“Kak Raya, kok ada di sini?” Mitha memandang heran ke arah Raya yang sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk.
“Kenapa rambut kamu basah?” tanya Ibu.
Mereka terdiam untuk beberapa saat karena terkejut. Selain itu juga, Raya juga bingung.
“Hah? Ah, ini aku—“
“Ibu!” Mikha muncul di depan pintu. Dia berjalan cepat ke arah Ibu dan Adiknya.
Sebuah tamparan mengenai wajah Mikha membuat Mitha dan Raya terpekik kaget.
“Bu!” Mikha memegang bekas tamparan Ibunya.
“Ibu kecewa sama Abang! Ibu dan Ayah membesarkan kamu bukan untuk melakukan hal tidak terpuji seperti ini!” Sebuah tamparan kembali mengenai lengan Mikha.
Mikha yang kebingungan lalu menatap Raya yang sedang berdiri dengan ekspresi dan rambut yang basah sehingga membuat dia sadar sesuatu.
“Dengar dulu, Bu. Ini gak seperti yang Ibu bayangkan!” ujar Mikha.
“Oh ya? Sekarang jelaskan kenapa bisa ada perempuan di ruangan Mikha ini? Setahu Ibu, ruangan ini hanya bisa dimasuki sama Abang aja,” lanjut Ibu.
“Iya, tapi ... ini gak seperti yang Ibu pikirkan. Aku sama Raya kami hanya minum-minum biasa.” Mikha menunjuk ke arah meja yang masih ada sisa makanan dan gelas bekas minum mereka.
Pandangan Ibu terarah ke meja itu dan dengan perlahan dia mulai mendekat ke arah meja tersebut. Sial masih berpihak pada Mikha karena Ibu malah menemukan dalamannya di samping sofa. Wajahnya menjadi pucat setelah Ibu mengangkat dalaman itu dan menunjukkan itu ke arah Mikha.
“Mau menjelaskan ini?” tanya Ibu.
“Itu tidak ada hubungannya. Itu di situ karena Abang belum bersih-bersih,” jawab Mikha.
Ibu memicingkan matanya ke arah Mikha, wanita itu lalu menarik nafas panjang sambil menggelengkan kepalanya, dia meragukan Mikha. Mata Ibu kembali menatap Raya yang masih diam terpaku di tempat dia berdiri.
“Kamu! Ayo ikut Ibu ke kamar mandi!” Ibu berjalan melewati Raya ke arah kamar mandi.
Raya menatap Mikha dengan wajah panik membuat Mikha heran tapi sekaligus deg-degan.
“Raya!” Ibu berteriak dari dalam kamar mandi membuat Raya kaget dan ikut masuk ke dalam.
Raya menelan salivanya ketika Ibu menyuruhnya untuk buka baju. Baru satu kancing dia buka, Ibu sudah terlihat murka.
“Mikha!!!” Ibu berteriak lagi dari dalam kamar mandi.
Sebuah noda merah terdapat di bagian d**a Raya. Sialnya, Raya baru tahu itu setelah mandi dan karena lipsticknya tidak bisa dibersihkan menggunakan sabun, maka noda itu masih ada. Raya bahkan tidak ingat kenapa bisa ada noda lipstick di dadanya sendiri.
Mikha panik langsung berdiri di depan pintu kamar mandi menunggu Ibu dan Raya keluar.
“Pulang! Ibu ingin bicara!” ujar Ibu kemudian membalikkan badannya.
“Tapi Abang ‘kan harus ada di kafe,” ujar Mikha.
Ibu berbalik dan menatap Mikha tajam seakan dia bisa merobek Mikha hanya dengan tatapan itu.
“Iya.” Mikha menunduk, dia seperti kucing basah yang pasrah.
Ibu lalu kembali membalikkan badannya dan menatap Raya.
“Kamu juga!” ujar Ibu tegas. Dia menunjuk ke arah Raya membuat wanita itu langsung membeku di tempatnya berdiri.
Raya memandang Mikha menuntut penjelasan namun lelaki itu hanya menggelengkan kepalanya, “Ayo!”
“Ayo ke mana?”
Mikha tidak menjawab, dia berlalu begitu saja.
***
Suasana ruang tamu rumah Mikha mendadak hening, hanya ada Mikha dan Raya dan si seberang mereka Ayah dan Ibu Mikha duduk sambil menatap dua orang yang akan mereka hakimi ini.
Raya duduk masih dengan wajah bingung apalagi ketika dia memandang Mikha yang seperti sedang kalut.
“Mikha,” panggil Ayah.
“Iya, Ayah?” sahut Mikha.
“Ayah ingin kamu bertanggung jawab untuk semua hal yang kamu sudah lakukan. Jujur Ayah kecewa sama kamu tapi Ayah percaya kamu orang yang bertanggung jawab,” ujar Ayah.
“Tapi, Ayah ... tidak ada yang terjadi antara aku dan Raya. Kami hanya ....” Mikha melirik Raya.
“Minum bersama,” sambung Mikha.
“I-iya benar, Ayah. Tidak ada yang terjadi,” tambah Raya.
“Kalian mabuk?” tanya Ayah.
Mikha dan Raya saling melirik lalu mengangguk.
“Kalian mengingat semuanya?” tanya Ayah lagi.
Mikha dan Raya kembali saling melirik dan kali ini kompak menggeleng. Ayah menghembuskan nafasnya.
“Ayah tahu kalian berdua adalah orang dewasa, tapi ini tidak bisa dibenarkan,” ujar Ayah.
Mikha dan Raya sama-sama tertunduk, rencana mereka memang tidak ada yang berhasil.
“Raya,” panggil Ayah.
Raya mengalihkan pandangannya pada lelaki yang berprofesi sebagai dosen itu.
“Bilang pada orang tuamu, kami akan segera melamarmu,” ucap Ayah membuat Mikha, Raya bahkan Ibu kaget.
“Ayah!” Ibu memegang tangan Ayah.
“Bu, anak kita sudah melakukan kesalahan, dia sudah menyentuh wanita yang bukan istrinya atau yang pantas untuk dia sentuh. Dia harus bertanggung jawab,” ujar Ayah.
“Tapi ... saya tidak mau menikah dengan Mikha,” jawab Raya.
Ayah memandang lagi ke arah Raya, “Kamu yakin?”
“Seratus persen,” jawab Raya.
Raya lalu menyadari perubahan suasana dari canggung menjadi sedih.
“Aku menolak karena memang aku dan Mikha belum punya rencana pernikahan. Kami baru saja menjalin hubungan.” Raya melirik ke arah Mikha yang kaget karena penjelasan Raya, dia jelas-jelas sedang memainkan peran sekarang.
“Izinkan kami untuk punya beberapa waktu bersama. Lagi pula benar kata Mikha, tidak ada yang terjadi lebih dari itu. Kami terbangun masih dengan pakaian yang lengkap dan alasan kenapa rambutku basah, karena aku memang ingin keramas saja,” jelas Raya.
Ayah mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kamu benaran sayang sama Mikha, Raya?” tanya Ayah.
Mikha menatap ke arah Raya yang tengah menatap Ayahnya dan mengangguk. Dalam hati Mikha kini tahu bahwa perempuan di hadapannya ini memang jago memainkan peran.
***
“Kamu ternyata cukup jago berakting,” puji Mikha ketika dia dan Raya sedang berada di dalam mobil.
“Bagian dari pekerjaan,” jawab Raya, dia tengah sibuk menata riasan wajahnya.
“Kamu yakin mau langsung ke kantor? Gak ke rumah dulu?” tanya Mikha.
Raya menggeleng, “DI rumahku pasti masih ada Mama dan Papaku.” Raya lalu menatap Mikha sebentar sebelum mengalihkan kembali pandangannya pada kaca tengah mobil Mikha.
“Aku malas bertemu mereka,” lanjut Raya.
Mikha mengangguk, dia sudah cukup tahu kisah Raya sehingga maklum.
“Lagi pula, bagus ‘kan, jadi searah sama Ayah yang mau ke kampusnya,” ucap Raya lagi.
Pria yang baru saja dibicarakan itu akhirnya muncul juga bersama dengan Istri dan anak perempuannya.
“Kok Ibu sama Mitha ikut juga?” tanya Mikha begitu ketiga keluarganya itu memasuki mobil.
“Ayah mau ke kampus, Ibu sama Mitha juga mau turun di kampus Ayah karena Ibu ada arisan yang tempatnya dekat kampus,” jawab Ibu.
“Ya sudah.” Mikha mengangkat bahunya lalu mulai menjalankan mobil.
“Kak Raya benaran kerja di perusahaan modern life?” tanya Mitha.
Raya mengangguk, “Aku pemiliknya.”
“Pemilik perusahaan? CEO?” tanya Mitha lagi.
“Ya, semacam itulah. Aku lebih senang disebut pendiri daripada CEO,” jawab Raya sambil tersenyum.
“Raya ini jenius tahu,” ucap Mikha membuat keluarganya langsung terlihat antusias.
“Dia sudah punya gelar doktor saat usianya dua puluh tiga tahun,” ucap Mikha.
“WOW!” Ketiga keluarga Mikha itu berteriak kagum.
“Ayah saja yang dosen baru bisa doktor di usia empat puluh lima tahun,” ucap Ayah.
“Hebat kamu! Perempuan, masih muda, cantik, pintar lagi,” puji Ibu membuat Raya tersenyum malu.
“Tolong jangan dipuji lagi, nanti dia bisa terbang,” ujar Mikha sambil tersenyum. Dia menggoda Raya.
“Ih.” Raya mencubit lengan Mikha membuat pria itu terkejut lalu tertawa sementara ketiga orang penumpang belakang hanya bisa senyum-senyum melihat pemandangan manis barusan.
“Ah, pengen punya pacar juga,” ujar Mitha.
“Gak!” Ayah, Ibu dan juga Kakaknya mendadak kompak.
Hal itu membuat Raya tertawa, dia kembali merasakan hangatnya keluarga yang jarang sekali dia rasakan.
“Masuk lewat mana nih?” tanya Mikha pada Raya.
Mereka sudah sampai di kantor Raya.
“Lewat kiri situ saja,” ujar Raya mengarahkan Mikha agar berhenti di sisi kiri kantornya yang merupakan tempat parkir eksklusif kantornya agar dia bisa langsung naik ke ruangannya tanpa melewati lobi.
“Wah, kantornya gede banget!” ujar Mitha.
“Iya, pengusaha sukses ternyata,” tambah Ibu.
“Kak Ray,” panggil Mitha.
“Ya?” sahut Raya.
Mitha masih memandang gedung tinggi punya Raya itu, “Kok mau sih sama bang Mikha?”
“Eh, kamu ini.” Ibu menampar kecil lengan Mitha membuat gadis itu kaget.
“Ngomongin Abang kamu tuh yang bagus-bagus gitu loh. Biar yang jadi pacarnya bangga,” sambung Ibu.
Mikha mencebik lalu tertawa kemudian.
“Aku turun duluan ya,” pamit Raya.
“Eh.” Mikha menahan tangan Raya membuat Raya kembali menatap Mikha.
Mikha lalu membuka dashboard mobilnya dan mengambil sebuah kantong plastik dari sana.
“Ini roti lapis dari kafe, buat sarapan kamu,” ujar Mikha.
“Ah ... thanks,” ucap Raya.
“Cie!!” goda Mitha.
“Adek! Jangan digodain Abangnya,” ucap Ibu.
“Nanti sinetron kita habis nih,” sambung Ibu yang membuat mereka semua tertawa. Raya bahkan merasa itu adalah hal terlucu yang pernah dia rasakan, lagi-lagi hatinya menghangat.
“Aku udah harus pergi nih,” ucap Raya.
Ibu mengangguk, “Nanti mampir ke rumah lagi kalau udah gak sibuk, ya?”
Raya mengangguk lalu keluar dari mobil Mikha. Namun langkahnya terhenti saat melihat mobil yang terparkir di hadapannya. Benar saja, Mama dan Papa langsung keluar begitu mereka melihat Raya.
“Dari mana kamu?” tanya Mama.
“Ponsel kamu itu gak bisa dihubungi dari semalam. Kamu bikin Mama khawatir,” lanjut Mama.
“Aku—“
“Kamu bersama lelaki itu lagi?” Papa menunjuk ke arah mobil yang semalam membawa anaknya.
“Aku hanya pergi menginap di tempat temanku,” ujar Raya.
“Kamu jangan bohong, Raya. Mama tahu kamu gak punya teman,” ujar Mama.
Raya tertunduk.
“Sejak kapan kamu jadi seperti ini? Kamu dulu selalu menurut apa kata Papa. Ini pasti karena Mama kamu yang terlalu longgar dan tidak disiplin sama kamu!” ujar Papa.
Raya mengutuk mereka dalam hati, dia tahu kemarahan sesungguhnya bukan pada dirinya.
“Eh, enak saja. Ini terjadi karena dia tidak mendapatkan perhatian lebih dari kamu. Lihat! Dia mencari lelaki sembarangan karena tidak mendapat kasih sayang dari Papanya,” balas Mama.
“Ma!!” bentak Raya.
“Stop! Dan Pa, kembali ke tempat Papa saja,” ucap Raya yang tentu saja mengagetkan orang tuanya.
“Apa-apaan kamu?” Papa terlihat marah.
“Selamat Pagi, Om ... tante.” Sebuah suara berasal dari belakang Raya saat dia sudah mau menangis.
“Kamu! Kamu apakan anak saya, hah?” Papa sudah bersiap marah.
“Pa,” lirih Raya. Dia bahkan sudah tidak mampu bicara lagi.
“Jangan bilang kamu bersama laki-laki ini semalam, Raya?” Kali ini Mama yang buka suara.
“Ah, itu. Raya—“
“Aku akan segera menikah dengan dia,” potong Raya membuat Papa dan Mama langsung kaget mendengarnya.
“Apa kamu bilang?”
“Aku akan segera menikah dengan Mikha, Ma ... Pa. Maaf karena baru mengatakan ini, tapi dia adalah calon menantu kalian,” ucap Raya.
Papa dan Mama Raya sangat terkejut dengan pernyataan Raya, Mikha juga tapi yang lebih terkejut adalah Ayah dan Ibu yang berdiri di belakang Raya dan Mikha.
Keduanya saling berpandangan, “Akhirnya punya mantu juga kita, Ma.”