"Ijinkan aku tahu tentangmu."
~Elsa~
Elsa menatap pemandangan indah dari balik jendela kamarnya. Susana sunyi di pagi dan tercium aroma petrikor membuatnya merasa sedikit damai. Gemericik air hujan semakin reda.
Elsa berjalan menuruni tangga yang berujung pada ruang tengah, "Ma. Aku berangkat dulu," pamit Elsa pada Mamanya.
"Loh. Kamu gak sarapan?" sahut sang Mama penuh perhatian.
Elsa menggeleng, "Nanti aja. Bareng Arial di kantin sekolah," balas Elsa optimis rencananya hari ini akan berhasil.
"Tapi kan hari ini kamu pulangnya agak sore," ucap Ranti-Mama Elsa.
"Udah Ma. Nanti juga Elsa makan kok, bareng Arial," balas Elsa meyakinkan.
"Terus kalo Arial udah sarapan duluan gimana?" timpal sang Papi Elsa-Surya.
"Ih, Papi. Semalem kan di chat Arial bilang, katanya nanti sarapannya bareng di kantin," tegas Elsa kesal.
Surya dan Ranti saling melempar tatapannya, "Ya sudah," ucap Surya kemudian disusul oleh suara klakson motor yang terdengar dari halaman depan.
Tiiinn!!! Tinnn!!!
"Tuh kan. Arial udah jemput," heboh Elsa dengan sendirinya.
"Mami, Papi. Aku berangkat dulu," ucapnya mencium punggung tangan kedua orang tuanya dengan bergantian.
"Iya hati-hati," balas Surya menatap langkah anaknya yang semakin melesat jauh.
Elsa muncul dari balik pintu besar rumahnya. Tersenyum ceria meski harinya sedikit redup. Sementara Arial hanya diam bersama pandangan datarnya. Duduk di atas jok motornya.
"Selamat pagi, Arial," sambut Elsa dengan semangat.
"Iya," sahut Arial agak malas membuka mulutnya. Dia memberikan helm pada Elsa, "Lo gak pake jaket?" tanya Arial peka terhadap bahan tipis yang Elsa kenakan.
"Oh iya. Tunggu sebentar," kata Elsa segera berlari masuk ke dalam rumahnya secepat mungkin. Tidak sampai lima belas detik, Elsa sudah kembali di hadapan Arial dan langsung menaiki motor Arial.
Motor Arial melesat membelah jalanan kota. Rupanya langit masih betah redup dan masih ingin menumpahkan segala bebannya ke bumi. Perlahan gemericik air hujan yang sempat reda kembali mengisi ruang kosong di atmosfer dengan tempo yang cukup deras.
Baru setengah perjalanan menuju sekolah, Arial menepikan motornya di halte bus. Dia merutuki dirinya sendiri, seandainya tadi malam Arial memilih untuk tidur lebih awal, pasti nasibnya tidak akan sial seperti ini karena setidaknya dia bisa bangun lebih pagi saat hujan baru mereda. Ya, Arial harus rela begadang semalaman hanya untuk video call bersama Elsa, selesai video call Elsa malah memaksanya untuk melanjutkan obrolannya via pesan.
Arial melepas helm yang dia kenakan dan segera meneduh di bawah kanopi halte. Dia menghembuskan napasnya perlahan, duduk di bangku panjang. Sudah hampir pukul tujuh, namun hujan masih asyik menumpahkan segala bebannya dari ketinggian di atas awan. Elsa duduk di sampingnya dengan mulut membungkam.
"Maaf ya? Karena aku, kita telat," ucap Elsa setelah mengumpulkan nyalinya untuk bersuara.
"Gak ada yang salah," jawab Arial singkat.
"Tapi hujannya romantis loh. Cuma kita berdua di halte ini," lanjut Elsa merasa gembira.
Arian mendesah panjang, "Oke. Gue tantang lo," sahut Arial.
"Tantang apa?" Elsa menatap Arial penasaran.
"Kalo lo bisa ngerebut peringkat gue di ujian akhir sekolah nanti. Gue bakal turutin semua yang lo mau," jelas Arial.
"Kalo enggak?"
"Kalo gak, ya lo yang harus nurutin semua keinginan gue."
"Keinginan berupa apa?"
"Gak tau. Masih gue pikirin."
"Jangan yang berat-berat dong!"
Arial mengangguk. Setelahnya suasana kembali hening.
"Al," panggil Elsa. Tatapannya jauh menerawang diantara derasnya air hujan.
"Hm," sahut Arial tanpa kata-kata.
"Gue mau jawab pertanyaan lo yang kemarin," ucap Elsa yakin.
"Pertanyaan yang mana?" balas Arial paling hobi memakai mode lupa.
"Soal, 'kenapa gue bisa suka sama lo?'," jelas Elsa.
"Gue udah tau," jawab Arial singkat.
"Tau dari mana?" Elsa mengernyit. Pandangan beralih pada Arial.
"Dari gue," jawab Arial masih asyik menghitung jumlah tetesan air hujan yang jatuh.
"Kok bisa?" tanya Elsa semakin tidak mengerti.
"Ya bisa," jawab Arial nyaris sama dengan pertanyaan Elsa.
"Al. Gue serius," keluh Elsa.
"Gue juga serius," kini. Tatapan Arial berhasil menangkap manik mata Elsa.
"Tau ah," bete Elsa memalingkan wajahnya dari tatapan Arial.
"Lo tau, romantisnya hujan itu apa?" tanya Arial penuh misteri. Wajahnya kembali di hadapkan pada air hujan yang turun dengan deras.
"Tau," jawab Elsa.
"Apa?"
"Dia tetap ada. Meski jatuh berkali-kali," kata Elsa percaya diri, "Kayak gue ke lo," lanjutnya.
Deg!
Arial terdiam. Namun hanya sejenak. Dia sempat kembali ingat saat Elsa mengejar-ngejar langkahnya hanya untuk menyatakan cinta.
"ARIAL!!!" panggil gadis tengil itu mengejar langkah Arial yang semakin cepat, "TUNGGU!!!" teriaknya, suaranya hampir mengisi seantero sekolah dan menyamai dengan volume bel sekolah.
Arial masih tidak mau menggubrisnya. Ia terus melangkahkan kakinya dengan cepat.
"ARIAL! GUE CINTA SAMA LO. URAT KEMALUAN GUE UDAH PUTUS. MAKANYA GUE BERANI TERIAK-TERIAK! ARIAAAALLL!!!!!" pekik Elsa kesal.
Cibiran dari para penghuni sekolah pun mulai merambah ke telinganya. Namun dengan tidak pedulinya Arial malah meninggalkan Elsa bersama cacian dan makian pedas dari orang lain.
"Pantes aja gak tau malu."
"Udah parah. Masukin aja ke rumah sakit jiwa."
"Salah," sangkal Arial membuat Elsa mendengus sebal, "Romantisnya hujan itu. Bikin gue percaya. Bahwa gravitasi bumi adalah sama dengan gravitasi perasaan gue sekarang ini," lanjut Arial manis.
Bukannya senang mendengar Arial berbicara manis selayaknya malaikat. Elsa malah berdecih, "Gue tau. Lo juga suka sama gue udah sejak lama kan?" tudingnya langsung pada Arial.
Arial terdiam. Di antara bias air hujan dia mencoba untuk menyusun kata-kata yang tepat untuk Elsa. Yang pasti bukan gombalan ala orang gembel atau sejenisnya, "El," panggilnya pelan.
"Gue tau. Pasti lo mau ngomong jujur sama gue," celetuk Elsa memotong pembicaraan.
"Hujannya udah agak reda," dalih Arial segera bangkit dari duduknya.
Elsa kembali berdecih kesal, "Jujur aja deh Arial. Lo juga jatuh cinta sama gue udah sejak lama!" serunya keras menahan marah.
Arial hanya diam seakan tidak mendengar, "Mau gue tinggal?" ucapnya dingin mengelap jok motor yang basah dengan kanebo.
Elsa hanya menatap Arial dengan kesal.
***
Motor Arial berhenti di parkiran motor yang sudah terlihat penuh. Masih tersisa lima menit menuju bel sekolah. Namun langkah Arial malah melesat menuju kantin sekolah tanpa kata-kata yang keluar dari mulutnya.
"Dingin, Al," keluh Elsa menggosok-gosokkan kedua tangannya.
"Sama," balas Arial datar.
Bubur ayam bersama kuah kaldunya membuat Arial semakin tak sabar untuk menyantapnya. Sekarang dia duduk di kantin Mang Koko, "Mang. Bubur ayam dua," serunya melihat ke sekeliling yang ternyata masih ramai.
"Eh, si anjir malah disini!" teriak Kevin langsung duduk di samping Arial dan disusul Angga yang duduk didepannya.
"Bentar lagi masuk. Malah makan lu!" tambah Angga.
"Laper gue," balas Arial menerima bubur ayam dari Mang Koko.
"Habisin ya sayang," celetuk Kevin menggoda Elsa saat gadis itu menerima pesanannya. Sementara, Arial hanya diam menikmati sarapan paginya.
"Gue juga jadi pengen," gumam Angga memegangi perutnya yang tiba-tiba keroncongan.
"Pesen. Jangan curhat," balas Arial singkat tanpa mengalihkan perhatiannya pada menu sarapan paginya.
"Nanti aja dah agak siangan," dalih Angga.
Sekilas Arial menatap Elsa yang sedang melahap makanannya dan terlihat sedang kelaparan, "Hati-hati, El. Masih panas," ucapnya perhatian pada Elsa yang malah membuat gadis itu tersedak. Dengan tanggap Arial memberi minumannya kepada Elsa.
"Udah gue bilang hati-hati. Lo malah kayak di suruh," omel Arial.
Elsa meneguk air dengan cepat, "Ya abisnya gue kaget lo bisa perhatian sama gue," balasnya kesal.
Arial memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Eh, Al. Udah siap kan lo buat pertandingan lusa," tanya Angga yang hanya mendapatkan anggukan singkat dari Arial.
Ah, rupanya Arial begitu menikmati sarapan paginya.
***
BRUUKK!!!
Nita terjatuh pingsan di lorong panjang dan kosong.
"Waduhh!! Al," kaget Kevin tengah menahan beban berat tumpukan buku paket kimia.
"Lah, dia malah tidur disitu," tambah Angga takjub.
"Dia pingsan g****k!" maki Arial memberikan tumpukan buku paket yang dia bawa kepada Kevin.
"Ehh, si anjir. Berat!" seru Kevin menerima tumpukan buku paket dari Arial.
Arial berlari kearah Nita. Jongkok di hadapan gadis itu untuk memastikan. Terlihat wajah Nita pucat dan tubuhnya hangat. Arial segera membopongnya ke kamar UKS.
"Buset berat amat," gerutu Arial membawa Nita ke kamar UKS.
Sesampainya di UKS Arial segera merebahkan tubuh Nita di atas ranjang, "Kenapa dia Kak?" Sambut sang dokter penjaga UKS.
Arial menggeleng, "Gak tau. Tiba-tiba pingsan," jawabnya.
"Biar saya cek dulu," ucap sang dokter menempelkan stetoskopnya pada titik nadi Nita dilanjut dengan memberikan perawatan yang dibutuhkan sampai Nita terbangun. Sementara Arial hanya menunggunya di belakang punggung dokter itu.
"Dia hanya kelelahan dan butuh istirahat yang cukup," jelas sang dokter tersebut.
Arial hanya diam mendengarkan penjelasan dokter.
"Kamu teman sekelasnya?"
Arial mengangguk.
Nita terbangun dari pingsannya. Melihat ke sekeliling ruang bernuansa putih dan beraroma khas obat-obatan, "Gue di mana?" tanyanya masih belum sadar total.
"Lo di UKS. Tadi lo pingsan," jawab Arial.
Nita terdiam tengah mengingat-ingat kapan terakhir kalinya dia berjalan sendiri.
"Nita. Sebaiknya kamu jangan terlalu capek ya," peringat dokter tersebut.
Nita mengangguk.
"Kalau begitu saya permisi dulu," pamit sang dokter yang terbilang cukup tampan di usianya yang sudah berkepala empat.
Kini di ruangan tersebut hanya ada Arial dan Nita. Saling diam dan membisu. Arial duduk di kursi samping ranjang, "Lo sampe kecapean abis ngapain sih?" tanyanya.
"Kemaren ada temen gue minta dibantu buat dekorasi ultahnya buat hari ini," jelas Nita.
Seseorang masuk ke dalam ruangan, "Nita?" panggilnya. Suaranya terdengar cemas.
Arial dan Nita menoleh kearah sumber suara. Tak lama kemudian Gilang muncul dari balik gorden.
Arial bangkit dari duduknya, "Ya udah, ya. Gue tinggal," pamitnya.
Nita mengangguk, "Iya. Makasih ya," balasnya.
"Hm." Arial mengangguk singkat dan menepuk pelan pundak Gilang.
Hubungan persaudaraan dengan Gilang seakan semakin dingin untuk dirasakan.
Dua orang anak manusia menyambut Arial saat keluar dari ruang UKS. Merangkul Arial dan membawanya ke kelas.
"Gue masih gak ngerti," kata Kevin membuka pembicaraan.
"Lo kan b**o, mana bisa ngerti," balas Angga gemas.
Arial tertawa, "Lo berdua bikin gue istighfar," sambungnya merangkul kedua temannya.
***
Kadang di balik raut wajah Gilang yang Arial tatap terbesit rasa bersalah di dalam benaknya. Arial harus benar-benar rela melepas Nita dan menghapus perasaan yang pernah dia simpan untuk gadis yang baru dia kenal demi kebahagiaan Gilang. Ya! Gilang mencintai Nita setelah sudah sekian lama dia memilih untuk urung diri dari jatuh cinta.
"El. Nanti lo balik sendiri ya? Gue ada latihan," ucap Arial setelah bel istirahat berbunyi.
"Gue nunggu lo latihan aja," sahut Elsa.
Arial menghembuskan nafasnya pasrah, "Bakal lama, El. Jam sepuluh baru balik," balas Arial.
Elsa menggeleng, "Biarin. Gue tunggu lo aja." kukuhnya.
"El. Gue gak mau lo kenapa-napa."
"Gue juga gak mau lo kenapa-napa."
"Elsa. Kali ini aja lo dengerin gue."
"Gue udah denger. Cuman gue gak mau." Elsa terlihat menggelengkan kepalanya.
Arial mendengus sebal. Kesabarannya sedang diuji. "Tenang aja ya? Gue gak bakalan kenapa-napa," ucap Arial meyakinkan.
Elsa menggeleng keras.
"Terserah lo deh," ketus Arial segera meninggalkan Elsa di tempatnya berdiri daripada harus berdebat lebih panjang lagi dan merayunya.
Novi terlihat berjalan mendekati Elsa. "Tuh kan. Nurut makanya sama pacar," ucapnya merangkul Elsa.
"Gak peka banget sih. Gue tuh pengen ngabisin waktu bareng dia," gerutu Elsa melipat tangannya di depan dadanya sambil menatap langkah Arial yg semakin menjauh.
"Lo punya urusan. Arial juga punya urusan. Dunia ini gak melulu tentang pacar, El. Karena dunia ini terlalu luas kalo cuma buat mengisi kisah cinta," ujar Novi sok bijak menasihati Elsa.
Elsa mengembuskan napas beratnya. "Ya udah yuk? Jajan," ajaknya.
***
Arial berjalan memasuki ruang UKS dan di tangannya membawa dua kotak makanan yang sudah dia pesan secara online.
"Ini buat lo dan Nita," Arial memberikan kotak berisi makanan tersebut kepada Gilang.
"Makasih, Al," balas Nita yang masih terlihat lemas di tempat tidurnya.
Arial hanya mengangguk. Di dalam hatinya berharap hubungannya dengan Gilang semakin membaik. Tapi di mata Gilang, Arial tetaplah pembunuh kecil yang sudah melayangkan nyawa ibunya.
"Mau sok baik lo sama gue?" Gilang bersuara dingin.
Arial tersenyum simpul. "Ngapain sok baik. Makan aja kali. Gue tau setiap pagi lo gak sempet sarapan."
Gilang mendengus sebal. "Iya lah. Nyokap gue, lo bunuh," tajamnya memicingkan matanya pada Arial.
"Gue rasa itu kecelakaan." Arial menatap Gilang dengan hampa namun tatapannya tetap saja terlihat datar.
Gilang memalingkan wajahnya kearah lain. Sementara itu, melihat debat kecil antara Gilang dan Arial, Nita hanya membisu.
Tanpa sepatah kata lagi Arial pergi dari ruangan tersebut.
"Udah ya," ucap Nita menenangkan Gilang yang sempat emosi. Dia memegang tangan Gilang dengan halus dan tersenyum hangat. Gilang membalas senyuman itu dan mengangguk.
Arial menghembuskan napasnya dengan berat. Dia merasa sangat bersalah sampai sering menyalahkan dirinya sendiri. Emang seharusnya gue yang mati. Bukan orang sebaik Tante Lidya, batinnya ketika harus frustasi memikirkan kejadian yang sangat mengerikan itu. Dimana kobaran api yang semakin membesar, melahap rumah dan segala isinya.