"Ada yang kutakutkan hari ini. Yaitu sebuah luka yang akan kembali membuka."
~Elsa~
Arial sudah bersiap-siap untuk menghadapi pertandingannya hari ini. Sekarang dia tengah berkumpul di tepi lapangan bersama timnya.
"Inget. Kunci kemenangan, kita jangan terlalu menyepelekan lawan dan jangan terburu-buru," ucap Arial mengawali instruksi setelah Pak Rahmat selesai memberikan arahan.
"Siap!" sahut semuanya.
"Ingat Arial. Kamu kapten disini. Kamu harus memaksimalkan pertandingan ini," tambah Pak Rahmat benar-benar tidak menyadari luka parah yang Arial tutupi dengan gelang kapten yang melingkari lengannya.
"Iya Pak." Arial mengangguk.
Baik. Lima menit lagi pertandingan dimulai. Rupanya Pak Rahmat tidak ingin menyia-nyiakan waktunya, dengan cepat tangannya mengguratkan pena di atas kertas kosong yang dia bawa. Menjelaskan lagi bagaimana strategi jitu untuk melumpuhkan lawan di pertandingan kali ini.
Arial sudah menduganya kali ini akan menjadi pertandingan yang tersengit sepanjang masa. Jelas! Dia melihat rivalnya yang pernah menjadi bagian dari cerita pertemanannya dulu ikut turun ke lapangan. Namun kini saling membenci. Membenci dalam diam seakan tidak terjadi apa-apa. Dialah Dhika yang akan menjadi lawan mainnya di babak final nanti.
Elsa berdiri di tribun penonton. Debaran jantungnya tidak bisa ia hentikan. Meski yang kini di tatapnya terlihat baik-baik saja. Hanya terlihat, tidak dengan keadaan yang sebenarnya Arial rasakan.
"Udah deh, El. Gak usah tegang gitu." Novi datang dengan membawa dua es teh manis di tangannya. "Ini minum dulu." Dia memberikannya kepada Elsa.
"Gue tuh khawatir, Nov." Elsa menerima es teh manis tersebut dengan wajah penuh kecemasan. Wajahnya yang selalu ceria seakan hilang ditelan rasa khawatir.
"Khawatir kenapa sih? Arial tuh baik-baik aja tau gak sih? Liat tuh liat. Dia malah keliatan keren di lapangan sana!" balas Novi memuji Arial seakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ya, karena dia tidak tahu tentang apa yang sedang Elsa khawatirkan.
Elsa hanya berdecak sebal. Memiliki pacar seperti Arial ternyata selalu menantang adrenalinnya untuk terus berpacu penuh keberanian.
"Udah ya udah. Kita nikmati pertandingan ini," ucap Novi menenangkan kegelisahan yang Elsa rasakan.
"Gue jadi penasaran. Sama orang yang namanya Nadine," gumam Elsa.
"Nadine. Siapa?" ulang Novi merasa asing dengan nama tersebut.
Elsa mengedikkan bahunya. "Nanti deh gue ceritain," ucapnya agak malas untuk membahasnya.
Peluit panjang dibunyikan, menandakan pertandingan dimulai. Kedua manusia jantan itu melompat bersamaan untuk merebut bola. Namun rupanya bola lebih berpihak kepada Arial. Permainan di babak penyisihan kali ini dapat dia kuasai.
Arial dengan mudah men-dribble bola kearah ring lawan, melewati halangan dari lawan dengan gerakan lincah dan... three points dia dapatkan dengan cuma-cuma. Tenang. Itu baru permulaan. Ada yang lebih mengerikan dari ini.
Seseorang berlari kencang kearah Arial yang tengah menguasai bola lalu dengan sengaja dia menyenggol luka yang ada di lengan kanan Arial, membuat Arial sedikit meringis dan tanpa sadar dia melepaskan bolanya begitu saja. Padahal dari arah lain Angga sudah memintanya untuk melakukan rebound ke arahnya.
"Sorry, tadi gue gak liat lo," ucap Arial masih dengan tenangnya.
Angga hanya berdecak.
Setengah jam sudah berlalu. Peluit panjang kembali dibunyikan menandakan untuk beristirahat selama sepuluh menit.
"Lo kenapa sih? Latihan lo padahal oke. Lo tadi kurang perform, man!" seru Kevin dapat menilai permainan Arial. Dia sedikit kecewa dengan cara Arial bermain meski poinnya dapat kembali dikejar.
Arial menghembuskan nafasnya. "Sorry, kalo ternyata cara main gue kali ini bisa kebaca lawan. Tapi tenang aja. Ini baru permulaan. Gue pasti bakal kasih kejutan buat mereka. Gak cuma gue, tapi kita," ucapnya meyakinkan teman-temannya.
Tim SMA Dewantara saling menautkan tangannya menjadi satu.
"SMA DEWANTARA!!!!" pimpin Arial dengan lantang sebelum melanjutkan pertandingannya yang belum berakhir dan masih panjang.
"JUARA!!!!" teriak teman-temannya dengan bersamaan.
Baiklah Arial. Lo harus fokus. Tunjukkan diri lo yang sebenarnya kepada mereka, batin Arial yakin.
Peluit kembali dibunyikan. Pertandingan di babak penyisihan kali ini terlihat lebih ganas dari permulaan. Ada dua orang yang menghalangi Arial untuk bergerak bebas. "s**t! Man to man!" maki Arial dalam hati membenci cara mereka memblok pergerakannya. Sekuat tenaga dia mencoba untuk menerobos keluar dari perangkap yang dibuat oleh lawannya melemparkan bolanya pada Angga. Lalu Angga melemparnya pada Kevin.
"Rebound!!!" teriak Arial pada Kevin yang terlihat mulai di kepung.
Kevin menuruti perintah Arial. Namun dia me-rebound kepada Juno yang ternyata memiliki strategi memancing agar Arial lebih terbebas dari pergerakan man to man yang cukup menyiksanya.
"Arial!" Juno berteriak disusul dengan lemparan bola kearahnya. Dengan lihai Arial menerima bola itu dengan senang hati. Dia langsung melakukan teknik shooting three points tanpa terburu-buru namun keras.
"Ball is my friends. But basketball is my life," ucap Arial pelan memaksimalkan performanya. Dan... masuk! Bola itu masuk dengan mulus. Tiga poin langsung didapatkannya.
Tim Dewantara otomatis kembali mundur untuk menjaga ringnya dari lawan dan merebut bola dari lawan. Rupanya Dewi Fortuna masih berpihak kepada Arial untuk tetap bersemangat melanjutkan pertandingannya. Sampai Arial lupa dengan lukanya.
Persetan dengan rasa sakit itu. Arial melakukan slam dunk pada ring lawan di detik-detik terakhir pertandingan babak penyisihannya.
Dan... "YEEAAAAYYYY!!!!" sorak sorai suporter SMA Dewantara mulai menuruni tribun penonton dan mengisi lapangan pertandingan. Menyergap Arial dan timnya dengan rasa bangga.
"Keren lo, man," ucap Nanda menepuk-nepuk pundak Arial.
Arial tersenyum. "Thanks Bro!"
"Kali ini gue puas dengan cara lo!" Angga dan Juno merangkul Arial.
"Iya-iya. Harus ada sedikit kejutan aja buat mereka," ucap Arial kemudian menepi. Dia duduk di bangku panjang sisi lapangan.
"Arial." Arial mendongak. Elsa datang dengan air mineral di tangannya. "Ini," ucap gadis itu memberikan air mineral di tangannya.
"Makasih," balas Arial dengan menyunggingkan senyuman.
"Kenapa sih terus maksain?" Elsa duduk di samping Arial.
Arial memilih diam tak menjawab.
"Nanti kamu bisa infeksi, Al. Luka kamu tuh belum kering," lanjut Elsa tidak peduli pada Arial yang akan menganggap ucapannya atau tidak.
"Luka. Luka apa?" tanya Angga tiba-tiba yang tak sengaja mendengar pembicaraan mereka.
Arial mengangkat wajahnya. Dia kembali menenggak air mineral tersebut. "Luka hati," jawabnya asal.
"Luka apaan sih?" tanya Angga semakin ingin tahu.
"Bukan apa-apa," jawab Arial santai seakan tidak terjadi apa-apa.
"Tim. Kumpul tim!" pinta Pak Rahmat tiba-tiba.
Arial bangkit. Memberikan minumannya pada Elsa.
Elsa menghembuskan napas beratnya sambil menatap Arial yang berlalu.
Arial, Angga, Kevin, Juno dan Bastian serta pemain cadangan lainnya berkumpul.
"Di babak penyisihan ini kalian terlihat lebih baik. Terus tingkatkan dan Arial." Arial mengangkat wajahnya dan menatap Pak Rahmat. "Kali ini Bapak puas dengan cara kamu." Arial tersenyum.
"Makasih Pak," balas Arial.
"Tapi kalian punya sisa waktu tiga puluh menit lagi. Kalian persiapkan untuk menuju final," ucap Pak Rahmat mengingatkan bahwa di babak penyisihan ini mereka hanya bermain satu kali karena sebelum mereka bertanding satu persatu lawan sudah disisihkan oleh lawannya yang lain.
Mereka memanfaatkan waktunya untuk duduk-duduk di tepi lapangan atau hanya sekedar bermain sesama tim sampai waktu istirahat habis. Arial menyandarkan tubuhnya pada dinding tribun. Dia benar-benar harus menyiapkan mentalnya untuk melawan rivalnya kali ini.
Elsa datang dengan handuk kecil di tangannya. Kemudian duduk di samping Arial dengan senyuman merekah. "Kalo gak kuat. Gak perlu dipaksain ya? Aku tetep bangga kok sama kamu," ucap Elsa tangannya mulai mengelap keringat yang membasahi pelipis Arial.
Arial mengangguk. Dia menatap semburat rasa khawatir pada manik cokelat mata indah gadisnya. Arial tersenyum.
"Ehm! Ehm! Mentang-mentang udah punya pacar!" jahil Bastian meneriaki Arial di kejauhan otomatis membuat yang lainnya menoleh kearah Arial.
"Sirik mulu lo, mblo!" balas Arial dengan santai mengambil handuk dari tangan Elsa untuk menghapus keringatnya sendiri.
Mereka tertawa mendengar jawaban Arial.
"Makanya lo obral diri, Bas. Biar laku!" timpal Juno mendukung Arial disusul dengan suara tawa yang mengisi atmosfer di antara mereka.
Mereka tertawa. Lebih tepatnya menertawai Bastian dengan mem-bully-nya.
"Seneng lo! Temen susah seneng! Bukannya dicariin!" bentak Bastian.
"Cariin buat lo mah sia-sia, Bas. Belum sempet jadian, mereka udah pada kabur. Hahahaha."
Tawa mereka seketika berhenti begitu saja saat Dhika berjalan menghampiri mereka. "Sekarang lo ketawa-ketawa. Abis pertandingan kali ini, gue pastiin kalian nangis-nangis," ucapnya angkuh.
Mereka saling tatap muka dengan teman di sampingnya. Kemudian kembali tertawa.
"Sinting lo! Pede amat pertandingan kali ini bakal menang," balas Kevin seraya berjalan mendekat pada Dhika. "Heh! Denger baik-baik ya? Tim gue gak akan kalah gitu aja ngelawan tim lo," lanjutnya tajam.
Arial berdiri dan berjalan mendekat. Dia merangkul bahu Kevin. "Udah Vin. Tuhan juga tahu. Mana yang pantes diberi kekuatan lebih dan mana yang gak pantes sama sekali," ucapnya membawa Kevin untuk menjauh dari Dhika.
Dhika, sempat menjadi teman Kevin juga saat SMP dulu. Kemudian pertemanannya hancur karena sebuah pengkhianatan.
Dhika berdecih. "Cih! Sok suci lo!" tajamnya kemudian pergi diiringi teriakan menyebalkan. "HUUUUU!!!"
Pertandingan kembali dimulai! Tatapan Arial dan Dhika saling bertemu, beradu dengan tajam. Dhika terlihat menyunggingkan senyumnya yang meremehkan Arial. Namun Arial menanggapinya hanya tenang.
Tenang. Disini gue tuan rumahnya, batin Arial membangkitkan kepercayaan dirinya. Meski ada rasa ragu yang menyelip di benaknya.
Peluit dibunyikan dengan panjang. Teriakan penuh semangat dari dua kubu mulai menggema menyemangati timnya masing-masing.
Bola dilemparkan oleh sang wasit ke atas di tengah lapangan. Rupanya bola tersebut lebih memihak pada Dhika. Dhika menyunggingkan senyum piciknya. "Ini kemampuan lo?" ujarnya meremehkan.
"Ini baru permulaan." Arial membalas senyuman picik itu dengan tatapan penuh ketenangan. Semoga jiwanya yang tenang membawanya pada kemenangan hari ini.
"Arial!" teriakan itu kembali memfokuskan Arial pada permainan sesungguhnya setelah Angga berhasil merebut bola dari lawannya dan siap me-rebound ke arah Arial.
Tatapan Arial meminta Angga untuk tidak terburu-buru melemparkan bolanya kearahnya. Angga melemparnya pada Juno dan estafet me-rebound-nya pada Bastian. Dan... Ah! s**t! Bola itu terebut kembali oleh Dhika dan teman-temannya. Dengan cepat Arial tidak ingin membiarkan bola itu membobol ringnya. Namun usahanya terlihat sia-sia. Lukanya kembali seperti merajang kesakitan saat dari arah berlawanan dengan sengaja Dhika menyenggol lengan kanannya dengan keras. Membuat Arial merasa lemas ketika menahannya, darahnya seperti kembali membasahi kain kasanya.
Sejenak Arial terdiam di tengah lapangan hingga tertinggal beberapa poin berharganya. Membiarkan rasa sakit pada lukanya sedikit reda. Di kejauhan Elsa seperti membangkitkannya.
"ARIAL!!! LO PASTI BISA!!!!" teriak gadisnya dari atas tribun.
"Elsa," gumamnya sadar.
"AL!" teriak Bastian pada Arial. Dia siap me-rebound bolanya kepada kaptennya. Dengan cepat Arial menerima bola itu dan segera men-driblle-nya cepat ke arah ring lawan.
Ketertinggalan poin yang sempat membuat Arial merasa kalah perlahan mulai dia kejar. Bersama timnya dia berjuang keras untuk mengalahkan tim lawan.
Di detik-detik terakhir pertandingan mulai semakin panas. Suara teriakan mengisi atmosfer di ruangan besar ini saat tim lawan berhasil membobol ring tim Dewantara. "YYYEEAAAAYYYY!!!!"
"Anjing!" geram Kevin seperti tidak terima.
Namun saat bola itu baru keluar dari ringnya dengan cepat tangan Arial menangkapnya dan dari tempatnya berdiri dia melemparkan bola itu langsung ke arah ring tim lawan. Arial mengerahkan seluruh tenaganya untuk melakukan shooting ball dari jarak kandangnya. Dan... masuk! Panjang lapangan hampir dua puluh delapan meter dilewati begitu saja oleh bolanya tepat saat satu menit sebelum peluit akhir pertandingan dibunyikan.
Suara sorak lebih ramai kembali mengisi di udara. Tindakan Arial benar-benar seperti memberi cambukan listrik oleh orang-orang sombong seperti Dhika dan timnya.
"YEEAAAAYYYY!!!!!" Nyaris kalah namun dikalahkan oleh full points berharga yang Arial dapatkan.
Arial tersenyum dan merangkul teman-temannya.
"Gue gak nyangka. Lo bisa ngelakuin ini dan jauh lebih keren dari latihan, man!" seru Kevin bangga pada sahabatnya.
"Gak tau. Ada malaikat yang ngedorong gue," balas Arial asal. Dia tertawa dengan jawabannya.
Semua teman-temannya tertawa. Tak lama kemudian para suporter Dewantara mengisi lapangan kemudian menggendong Arial dan timnya dengan bangga.
"DEWANTARA!!!! JUARA!!!" Berulang kali kata-kata itu diteriakan mereka dengan semangat. Final yang benar-benar maksimal.
Tubuh Arial dan timnya di turunkan di tepi lapangan setelah mereka diarak keliling lapangan dengan perasaan bangga yang tak lepas menyelimuti mereka.
"Baru kali ini saya puas dengan kemenangan kalian," ujar Pak Rahmat.
"Kita juga gak nyangka kalo ternyata Arial bakal senekad itu demi kemenangan kita kali ini, Pak," balas Juno terharu.
"Ini semua berkat kalian juga. Kalian yang berlatih keras dan gak pantang menyerah," tambah Arial membanggakan timnya. "Gue juga bangga sama kalian semua," bubuhnya.
"Kita lebih bangga sama lo, man!" balas Kevin tak mau kalah.
"Kalo gitu. Nanti malem kita rayakan kemenangan kita," ucap Pak Rahmat penuh binar.
"Wahh!!! Setuju!!"
"Setuju Pak, setuju!!!"
"Di rumah Bapak, Pak?"
"Di atas genteng, Bas!!"
"HAHAHA."
"Kena lagi gue!"
Arial menepuk-nepuk pundak Bastian. Menabahkan hati Bastian.
Perlahan mereka mulai meninggalkan gedung besar ini. Namun Arial masih duduk di bangku panjang tepi lapangan menunggu gadisnya yang tengah berjalan mendekatinya.
Elsa tersenyum. "Masih sakit?"
"Banget," balas Arial terlihat lemah. Dia menyenderkan tubuhnya.
"Ya udah abis ini kita ke dokter." Arial mengangguk singkat.
"Arial. Selamat ya? Tadi lo keren banget," puji gadis asing tersebut yang tanpa malu memeluk Arial di depan mata Elsa.
Melihatnya mata Elsa terbelalak merasakan sesak di dadanya dan kedua bola matanya mulai memanas. Ubun-ubunnya pun sudah terasa sangat mendidih.
Arial mengerutkan keningnya. "Iya. Thanks," balasnya mengingat-ingat gadis asing di depannya.
"Lo lupa? Gue Nadine!" Ucapan Nadine membuat Arial nyaris terlonjak kaget dan di sisinya mata Elsa nyaris membulat sempurna.
Bitch! Arial segera pergi dari hadapan Nadine dan membawa Elsa. "Sorry ya. Gue masih ada urusan," pamitnya daripada dia harus menanggung resiko yang lebih besar akibat mulut Nadine yang pasti akan menguar seperti sirine.
Memang, hubungan itu pernah ada. Namun diantaranya, antara Arial dan Nadine bukan lagi siapa-siapa dan tidak pernah melakukan apa-apa.
Sial! Pergerakan tangan Nadine lebih cepat dari langkah kakinya. "Kok buru-buru banget sih?"
Tanpa menjawab pertanyaan itu Arial menarik tangannya dengan sedikit kasar dan pergi begitu saja bersama gadisnya dengan tak memperdulikan Nadine.