"Saya tidak peduli dengan masa lalu saya dan masa lalu kamu. Yang saya pedulikan adalah masa depan kita."
~Arial~
Elsa turun dari motor Arial. Dia melepas helmnya. Kemudian menatap Arial dengan tatapan serius, "Jelasin. Nadine itu siapa?" pinta Elsa memberikan helmnya kepada Arial.
Arial mengernyit, "Kok nanya gitu?" balasnya malah berbalik tanya membuat Elsa semakin kesal.
"Jelasin. Nadine itu siapa?" ulang Elsa lebih tegas.
Arial diam sejenak, "Dia temen gue waktu SMP," jawab Arial membalas tatapan Elsa.
"Bohong!" tukas Elsa cepat.
Arial menghembuskan napas beratnya, "Dia itu cuma cinta monyet gue dulu," jelas Arial kemudian.
Tatapan Elsa memerah. Butiran bening sudah siap bertumpahan membasahi pipinya, "Kenapa lo bohong? Lo bilang lo belum pernah pacaran," kesal Elsa memukuli d**a Arial dengan kepalan tangannya yang tidak sebanding dengan kepalan tangan Arial.
Arial hanya diam, dia kembali menghembuskan napasnya lagi, "El. Yang gue cari itu cinta sejati," ucapnya sungguh-sungguh.
Elsa tertegun. Dia berhenti memukuli Arial.
"Cinta sejati gue itu lo. Bukan Nadine. Jadi gak perlu di bahas lagi." Arial menatap Elsa penuh harap. Dia tidak ingin rasa sakitnya yang Nadine torehkan kepadanya kembali terbuka.
Elsa terlihat merunduk. Dia merasa bersalah karena terlalu cepat menelan cerita tanpa di saring terlebih dahulu, "Maaf," ucapnya pelan.
"Gak perlu minta maaf. Lo gak salah," balas Arial mengangkat wajah Elsa lalu mengecup keningnya.
"Terima kasih sudah membuat saya kembali percaya pada cinta," ucap Arial.
Elsa kembali terdiam. Cara bicara Arial kali ini berbeda. Apa laki-laki di hadapannya ini paling anti menggunakan kata aku-kamu? Seingat Elsa, Arial tidak pernah menggunakan kata aku-kamu, "Hm." Elsa mengangguk.
"Masuk gih," perintah Arial.
Elsa mengangguk lagi. Dia berjalan masuk kedualam rumahnya.
Arial kembali melajukan kendaraannya.
***
Arial menutup pintu kamarnya. Puluhan pesan dari Angga dan Kevin mulai bermunculan saat Arial membuka ponselnya. Arial menyimpan tasnya di atas meja lalu melepas sepatunya dan menyimpannya pada rak sepatu di bawah meja. Dia duduk di pinggir ranjangnya sebelum mengganti pakaiannya.
Arial Bima to GC CoGan Elegan : Lain kali aja main PS-nya. Gue mau siapin semua keperluan buat tanding besok.
Kevin Aditya to GC CoGan Elegan : Yahhhhh payah lo!
Angga Pratama to GC CoGan Elegan : Iya. Gue setuju. Lain kali aja deh.
Arial menaruh ponselnya di atas nakas. Dia melepas seragam sekolahnya dengan hati-hati. Efek bius pada luka di lengannya sudah habis. Arial dapat merasakan lagi otot-ototnya kembali meradang kejang. Sebuah pesan kembali masuk ke dalam ponselnya. Arial kembali mengambil ponselnya dan membiarkan tubuhnya tidak di balut baju.
Elsa : Luka lo gapapa kan, Al?
Susah payah Arial mengetikan satu kata untuk membalas pesan Elsa.
Arial : Gapapa.
Tak lama kemudian pesan kembali masuk.
Elsa : Bohong!
Arial tersenyum. Peka banget sih!
Arial : Iya. Bohong.
Elsa : Gue kesana ya?
Arial pasrah tidak tahu lagi harus membalas apa. Elsa adalah tipe gadis yang tidak mudah percaya dengan kata-katanya. Kemudian dia kembali mengetikan kata-kata.
Arial : Gak usah. Gue lagi sibuk siapin keperluan buat lomba.
Elsa : Dasar bandel!
Kali ini Arial mengirimkan pesannya melalui voice note, "Tau tuh. Pacar lo, kok bandel banget sih?!" Arial terkekeh geli.
Diseberang sana Elsa ikut tertawa, "Gak tau. Ribet gue!" balas Elsa tak lama kemudian.
Mereka tertawa bersama di tempat yang berbeda.
Ada kecamuk di dalam hatinya. Antara ingin memberi tahu pada Wulan mengenai lukanya atau menyimpannya sendiri dan cukup Elsa yang tahu. Namun jika dipikirkan dua kali, Arial takut kalau Wulan menjadi khawatir terhadapnya.
Arial merebahkan tubuhnya. Dia ingin terlelap sambil menunggu senja.
"Kamu pembunuh, Arial!" teriak Gilang kecil.
"Kamu harus di hukum!" teriak Gilang lagi masa itu. Laki-laki kecil itu menatap ibunya yang sudah terkubur di dalam tanah.
Arial menggeleng keras, "Aku bukan pembunuh!!" pekiknya di sisa-sisa suaranya yang mulai hilang.
"Aku bukan pembunuh!!!!" pekik Arial lagi kala itu.
"Cukup!!!"
Arial terbangun dari mimpi buruknya. Baru saja dia terlelap tapi mimpi buruk itu datang dan menyergapnya berulang kali. Menderanya tanpa diminta. Arial benar-benar merasa sudah gila.
Ponselnya berdering. Rupanya Elsa menelponnya. Arial segera mengangkatnya.
"Hallo Arial," ucap Elsa di seberang.
"Iya," sahut Arial singkat.
"Gue pengen ngobrol."
"Gue mau ke rumah sakit." Arial melirik ke arah jam dinding. Sudah pukul setengah empat sore. Sebaiknya Arial harus bergegas.
"Aku ikut!" Elsa langsung menutup saluran teleponnya.
Arial tertawa kecil sambil menatap layar ponselnya. Tentu saja. Kenapa tidak? Elsa harus tahu segalanya yang ada pada dirinya.
Arial segera membereskan pakaiannya sebelum bergegas pergi. Dan... Arial teringat sesuatu. Jaket hitamnya! Arial mengecek lemari yang dia kunci dengan rapat. Masih ada. Sebaiknya segera dia bawa ke tukang laundry dan tukang jahit untuk memperbaiki semuanya. Arial tidak ingin banyak orang mengetahuinya.
***
Lorong panjang bernuansa putih mereka lewati. Arial dan Elsa masuk ke dalam ruang rawat.
"Arial Bima Pradipta." Dokter cantik itu mengecek nama pasiennya.
"Iya," balas Arial.
"Silahkan berbaring. Biar saya cek lukanya. Untuk Mbak-nya silahkan duduk," ucap dr. Anna kepada Arial kemudian beralih pada Elsa.
Kedua insan tersebut menurut.
Arial mulai di suntikkan obat bius kemudian perbannya di lepas oleh dr. Anna. Perlahan lukanya dibersihkan sebelum harus dijahit sebanyak delapan jahitan.
"Lukanya parah ya, dok? Sampe harus di jahit gitu," tanya Elsa harap-harap cemas.
"Lukanya cukup dalam. Tapi untungnya tidak infeksi," balas dr. Anna sambil menjahit luka yang ada di lengan Arial. "Sampai lukanya sembuh. Kamu jangan terlalu banyak gerak ya, Arial?" Arial hanya mengangguk.
"Tuh denger. Dasar bandel!" celetuk Elsa tanpa dosa.
"Bawel!" gerutu Arial.
"Bawel juga untuk kebaikan kamu, Arial. Wajar saja jika pacarmu bawel. Artinya dia masih peduli sama kamu," sambung dr. Anna jelas membela sesama kaumnya.
Elsa terlihat tengah menjulurkan lidahnya tanpa sepengetahuan dr. Anna ke arah Arial. Gadis itu merasa menang karena ada yang membelanya.
Melihatnya Arial cukup kesal, tapi dia hanya tertawa gemas.
Selesai. Arial menerima resep obat yang diberikan dr. Anna untuknya.
Arial itu cowok penuh misteri. Misteri yang harus terus aku gali. Diamnya menyimpan banyak perasaan sunyi, batin Elsa menatap wajah Arial.
"Udah liatinnya?" tanya Arial sambil berlalu setelah mengambil obat di apotek.
"Siapa juga yang liatin," balas Elsa jutek.
"Lo lah," sahut Arial tanpa adanya tatapan untuk Elsa.
"Jangan ke ge-eran deh!"
"Ge-er. Gue gak ge-er. Gue cuma pede." Arial terkekeh.
Elsa berdecih. Laki-laki di sampingnya ternyata begitu menyebalkan.
"Kita mau kemana?" tanya Arial tiba-tiba. Seketika membuat Elsa menautkan kedua alisnya.
"Kemana apanya?" tanya Elsa menatap Arial dengan serius.
"Gak kemana gitu?" Arial menaikkan salah satu alisnya.
"Tangan lo kan lagi sakit. Tadi aja mau jatuh," balas Elsa kesal mengingat beberapa jam yang lalu saat Arial menyetir motornya dan hampir saja jatuh.
Arial menggaruk tengkuknya. "Gue pikir lo mau main lagi sama gue," ujar Arial mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Elsa terlihat menggeleng. "Tangan lo masih sakit. Sembuhin dulu," ucapnya pelan.
Arial diam sejenak. Lalu menghadapkan tubuh Elsa kehadapannya. "Peri cantik. Tolong sembuhin luka saya dong," ucapnya manis. Arial mengembangkan kedua sudut bibirnya.
Sejenak Elsa terdiam. Benarkah di hadapannya adalah Arial? Sosok pendiam yang dikejarnya selama ini. "Aduh! Biar cepat sembuh. Luka itu harus di nikmatin," balas Elsa berlagak seperti sosok peri.
Arial tersenyum. Menatapnya dengan lekat. "Makasih. Makasih buat semuanya dan buat senyumannya," ucap Arial.
Elsa menghembuskan napasnya. Lalu mengangguk.
***
Senja sudah hampir menghilang. Arial memacu motornya dengan santai.
"Loh, Al!" Elsa terlihat kaget saat Arial melewati gerbang komplek rumahnya.
Arial hanya diam. Dia ingin membawa Elsa ke suatu tempat. Tempat yang jauh dari kata ramai namun damai. Dia ingin menceritakan segalanya kepada Elsa. Mungkin terlalu cepat. Namun sepertinya lebih cepat lebih baik.
Arial menghentikan motornya di bawah gedung yang terlihat mangkrak pembangunannya. Dia menggenggam erat tangan Elsa.
"Kita mau kemana sih, Al?" tanya Elsa sedikit khawatir.
"Ayo naik," ajak Arial menaiki anak tangga yang terlihat sampai pucuk bangunan namun tidak sedikitpun terdapat pegangannya.
"Aku takut Arial," ronta Elsa terlihat pucat.
"Ada ketakutan yang harus lo lawan. Supaya lo bisa liat keindahan yang tertutupi oleh rasa takut lo," ujar Arial.
Elsa mendongakkan kepalanya menatap langit. Semburat senja mulai terlihat.
"Ya." Arial menatap Elsa. Meyakinkan gadisnya.
Elsa mengangguk. Dia lebih keras menggenggam tangan Arial yang tengah merangkulnya.
Sudah setengah perjalanan. Elsa kembali melihat ke bawah. Mengerikan! "Udah ya? Sampe sini aja," ucap Elsa merasakan badannya gemetar dan lututnya mulai melemas.
"Sedikit lagi, El," paksa Arial. "Ayo," ajaknya.
Elsa menggeleng.
Arial menuruni satu tangga. Dia berdiri di belakang Elsa. Memeluk gadisnya yang sedang ketakutan. "Yakin sama gue. Kita langkahin kaki bareng-bareng," ucap Arial memeluk gadisnya.
Elsa menelan salivanya dengan susah payah. Dia mulai meyakinkan hatinya. Satu demi satu tangga dia lewati sampai tangga terakhir. "Arial," ucapnya takjub setelah berani melawan rasa takutnya. Gadis itu berdiri di lantai tertinggi gedung dengan melihat semburat jingga yang begitu indah. Semburat jingga yang jarang sekali dia lihat di ketinggian kota.
Arial tersenyum. "Kalo sore. Gue, Kevin dan Angga kadang pergi kesini. Kalo siang soalnya panas. Gak ada tempat buat berteduh," ucap Arial menuntun Elsa untuk berdiri di tengah-tengah rooftop.
"Yang aku lihat, nyata kan?" Elsa masih takjub menatap ujung langit dengan setengah mentari yang mulai menutup dirinya di antara daratan.
"Nyata kok." Arial berhenti sejenak. "Kayak lo," lanjutnya dengan segaris senyuman yang melengkung di bibirnya.
Elsa menoleh. Dia merasa tersanjung dengan kata-kata Arial. Sederhana, namun mampu membuatnya tersenyum.
Arial menarik napasnya. "Ada banyak yang mau gue ceritain ke lo, El." Arial mulai merasakan kecamuk di hatinya.
Elsa menyandarkan kepalanya di bahu kokoh Arial. "Ceritain. Aku denger semuanya," balasnya terdengar tulus dan damai. Tak lama kemudian dia merasakan sandarannya tengah menarik napas lagi.
"Yang lo liat sekarang. Bukan sosok laki-laki yang suci. Bukan sosok laki-laki anak rumahan yang nurut sama nyokap-bokapnya. Bukan sosok laki-laki gemilang dengan segudang kebaikannya." Dari nol. Arial harus menceritakan semuanya. Segalanya tentang dirinya, masa lalunya dan masa depannya. Meski menyakitkan.
Elsa menatap raut serius dari wajah Arial. Selama ini dia selalu menatap Arial seperti berlian dengan kilau cahaya terang yang menyilaukan mata. Namun perlahan Elsa mengerti, di balik sikap Arial yang pendiam ternyata menyimpan banyak goresan. Entah itu luka atau apalah, Elsa tidak tahu pasti. Apapun yang terjadi, Elsa harus menerimanya. Menerima kenyataan pahit yang ada pada diri Arial. Yang ternyata Arial sembunyikan dengan rapi. Tidak semua orang dapat mengetahuinya.
Arial tertawa. Tawanya pedih. Tatapannya lepas memandang cahaya jingga sampai ujung. "Gue juga manusia. Punya kesalahan besar. Sangat besar," lanjutnya. Kini Elsa menegakkan tubuhnya.
"Kesalahan apa?" tanya Elsa.
"Banyak." Arial menjawabnya dengan singkat.
"Seperti?" Elsa menatap Arial.
Arial kembali tertawa dengan penuh kepedihannya. "Berantem."
Elsa menautkan kedua alisnya.
"Dan ngancurin diri sendiri," lanjut Arial. Dadanya mulai sesak. Namun melihat raut di gadisnya yang menatapnya sambil menahan kesedihan Arial berusaha menenangkan segala kecamuknya. Sungguh, kali ini kecamuknya terus bergejolak tanpa henti.
"Ngancurin diri sendiri," ulang Elsa terdengar lemah.
Perlahan Arial mendekatkan tubuhnya pada Elsa. Dia ingin memeluk gadisnya. Tapi dengan cepat Elsa menghindar darinya. Melihatnya Arial menghembuskan napasnya dengan pasrah.
Elsa memegang dadanya yang mulai berdetak cepat dan sesak.
"Dulu gue ancur banget. Sampe harus masuk ke rehabilitasi," ucap Arial kembali menatap langit. "Gue harap lo bisa menerima segala kekurangan yang gue miliki. Karena—" Arial menahan kata-katanya. Dia menghembuskan napasnya dengan kasar.
Butiran bening mulai menetes di pipi gadisnya. Arial dapat merasakan itu.
"Karena kelebihan yang gue miliki adalah lo, Elsa," lanjut Arial merasa tidak pantas untuk menjadi lelaki berharga setelah Surya. Arial berusaha menetralkan pikirannya. Kecamuk dalam perasaannya mulai dia kendalikan.
Elsa menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Menumpahkan segala tangisnya yang sudah tak terbendung. Elsa menangis tersedu-sedu. Tak lama dia merasakan pelukan hangat yang melekat di tubuhnya. Bukan cahaya senja. Bukan! Melainkan Arial yang kini memeluknya dengan tulus.
"Lo itu. Anugerah yang diberikan Tuhan dan harus gue jaga," lirih Arial. "Gak cuma secara lahir. Gue bakal ngejaga lo juga secara batin," lanjutnya.
Elsa menyandarkan kepalanya pada d**a bidang Arial. Dia sadar, bukan kah cinta untuk saling menyempurnakan? Saling menutupi lubang dan luka yang menganga.
"Gue sayang sama lo, El," ucap Arial.
"Gue lebih sayang sama lo," balas Elsa rupanya tak mau kalah.
Arial tertawa. Dia melepaskan pelukannya dan menghapus butir bening yang membasahi pipi mulus Elsa. Di sisi lain, Arial merasa sedikit lega setelah menceritakan semua kepahitannya kepada Elsa. Meski sebenarnya dia dapat menanggungnya sendirian. Namun bukan kah Elsa berhak tahu untuk semuanya? Tapi masih ada satu kenyataan yang belum dia ceritakan kepada gadisnya. Kenyataan yang sangat pahit untuk Arial telan bulat-bulat. Yaitu sebuah tragedi.