9. Mabuk Semalam

1574 Kata
Mikha meletakkan daging cincang itu ke dalam piring dengan potongan selada di sampingnya. “Oke. Selesai.” Mikha tersenyum memandang masakannya. Raya bertepuk tangan seperti dia telah selesai melihat acara spektakuler. Mikha ikut tertawa melihat reaksi Raya. “Kamu hebat!” Raya memajukan jempolnya ke arah Mikha. “Ayo kalau begitu.” Mikha mengangkat nampan itu dan berjalan keluar diikuti Raya. “Minumannya mana?” tanya Raya. “Ada di atas tentu saja. Tidak mungkin ada minuman alkohol di dapur kafe ‘kan?” Raya mengangguk dan mengikuti Mikha naik ke lantai atas. “Seluas ini ruangan kamu semua?” tanya Raya setelah melihat seluruh lantai atas ini hanya memiliki satu pintu. “Tentu. Aku butuh ruangan yang luas agar bisa berpikir,” jawab Mikha yang sudah berhasil membuka pintu ruangannya. Raya ikut masuk setelah Mikha menyalakan lampu, ruangannya sangat besar dan hanya dibagi dengan sekat-sekat. Raya duduk di sofa besar dengan sebuah TV di depannya. Tidak lama kemudian, Mikha muncul dengan beberapa botol minuman keras. “Wiski?” tanya Mikha. “Oke,” jawab Raya. Mikha lalu kembali lagi ke sebuah ruangan kecil di pojok dan kembali dengan dua botol minuman keras dengan es batu. “Kamu sering minum-minum ya?” tebak Raya. “Kadang-kadang, jika hari sedang menyebalkan,” jawab Mikha. “Aku pikir kamu sepenuhnya polos, ternyata tidak juga,” ujar Raya. “Berhenti mengataiku polos. Aku ini pria dewasa, sebaiknya kamu berhati-hati,” ujar Mikha. “Memangnya apa yang akan kamu lakukan? Menciumku? Aku tebak kamu bahkan tidak bisa berciuman,” ujar Raya. “Dari mana kamu bisa tahu hal itu?” tanya Mikha. “Aku ini selalu melakukan riset sebelum membuat perusahaanku, hal itu membuatku dapat dengan mudah menebak kepribadian dan sifat lelaki. Lagi pula ...,” ujar Raya yang mengambil selada dan mengisinya dengan daging cincang. “Lelaki itu makhluk yang paling mudah ditebak. Mereka bahkan lebih gampang ditebak dibandingkan kadal.” Raya lalu memasukkan daging itu ke dalam mulutnya. “kadal?” tanya Mikha. Raya mengangkat jari telunjuknya sambil berusaha mengunyah makanannya. “Telan dulu, telan,” ujar Mikha. “Kadal itu adalah makhluk paling gampang ditebak di muka bumi ini,” ujar Raya. Mikha mengangguk, dia tahu Raya hanya mengatakan hal omong kosong. “Ini enak,” puji Raya. “Benarkah? Berarti daging buatan itu berhasil,” ujar Mikha. “Daging buatan?” tanya Raya. “Iya, daging yang kamu makan itu terbuat dari tempe,” jawab Mikha. “Kok bisa? Rasanya benar-benar seperti daging,” ujar Raya tidak percaya. “Ya karena diolah dengan benar,” ujar Mikha yang lalu mengambil potongan daging palsu itu dan memakannya. “Hm, benar. Teksturnya seperti daging benaran.” Mikha mengangguk-angguk. Raya lalu mengambil gelas kosong dan menuang minuman itu untuknya dan juga untuk Mikha. “Cheers untuk hari yang menyebalkan.” Raya mengangkat gelasnya. Mikha ikut mengangkat gelasnya dan membuat gelas mereka berdenting sebelum meminum semua minuman keras itu bersama. “Argh.” Mikha membuat suara khas orang yang baru saja minum alkohol. “Menurut kamu, apa yang paling menyebalkan dari hidupmu? Maksudku, hidupmu pasti gak sempurna ‘kan? Meskipun dari luar kamu terlihat seperti sudah sangat sukses, aku bertaruh pasti ada kekurangannya,” tanya Raya. Mikha berpikir sebentar, “Keluarga besarku. Mereka yang paling menyebalkan! Mereka memang tidak secara langsung menyakitiku tapi mereka menyakiti keluargaku dan aku benci hal itu.” Raya mengangguk-angguk, dia baru melihat sekilas namun dia tahu pasti keluarga Mikha memang menyebalkan. “Ayahku adalah satu-satunya orang yang tidak sukses di antara saudara-saudaranya yang lain. Ibuku juga hanya Ibu rumah tangga berbeda dengan keluargaku yang lain yang istrinya juga bekerja,” lanjut Mikha. “Memang menyebalkan jika diremehkan,” ujar Raya. “Mereka pikir hanya Ayah tidak sekaya mereka, maka Ayah harus mendengarkan mereka. Dasar sialan!” maki Mikha yang lalu kembali menenggak alkoholnya. Raya terdiam, begitu banyak orang menyebalkan di dunia ini dan parahnya mereka berada dekat. “Kamu sendiri? Apa yang paling menyebalkan dari hidupmu?” tanya Mikha. “Tentu saja orang tuaku, kamu sudah melihatnya ‘kan” ujar Raya. “Kamu punya saudara lain? Adik atau mungkin Kakak?” tanya Mikha. Raya menggeleng, “Untung saja hanya aku. Pasti akan memusingkan jika ada korban lain selain aku,” ujar Raya. Mikha terkekeh, “Mungkin saja Orang tuamu begitu karena mereka menyayangimu dan bersikap protektif padamu.” Raya menggeleng lalu menenggak minumannya, “Mereka itu egois dan hanya peduli pada diri mereka sendiri.” “Aku adalah anak yang lahir karena kedua manusia bodoh itu melakukan hubungan seks tanpa pengaman. Sejak itu mereka selalu saling menyalahkan dan membela diri mereka sendiri. Benar-benar menyebalkan! Dan aku tidak bisa keluar dari rumah sampai usiaku 20 tahun!” Raya menenggak lagi minumannya. “Aku bahkan sudah mau keluar dari rumah sejak usiaku delapan tahun saking tidak tahannya dengan mereka,” lanjut Raya membuat Mikha tertawa. “Apa yang kamu pikirkan saat itu?” tanya Mikha. “Aku hanya tidak tahan melihat mereka bertengkar setiap hari! Pada akhirnya mereka bercerai saat usiaku tujuh belas tahun. Benar-benar dark seventeen,” ujar Raya membuat Mikha kembali tertawa. “Kamu mau mengadu seberapa kelam masa lalu kita?” tanya Mikha. “Boleh,” jawab Raya. “Kamu ingat Eyang yang tadi?” tanya Mikha Raya mengangguk. “Waktu usiaku enam tahun, dia melihat masa depanku,” ujar Mikha. “Semacam meramal begitu?” Mikha mengangguk, “Saat itu dia bilang di hadapan semua orang bahkan aku tidak akan bisa menikah.” “Dia parah banget,” ujar Raya. “Sangat!” Mikha menenggak lagi minumannya. “Mungkin karena itu juga kamu tidak pacaran sampai sekarang,” ujar Raya. Mikha mengangkat bahu, “Kalaupun benar aku tidak akan bisa menikah atau bertemu jodohku. Setidaknya jangan katakan itu di depan keluargaku, Ibu bahkan mengurung dirinya saking sedihnya.” “Hidup penuh dengan orang menyebalkan itu menyebalkan!” Raya menghabiskan minumannya dan tidak sadar keduanya sudah menghabiskan satu botol minuman dengan kandungan alkohol tinggi itu. “kalau kamu? Seperti apa masa kecil kelammu?” tanya Mikha yang kembali membuka botol kedua mereka. “Apa dipaksa belajar secara intens hanya karena mendapatkan nilai seratus di Olimpiade Matematika itu, kelam?” tanya Raya. “Tidak tahu juga. Bukannya budaya seperti itu memang sudah ada sejak dulu kala?” jawab Mikha. “Aku dipaksa belajar selama enam belas jam sehari. Aku bahkan sudah menamatkan gelar doktorku di usia dua puluh tiga tahun,” ujar Raya. Minuman yang diminum Mikha keluar lagi karena dia terkejut. “Kamu sudah bergelar doktor?” tanya Mikha tidak percaya. Raya mengangguk namun Mikha masih tidak percaya. “Kamu ada buktinya?” tanya Mikha. Raya mengambil ponselnya dan menunjukkan ijazah juga foto wisudanya pada Mikha. “Terlihat asli,” ucap Mikha. “Tentu saja asli! Kamu pikir kamu memalsukannya?” Raya sewot. “Kamu jenius berarti,” ujar Mikha. “Mungkin. Aku tamat SD di usia sembilan tahun, aku hanya sekolah satu tahun untuk SMP dan dua tahun untuk SMA,” lanjut Raya. “Aku sampai merinding.” Mikha mengusap lengannya. “Tapi ya itu. Aku tidak pernah merasakan masa kecil yang menyenangkan. Aku baru bebas setelah usiaku tujuh belas tahun dan ketika orang tuaku bercerai.” “Setidaknya kamu punya pergaulan,” ujar Mikha. “Memangnya kamu tidak punya teman?” tanya Raya. “Punya. Dia sedang ke Amerika sekarang,” jawab Mikha. Tiba-tiba ponsel Mikha berdering dan ternyata itu dari Mitha. “Halo Mit?” sapa Mikha. “Abang di mana?” tanya Mitha. “Di kafe.” Jawab Mikha. Lalu hening. “Mereka sudah pulang?” tanya Mikha. “Sudah. Dari tadi. Abang sudah mengantar pacar abang itu balik?” Mikha memandang ke arah Raya yang sedang mengunyah makanannya dan berdeham sebagai jawaban. “Ibu dan Ayah bagaimana?” tanya Mikha. “Ibu sangat sedih. Abang tahu sendiri bagaimana kejamnya mulut-mulut itu pada kita. Ibu lagi mengurung dirinya di kamar,” jawab Mitha. Mikha menarik nafas panjang, begitu sesak rasanya. Ini adalah rasa dari pihak kecil yang tidak mampu melawan pihak besar dan berkuasa. “Katakan pada Ibu, Abang akan pulang besok pagi,” ujar Mikha. “kamu hati-hati,” lanjut Mikha lalu mematikan panggilan telepon. Mikha kembali mengambil minuman alkohol itu dan menenggaknya dengan jumlah yang banyak. Dia dan Raya menghabiskan waktu mereka dengan minum, makan dan bercerita mengenai pengalaman pahit dan menyebalkan mereka. Hingga tanpa sadar sudah lebih dari lima botol mereka habiskan, kepala mereka sudah sama-sama berat, mereka mabuk. *** Suara ketukan pintu terdengar dari luar membuat Raya pelan-pelan terbangun dari tidurnya. “Bang Mikha! Kunci pintu depan ada sama Bang Mikha?” Raya mengibas-ngibaskan kepalanya karena setiap kali dia membuka matanya, penglihatannya kabur. Dia berkedip cepat beberapa kali untuk mempertajam penglihatannya. Kini dia sadar bahwa dia tertidur di karpet lantai. Raya baru akan bergerak saat dia menyadari sesuatu. Tubuhnya tertimpa sesuatu dan di belakangnya juga seperti ada seseorang. Raya melihat sekitar dan menemukan sebuah tangan berada di pinggangnya, dia panik. Raya bergerak cepat membuat kepalanya tanpa sengaja mengenai meja. “Aw!” Raya secara otomatis memegang kepalanya yang baru saja terbentur itu. Karena gerakannya itu, sosok di sampingnya itu akhirnya terbangun dan sama seperti Raya, dia juga cukup terkejut. “Hah?!” Raya terkejut melihat wajah Mikha begitu juga lelaki itu ketika melihat wajah Raya. “Lipstickmu berantakan sekali,” ujar Mikha sambil menunjuk ke arah Raya. Tiba-tiba dia melihat wajahnya melalui kaca yang terletak di ujung ruangan. Wajahnya juga kemerahan seperti bekas lipstick. Keduanya saling berpandangan, “Apa yang sudah terjadi?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN