10. Kekacauan di Pagi Hari

1596 Kata
Mikha dan Raya panik, keduanya bertatapan dengan perasaan yang sama, takut dan gugup. “Muka kamu!” Raya menunjuk ke wajah Mikha. “Kenapa?” Mikha semakin panik. Lelaki itu lalu mencari cermin dan terkejut melihat wajahnya. “Ini ... kenapa muka aku begini?” Mikha menggosok-gosokkan tangannya ke wajahnya untuk menghapus noda merah itu tapi tidak bisa. “Bagaimana ini?” tanya Mikha panik. “Bang Mikha?” panggil seseorang dari depan pintu membuat Mikha semakin panik. Raya berdiri di samping Mikha, keduanya menatap cermin dan melihat wajah mereka yang berantakan. “Itu ... bekas lipstick-ku?” Mikha menatap Raya cepat lalu menggeleng, “Kamu ingat sesuatu?” tanya Mikha. Raya menggeleng. “Apa kita ... berciuman?” tanya Mikha lagi. Raya menggigit bibir bawahnya dan menatap Mikha melalui cermin. Mikha mengusap wajahnya kasar. “Aku tidak percaya ciuman pertamaku malah begini jadinya. Aku merasa dilecehkan,” ujar Mikha. Sebuah tamparan mengenai lengan Mikha membuatnya berteriak dan mengaduh. “Di mana-mana yang dilecehkan itu harusnya perempuan,” ujar Raya. “Hah? Sempit sekali pemikiranmu! Di mana-mana yang dilecehkan adalah pihak yang lemah. Di kondisi kita sekarang, aku adalah pihak yang lemah itu,” jelas Mikha. Raya membulatkan matanya, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Mikha menuju ke toilet kecil di ruangannya itu dan langsung menyalakan keran di kamar mandi dan mencuci wajahnya. Raya mengekori lelaki itu, dia berdiri di depan pintu, bersandar sambil melipat tangannya. “Percuma,” ucap Raya. Mikha menatap wajahnya yang sama sekali tidak mengalami perubahan, noda lipstick itu masih ada. “Itu harus dibersihkan dengan micelar water” ujar Raya. “Apa itu micelar water?” tanya Mikha. “Itu cairan khusus untuk membersihkan riasan wajah," jawab Raya. “Ya sudah, berikan padaku! Aku harus segera keluar dan membuka kafeku, ini jam orang sarapan.” Mikha mengulurkan tangannya. Raya kembali menggigit bibirnya, “Itu dia masalahnya. Tas aku ketinggalan di mobil kamu.” Mikha menepuk jidatnya, “Ah, ini kacau sekali.” Raya memperhatikan sekelilingnya dan melihat benda yang dapat menyelamatkan mereka. “Kita bisa pakai itu!” Raya menunjuk ke arah masker yang berada di atas meja kerja Mikha. Mikha segera menuju ke arah meja kerjanya dan memakai masker itu, lalu mengambil kunci. Raya mengikutinya, dia juga harus segera pulang dan bersiap pergi ke kantor. “Kamu mau ke mana?” tanya Mikha saat dia berada di depan pintu. “Aku mau pulang. Kamu tenang saja, aku bisa naik taksi,” ujar Raya. Mikha menghentikan langkah Raya dengan mendorongnya dengan jari telunjuk di dahi wanita itu. “Kamu tahu apa yang akan terjadi kalau kamu keluar dari ruanganku dengan penampilan seperti ini?” Mikha memandang Raya dari atas sampai bawah. Blus putih yang dia gunakan acak-acakan begitu juga rambutnya. Bau alkohol juga tercium jelas dari Raya. "Lalu?” “Tunggu di sini, aku akan ambil tas kamu. Kamu boleh pergi setelah bersih-bersih,” jelas Mikha. Mikha melirik jam tangannya, “Kamu bisa pergi sekitar jam sembilan karena saat itu kafe pasti ramai dan tidak akan ada yang sadar dengan kehadiran kamu.” Raya mundur dan kembali duduk di sofa, sementara Mikha sudah keluar. “Lama sekali, Bang.” Gio-pelayan kafe Mikha keheranan melihat Mikha yang keluar dengan menggunakan masker. “Abang habis minum, ya?” tanya Gio lagi. Mikha memilih tidak menjawab, dia menyerahkan kunci kafe pada Gio dan bergegas menuju ke mobil untuk mengambil tas milik Raya. “Kenapa dia punya tas perempuan?” Salah seorang karyawan kafe Mikha bertanya pada yang temannya. “Apa benar rumor yang mengatakan kalau Bang Mikha ...,” ujarnya sambil melihat ke arah kiri dan kanan. “Penyuka sesama jenis,” bisiknya pelan. Temannya menutup mulutnya karena kaget, “Masa? Tapi yang aku dengar, dia simpanan tante-tante.” “Berhenti bergosip dan selesaikan pekerjaan kalian!” Gio muncul di belakang mereka membuat keduanya bubar. Gio menggeleng-gelengkan kepalanya lalu menatap ke arah atas di mana Mikha sedang masuk ke dalam ruangannya dengan membawa tas kecil yang sudah pasti milik wanita. “Ini tas kamu!” Mikha menyerahkan tas kecil Raya. Raya bersorak gembira dan mengambil cairan pembersih riasan wajahnya itu. “Bersihkan wajahku terlebih dahulu,” ucap Mikha yang duduk di samping Raya. “Hah?” “Aku sudah harus turun ke bawah dan mulai memasak,” lanjut Mikha. “Gak mau! Bersihkan saja sendiri.” Raya menyerahkan botol cairan pembersih wajah itu dan juga kapasnya. Mikha mencebik namun dia tidak bisa protes, dia harus cepat. Mikha tidak tahu cara memakainya jadi dia menuang banyak cairan itu di kapas dan mengusap ke seluruh wajahnya dan membuat Raya kesal. “Berhenti! Wah, kamu benar-benar bikin aku gemas lihatnya.” Raya merebut kembali cairan pembersih wajahnya dan juga kapas itu dari tangan Mikha. “Diam!” perintah Raya. Dia lalu dengan perlahan mengusap kapas yang sudah diberi cairan pembersih itu di wajah Mikha. Mikha menutup matanya pada awalnya namun ketika dia membuka matanya, wajah Raya tampak sangat dekat dari wajahnya. Keduanya terpaku untuk sebentar, tatapan mata mereka terkunci satu sama lain. Bahkan nafas mereka juga terasa. Jantung keduanya berdebar dengan cepat, membuat seolah waktu berhenti untuk beberapa saat. Ingatan Mikha kembali saat dia memeluk tubuh Raya dan wanita itu mulai mendekatkan wajahnya ke wajah Mikha dan kemudian bibir mereka akhirnya bertemu, beradu. Rasa lembut bibir Raya kembali terasa membuat Mikha menatap bibir Raya yang kembali berada di dekat bibirnya. “Nah, sudah selesai.” Raya mundur membuat Mikha menepis dengan cepat khayalannya barusan. Dia pasti sudah gila karena membayangkan dirinya kembali mencium Raya. Suasana menjadi sangat canggung untuk keduanya. Mikha berdeham, “Aku akan mandi sebentar. Kamu juga bisa mandi, pakai saja dulu kemejaku di lemari.” “Hah? Ah ... iya,” jawab Raya dengan canggung. Mikha lalu masuk ke dalam toilet yang juga punya kamar mandi di dalamnya dan mulai mandi. Dia merasa tubuhnya menjadi panas sekali, gerah sekali padahal cuaca pagi ini tidak terlalu panas. Mikha menelan salivanya mengingat kembali bagaimana dia dan Raya menghabiskan malam dengan ciuman panas yang b*******h, namun setelah itu dia menjadi khawatir. “Aku tidak sampai melakukannya ‘kan?” Mikha bertanya pada dirinya sendiri. “Sial! Aku hanya bisa mengingat ciuman itu.” Mikha menggigit jarinya. “Tapi tadi kami terbangun dengan pakaian yang utuh. Ya, pasti tidak terjadi apa-apa,” ujar Mikha lagi. “Aku akan mati jika Ibu tahu hal ini.” Mikha menggelengkan kepalanya dan melanjutkan kegiatan mandinya. Dia lalu keluar setelah selesai berganti pakaian, dia menemukan Raya yang masih terduduk di sofa. “Kamu sudah selesai?” tanya Raya. Mikha mengangguk, “Kamu mandi gih. Aku harus segera turun ke bawah. Ingat! Jam sembilan baru kamu turun.” Raya menghembuskan nafas lega begitu Mikha keluar. Suasananya benar-benar canggung sekarang. “Bagaimana bisa aku sampai kelepasan begini? Tidak terjadi yang lain ‘kan?” Raya menatap seluruh tubuhnya. Raya berjalan menuju kamar mandi dan mencari kemeja untuk dia pakai nanti. Pilihannya jatuh pada sebuah kemeja kotak-kotak berwarna putih. “Selera fashionnya tidak buruk,” ujar Raya begitu dia mengangkat kemeja itu. Raya masuk ke dalam shower dan mulai membasahi tubuhnya lalu baru sadar akan satu hal. “Sial! Kenapa aku membasahi rambutku?” Raya menyesali perbuatannya. Raya terlihat kesal dengan dirinya sendiri. “Ya sudah. Sudah terjadi.” Raya melanjutkan mandinya. *** ibu juga Mitha akhirnya memutuskan untuk pergi ke kafe Mikha karena lelaki itu tidak bisa dihubungi dari semalam. “Tuh ;kan Bu, kafe abang buka. Berarti dia ada,” ujar Mitha pada Ibunya yang bersikeras ingin menemui anak laki-lakinya itu. “Iya. Ibu hanya ingin tahu apakah dia baik-baik saja atau tidak. Kata-kata buyut kamu itu pasti menyakiti hatinya. Kamu tahu sendiri dia orangnya tidak bisa terbuka,” ujar Ibu. Wanita itu berjalan menuju ke dalam kafe. “Bang Gio!” panggil Mitha membuat Gio berbalik dan tersenyum melihat Mitha serta membungkuk hormat begitu dia melihat Ibu pemilik Kafe tempat dia bekerja. “Bang Mikha ada?” tanya Mitha. “Ada. Lagi masak di dapur. Mau saya panggilkan?” tawar Gio. Ibu dan Mitha menatap ke arah dapur yang dapat terlihat dari luar dan mereka bisa melihat Mikha yang tengah bekerja dengan cepat dan serius. “Kalau pagi begini memang rame ya?” tanya Mitha. “Iya. Soalnya menu sarapan kami yang paling laku, nanti silakan coba roti lapis ala Bang Mikha. Rasanya ... ah, mantap.” Gio mengangkat jempolnya. Mitha dan Ibu terkekeh mendengarnya. “Mau saya panggilkan?” tanya Gio. “Eh, gak usah. Ibu udah lega melihat dia baik-baik saja,” ujar Ibu. “Eh, iya. Aku mau ke kantornya abang. Kemarin power bank aku ketinggalan di atas,” ujar Mitha. “Ibu ikut kamu deh,” ucap Ibu. Gio lalu pamit menuju kembali ke dapur untuk mengambil pesanan. “Kamu dari mana saja? Lihat ini pesanan menumpuk!” Mikha mengomeli Gio tanpa menatapnya. “Tadi ada Ibu sama Mitha datang. Katanya mau lihat Abang,” ujar Gio. Mikha terdiam sejenak lalu mengangguk, “Mereka sudah pulang?” Gio menggeleng, “Mereka ke atas, ke kantor Abang.” Mikha mengangguk namun sedetik kemudian tubuhnya berhenti bergerak, matanya membesar dan menatap ke arah Gio, “Mereka ke mana?” “Ke atas.” Gio menunjuk arah atas. Dengan cepat Mikha berlari menuju lantai atas. Pintu terbuka membuat Raya berpikir bahwa Mikha telah kembali. “Mik, kamu punya pengering rambut gak? Aku pin—“ Kalimatnya tidak berlanjut karena yang berdiri di hadapannya kali ini bukan Mikha melainkan dua orang perempuan yang Raya kenali sebagai ibu dan adik Mikha. “Kak Raya? Kok bisa di sini?” tanya Mitha. “Kenapa rambut kamu ... basah?” tanya Ibu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN