PHY 21 - Luka

1948 Kata
"Biarkan aku menciummu, meski sekilas. Namun itu mampu menenangkan lukaku yang mengerang keras." ~Arial~ Arial mengembangkan senyum permanennya setelah dapat meyakinkan Elsa bahwa dirinya akan baik-baik saja. Kekhawatiran Elsa cukup berlebihan kepadanya, sampai membuat Arial pusing. "Tenang aja. Gue baik-baik aja. Santai aja kali. Gue gak bakal ilang," kata Arial menatap wajah Elsa yang terlihat cemas. Arial menenteng tasnya di salah satu punggungnya. "Tapi kan Arial. Lo pulang malem," elak Elsa sudah memiliki firasat buruk mengenai pacarnya. "Udah ya? Gak perlu berlebihan khawatir sama gue. Balik latihan gue bawain martabak manis buat lo," ucap Arial sekilas mengecup bibir Elsa dan langsung berlalu. Elsa merasakan sentuhan lembut dan hangat itu. Meski sekilas berhasil membuat napasnya terhenti. Di benaknya dia bertanya-tanya, apakah Arial benar-benar membalas perasaannya atau hanya menuruti segala paksaannya untuk membalas perasaannya? Atmosfer di lorong panjang dan sepi terasa sangat dingin menyentuh tubuh Elsa. Pancaran terik sinar mentari mulai terganti oleh sinar senja yang meredup. Elsa berjalan menuju gerbang sekolah yang sudah ditunggu kehadirannya oleh supir pribadinya. Sebelum mobilnya melaju jauh, Elsa memalingkan wajahnya kearah lapangan luas yang kini sedang diisi oleh tim basket yang dipimpin Arial. Dia menghembuskan napasnya cukup lega melihat Arial baik-baik saja disana. Entah, rasa khawatirnya datang dengan tiba-tiba tanpa diminta. Firasat buruknya pun selalu menghantuinya di setiap dentang waktu. "Semoga hari ini baik-baik aja," gumamnya sangat pelan. Mobil yang Elsa tumpangi melaju tenang melewati jalanan kota sampai berakhir di halaman depan rumahnya. Elsa turun dari mobilnya dan langsung masuk ke dalam rumah. "Mami," panggil Elsa memanggil Ranti. Dia ingin segera mencurahkan segala isi hatinya kepada Ranti. "Kenapa sayang?" sahut Ranti dari ruang tengah. Elsa diam sejenak. Semu merah di wajahnya tak dapat dia sembunyikan. "Masa Arial cium bibir aku," ucapnya dengan polos dan jujur sedikit cemberut. Mendengarnya Ranti sempat terkejut. Seberani itu kah Arial yang di kenal Ranti sebagai cowok pendiam namun santun? "Kok bisa?" Ranti menatap anaknya yang terkulai lemas di sofa. "Aku terlalu bawel. Aku khawatir dia kenapa-napa, Mi," jelas Elsa lesu. "Karena terlalu bawel lalu bibir kamu di cium?" Elsa mengangguk. "Anak Mama udah gak perawan dong ya?" "Mami." Elsa menangis memeluk Ranti. "Maafin Elsa, Mi," lanjutnya terus menumpahkan air matanya. Ranti membalas pelukan anaknya. Membelai lembut rambut Elsa. "Selama Arial gak nyakitin kamu. Mami gak akan marah, sayang," ucap Ranti hangat kepada anaknya. Elsa diam dalam pelukan Ranti. "Sekarang Mami tanya," Ranti melepaskan pelukan anaknya. Menatap anak gadisnya dengan lekat. "Apa pernah Arial nyakitin kamu?" Tanya Ranti kemudian. Deg! Pernah. Pernah banget! Namun yang Elsa lakukan malah menggelengkan kepalanya dengan lesu. "Kamu yakin?" Elsa mengangguk. *** Hari kian redup. Arial duduk di tepi lapangan basket dengan peluh yang bercucuran membasahi pelipisnya. Otot-ototnya pun terlihat jelas karena Arial hanya mengenakan jersey dan celana pendek. Dia menyandarkan tubuhnya pada kedua tangannya dan kakinya dia luruskan. Arial tertawa saat melihat cara Kevin merebut bola dari Angga. "Eh i***t lo!" maki Angga kesal. "Gak bisa gitu b**o! Curang lo anjir!" makinya lagi tak habis pikir dengan cara terburuk Kevin dalam bermain basket. Arial terus tertawa di sela-sela istirahatnya. Sampai tak sadar kini gadisnya duduk di sampingnya. "Ketawa kenapa sih?" Tanya Elsa ingin tahu. Jantung Arial nyaris lepas dari tempatnya. "Lahhh gue pikir lo udah pulang," balas Arial masih terkejut. "Kenapa? Gak boleh ya aku liat pacarku sendiri latihan basket?" ucap Elsa menatap Arial. "Ya udah deh. Martabaknya gak jadi." Arial memalingkan wajahnya dari Elsa. Elsa memajukan bibirnya. "Aku bete tau di rumah terus!" geramnya. "Lah emang cewek tempatnya di rumah." Elsa berdecak sebal. "Kalo gak di rumah emang lo mau mangkal ojek?" sambung Angga ikut duduk di samping Arial. Elsa hanya diam sambil menahan rasa kesalnya. "Lagian gue juga bentar lagi pulang. Ngapain disusul?" ucap Arial. "Tau lo bukannya tidur. Bocah ngikut-ngikut bae dah!" tambah Angga merasa risih. "Apa sih lo?! Sirik mulu sama gue!" ketus Elsa pada Angga. "Idihhh!" Angga terlihat memicikkan ujung bibirnya. Sudah nyaris pukul sepuluh malam. Peluit dibunyikan dengan panjang meminta seluruh tim untuk segera berkumpul. Setelah kumpul Pak Rahmat memberikan instruksi untuk tim. "Ini latihan terakhir. Jaga kesehatan. Jangan sampai sakit," ucap Pak Rahmat. "Siap Pak!" sahut semuanya. "Sebelum bubar. Kita berdoa dulu supaya di berikan keselamatan sampai rumah. Berdoa dimulai!" Semua menundukkan kepalanya dan berdoa dengan caranya masing-masing. Selesai. Arial berjalan mendekati Elsa dan mengambil tasnya yang berada di samping Elsa. "Ayo pulang," ajaknya. Berjalan menuju tempat dia memarkirkan motornya. Elsa menganggukkan kepalanya antusias. "Kamu udah makan?" "Udah," sahut Arial sambil mengenakan jaket hitamnya. "Langsung pulang ya?" "Iya lah." Elsa memajukan bibirnya beberapa senti saat mendengar jawaban Arial yang terdengar ketus. "Martabaknya gimana?" tagih Elsa. "Emang mau?" tanya Arial menatap Elsa yang kemudian mengangguk. "Besok aja. Udah malem," ucap Arial lagi. Arial memberikan helmnya kepada Elsa. Lalu menunggangi motornya dan siap-siap melaju. Tangan Elsa terlihat mencengkeram erat jaket kulit yang Arial pakai. Perlahan Arial mulai melajukan motornya dan keluar dari area sekolah. Jalanan kota di malam hari terlihat sangat manis dengan lampu-lampu yang berjejeran di pembatas jalan. Hening. Tidak ada obrolan ringan yang keluar dari mulut keduanya, namun Arial tahu. Di belakang Elsa tengah kedinginan. Perlahan dengan tangan kirinya menarik tangan Elsa agar memeluknya. Elsa yang sempat terhenyak mengulurkan tangannya dan memeluk tubuh Arial. Tangan Arial masih terus menggenggamnya dan memberikan kehangatan. Darah Elsa berdesir begitu saja dengan cepat. Jantungnya berdebar. Dia tersenyum lebar. Cup! Arial mengecup punggung tangan Elsa sebelum tangannya kembali fokus memegang gagang stir motornya. Elsa lebih mengeratkan pelukannya. Rasanya waktu tidak ingin berlalu begitu saja. Malam ini Elsa percaya, bahwa sosok Arial yang di kenal sebagai cowok pendiam dapat bersikap hangat dan manis untuknya. Terima kasih Tuhan, batin Elsa begitu bahagia. Sampai tak terasa perjalan harus berakhir di halaman luas rumah Elsa. "Besok jemput aku ya?" ucap Elsa turun dari motor sport yang ditungganginya dan melepaskan helm yang dikenakannya. Arial mengangguk singkat. "Masuk gih," titahnya datar. Elsa mengangguk kemudian segera masuk kedalam rumahnya. Dia berdiri di balik jendela besar dan menatap kepergian Arial. Arial kembali menjalankan motornya. Meninggalkan halaman rumah Elsa. *** Malam semakin larut dan tubuhnya sudah sangat lelah. Dengan perlahan dan hati-hati Arial mengendarai motornya. Namun segerombolan gengster menghadangnya di jalanan yang sepi. Arial menghentikan laju motornya. Tatapannya tajam menatap manusia-manusia pengangguran di depannya. Mereka tertawa melihat wajah Arial. Arial mendengus kasar. Dia menyalakan kopling manual di motornya dan mulai mengegas motornya dengan kecepatan tinggi agar dapat melewati para gengster yang menghadangnya tersebut. Sesaat yang membuatnya sedikit kehilangan fokus sesosok Gilang seperti terlihat di antara mereka. Hingga..... CRASS!!!! Goresan pisau berhasil menyayat lengan kanannya. Darah segar bercucuran dengan cukup deras. Arial merasakan lengannya pegal dan sakit. Namun semuanya dia tahan seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Sampai darah itu keluar melewati telapak tangannya yang tengah memegang gagang stir dan menetes. Tetap saja Arial terus memacu laju motornya dengan cepat meninggalkan segerombolan gengster sialan itu sampai kini dia berada di halaman depan rumahnya. Arial turun dari motornya. Mengambil selang air yang terletak tak jauh dari taman halaman depan rumahnya dan menyalakannya kemudian membersihkan bodi motornya yang sempat terkena percikan darahnya. Tidak berapa lama, Arial mendorong motornya masuk ke dalam garasi samping rumahnya. Arial masuk ke dalam rumahnya lewat pintu belakang garasi. Dia berjalan diam-diam sambil memegangi lengan kanannya. Takut kalau Wulan melihatnya dengan keadaan seperti ini, pasti Wulan akan memarahinya habis-habisan. Dia segera masuk ke dalam kamarnya dan segera membersihkan lukanya dengan cairan ethanol. Lukanya cukup menganga besar. Arial menghembuskan napasnya. Dengan teliti tangan kirinya yang kaku mengobati di setiap senti lukanya sampai pada tahap terakhir Arial membalut lukanya dengan kain kasa steril. "Arial," terdengar suara Wulan dari luar memanggil namanya. Buru-buru Arial membereskan semuanya dan menyimpan jaketnya yang terdapat banyak bercak merah di tempat yang paling aman. Dia tidak ingin banyak orang tahu mengenai lukanya. Arial dengan segera mengenakan kaos berlengan panjang. "Iya, Ma," sahut Arial cepat. Dia berjalan menuju pintu kamarnya dan membukakan pintu untuk Wulan. "Kenapa, Ma?" tanyanya. "Ini. Mama buatkan s**u hangat buat kamu," ucap Wulan memberikan satu gelas s**u hangat tanpa adanya perasaan yang janggal. Yang Wulan pikiran dia tidak ingin puteranya masuk angin karena harus pulang malam. Arial mengembangkan sudut bibirnya. "Makasih, Ma," ucapnya menerima s**u hangat yang diberikan Wulan kepadanya. "Iya sayang," jawab Wulan. "Selesai minum s**u. Kamu tidur ya?" ucap Wulan sebelum meninggalkan Arial. Arial mengangguk. Dia kembali ke dalam kamarnya setelah Wulan pergi dari hadapannya dan menutup pintu. Arial segera menghabiskan susunya. Kemudian duduk di samping ranjang. LCD ponselnya menyala. Menunjukkan satu pesan masuk. Elsa : Selamat malam, sayang. Semoga mimpi indah♥️. Emot hati terlihat jelas di layar ponselnya. Arial tersenyum. Dia berniat untuk menelpon Elsa namun tubuhnya seakan memaksanya untuk segera beristirahat. Begitu lelah. Arial mendesah pelan. Rasa sakit pada lukanya menyisakan ringisan yang terpaksa keluar dari mulutnya. *** Arial terbangun dengan semburat cahaya matahari yang memantulkan cahayanya pada embun di dedaunan. Ternyata semalaman sempat hujan. Arial segera bangun dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. "Ayok kita berangkat bareng!" seru Gilang kecil tak sabar menunggu lebih lama lagi. Ini hari pertamanya pergi ke sekolah taman kanak-kanak. Arial kecil segera berlari menghampiri Gilang di paginya yang terlihat sedang riang. Deg! Arial merasakan ada benturan keras di dadanya. Masa-masa indah dulu seakan hanya menjadi kenangan usang. Tubuhnya terhuyung ke belakang. Dia memegang dadanya yang berdebar kencang. "AKU BUKAN PEMBUNUH!!!" teriak Arial kecil menutupi kedua telinganya. Arial terdiam. Dia merasa dirinya benar-benar jahat kepada Gilang, sepupunya sendiri. Arial melihat kearah luka di lengan kanannya dan mengingat kejadian semalam saat Gilang berada di antara gengster yang mencoba untuk mencelakainya. Arial tahu, lukanya yang dia dapatkan kali ini tidak seberapa dengan luka yang harus Gilang bawa sampai bertahun-tahun lamanya. Luka Gilang di hatinya ketika di tinggal oleh ibunya. Luka di hati Gilang bahwa ternyata Arial yang menjadi penyebab kematian Ibunya. Namun luka yang dia dapat belum seberapa untuk membuatnya terlepas dari rasa bersalah. Meski Arial tahu semua peristiwa menyeramkan itu hanya kecelakaan. Tapi penyebabnya adalah dia. Setelah semuanya siap. Arial berjalan keluar dari kamarnya dan berjalan menuju dapur. "Loh, Al. Pagi-pagi udah lemes," ucap Iskandar melihat wajah Arial. "Badan masih pegel, Pa. Besok udah mulai tanding," jawab Arial. Dia mengambil dua lembar roti dan selai strawberry. Wulan berjalan memberi s**u hangat kepada Arial dan Chika. "Semangat dong!" seru Chika, "Lagian kan Kak Arial udah punya penyemangat," tambahnya. Iskandar mengangkat kedua alisnya. "Awas loh ya kalo kamu sampe kalah," ancam Iskandar kepada anaknya. "Biasanya juga menang, tapi Papa gak ngasih apa-apa. Mending sekalian kalah, barangkali Papa mau ngasih Arial hadiah," celetuk Arial tanpa ekspresi. "Jangan begitu, Al. Ucapan itu doa loh," sambung Wulan. "Iya, Ma," sahut Arial alakadarnya. *** Setelah memarkirkan motornya Arial berjalan menuju UKS tanpa sepatah kata. "Al. Mau kemana?" tanya Elsa heran yang hasilnya nihil tak mendapat jawaban dari Arial. Elsa mendengus kesal. "Pagi-pagi masa udah di cuekin!" gerutunya menepuk lengan kanan Arial dengan pelan. Meski pelan Arial dapat merasakan lukanya kembali merajang. Arial meringis pelan. Membuat Elsa semakin heran. "Kamu kenapa?" "Gapapa," sahut Arial singkat. "Bohong," tukas Elsa. "Beneran, El," jawab Arial mencoba untuk meyakinkan Elsa lagi. Elsa melihat Arial berbelok masuk ke dalam ruang UKS. "Terus ke UKS mau ngapain?" tanya Elsa terus membuntuti Arial. Arial hanya diam sambil mencari-cari benda yang sangat di butuhkan sekarang. Ya! Suntikan dan obat bius untuk lukanya yang tak mau berhenti serta terus merajang tegang. "Arial. Itu buat apa?" Elsa kembali bersuara dengan mata yang membulat sempurna setelah tahu apa yang Arial cari. Arial masih diam. Dia seakan sedang mengatur kadar dosis obat bius yang harus digunakan untuk lukanya. "ARIAL!" teriak Elsa kesal karena tidak mendapat gubrisan dari Arial. "Kenapa?" sahut Arial santai tanpa rasa dosa. Dia pun mulai menyuntikan obat biusnya di antara lukanya. "Kamu kenapa sih?" tanya Elsa kesal. Tangannya sudah gemas ingin membuka pembalut kain kasa yang melingkar di lengan Arial. Selesai. Arial menatap Elsa dengan serius. "Jangan bilang ke siapapun ya?" "Kenapa?" Elsa membalas tatapan Arial. Arial diam. "Gapapa," ucapnya singkat. "Kenapa?" tanya Elsa lagi mengulang pertanyaan yang sama. "Kamu takut gak diijinin buat tanding?" lanjutnya seakan tidak membutuhkan jawaban dari Arial. Arial kembali menatap Elsa. Ternyata Elsa begitu peka terhadapnya. "Aku yang bakal gak kasih ijin buat kamu tanding besok, Arial!" tegas Elsa merasakan dadanya sesak. Dia tidak ingin lagi Arial kenapa-napa. Gadis itu segera berlari dari hadapan Arial. Lagi-lagi Arial hanya dapat mendesah panjang dengan pasrah. Kekhawatiran Elsa memang sangat berharga baginya. Namun, membiarkan teman-temannya berjuang tanpanya, rasanya itu akan membuat Arial merasa tersiksa. Dia tidak akan membiarkan SMA Dewantara jatuh begitu saja hanya karena dia tidak ikut berjuang. Bukan! Bukan Arial tidak percaya kepada timnya selama ini. Tetapi memang kekuatan timnya ada didalam dirinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN