutuk dirinya sendiri dalam hati. Seandaianya saja dia tidak memaksakan kehendak untuk menikah dengan Radit, mungkin semuanya tidak akan menjadi seperti ini.
“Reta… kamu di sana?” Lesa membuyarkan lamunan Reta. Ia mengerjapkan mata berkali-kali demi mendapatkan kesadarannya.
“Ya. Bagaimana kondisi Papa? Apa dia baik?”
Jeda cukup panjang. Hal itu cukup membuat Reta frustasi. “Lesa! Kamu mendengarku?”
“Maaf,” lagi-lagi terdengar desahan panjang dari seberang. “Kondisinya buruk. Om kritis. Tante bilang kamu baru saja menghubunginya. Ada masalah?”
Reta enggan menjawab pertanyaan sang sepupu. Untuk saat ini tidak ada gunanya membahas Radit. “Aku akan menceritakan padamu setelah sampai di sana.”
“Kamu mau pulang?”
“Tentu.” Reta melihat jam di dindingnya. Hanya sepuluh menit sebelum jam sembilan malam. “Aku harus pulang dan melihat Papa.”
“Kamu bisa pulang besok pagi. Lagipula ini sudah larut.”
Reta bangkit dari sofa, ia berjalan menuju kamar seraya membuka lemarinya. Satu-satunya yang dia takutkan adalah kehilangan sang ayah. Reta tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri jika terjadi sesuatu dengan ayahnya. Apalagi semua yang terjadi saat ini adalah murni karena kesalahannya. “Besok mungkin aku tidak punya waktu lagi. Aku akan pulang malam ini, Lesa. Tolong jangan bilang pada orangtuaku.”
“Reta… kamu gila!”
Reta mengabaikan protes sepupunya. Dia tidak punya banyak waktu untuk berpikir. Yang harus dia lakukan sekarang adalah berkemas dan pulang ke kampung halaman sebelum… “Aku harus bertemu Papa, Lesa. Berjanjilah padaku kalau kau akan terus mengabariku tentang perkembangan Papa.”
“Reta, kumohon… jangan pulang sekarang. Ini sudah sangat larut. Kau bisa sangat celaka jika memaksakan,” ujar Lesa dengan dipenuhi rasa khawatir.
Celaka. Bukan itu yang ada di benak Reta sekarang. Justru ayahnya lah yang sudah dibuat celaka karena pertengkaran mereka. Usia ayahnya sudah tidak muda lagi, rentan bagi laki-laki itu teerkena serangan jantung hingga meninggal. Sebelum semuanya terlambat, Reta memilih menemui sang ayah meski harus berkendara selama sepuluh jam lamanya.
“Doakan aku baik-baik saja sampai di tujuan.” Setelah mengucapkannya Reta memutuskan sambungan telepon. Masih ada satu orang lagi yang harus dia hubungi sebelum kembali ke rumah orangtuanya. Reta berdiri sembari bersandar pada lemari. Ia mencari nomor Kia kemudian menghubunginya. Telepon teersambung setelah dering yang ketiga. “Kia…”
“Hai, ada apa? Tumben-“
“Kia dengarkan aku,” potong Reta sebelum sahabatnya berbicara panjang lebar. “Papa terkena serangan jantung dan sekarang sedang dilarikan ke rumah sakit. Aku tidak tahu bagaimana kondisinya. Bisakah kamu membantuku mengurus urusan kantor? Aku akan pulang ke rumah orangtuaku sekarang.”
“Sekarang?” ulang Kia tidak percaya. “Kamu yakin?”
Reta tanpa sadar mengangguk. “Ya. Aku sangat yakin. Aku…” ia mengambil napas dalam-dalam. “sore tadi aku bertengkar dengan Papa dan Mama. Kurasa itulah yang menjadi pemicu sakitnya Papa saat ini.”
Hening. Kia terdiam, pun dengan Reta. Sepertinya wanita itu bisa menebak apa yang sedang terjadi.
“Apa ini ada kaitannya dengan Radit?”
Reta memijit pelipisnya yang mendadak pening. “Ya. Kamu pasti tahu apa yang saat ini kupikirkan.”
“Ya. Aku akan mengurus kantor. Jadi, bagaimana kamu pulang nanti? Apakah kamu sudah mendapat tiket pesawat?”
“Aku akan pulang sendiri dengan mobilku.”
“Sendiri?” tanya Kia tidak percaya. “Reta, kamu-“
“Aku tidak punya pilihan, Kia. Aku tidak bisa diam di sini dan menunggu sampai besok pagi. Lagipula, tidak ada penerbangan ke rumahku di jam-jam seperti sekarang.”
“Tapi-“
“Kia, tolong…” pinta Reta pada sahabatnya. “Aku akan meninggalkan kunci rumahku di pot bunga seperti biasa. Bisakah kamu memeriksa rumahku pagi hari sebelum ke kantor dan malam hari setelah pulang dari kantor?”
Terdengar helaan napas singkat. “Tentu saja. Reta, tolong hati-hati.”
“Pasti.”
“Kabari aku jika kamu sudah sampai.”
“Tentu.”
Tepat pukul 21.30 WIB, Reta keluar dari pekarangan rumah dengan mengendari mobilnya. Dia berdoa dalam hati semoga perjalanannya kali ini diberi kelancaran. Jika biasanya Reta selalu bahagia saat pulang ke rumah kali ini perasaannya sungguh berbeda jauh. Dia pulang karena ayahnya sedang tidak baik-baik saja. Menurut perkiraannya, dia akan tiba di rumah orangtuanya pukul delapan besok pagi. Perhitungannya sudah termasuk 3-4 kali berhenti di rest area untuk beristirahat. Malam ini Reta harus rela kehilangan jam tidurnya demi bisa sampai di rumah dengan selamat.
**
Pukul empat subuh Reta berhenti di salah satu SPBU. Itu adalah pemberhentiannya yang kedua. Reta memutuskan untuk beristirahat setiap tiga jam sekali. Ia pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil dan memesan segelas kopi serta camilan untuk mengganjal perutnya yang sudah lapar. Sesekali Reta memeriksa ponselnya untuk memantau perkembangan sang ayah. Hingga detik ini tidak ada kabar terbaru mengenai ayahnya yang sedang kritis. Lesa yang berada di rumah sakit hanya mengatakan kalau ayahnya masih berada di bawah pengawasan dokter.
Tidak ingin membuang waktu lebih banyak, Reta memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Dia mencoba menghubungi Radit tetapi pria itu sama sekali tidak meresponnya. Hal itu cukup membuat Reta sedih. Dia ingin menceritakan masalahnya pada Radit seperti yang selalu dia lakukan setiap kali bertengkar dengan ayahnya. Namun sepertinya kali ini Reta harus menelan bulat-bulat pil kekecewaan.
Menit demi menit berlalu, akhirnya Reta bisa melihat matahari terbit. Cahaya keemasan menerobos masuk melalui jendela kaca yang sengaja tidak ditutupnya. Reta mengeluarkan satu tangannya, menikmati aroma pagi yang seharusnya seperti obat bagi hari-harinya di kota besar yang cukup monoton. Udara segar, padi-padi yang mulai menguning, orang-orang yang pergi ke sawah, dan anak-anak kecil yang memulai aktifitas mereka dengan bermain. Tanpa dia sadari sebuah senyum simpul terukir di wajahnya. Masih terlau pagi memang untuk memulai hari baru jika dia tinggal di rumahnya di Kota, tetapi di sini orang-orang bangun pagi-pagi sekali dan memulai hari mereka dengan penuh semangat seolah tidak menanggung beban kehidupan.
Dua jam lagi berlalu, akhirnya Reta hampir sampai di rumah sakit tempat ayahnya dirawat. Ia membawa mobilnya perlahan karena terjebak macet. Berkali-kali Reta mengumpat saat ada pengendara anak-anak yang tidak mematuhi peraturan lalu lintas. Ketika sampai di lampu merah, Reta mencoba menghubungi Radit sekali lagi. Namun lagi-lagi pria itu tidak membalas pesannya. Reta mendesah kecewa. Tidak pernah sekalipun Radit mengabaikannya seperti sekarang.
Mungkinkah Radit berpaling dariku?
Pertanyaan itu terlintas begitu saja di benaknya. Dia mendadak ketakukan memikirkan jika seandainya Radit meninggalkannya.