“Siapkan nyali untuk menyusun sejuta cerita sebagai teman bersama di hari tua."
~Kevin~
Nita merebahkan tubuhnya lengkap dengan pakaian sekolah yang masih melekat. Hari pertamanya masuk di sekolah barunya terasa sangat melelahkan. Sejenak ia memejamkan matanya dengan erat. Namun sebuah ingatan yang tiba-tiba muncul membuatnya harus menegakkan tubuhnya kembali dan segera mengganti seragam sekolah dengan pakaiannya yang lebih kasual sebelum melesat pergi ke perpustakaan kota.
"BUUUN???!!!!" panggilnya menggelegar ke seluruh sudut ruang.
"Aku pergi dulu. Mau balikin buku kimia yang aku pinjem. Kalo nggak, aku kena denda. Lumayan, Bun. Sekali denda bisa buat beli cilok satu ember!" teriak Nita keluar dari ruang tengah.
Hanya samar-samar terdengar sahutan dari sang Bunda karena Nita sudah pergi bersama Abang Ojek Online yang sudah dipesannya beberapa menit lalu. Mayang, Bunda Nita kemudian geleng-geleng kepala. Merasakan ada yang lain dari diri Nita tanpa ia sadari, Nita sudah tumbuh dewasa dengan segala sifat khasnya.
Nita turun dari motor yang ditungganginya lantas berlalu masuk setelah mengucapkan terima kasih kepada Abang Ojol dengan sopan. Lalu berjalan masuk dan menyapa beberapa petugas perpustakaan kota.
Tangannya bergerak mengeluarkan buku setebal satu inci lengkap dengan kartu anggota perpustakaan kemudian memberikannya kepada salah satu petugas perpustakaan yang sudah ia kenal dalam beberapa minggu yang lalu.
"Nggak capek baca buku kayak gini terus?" tanya Aldo tangannya menandatangani meraih buku yang Nita berikan kepadanya.
"Ya, cuma buat ngisi waktu luang aja sih, Kak," jawab Nita masuk akal.
Aldo mengangguk-angguk lalu mengembalikan kartu perpustakaan milik Nita setelah meregistrasikan buku pengembalian sebagai tanda bahwa Nita sudah menyerahkan buku yang dipinjamnya.
"Ya udah, aku duluan," pamit Nita.
"Gak minjem lagi?" balas Aldo dengan sebuah pertanyaan.
"Nggak deh. Libur dulu, Kak," sahut Nita dengan sedikit senyuman.
"Oh, oke." Aldo membalasnya sambil tersenyum.
Nita berlalu meninggalkan ruangan besar paling favoritnya. Ia pernah membayangkan bagaimana jika dirinya memiliki segudang buku di dalam kamar. Namun sayang, bayangan itu hanya ilusi yang tak pernah bertepi.
Sebelum pulang ke rumahnya, Nita memilih untuk menghabiskan sisa waktunya untuk menongkrong di kafe pinggiran jalan sampai matahari terbenam. Ia memasuki kafe yang ditujunya dan memanggil waiter untuk meminta menu makanan kecil yang akan dipesannya.
"Silahkan, Mba." Pelayan kafe itu datang dan memberikan buku daftar menu makanan pada Nita.
"Aku pesan capuccino cincau sama kentang goreng," ucap Nita setelah memutuskan cemilan yang akan menemaninya sampai sore nanti. Cemilan dan sinyal wifi, cukup bisa menemaninya di waktu bersantai seperti saat ini.
Nita mengambil ponselnya dari ransel yang dia bawa dan mencolokkan kabel earphone lalu membuka akun i********:-nya. Tangan jahilnya mulai beraksi untuk stalking seseorang yang berhasil membuatnya berdebar keras dan gugup tidak karuan. Jemarinya mengetikkan nama orang tersebut di kolom pencarian. Alhasil ada banyak nama yang sama bertebaran hingga scroll paling bawah, namun lebih kesalnya dia tidak menemukan nama itu.
Nita mendesah pelan. Tak lama kemudian makanan kecil yang dipesannya datang. Nita menyambutnya dengan senyuman terima kasih untuk Mas Waiters yang rela mengantarkan pesanannya.
Lantas ia menaruh ponselnya di samping piring kecil berisikan kentang goreng. Lalu lebih memilih meraih softdrink cappucino cincaunya. Menikmati disetiap tegukan dan rasa manis yang pas kemudian mengambil satu potongan kentang goreng yang ia celupkan ke dalam saus sambal.
***
Arial duduk di bangku panjang yang berhadapan langsung dengan cermin besar. Netranya memperhatikan bagaimana Chika menari dengan gemulainya serta dengan tepat tarian tersebut mengiringi tempo lagunya.
Sesekali Arial menyunggingkan senyumannya tepat saat pesona Chika memang benar-benar terlihat di dalam dirinya. Sosok gadis cantik, pandai, dan ceria begitu melekat pada diri Chika. Meski sesekali gadis itu kerap membuatnya kesal. Namun semua itu berawal dari caranya menyikapi sang adik.
Chika tersenyum ke arah Arial yang membalasnya hanya diam dengan tatapan datarnya yang khas. Laki-laki itu tak perlu tersenyum karena senyum permanen di bibirnya terus melekat di wajahnya. Kedua tangan Arial melipat di depan d**a dan duduk tegak bersandar menatap lurus ke arah Chika, membuat gadis itu merasa gugup dengan tatapannya.
"Kak Arial jangan liatin gitu, ah!" cicit Chika berjalan mendekat.
Arial hanya diam.
"Kak Arial bikin Chika takut, ih!" tambah Chika sudah berdiri di hadapan Arial.
"Haus?" tanya Arial datar.
Chika mengangguk lalu duduk di samping Arial. "Minum Chika habis," sahutnya mengangkat botol minum kesayangannya.
Arial bangkit dari duduknya kemudian berlalu dari pandangan Chika.
"Kakak mau ke mana?" halau Chika dengan pertanyaan.
"Keluar," jawab Arial singkat, padat, dan jelas.
Chika mengangguk. Arial kembali melanjutkan langkahnya.
***
Ting!
Bunyi bel kafe yang khas membuat Nita tanpa sadar menolehkan kepalanya ke arah sumber suara. Seorang laki-laki dengan perawakan tinggi dan berwajah familiar baginya muncul dari sana. Laki-laki itu masih menggunakan seragam sekolah berplaket sekolah barunya.
Telinga laki-laki itu disumpal earphone bluetooth sebelah dan telinganya yang lain dibiarkan untuk mendengar segala suara dari luar. Nita menatap laki-laki itu dan mengikuti langkahnya dengan lirikan matanya yang menerawang penuh rasa penasaran.
Arial berhenti tepat di depan lemari es yang dipenuhi dengan segala macam minuman berperisa. Mengambil dua botol minuman jus jeruk dan langsung membayarnya di kasir tepat sebelah kanan lemari es tersebut.
"Berapa, Mbak?" tanya Arial. Lalu mengeluarkan dompetnya.
"Tiga belas ribu, Mas," jawab Mba penjaga kasir.
Arial memberikan satu lembaran kertas berwarna ungu dan cokelat. Lalu penjaga kasir mengembalikan sisanya dengan lembaran kertas berwarna abu-abu.
"Terima kasih," ucap penjaga kasir dengan sopan menunjukkan keramahannya pada pelanggan.
"Sama-sama," balas Arial.
Nita meraih ponselnya agar kedoknya tidak dicurigai oleh sasarannya karena sempat memperhatikan Arial dari tempatnya bersantai. Lalu pura-pura sibuk dengan layar ponselnya saat Arial kembali melewatinya tanpa sapaan atau semacamnya hingga pintu kafe kembali berdering.
Tapi lirikan mata Nita sempat melihat bungkusan putih yang Arial bawa. Mungkin dia udah punya cewek. Nita terkekeh dengan pikirannya sendiri.
***
Arial berdiri di samping Chika dan memberikan jus jeruk yang baru saja ia beli kepada adiknya.
Chika menerimanya dengan senang hati. "Makasih," ucap Chika melupakan segala rasa kesalnya pada Arial.
Arial hanya mengangguk sekilas.
"Kakak nggak les?" tanya Chika mengenai salah satu yang menjadi rutinitas harian Arial.
"Besok," jawab Arial singkat.
"Nggak bisa jemput aku lagi dong, Kak?" Chika terlihat murung dengan jawaban yang Arial lontarkan.
"Lo kan bisa minta Mas Yusuf buat jemput," balas Arial cuek.
"Ah, males. Maunya sama Kakak!" balas Chika menggebu.
Arial diam sejenak untuk meneguk minumannya. "Lagian gue bukan pacar lo yang bisa ke mana-mana selalu bareng," ucapnya beberapa saat kemudian tanpa roman.
Chika mendengus sebal.
Arial melihat ke arah arlojinya. "Udah kan, latihannya?"
Chika mendesis. "Ya, udah. Tinggal penutupan," jawabnya cuek.
"Oke. Gue tunggu di luar," ucap Arial tanpa membutuhkan jawaban dan langsung berjalan keluar dari ruangan berdinding cermin itu.
Chika hanya mengangguk.
***
Arial duduk di bawah kanopi kafe seberang jalan dan berhadapan langsung dengan sanggar tari. Ia menikmati angin sore yang berhembus menerpa wajah datarnya. Tatapannya menerawang jauh ke arah jalan yang merentang selatan dan utara.
Dari arah satu lajur jalan Kevin muncul dan terlihat sedang berlari tergopoh-gopoh mendekati Arial. Napasnya tidak beraturan dan keringatnya bercucuran membasahi seluruh tubuhnya hingga kemeja sekolahnya terlihat basah. Ia segera menjatuhkan bokongnya di kursi dan mulai mengatur napasnya yang naik-turun.
"Buset! Mimpi apa gue semalem?!" seru Kevin masih ngos-ngosan.
"Tumben lo bisa mimpi," sahut Arial datar.
Kevin mendesis sebal. Namun Arial terlihat tidak acuh dan lebih memilih untuk diam menikmati terpaan angin yang silir menguraikan rambutnya.
"Gue janji. Nggak bakal lewat gang itu lagi," ucap Kevin lagi dengan napas yang masih tidak beraturan.
Melihat sahabatnya yang kelelahan Arial menyodorkan jusnya kepada Kevin dan langsung mendapat reaksi sebuah pertanyaan dari sahabat tergilanya.
"Punya siapa, nih?" tanya Kevin sarkastik.
"Gue nemu di trotoar. Lumayan lah," jawab Arial sekenanya.
"Serius lo?" Kevin menatap Arial serius.
"Iya. Terus gue tambahin air keran," jawab Arial membuat Kevin semakin kesal.
"Bener-bener lo, ya," gemas Kevin ingin meremas wajah Arial sampai menjadi botol plastik penyek.
Arial terkekeh. "Minum aja. Tadi gue beli di kafe," ucap Arial membenahi jawabannya.
"Buset! Lo ke kafe cuma beli ini?!" tanya Kevin terkejut sekaligus berusaha membalas ejekan Arial terhadapnya. "Kere bener lo!" lanjutnya pedas untuk membalas perkataan Arial.
"Santai aja kali. Gue bayar pake duit. Nggak kayak lo pake kertas," balas Arial tidak mau kalah.
"Iya, lah. Duit kertas!" pekik Kevin kesal.
Arial malah tertawa.
"Serah lo, deh!" pasrah Kevin segera meneguk minuman yang Arial berikan. Tenggorokannya kembali terasa segar, keringatnya yang sedari tadi bercucuran mulai mengering diterpa angin sepoi-sepoi. Ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi berusaha mengatur paru-parunya yang tak sabar ingin loncat dari tubuhnya. "Ah, gila," rutuknya pelan dengan apa yang baru saja dialaminya.
Namun seseorang datang dengan suara khasnya yang manja. "Ih, Abang! Eike cari-cari ternyata ada di sini," seru banci itu tak segan untuk merangkul bahu Kevin dengan manja dan mesra.
Kevin dan Arial sontak terlonjak kaget melihat si banci yang berada dalam radius sangat dekat. Arial bangkit dari duduknya dan segera menciptakan jarak aman.
Paru-paru Kevin terasa loncat dari tempatnya saat itu juga. "Apaan, sih! Lo pegang-pegang?!" bentak Kevin kesal memperlihatkan amarahnya dengan menghempaskan tangan Eike ke udara lalu segera berdiri tegak.
"Kok Bang Kevin jahat sih sama Eike?" balas Eike manja.
"Mending lo pergi!" usir Kevin tak sabar.
"Bang Kevin bilang kalo Bang Kevin cinta sama Eike. Tapi kenapa malah kayak gini?" sahut Eike murung.
"AMIT-AMIT! LO SALAH ORANG!!!" teriak Kevin benar-benar marah hingga membuat orang-orang di sekitarnya menoleh dengan penasaran ke arahnya.
"Vin. Vin. Sabar, Vin," ucap Arial tanpa sadar melihat kemarahan Kevin.
Eike sontak menoleh ke arah Arial dengan wajah pasrahnya. "Bang. Abang temennya Bang Kevin, kan? Bantuin Eike, dong," rengek Eike meraih tangan Arial dengan manja.
"Eh, monyet!" Arial segera menarik tangannya dan menjauh. Lalu membawa Kevin untuk ikut kabur bersamanya.
"BANG KEVIIINNN!!!" teriak Eike frustasi menghentak-hentakkan kakinya dengan kesal.
***
Nita yang sempat mendengar teriakan itu menolehkan kepalanya ke seberang jendela kafe. "Ada apa, sih?" gumamnya pelan merasa penasaran dengan keributan yang terjadi di luar kafe. Matanya sempat melihat dua orang yang berlari beriringan meninggalkan orang aneh dengan rok mini sepaha dan rambut kusut yang dibiarkannya terurai tidak karuan.
Nita terkekeh saat menyadari bahwa orang aneh tersebut adalah banci yang sedang merasa hancur akibat patah hati.
"Kenapa kamu ketawa sendiri?" Aldo tiba-tiba muncul di hadapannya.
"Kak Aldo nggak liat banci yang lagi nangis di sana?" Nita masih tertawa lalu tangannya menunjuk ke arah luar jendela membuat Eike menoleh tajam dengan kedua matanya ke arah Nita. Nita segera menurunkan tangannya dan pura-pura tidak melakukan apapun.
Aldo yang mengikuti arah telunjuk Nita ikut terkekeh melihatnya. "Kenapa dia?" tanyanya penasaran.
"Patah kaki," jawab Nita asal.
"Eh?" Aldo terlihat bingung.
"Patah hati maksudnya, Kak," ulang Nita terkekeh. "Orangnya ngeliatin aku, Kak," lanjut Nita mulai panik.
"Lo sih usil pake nunjuk-nunjuk segala," balas Aldo tertawa pelan.
Nita terkekeh meringis. Menatap Aldo dengan penuh rasa sesal.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Aldo mengalihkan pembicaraan.
"Nongkrong aja," jawab Nita.
"Nggak pulang?" tanya Aldo lagi dengan heran.
Nita menggeleng pelan.
"Orang tua kamu nggak nyariin?"
"Nggak tau tuh." Nita terkekeh.
"Seneng banget ya kamu ketawa?"
"Dari pada nangis."
Aldo ikut tertawa geli dibuatnya.
BRAAKKK!!!
Namun gebrakan meja membuat orang-orang di sekitarnya menoleh panik. Terutama Nita karena langsung mendapat tatapan mengerikan dari Eike yang datang dengan tiba-tiba.
"Jelangkung dari mana, nih?" tanya Aldo menatap Nita dengan panik.
Nita mengerjap-ngerjapkan matanya, tidak percaya dengan banci yang sedang emosi mendatanginya.
"Diem lo!" bentak Eike dengan mengerikan pada Aldo sampai membuatnya terkejut dan diam.
"Heh, lo!" Tatapan Eike beralih pada Nita.
Nita merasakan keringat dingin bercucuran di pelipisnya.
"Berani-beraninya lo ngetawain gue!" teriak Eike melampiaskan emosinya. "Lo nggak tau penderitaan gue selama ini?!" lanjut Eike dramatis.
Tanpa sadar Nita menggeleng-gelengkan kepalanya untuk merespon ucapan banci yang tengah berdiri sambil berkacak pinggang di depannya. Jantungnya berdebar hebat. Ingin rasanya Nita pingsan atau kabur dari tempatnya. Namun semua itu terasa kaku di tubuhnya.
"Lo emang kurang ajar, ngetawain gue di atas penderitaan gue! Awas lo, gue bales semuanya!" teriak Eike penuh amarah.
Seorang satpam segera datang mendekati Eike kemudian cepat menariknya keluar karena telah dianggap sudah merusak suasana tenang dalam kafe. Eike terus meronta sambil memaki Nita tanpa henti.
Nita meringis. "Kok ada ya orang kayak dia?" gumamnya setelah Eike dibawa pergi oleh seorang satpam dari hadapannya. Ia menjatuhkan dirinya di kursi.
"Udah jangan dipikirin," sahut Aldo menenangkan Nita yang terlihat masih tegang lalu duduk di tempatnya semula.
Nita mengembuskan napasnya perlahan, mengatur detak jantungnya yang masih berdebar keras.
"Minum dulu," ucap Aldo.
Nita mengangguk lemah lantas meraih minumannya dan meneguknya.
***
Dengan heran Chika melihat kakaknya yang tiba-tiba berlari masuk ke dalam sanggar. "Kenapa sih, Kak?" tanyanya penasaran.
"Gila," rutuk Arial pelan. Di belakangnya ada Kevin yang sedang kelelahan.
"Kakak kenapa?" ulang Chika gemas.
"Banci," jawab Arial masih mengatur nafasnya.
"Banci kenapa?" tanya Chika tak sabar.
"Tanyain noh sama pacarnya!" Arial menyenggol lengan Kevin.
"Sialan lo!" umpat Kevin tidak terima.
"Urusan lo, gue kena imbasnya," gerutu Arial.
"Nggak lagi-lagi gue pulang sekolah lewat gang itu lagi," balas Kevin frustasi.
Chika hanya bisa mengernyit menunjukkan wajah polosnya dan menatap keduanya dengan bingung.
"Ya udah yok, balik! Gue ikut kalian. Capek gue!" ajak Kevin berujung pada proposal mejeng.
"Asal lo mau di roda. Gue rela," sahut Arial menyebalkan.
"Iya. Hayati ikhlas, Bang," balas Kevin dramatis.
Chika terkekeh melihatnya.
"Lebay lo!" gemas Arial kembali melangkahkan kakinya keluar ruangan menuju mobilnya yang terparkir di halaman depan sanggar kemudian di susul oleh dua orang di belakangnya.