PHY 03 - Solidaritas Kawan

2202 Kata
"Kisah persahabatan akan terasa hambar jika tanpa pengorbanan." ~Angga~ Arial mulai memasuki halaman rumahnya. Terlihat wanita paruh baya sedang berdiri tepat di depan pintu rumah dengan wajah cemas sekaligus menahan amarahnya. "Habis ke mana kalian?" tanya Wulan sarkastik. "Kenapa sampai malam begini?" beruntunnya kemudian. "Maaf, Ma. Tadi aku minta Kak Arial buat nungguin aku les tari," jawab Chika takut-takut. "Mama tahu jadwal les tari kamu nggak sampai malam seperti ini!" Suara Wulan naik satu oktaf, dari nadanya menunjukkan kecemasan. Chika menunduk dalam-dalam. "Mama nggak mau kalian menjadi liar seperti ini," ucap Wulan tegas. Arial terdiam. Sebenarnya ia ingin menyalahkan Kevin meski sepenuhnya Kevin tidak salah karena selain itu sahabatnya benar-benar membutuhkan bantuan. Sebaiknya Arial menyalahkan Eike! Tapi ya sudahlah, Arial tidak ingin memperpanjang masalah semacam ini. "Maaf, Ma." Hanya itu yang Arial katakan sebelum Wulan pergi dari hadapannya. Chika meringis setelah Wulan meninggalkannya bersama Arial di pelataran rumah. "Gara-gara Bang Kevin ya, Kak?" ujarnya pelan. Arial menoleh. "Temen lagi susah ya emang harus dibantu, Chika," balasnya sambil berlalu masuk. Sesuatu seperti menghantamnya keras-keras saat mendengar ucapan Arial yang terdengar sangat langka. Baru kali ini Chika mendengar Arial berbicara layaknya sesosok motivator. Tanpa sadar Chika mematung di tempatnya dan berdiam diri menatap Arial melenggang masuk ke dalam rumah. "Tumben omongan lo bijak. Biasanya cuma ngomong 'iya-gak' aja susah," gumam Chika merasakan ada keajaiban dunia yang kedelapan. *** "Abis ke mana lo?" tanya Angga menyambut kedatangan Arial. "Kelas sebelah," jawab Arial duduk di bangkunya. "Ngapain?" tanya Angga lagi. "Ngasih fotokopian fisika ke si Gilang," sahut Arial. "Oh." Angga menerawang hingga ke sudut ruang. Hampir pukul tujuh dan sesuatu menyadarkannya pada seseorang. "Kevin mana?" tanyanya. Arial terdiam lantas kepalanya menggeleng pelan bersama wajah bingungnya. "Iya. Ke mana tuh anak?" ucapnya beberapa saat kemudian. Tak lama kemudian ponsel Arial bergetar di dalam saku celananya. Ia meraihnya lalu melihat ke arah layar ponselnya yang tertera nama Kevin di layar. "AAARRRIIIAAALLL!!!" teriak Kevin di seberang begitu Arial mengangkat panggilannya, napasnya terdengar putus-putus. "Kenapa lo?" tanya Arial heran. "Astaghfirullah. Dosa apa gue dikejar-kejar banci?!" keluh Kevin di seberang. Ia memekik penuh dengan ketakutan. "Lo di mana?" tanya Arial segera memutar otak untuk mencari solusi. "Nggak jauh dari sekolah. Lokasi gue deket gudang mebel Haji Rendy. Cepetan lo kesini!!!" Suara Kevin di seberang terdengar panik dan tegang. Arial berdecak. "Ya udah gue ke sana sekarang," ucapnya mencari sebuah rencana jitu di otaknya agar dapat keluar dari area sekolah tanpa ada yang tahu. Sambungan telepon diputus, Angga menatap Arial dengan penuh tanya. "Kenapa Kevin?" tanyanya cemas. "Dari kemaren dia dikejar-kejar banci," jawab Arial. "Punya masalah apa lagi sih tuh anak?" tanya Angga gemas. Arial hanya mengedikkan bahunya. "Lo tetep di kelas. Gue mau ijin keluar jemput Kevin," lanjutnya berlalu dibalas dengan anggukan kepala Angga. *** Terpaksa! Saat Arial tidak diijinkan untuk keluar dari area sekolah, rencana satu-satunya untuk bisa keluar adalah loncat pagar! Terakhir ia melakukan aksi ini saat SMP dulu, tepat ketika pembolosan sekolah sering ia lakukan hanya demi bisa berkumpul dengan geng besarnya. Arial kembali berjalan menuju ruang kelasnya. Namun sesampainya ia melengos melewati ruang kelasnya dan berakhir pada kantin yang terlihat sepi, di sana hanya ada beberapa siswa yang sedang menikmati segarnya es teh manis. "Mang! Pinjem tangganya, ya," ijin Arial mendekati Mang Koko. "Buat apaan, Al?" tanya Mang Koko curiga. "Buat benerin genteng. Tadi saya nggak sengaja lempar batu," jawab Arial penuh dengan kebohongan. "Ya udah iya. Tapi nanti dibalikin lagi, ya." "Nggak, Mang. Mau dibikin tusuk sate sama saya," kelakar Arial segera melesat membawa tangga kayu ke sudut sekolah tepat belakang bangunan kecil dengan aroma khas yang menyengat-toilet! Arial memastikan bahwa tangga yang dibawanya telah seimbang dan aman. Ia segera menaiki tangga kayu tersebut lalu tak lupa ikut membawa keluar tangga dari area sekolah yang akan menjadi akses keluar masuknya nanti. Arial menyimpan tangga tersebut di tempat yang aman dari jangkauan orang-orang. Lalu langkahnya segera melesat berlari ke arah timur melewati gang kecil sebagai jalan pintasnya. Langkah Arial terhenti tepat di lokasi yang Kevin informasikan. Di depannya ada tiga orang banci bersama lima orang preman dan Kevin sedang disekap di antara mereka. Lima orang preman dan tiga orang banci itu menoleh ke arah Arial. Tatapannya mengerikan dan terlihat ada dendam yang mungkin tersimpan tak berkesudahan. Salah satu di antaranya berjalan mendekat ke arah Arial, mungkin dialah bosnya jika dilihat dari perawakannya yang sok berkuasa. Situasi tegang mulai menyelimuti sekitar atmosfer Arial. "Berani lo ke sini?!" tanya preman bercodet jahitan di wajahnya dan terlihat mengerikan. Arial tertawa kecil. Menyorotkan sinar ketegasan sebagai laki-laki. "Lo temennya dia?" Preman itu menunjuk ke arah Kevin. Arial hanya menatap preman berotot polos di hadapannya dengan tegas. "Mending lo lepasin temen gue sebelum lo menyesal," ancam Arial setengah menantang. Nada bicaranya santai namun menusuk. Preman itu tertawa. "Lo pikir gampang?" tantangnya. Arial mengangkat satu alisnya. Kemudian tertawa lagi. Tawanya jelas membuat semuanya menjadi kebingungan. "Nggak usah sok jagoan deh lo! Mending lo pergi sebelum kita habisin!" usir preman tersebut. Arial hanya diam. Ia memilih memfokuskan diri untuk mencari titik lemah lawannya. "Mau lo apa?!" Preman itu berdiri di hadapan Arial. "Banyak cocot. Kocak," pancing Arial. "Astaghfirullah! Sarang tawon dari mana, Al?" tanya Angga tiba-tiba muncul di belakangnya. Arial nyaris tersentak. Ia menolah ke samping. "Lo ngapain ke sini?" kesalnya pada Angga. "Ya gue ngikutin lo, lah! Daripada nanti ditanyain guru, 'lo kemana?' gue nggak bisa jawab. Mending gue ikut. Solidaritas, Bro!" tegas Angga menepuk bahu Arial. Arial kembali menatap ke depan. "ARIAAALLL!!! AAANGGGGAAA!!! BANTUIN GUEEE!!!" teriak Kevin menggelegar keras. Matanya mulai berkaca-kaca menahan bening di matanya agar tidak mengalir begitu saja. Rasa tegangnya semakin menjadi karena cengkeraman tangan dua orang berbadan besar di sampingnya semakin erat. "Diem lo!" sentak preman botak di samping Kevin. "Mending lo lepasin temen gue sekarang!" ucap Arial tegas. "Bacot lo!" Si preman yang sudah maju duluan, mulai menyerbu bersama anak buahnya. Arial dan Angga bersiap memasang kuda-kuda untuk ketiga preman di depannya. Tinjuan demi tinjuan ia layangkan sesuka hati dengan terbilang begitu keras. BAGGG!!!! BIGGG!!!! BUUUGGG!!!!! Ala Jackie Chan, Arial membalasnya dengan tendangan tepat di wajah mereka dengan kemampuan bela dirinya yang pernah menjuarai pertandingan bela diri tingkat Jabodetabek setiap kategori yang pernah diikutinya. Tapi untuk tahun ini, diperkirakan Arial tidak akan mengikutinya lagi karena harus fokus pada ujian sekolah dan ujian nasional serta ujian masuk universitas. Setelah membuat ketiga preman itu sukses tersungkur dengan cap biru tertera di wajahnya, Angga dan Arial kembali diserbu oleh dua preman yang sedari tadi hanya menyekap Kevin. Kevin yang merasa bebas segera melarikan diri dan berlindung di balik tubuh Arial. "Lo ngapain di belakang gue?" kesal Arial. "Gue takut," jawab Kevin gemetar. Arial berdecak. Ia kembali fokus untuk menghadapi kedua preman di depannya. Angga melayani preman botak dan Arial melayani preman mirip anak genderuwo. Mereka saling adu jotos, saling membalas tendangan dengan menangkis. Tidak ingin mengalah. Di sela-sela kelengahan Arial karena sempat melihat Angga yang terpepet akibat ketiga preman yang sempat ka'o kemudian bangkit lagi, Arial terpaksa harus ikhlas menerima tinjuan dari si anak genderuwo dan berhasil membuat sudut bibir kirinya lebam dengan sedikit cairan merah yang mengalir keluar. Tidak ada cara lain selain menyeret kedua temannya untuk segera kabur. Dua lawan lima memang sungguh menyedihkan terlebih saat mengingat bahwa Kevin paling lemah dalam berkelahi meski ia paling jago dalam lomba lari. Mungkin karena itu, Kevin harus menyeimbangkan kemampuannya. Arial segera mendorong kuat-kuat lima preman banci itu hingga tersungkur di tanah dengan punggungnya membuat ketiga banci lainnya seketika dengan alaynya menjerit keras. Arial segera menyeret kedua temannya dan melarikan diri dari tempat laknat tersebut. Belakang gudang mebel milik Pak Haji Rendy memang sunyi karena terhimpit beberapa bangunan besar di belakangnya hingga membuat tempat tersebut menjadi sarang tawon. Jaraknya sekitar dua kilometer dari SMA Dewantara. Tidak banyak masyarakat yang berani melawan mereka, seperti halnya lebah yang selalu memilih menghindar jika tawon datang meski sangat meresahkan lingkungan hidupnya. *** Jantung Arial dan kedua temannya naik turun. Keringatnya bercucuran deras di tubuhnya. Pelariannya untuk terhindar dari banci kaleng tidak sia-sia. Sekarang mereka tengah duduk di warung Kang Tri tepat depan SMA Dewantara. "Euleuh! Euleuh! Kalian teh, kenapa? Bel kan sudah bunyi dari tadi. Kenapa nggak masuk?" tanya Kang Tri sambil membawakan tiga gelas es teh manis yang dipesan tiga anak muda di hadapannya. Logat Sundanya masih terdengar renyah. "Iya Kang. Kita abis ada urusan," jawab Angga menyandarkan tubuhnya pada tembok di delakangnya. Lantas segera meneguk es teh manisnya hingga habis. "Ya udah. Cepet masuk ke kelas," perintah Kang Tri tegas. "Iya Kang," jawab ketiganya bergantian. Kevin bangkit dari duduknya kemudian berlalu mengawali langkah setelah keringatnya mulai kering. Angga dan Arial menyusulnya di delakang. "Mau ke mana lo?" tanya Arial saat melihat Kevin berjalan lurus menuju gerbang sekolah. Kevin membalikkan badannya dan menatap Arial dengan bingung. Arial mengisyaratkan bahwa ia akan lewat gang pinggir sekolah agar lebih aman dengan tangga yang sudah ia sediakan. Kevin menurut kemudian kembali mengikuti Arial dan Angga. Arial mengangkat tangga kayu dan menyandarkannya di tembok. Kevin dan Angga segera membantunya. Arial mengisyaratkan kedua temannya untuk tidak bersuara dan berhati-hati. "Lo naik duluan," perintah Arial pada Kevin. Kevin mengangguk menurut. Kemudian Angga dan terakhir Arial. Usainya mereka ada di atas pagar semua, Arial segera kembali mengangkat tangga dan memindahkannya di balik tembok. Angga dan Kevin kemudian sigap membantunya. "ANGGA! ARIAL! KEVIN!" panggil Bu Susi mengerikan ketika tangga kayu itu sudah menyentuh tanah. "Buset!" Kevin nyaris terjatuh begitupun dengan Arial dan Angga yang terlonjak kaget setengah mati. Arial hanya bisa pasrah dengan keadaan ini. Pasalnya ia sudah berjanji untuk tidak mengulangi hal yang sama di masa lalunya. Ia menatap kedua sahabatnya bergantian, lalu dengan sorot matanya memerintahkan Angga dan Kevin untuk cepat turun. "Kevin, Angga, Arial," Absen But Susi setelah ketiga muridnya berada di bawah semua. Mereka bertiga hanya bisa merunduk tidak berani melawan orang tua di hadapannya. "Ikut Ibu sekarang," ujar Bu Susi tegas. Arial, Kevin dan Angga saling melempar tatapan. "Cepat!" pekik Bu Susi mulai emosi. Arial terkesiap. Ia merasa sangat bersalah pada semua guru terutama kedua orang tuanya, terlebih luka lebam di ujung bibirnya sangat mencolok di mata semua orang yang menatapnya. Arial harus menyiapkan seribu cadangan oksigen untuk menerima hukuman dari Bu Susi dan membangun tembok pertahanan sekuat-kuatnya untuk perkataan pedas kedua orang tuanya karena baru kali ini ia berani melanggar peraturan sekolah lagi setelah mutuskan untuk insyaf. *** Sekarang Arial, Angga dan Kevin berdiri di tengah lapangan upacara dengan tulisan 'saya tidak akan membolos dan berkelahi lagi' di punggungnya masing-masing. Menghormat bendera di bawah teriknya matahari pukul sembilan pagi sampai jam istirahat pertama berakhir. "Sorry ya, guys. Gara-gara gue, kalian jadi gini," ucap Kevin sadar tanpa merubah posisi hormat benderanya. "Santai aja. Solid," sahut Angga. "Iya, gak Al?" senggolnya kemudian pada Arial yang tidak mood untuk bicara. "Hm." Hanya itu sahutan dari Arial. Bel istirahat berbunyi dengan sangat keras, sangat berbeda dengan hari biasanya. Khusus untuk hari ini bel istirahat berbunyi dua kali lipat lebih nyaring, seakan memberi sebuah kejutan di hari ulang tahun. Seluruh rakyat SMA Dewantara mengelilingi bibir lapangan sampai depan koridor kelas. Semua tatapannya penuh tanya dengan peristiwa langka di depannya. "Wih, siswa teladan kenapa, tuh?" tanya Adit cukup nyaring di samping telinga Gilang. "Iya, tuh! Lebam, lagi," sahut Rio. "Tawuran kali!" sambung Aldi. Gilang hanya memperhatikan keadaan lapangan yang hanya terisi tiga siswa dengan wajah lebam. Beberapa orang guru mulai melangkahkan kakinya menuju lapangan. "Selamat siang!" sapa Pak Tora dengan megafon di tangannya. "SSSIIIAAANG!" riuh seluruh murid SMA Dewantara. "Kalian tahu siapa mereka?" lanjut Pak Tora. "TTTAAAUUU!!!" jawab seluruh siswa-siswi kompak. Tatapan Pak Tora menatap Angga, Arial dan Kevin secara bergantian. Riuh rendah suara berubah senyap dan mulai menegang. Arial berusaha tetap tenang meski kedua temannya merasa nyawanya sudah melayang. Pak Tora menjauhkan megafon dari mulutnya. "Kalian tahu dengan pelanggaran yang sudah kalian lakukan?" tanyanya bergilir. Angga, Arial dan Kevin mengangguk. "Iya, Pak," sahutnya bergantian. "Saya bisa menjelaskan semuanya, Pak," tambah Kevin. "Tidak perlu! Kalian sudah sangat mempermalukan kami sebagai pendidik!" gertak Pak Tora menunjukkan kekecewaan. Kevin menundukkan kepalanya dalam-dalam. "Cupu!" cibir Adit pelan di kejauhan. "Angga!" panggil Pak Tora. Angga mengangkat kepalanya. "Maafkan saya, Pak," ucapnya. "Arial!" lanjut Pak Tora. Arial menatap Pak Tora. Lalu meminta megafon dari genggaman Pak Tora. "Ada yang ingin saya sampaikan kepada teman-teman semuanya, Pak," ijinnya. Pak Tora memberikan megafonnya. Semuanya hening. Angin yang berhembus seakan ikut diam. Arial menghadap ke arah seluruh rakyat SMA Dewantara. "Saya minta maaf kepada teman-teman dan adik-adik semuanya. Saya tahu dengan kesalahan saya, meski di balik kesalahan itu saya memiliki alasan tersendiri dan tidak bisa saya jelaskan dengan detail. Pada intinya, saya dan kedua teman saya yang berdiri di samping saya meminta maaf yang sebesar-besarnya dan saya mohon untuk tidak meniru pelanggaran tata tertib sekolah seperti yang sudah kami langgar apapun alasannya dan kami bertiga siap menerima konsekuensi atas pelanggaran yang sudah kami perbuat," ujar Arial menunjukkan tanggungjawab atas kesalahannya. Kutukan atau anugerah bahwa SMA Dewantara memiliki cara tersendiri untuk membuat siswa dan siswinya merasa jera setelah melakukan pelanggaran. Dimulai dari didikan seperti militer sampai dengan gemblengan. Dan, ini yang membuat Elsa semakin semangat untuk menggapai hati Arial. Keberanian dan tanggung jawabnya. "HHHHUUUUUUUU!!!!!!!!" Sorak sorai mengalun riuh seantero sekolah meneriaki Angga, Kevin dan terutama Arial.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN