BAB-5. PAPA.
SESAMPAINYA di kantor, Reta bergegas membuka makanan yang dia beli dalam perjalanan berangkat. Seperti janjinya semalam, Kia menjemputnya pagi ini. Jadi dia tidak perlu repot-repot membawa mobil hingga sampai ke kantor. Reta duduk sembari menatap makanannya dengan selera rendah. Di sisinya Kia bertanya, “Ada apa?”
Reta menggeleng sembari melambaikan tangan. “Tidak ada. Aku hanya sedang tidak berselera.”
“Ah,” ujar Kia seolah memahami perasaannya. “Kamu bertengkar dengan Radit?”
“Tidak juga,” sahut Reta ringan. Reta teringat pembicaraannya dengan Radit pagi ini. Pria itu menghubunginya seolah merasakan apa yang tengah Reta rasakan. Dengan Radit lah Reta bisa leluasa menceritkan kehamilannya. Tentang moning sickness yang melandanya pagi ini hingga entah sampai kapan. Hal itu menarik simpati Radit cukup besar tetapi tidak ada yang bisa dilakukan oleh pria itu selain memberi semangat pada Reta. Untuk saat ini mereka berdua sama-sama tahu kalau tidak ada jalan keluar untuk permasalahan mereka. Satu-satunya yang bisa dilakukan hanyalah menunggu. Dan lagi-lagi Radit memaksanya untuk bertemu dengan orangtuanya. “Dia menghubungiku pagi ini.”
“Atau Raka?”
Mendengar tuduhan Kia, Reta hanya bisa memutar bola matanya. “Moodku pagi ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Raka.”
“Oh…” Kia mengangguk-anggukan kepala. “Kupikir ada hubungannya. Jadi, bagaimana perkembangan Raka?”
“Kia,” Reta akhirnya membuka bungkus makanan di hadapannya. Mau tidak mau dia harus sarapan pagi ini untuk menjaga kewarasannya. “tidak ada perkembangan apa pun di antara aku dan Raka.” Ia menghela napas panjang lalu mengembuskannya. Hanya tersisa 30 menit sebelum mereka berdua harus berperang dengan tumpukan pekerjaan.
Kia mengikuti gerakan Kia dengan semangat serupa. “Ada masalah yang kamu sembunyikan dariku.”
“Aku hanya belum siap mengatakannya. Sungguh, ini sangat rumit.”
Ujung bibir Kia terangkat mendengar hal itu terucap dari bibir Reta. Ia menepuk bahu sahabatnya dengan sayang. “Reta, aku tidak akan memaksamu mengatakan apa yang saat ini menimpamu. Satu hal yang harus kamu tahu, aku… akan selalu ada di sini untuk mendengar keluh kesahmu dan membantumu melewati semuanya. Jangan pernah merasa sendiri. Ada aku dsini.”
Reta dibuat terharu dengan rangkaian kata yang terucap dari mulut Kia. Gadis itu memang selalu ada untuknya sejak hari pertama mereka tiba di kantor. “Aku akan mengatakannya saat aku siap.”
“Ya. Tentu.” Kia mengambil gelas lalu menegak minuman hingga tandas. “Apa pun itu, kamu harus tetap kuat. Jangan biarkan masalahmu membuatmu lemah, Reta. Semangat!” Kia mengangkat satu tangan hingga membuat Reta terbahak. Dalam siatuasi apa pun, Kia lah pemenangnya. Mereka berdua tahu itu.
**
Sore harinya sepulang dari kantor, lagi-lagi Reta harus puas diantar oleh Kia. Dia tidak tahu sampai berapa lama kondisinya membaik. Seandainya Reta punya piihan, dia ingin sekali resign dari kantor, lalu menikah dengan Radit, dan menikmati kehamilan pertamanya. Sayang, semua itu hanyalah iluasi bagi Reta yang bahkan tidak memiliki masa depan. Jangankan masa depan untuk anaknya nanti, untuk dirinya sendiri pun tidak.
Reta melambaikan tangan pada Kia begitu mobil yang Kia tumpangi keluar dari halaman rumahnya. Ia segera masuk ke rumah dan meletakkan tas di atas sofa. Reta mengambil ponsel kemudian meenghubungi Radit, dia ingin tahu apa yang sedang dilakukan oleh pujaan hatinya itu.
Saat membuka aplikasi chatting, Reta meihat pesan Radit yang belum sempat dibacanya. Pesan itu dikirim oleh Radit saat dia sedang dalam perjalanan pulang dari kantor. Karena terlalu asyik mengobrol dengan Kia, Reta melupakan percakapannya dengan Radit di ponsel. Bola mata Reta melebar saat melihat sebuah foto yang dikirim oleh Radit. Di sana tertera bukti transfer yang nilainya cukup fantastis. Ini kali pertama Reta menerima uang sebanyak itu dari Radit. Pria itu bahkan menulis rangkaian kata yang membuatnya terharu.
Maafkan aku kalau aku tidak bisa menemanimu di saat seperti ini. Pergilah ke dokter kandungan dan periksa kehamilanmu. Aku akan sangat sibuk dalam waktu dekat. Sesuai janjiku padamu, aku akan kembali dalam dua minggu. I love you.
Tanpa dia sadari, Reta menitikkan air matanya. Ia merindukan sosok Radit yang penuh perhatian dan selalu memprioritaskan dirinya. Pria itu pernah berkata kalau bisnis yang saat ini sedang dibangunnya adalah untuk masa depan mereka. Namun sepertinya mereka tidak akan bisa mendapatkan masa depan bersamanya.
Mengabaikan pikiran negatif yang melandanya, Reta membalas pesan Radit. Hati-hati, ya. Jaga kesehatan. Jangan sampai sakit dan jangan lupa makan. I love you.
Setelah menekan tombol send, Reta meletakkan ponselnya di atas meja. Hari ini dia bertekad untuk memperjuangkan Radit sekali lagi. Selama ini hanya Radit yang selalu berjuang demi hubungan mereka. Sementara dirinya hanya diam membisu, membiarkan Radit di caki maki oleh keluarganya, dan bahkan diusir dari rumahnya. Kini, Reta tidak akan membuat perjuangan Radit sia-sia. Dia yakin ada jalan untuk hubungan mereka.
Dengan semangat menggebu, Reta bangkit dari posisinya semula. Ia mengambil ponsel yang ditelakkannya di atas meja kemudian menghubungi ibunya. Reta akan mulai berkomunikasi dengan lewat telephone. Jika diskusi kali ini berakhir buruk, maka dia akan pulang ke rumah orangtuanya dan berbicara langsung pada mereka.
Dering kelima panggilan tersambung. Sapaan dari suara hangat sang ibu mendadak menghangatkan hatinya yang sedang dilanda gelisah. “Hallo, Reta,”
“Hai, Ma,” Reta bangkit dari duduknya lalu berjalan ke dapur. Ia mengambil botol air minum dari kulkas kemudian menegaknya hingga tandas.
“Ada apa, Nak? Kamu mau pulang dalam waktu dekat?”
“Mama apa kabar?” bukannya menjawab pertanyaan sang ibu, Reta justru melempar pertanyaan lain pada beliau? “Sehat, kan?”
“Mama sehat. Ada apa sore-sore begini telepon? Kamu sudah pulang kerja?”
Reta berjalan menuju jendela yang langsung menghadap taman belakang rumahnya. Ia berdiri di sana sembari memikirkan kalimat yang tepat untuk dikatakan pada sang ibu. “Reta sudah pulang, Ma. Ngomong-ngomong, mama sedang apa?”
“Mama habis selesai mandi, Nak. Baru mau masak untuk makan malam.”
“Oh…” Reta tanpa sadar menganggukkan kepalanya lagi. “Papa di mana, Ma?”
Sang ibu diam sejenak sebelum menjawab pertanyaan Reta. “Papamu sedang mandi. Ada yang ingin kamu sampaikan padanya?”
Setelah satu helaan napas singkat, Reta akhirnya memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya pada sang ibu. Kali ini dia benar-benar berharap ibunya bisa memahami apa yang tengah ia rasakan. “Ma, Radit melamarku. Dia akan datang ke rumah dalam waktu dekat.”
Jeda panjang di antara mereka berdua. Reta sadar betul perkataannya menyakiti hati sang ibu. Namun dia juga tidak bisa membiarkan Radit menunggunya lebih lama. Dia harus bertindak sekarang. Selain Radit, ada janin dalam kandungannya yang membutuhkan kepastian.
“Ma…” sekali lagi Reta memanggil sang ibu. “Mama masih di sana?”
Terdengar suara desahan dari seberang. Sepertinya sang ibu juga terkejut mendengar apa yang barusan dia katakan. “Kalian tidak boleh menikah.”
Nah, jawaban ibunya persis seperti dugaan Reta sebelumnya. Selalu empat kata itu yang keluar dari mulut sang ibu tiap kali mereka berbicara soal Radit. “Aku tahu Mama akan berkata demikian. Tapi untuk sekali ini, Maaf, Ma, aku tidak membutuhkan persetujuan Mama. Aku siap menikah dengan Radit tanpa restu kalian.”
“Reta!” ucap sang ibu dengan sedikit membentak. “Apa-apaan ini? Apakah kamu sadar apa yang barusan kamu katakan? Kamu tahu, dia bukan pria baik-baik. Kamu terlalu baik untuk b******n seperti dia!”
“Radit bukan b******n, Ma!” pembelaan itu keluar begitu saja dari mulutnya. Setiap kali menyebut nama Radit di hadapan kedua orangtuanya, mereka selalu mencela Radit. Bahkan Radit sepertinya tidak dianggap seperti manusia normal, melainkan hanyalah seorang ‘b******n’ yang tidak berguna. “Radit pria baik-baik yang tulus sayang sama Reta. Penilaian Mama dan Papa selama ini salah. Salah besar!”
“Mama rasa dia sudah membawa pengaruh buruk padamu. Hanya karena dia sekarang kamu berubah menjadi anak pembangkang. Sebelum ini kamu-“
“Cukup, Ma!” potong Reta ketus. Dia sudah cukup muak mendengar caci maki kedua orangtuanya yang ditujukan pada Radit. Jika selama ini Reta hanya diam membisu, untuk sekali ini Reta tidak akan membiarkan mereka mengolok-olok Radit lagi. “Radit tidak seburuk itu. Mama dan Papa yang tidak mengenal Radit dengan baik. Maka dari itulah kalian selalu menilai dia buruk hanya karena penampilan luarnya.”
“Reta, sekali lagi Mama tekankan, laki-laki baik-baik tidak bertato. Tidak bergaul dengan anak jalanan. Tidak meminum alkohol sampai mabuk dan laki-laki baik-baik pasti selalu menghormati orangtua. Sedangkan Radit, apa yang kamu banggakan dari dia? Dia hanya sampah masyarakat yang tidak berguna dan tidak akan bisa memberimu kebahagiaan. Apa yang Mama lakukan padamu hanya untuk kebaikanmu. Itu saja. Tidak lebih. Mama tidak mau kamu jatuh di tangan orang yang salah.”
“Semua itu hanya bagian dari masa lalu Radit. Dia yang sekarang sudah jauh berubah. Reta berani mengatakan pada Mama kalau selama ini Reta belum pernah bertemu dengan orang yang mencintai Reta seperti Radit mencintaiku. Dia tulus. Oh, sekali lagi, selama ini Radit sudah berusaha meminta restu dari Mama dan Papa tapi kalian lah yang sejak hari pertama sudah menolak Radit mentah-mentah. Dia sudah berusaha, Ma. Dan Reta menghargai usaha Radit.”
Sang ibu tertawa sumbang. “Mama heran,” ucapnya penuh nada hinaan dalam suaranya. “apa yang telah dia berikan padamu sampai kau bisa seperti ini?”
“Dia memberiku segalanya, Ma. Yang tidak pernah kudapatkan dari laki-laki lain.” jawab Reta penuh penekanan.
Kata-kata pedas Reta seketika membungkam mulut sang ibu. Keduanya kembali terdiam cukup lama. Semakin ke sini, Reta semakin muak dengan sikap kedua orangtunya. Kini dia sadar, tidak ada harapan bagi Reta untuk mendapatkan restu dari kedua orangtuanya. Ini terakhir kalinya dia memohon. Jika mereka masih berkeras dengan pendirian mereka, maka Reta tidak akan segan-segan meninggalkan orangtuanya demi bisa bersama dengan Radit. Biarlah orang-orang menganggapnya membangkan pada orangtua. Reta tidak lagi peduli dengan penilaian masyarakat terhadapnya. Saat ini yang dia pedulikan hanyalah kebahagiaan dirinya sendiri dan janin dalam kandungannya.
Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang tak asing di telinga Reta.
“Siapa, Ma?” tanya suara itu.
Tak setelahnya si pemilik suara yang tak lain adalah ayahnya menyapa Reta dengan nada khasnya. “Hallo, Putri kecil Papa. Apa kabar kamu, Nak? Jam berapa sekarang? Apa kamu sudah pulang dari kantor?”
Reta sadar, cepat atau lambat sang ibu akan mengungkapkan apa yang mereka bicarakan tadi. Dan demi mempersingkat waktu, Reta akhirnya memutuskan untuk tidak menunda niatnya berbicara dengan sang ayah. Ia meletakkan tangan di bingkai jendela dan meremas benda itu kuat-kuat. “Pa, Radit melamar Reta dan Reta menerimanya. Reta ingin meminta restu dari Mama dan Papa. Kami akan menikah dalam waktu dekat. Reta sudah berbicara dengan Mama sebelumnya. Reta harap Papa mempertimbangkan niat baik kami berdua.”
“Tidak ada hal baik yang bersangkutan dengan Radit. Sampai kapan pun Papa tidak akan mengijinkan kamu menikah dengan b******n itu!”
Bajingan. Lagi-lagi Reta harus mendengar kata-kata itu keluar dari mulut ayahnya. Entah dosa apa yang diperbuat Radit di masa lalu hingga kini dia harus menerima cacian dari kedua orantuanya. Reta memandang ponselnya dengan perasaan rasa bersalah yang sangat besar. Ia menekan ikon telepon berwarna merah. Lalu panggilan pun berakhir. Reta sudah mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Dan dia juga tidak akan mengurungkan niatnya untuk menikah dengan Radit.