BAB-4. MORNING SICKNESS.

1873 Kata
BAB-4. MORNING SICKNESS. PERTEMUAN antara Reta, Raka, dan Kia berlangsung cukup menyenangkan. Reta menganggap kalau Raka adalah pria yang sangat baik dan ramah. Tepat seperti dugaannya selama ini. Mereka membicakan banyak hal. Termasuk kehidupan pribadi keduanya. Raka yang lebih banyak mengobrol tentang dirinya. Pekerjaannya di kapal pesiar yang mengharuskannya untuk merantau. Sementara Kia, sebagai satu-satunya orang yang tidak memiliki kepentingan di sana memilih untuk pindah ke meja lain. Sesekali Kia melempar pandangan membuhun pada Reta. Dia benar-benar tidak suka melihat sahabatnya itu berhubungan dengan pria lain di saat Reta masih menjalin hubungan dengan Radit. “Jadi, bagaimana hari ini?” tanya Raka setelah mereka menghabiskan makan malam. Raka mengambil minuman lalu menenugknya hingga tandas. “Seperti biasa,” Reta mengamati kedua tangan Raka saat pria itu meletakkan gelas kosong di meja. “membosankan.” Kening Raka mengerut dalam. “Kamu tidak menyukai pekerjaanmu?” Kali ini Reta hanya mengedikkan bahu. “Lumayan. Tapi kalau aku boleh jujur, melakukan aktifitas yang sama setiap hari cukup membosankan. Bekerja, bertemu dengan orang-orang yang sama, yang belum tentu menyukai kita, yang membicarakan kita dari belakang, semua itu cukup membuatku gila.” “Kamu masih waras,” ujar Raka sembari tertawa kecil. Pria itu memandangi wajah Reta dengan penuh minat. “Kamu lelah?” Reta menghela napas. “Lumayan. Kenapa?” “Bagaimana jika kita pulang sekarang. Betapa jahatnya aku memaksamu untuk bertemu denganku setelah seharian sibuk bekerja.” Raka melambaikan tangan pada pramuniaga. “Kamu serius?” tanya Reta tidak percaya. “Kita baru saja bertemu.” Seulas senyum muncul di wajah Raka. “Aku sama sekali tidak berbohong.” Pria itu melambaikan tangan pada waiters dan sesaat kemudian seorang gadis manis datang dengan membawa tagihan makan malam mereka bertiga. Raka dengan cepat membayar tagihan tersebut dan tak lupa memberi tips pada gadis tersebut. Setelah Si Gadis Café itu menghilang dari hadapannya, ia melanjutkan ucapan. “Kita bisa bertemu lain kali. Itu pun jika kau mau.” Reta membalas senyum Raka dengan tulus. Terus terang ia tertarik dengan pria ini. Entah ketertarikan macam apa, ia sendiri tidak mengetahuinya. “Lain kali aku tidak akan membawa Kia.” Bisiknya tanpa menoleh pada Sang Sahabat yang kini tengah sibuk dengan ponselnya. “Itu… menarik,” ujar Raka dengan nada terengah. Dia jelas tidak percaya dengan permintaan Reta yang satu ini. Pria itu mengulurkan tangan pada Reta dan langsung dijabatnya. “Senang bertemu denganmu,” Sebuah getaran halus menjalari sudut hati Reta. Terlebih saat pria itu mengusapkan ibu jari di punggung tangannya. It’s a love language. Batin Reta. “Sampai bertemu lagi, Raka.” “Secepatnya.” Pria itu bangkit dari duduknya selepas menjabat tangan Reta. Tak lama setelah itu Reta pun ikut berdiri. Ia melambai pada Kia dan tak butuh waktu lama bagi Kia untuk menghampiri Reta. Kia mengucapkan sepatah dua patah kata perpisahan pada Raka. Keduanya berjabat tangan singkat sebelum akhirnya berpisah di halaman parkir. Setelah berada di dalam mobil, Kia mengembuskan napas dan menatap marah pada Reta. “Apa-apaan tadi?” Seolah memahami kemarahan yang tengah dirasakan oleh Kia, Reta mencoba menenangkannya. Mereka sudah lama saling mengenal. Tidak ada alasan bagi Reta untuk marah pada sahabatnya itu. “Tidak ada apa-apa.” “Aku tidak bodoh, Reta. Aku melihat bagaimana Raka memandangmu,” ketus Kia sembari menyalakan mesin mobil. Kemarahan Kia nyaris tidak bisa dikendalikan. Wanita itu bergegas membawa mobil yang mereka tumpangi keluar dari area café. Dia bahkan tidak tersenyum pada Raka saat mereka melewati pria itu. “Apa yang kamu lakukan mala mini sungguh konyol. Bagaimana jika Radit-“ “Kia,” Potong Reta cepat. “Aku tahu apa yang akan kamu ucapkan. Radit tidak akan mengetahui hal ini jika kamu tidak membocorkannya. Aku percaya padamu.” “Aku bersumpah tidak akan mengatakannya pada Radit. Tapi…” Kia mengambil napas dalam-dalam. Suasana jalanan malam itu cukup ramai. Orang-orang dengan kendaraan mereka mulai keluar dari gedung-gedung kantor setelah seharian bekerja. “Ayolah! Kita berdua tahu-“ ia lagi-lagi menjeda ucapannya. “Sudahlah. Tidak ada gunanya marah pada orang yang sedang kasmaran.” “Aku tidak sedang kasmaran.” Bantah Reta tapi sama sekali tidak digubris oleh Kia. Kia membawa mobil dalam keadaan hening sepanjang perjalanan pulang ke rumah. Seharusnya Reta terganggu dengan situasi itu. Selama mereka menjalin hubungan pertemanan nyaris tidak pernah sekalipun Kia membuat Reta kesal. Sebaliknya Reta lah yang selalu membuat keadaan di antara mereka keruh. Namun Reta mengabaikan apa pun yang saat ini dirasakan oleh Kia. Dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Tentang janin di dalam kandungannya. Tentang hubungannya dengan Radit. Tentang restu orangtuanya. Semua itu benar-benar memenuhi benak Reta. Dia tidak menyangka kalau akhirnya akan menjadi seperti ini. Bertahun-tahun berjuang untuk restu orangtuanya, Reta dan Radit tak kunjung mendapatkan lampu hijau untuk hubungan mereka. Seandainya Reta tidak memikirkan perasaan kedua orangtuanya. Mungkin dia sudah memilih kabur bersama Radit dan menikahi pria itu jauh sebelum hari ini. “Kita sudah sampai.” Lamunan Reta terhenti saat Kia mengucapkan tiga patah kata yang sangat sulit untuk dicerna olehnya. Reta mengerjapkan mata berkali-kali sebelumnya akhirnya menyadari di mana mereka saat ini. “Kenapa?” tanyanya saat mendapati mobil Reta terparkir di depan rumahnya. “Aku akan menjemputmu besok pagi,” Ucap Kia sembari melambaikan tangan ke udara. Kia mengambil botol air minum lalu meneguknya hingga tandas. “Sepertinya ada begitu banyak masalah yang ada di dalam kepalamu. Aku tidak tega membiarkanmu menyetir selarut ini.” Rasa bersalah sekaligus haru memenuhi d**a Reta. Seketika dia memeluk sahabatnya itu dari samping. “Aku minta maaf,” katanya sambil berjuang melawan air mata yang nyaris tumpah. Untuk saat ini Reta tidak ingin mengatakan apa yang sebenarnya terjadi padanya pada Kia. Belum saatnya. Pikir Reta. Meskipun dia mempercayai Kia dia tidak bisa serta merta mengatakan kalau saat ini dia sedang mengandung anak Radit. Terlebih saat Reta sedang memulai sesuatu yang baru bersama Raka. Kia dengan kesabaran extra mengelus kepala Reta. “Kamu tidak perlu minta maaf. Aku lah yang seharusnya minta maaf padamu.” Wanita itu tersenyum tulus. “Maaf membuatmu tidak nyaman dengan sikapku.” Lagi. Reta dibuat takjub dengan kelembutan hati Kia. Ia mengurai pelukan sahabatnya, mengucapkan permintaan maaf, dan berterima kasih untuk semua perhatian Kia hari ini. Sepuluh menit kemudian Reta sudah berada di dalam kamarnya. Bersiap untuk tidur. Hal terakhir yang dia lakukan sebelum mengistirahatkan tubuhnya adalah mengatakan ‘I love you´ pada Radit. ** Hari baru. Semangat baru. Seharusnya itu menjadi mantra ajaib yang mampu membuat Reta mendapatkan semangatnya lagi. Alih-alih merasa lebih baik, Reta justru semakin muak dengan hidupnya. Empat kata itu tak cukup baginya untuk membuatnya memulai hari dengan semangat menggebu. Bagaimana tidak? Pagi ini dia terbangun bahkan sebelum jam lima pagi. Jika biasanya Reta selalu bangun di atas jam enam, hari ini dia harus puas kehilangan jam tidurnya. Semua ini karena janin di dalam kandungannya. Reta yang saat itu masih merasa sangat mengantuk terpaksa turun dari ranjang karena mual. Dia buru-buru berjalan menuju westafel dan memuntahkan nyaris sebagian isi perutnya. Reta menatap wajah pucatnya di cermin. Bayangan dirinya dan Radit tengah b******u seolah terpampang jelas di cermin tersebut. Ia menyukai setiap momen berharga yang dia miliki bersama Radit. Pria itu selalu berhasil membuatnya jatuh cinta. Radit juga nyaris tidak pernah gagal membuat dia terpesona sejak pertama kali mereka bertemu. Namun akhir-akhir ini Reta merasa ada yang salah dengan hubungannya dengan pria itu. Dan kesalahan tidak berasal dari pihak Radit. Melainkan dari pihaknya. Ya. Reta jelas bersalah atas semua kesialan dalam hubungan mereka. Sedangkan Radit, pria sempurna itu berhak mendapatkan kebahagaian dan lepas dari belenggunya. Dan janin dalam kandungannya ini bukanlah kesalahan Radit. Melainkan dirinya. Reta bisa saja menolak berhubungan dengan pria itu. Namun dia tidak pernah melakukannya. Dia menikmati setiap sentuhan Radit. Untuk sekali ini dia sadar betapa ‘nakalnya’ dirinya. Sambil memegangi perutnya, Reta kembali memuntahkan isi perut. Kali ini yang keluar bukanlah makanan karena ia cukup yakin sebagian nyaris makanan di dalam perutnya sudah habis. Cairan putih kental lah yang meluncur masuk ke dalam westafel. Melihat hal itu tiba-tiba dia merasa jijik dengan dirinya sendiri. Reta bergegas menekan tombol flush hingga membuat sisa-sisa carian di sana larut terbawa air. Setelah dirasa lebih baik, ia meninggalkan westafel. Sekilas ia melihat jam di atas nakas. Masih terlalu pagi untuk bangun. Keluhnya sekali lagi. Reta mengambil napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya. Ia hendak kembali ke tempat tidur tetapi perutnya tiba-tiba berbunyi cukup nyaris. Reta kelaparan. Senyum simpul tercetak di wajah cantiknya. Sambil mengusap perutnya yang masih rata, Reta berkata, “Kau lapar?” ia melanjutkan perjalanan menuju dapur. Sesampainya di depan kulkas, Reta bergegas membuka pintu kulkas dan mencari makanan apa yang bisa dinikmatinya sepagi ini. Pilihannya jatuh pada yogurt rasa strawberry dan apel yang dibawa Radit saat berkunjung minggu lalu. Selalu ada Radit dalam setiap sudut hidupnya. Mustahil bagi Reta memungkiri hal itu. Dan kehadiran janin dalam kandungannya semakin membuatnya tidak bisa menyingkirkan Radit dari kehidupannya. Janin yang tidak bersalah itu nantinya harus menanggung malu jika dia tidak segera menikah dengan Radit. Cepat atau lambat kandungannya akan semakin membesar dan Reta tidak akan bisa menyembunyikannya lagi. Sambil memikirkan langkah apa yang akan diambilnya ke depan, Reta meletakkan yogurt dan apelnya di taman belakang. Untung saja ada sebuah taman kecil yang selalu bisa menjadi tempatnya bersantai. Ia meninggalkan kedua makanan itu lalu kembali ke kamar untuk mengambil ponsel. Masih terlalu pagi bagi dirinya dan Radit untuk saling menyapa. Biasanya Radit menghubunginya setiap pukul tujuh pagi. Saat ini mungkin pria itu belum bangun. Lagi pula, di pertemuan terakhir mereka Radit pernah mengatakan dia akan sangat sibuk dengan bisnisnya. Itu bukanlah masalah besar bagi Reta. Selama ini dia selalu mendukung apa pun yang Radit lakukan. Reta membuka aplikasi chatting. Hal pertama yang dia lihat adalah dua pesan singkat yang dikirim oleh Raka. Tanpa ia sadari senyumnya melebar melihat pesan itu. Tiba-tiba saja Reta merasa harus membaca apa yang dikirim oleh Raka. Selama tidur. Selamat pagi. Hanya sapaan tetapi entah mengapa dia cukup terkesan dengan hal itu. Raka berhasil membuat Reta mengalihkan perhatiannya dari kehamilannya. Seandainya Raka tidak hadir dalam hidup Reta, mungkin dia akan dilanda stress karena terus memikirkan jalan keluar untuk masalahnya saat ini. Seharusnya menikah dengan Radit adalah jalan terbaik bagi permasalahan Reta tetapi lagi-lagi restu keluarganya menjadi penghalang. Mengabaikan sejenak mengenai semua hal yang berkaitan dengan Radit, Reta membalas pesan yang dikirim oleh Raka. Selamat pagi. Tak berapa lama kemudian Raka membalas pesannya. Kau sudah bangun? Reta mengambil yogurt dan meminumnya pelan. Ia lalu menggigit apel tanpa mengupasnya terlebih dahulu. Tangannya terulur untuk membalas pertanyaan Raka. Kurasa aku bangun terlalu pagi kali ini. Apa kau bermimpi buruk? tanya Raka melalui pesan singkatnya. Ya. Ia menekan tombol sent kemudian kembali merasa mual. Tanpa pikir panjang, Reta meletakkan ponsel dan apel di atas meja lalu berlari menuju westafel untuk mengeluarkan isi perutnya. “Sial!” umpatnya pada diri sendiri. Lalu sebuah pertanyaan muncul di benak Reta. “Bagaimana aku pergi ke kantor dalam keadaan seperti ini?” Tak lama kemudian, saat Reta masih berdiri di depan westafel. Ia lagi-lagi memandang dirinya lewat pantulan cermin. Reta teringat dengan cerita temannya yang pernah mengalami morning sickness saat usia kandungannya memasuki trisemester pertama. “Okay, tolong jangan merepotkanku saat di kantor, Nak. Karena jika kamu nakal, aku tidak akan segan-segan memberimu pelajaran,” ujar Reta sembari mengusap mulut dengan tissue.                                
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN