7. Suatu Malam

1895 Kata
                Menurut kalian, mungkin nggak, mantan jadi teman?                 Aku mulai berlebihan. Beberapa hari ini aku sering kepikiran pertanyaan itu. Mungkin atau tidak, aku dan Mas Arfa berteman seperti awal-awal dulu kami kenal dan belum memutuskan untuk saling menjalin kasih?                 Jujur, untuk aku pribadi, rasanya sangat berat. Apalagi aku pernah sangat begitu menyesal mencampakkannya. Mas Arfa baik, Mas Arfa perhatian, dia cerdas, juga humoris. Semua yang ada pada dirinya membuatku sempat sangat menyukainya sampai aku merasa takut akan ditinggalkan.                 Rasa takut itulah, yang menjadi salah satu dari beberapa alasan kenapa pada akhirnya aku meminta putus. Siapa yang betah menjalani hubungan LDR dengan orang yang begitu kalian sukai, dan hanya bermodal saling percaya? Kalau ada yang betah, aku salut!                 Dulu, aku benci tiap kali melihat Mas Arfa melambaikan tangan di Bandara. Itu tandanya, kami akan berpisah dan butuh waktu beberapa bulan agar kami bisa bertemu lagi. Itu pun, tidak ada jadwal pasti. Aku ingin memiliki pacar yang bisa aku ajak sharing sering-sering. Meski kami bisa sering video call, tetap saja berbeda rasanya dengan yang bertemu secara langsung.                 Ada yang bilang, rindu itu berat. Ya, aku sangat setuju. Aku terlalu lemah untuk terus menahan rindu tiap harinya. Kami berpisah beberapa bulan, dan bertemu hanya beberapa hari. Mana cukup?                 Tidak hanya itu. Kalau dipikir lagi, berapa budget yan Mas Arfa keluarkan tiap dia ingin bertemu denganku? Dia terus yang menemuiku, sementara aku hanya diam di Jogja, menunggunya datang. Pikiran bahwa aku akan terus menyusahkannya, juga menjadi salah satu alasan kenapa aku ingin kami putus. Terlepas dari dia anak orang kaya, tetap saja, dengan menjalin hubungan denganku, itu sedikit menyusahkannya. Entah dari segi materi, waktu, juga tenaga.                 Sampai di sini, apa ada yang mau mengerti kenapa waktu itu aku ingin kami putus?                 Lebih dari itu semua, ada lagi alasan kuat yang pada akhirnya menjadi penentu akhir aku memberanikan diri untuk mengambil keputusan kalau kami harus berpisah. Maaf, aku belum bisa mengatakannya untuk saat ini. Oh iya, perlu kalian tahu saja, perasaanku pada Mas Arfa waktu meminta hubungan kami berakhir, justru lagi besar-besarnya. Aku ingin bilang rindu, tapi yang keluar di mulut justru aku ingin berpisah. Ironi sekali, ya? Ting!                 Aku menghela napas panjang, ketika pintu lift terbuka. Langkahku terhenti ketika melihat pintu unit 910 lagi-lagi tertutup.                 Apa Mas Arfa sedang sangat sibuk? Beberapa hari ini aku sama sekali tak melihat batang hidungnya. Terakhir aku lihat dia ya malam itu, malam di mana dia membelikanku burger jumbo dan memintaku kalau aku jangan menjauh darinya. Krek!                 Aku berjengit kaget ketika pintu yang sedang kuamati tiba-tiba dibuka dari dalam. Panjang umur sekali orang ini!                 Eh bentar... kok wajahnya pucat? “Habis dari mana, Na?” begitu melihatku, Mas Arfa langsung menyapa. Dia berjalan melewatiku dan membuang satu kresek sampah di tong sampah dekat lift. “H-habis beli jajan di bawah,” sahutku sekenanya.                 Setelah membuang sampah, Mas Arfa kembali melewatiku begitu saja, lalu bersiap kembali masuk unitnya. “Bentar!” kali ini aku beranikan menahan sweater hitamnya, lalu melepaskannya lagi. “Apa?” “Lagi sakit, ya?”                 Mas Arfa malah tersenyum lemah, lalu mengangguk. “Dikit.” “Tunggu di situ!”                 Aku buru-buru menghampiri tong sampah, lalu membuka isinya. Seperti dugaanku, hampir seluruh sampah yang baru saja dia buang isinya bungkus makanan cepat saji, juga botol-botol air mineral. Oh iya, ada beberapa kaleng s**u beruang favoritnya. “Ada apa di kulkas?” tanyaku begitu kembali berdiri di depannya. “Banyak—”                  Entah kenapa, kesabaranku tiba-tiba habis begitu saja. Mengesampingkan seluruh egoku selama ini, aku menerobos masuk unit 910, dan langsung membuka kulkas yang ada di dekat dapur. “Na—”   “Jadi cuma begini, isi kulkas keponakan seorang Pak Rivan?” Aku menatap kesal ke arah Mas Arfa ketika kulihat isi kulkasnya hanya air mineral, kopi instan, juga s**u beruang. Aku berjinjit untuk membuka lemari atas dapur dan semakin menggeram kesal ketika melihat isinya hanya mie instan dan beberapa cemilan.   “Nggak ada beras?”                 Mas Arfa menggeleng. “Jarang makan di sini, makanya nggak ada.” “Emang kapan, mulai sakit?” “Dua hari lalu.”   “Makan mie instan terus?” “Iya.” mendengar itu, aku langsung memijit pangkal hidungku beberapa kali. “Katanya kita sekarang berteman? Kalau butuh bantuan itu bilang, Mas! Sakit kok makannya mie instan, kapan sembuhnya!”   “Kamu sibuk,” ujarnya dengan suara pelan, nyaris terdengar seperti berbisik.                 Aku diam sejenak, mengambil jeda bernapas, lalu kembali menatap Mas Arfa. “Jangan tutup pintunya, aku ambilin bahan bentar di sebelah!”   “Iya.” ***                 “Na, kalau lihat kamu pakai apron gitu, berasa aku lagi dimasakin istri.” Mas Arfa mulai bersuara lagi. Dari tadi ada saja yang dia ucapkan, meski aku tak menanggapinya.                 Bukan aku mau sok tidak peduli, tetapi lebih kepada aku tidak ingin Mas Arfa bersuara lebih banyak lagi kalau aku menyahut. Bagaimana mungkin aku tidak peduli pada laki-laki di depanku ini, kalau hanya dengan melihat wajah pucatnya saja, aku langsung lemah dan sangat khawatir?                   Selama ini aku berusaha menjadi orang paling menyebalkan di dunia, agar Mas Arfa berhenti mengejarku. Apa ini artinya Mas Arfa tidak memilki harga diri sebagai laki-laki? Kurasa bukan demikian. Ketidakjelasan perpisahan kami dulu membuatku paham kenapa dia begitu sampai sekarang. “Enak nggak enak harus dimakan. Ini seribu kali lipat lebih baik daripada mie instan.” Aku membawa semangkuk bubur ke arahnya, dan senyum Mas Arfa langsung mengembang lebar. “Nggak nolak, Na, kalau disuapin—“ “Kalau ngelunjak, aku tinggal pergi sekarang!” “Ya jangan. Ini, aku makan.”                 Aku tak bisa menahan senyumku, ketika Mas Arfa segera mengambil sendok dan mulai melahap bubur buatanku. “Enak, nggak?” tanyaku harap-harap cemas. Harusnya sih enak, aku sudah mencicipinya tadi. “Enak, kok, soalnya kamu yang bikin.”                 Aku lupa, tidak ada gunanya aku bertanya pada Mas Arfa. Terlepas jawabannya itu memang jujur atau hanya ingin menyenangkanku saja, pasti dia tetap akan menjawab dengan jawaban yang semacam itu. “Kalau enak, wajib dihabisin.” Mas Arfa mengangguk patuh. “Iya.” Sebenarnya, ini pemandangan baru bagiku. Aku belum pernah melihat Mas Arfa sakit sebelumnya. Ketika kami bertemu, kami hampir selalu dalam keadaan sehat. Kalaupun ada yang sedang sakit, itu pasti aku.                 Tiba-tiba saja, air mataku menggenang tanpa bisa dibendung. Aku buru buru mendongak dan menghapusnya sebelum Mas Arfa melihatku. Baru saja, aku mendadak ingat awal-awal kami dekat. Saat-saat di mana kami masih sama-sama malu, tapi mau. Sampai pada akhirnya Mas Arfa memberanikan diri mengungkapkan perasaannya padaku, dan kubalas dengan perasaan yang sama. Atau mungkin malah lebih.                 Namun, pada akhirnya justru aku sendiri yang mengacaukan semuanya. Tidak apa-apa, dia pantas mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik dariku, meski itu artinya aku harus kembali siap patah hati dan menangis berhari-hari.                   Aku terlalu naif dan munafik, ya? “Na...” “Hm?” “Melamun?”                 Aku buru-buru menggeleng. “Nggak. Udah mau habis, ya? Aku pamit sekarang. Minum obat, jangan lupa!” Aku segera melepas apron, lalu bergegas keluar. Akan tetapi, belum sempat aku membuka pintu, tiba-tiba pintu bel berbunyi.                 Aku menoleh ke belakang, dan Mas Arfa tampak buru-buru menyusulku. Dia melihat ke monitor kecil, dan tersenyum ke arahku. “Siapa, Mas?” “Ada Papa sama Mama di luar.” “HEEE?”                 Seketika itu, aku langsung panik bukan main. “Aku sembunyi di mana? Cepet kasih tahu!” “Nggak usah sembunyi, biar aku kenalin sekalian—“ “Nggak mau! Please cepet, aku harus sembunyi di mana?” aku mulai celingukan, mencari kira-kira mana tempat yang cocok aku gunakan untuk bersembunyi.                 Bel kembali terdengar.  “Mas Arfa! Cepet jawab, aku harus bersembunyi di mana?” “Nggak usah takut, mereka baik. Kalaupun dimarahi, aku juga yang kena marah— aw! Na, sakit!” Mas Arfa mengaduh ketika aku reflek mencubit lengannya kuat. “Buruan kasih tahu aku harus sembunyi di mana!”   “Nggak ada—“                 Percuma tanya Mas Arfa. Akhirnya, aku buru-buru masuk lagi, kembali celingukan mencari sesuatu yang kira-kira aman untuk kujadikan tempat persembunyian.                 Krek!                 Mas Arfa edan! Dia malah membuka pintunya!                 Kali ini aku langsung masuk ke sebuah kamar, dan masuk ke almari pakaian. Aku duduk di sudut, dengan kaki selonjoran.         Awas saja, dia! “Fa, Fa. Kenapa dari sekian banyak apartemen bagus di Jakarta malah pilih apartemen kaya gini?” itu suara perempuan, yang kuyakini adalah Mamanya Mas Arfa.                 Eh benar juga, ya? Apartemen ini memang sudah bagus, tapi untuk ukuran Mas Arfa, jelas ini masuk kategori apartemen biasa-biasa saja. Mas Arfa jelas sangat mampu menyewa apartemen yang lebih luas dan lebih mewah dari apartemen ini. “Bagusan tinggal di rumah, Fa.” Kali ini terdengar suara berat laki-laki. “Lebih dekat sini sama kantor, Pa. Nggak capek di jalan.” “Ya iya, sih. Oh iya, ini Mamamu bawa jaket sama beberapa baju. Papa langsung taruh lemari, ya?” Jantungku seperti mau lepas ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. “Taruh ranjang aja, Pa, biar nanti aku yang nata sendiri. Mending Papa tensi darahku aja, Pa. Kayaknya turun lagi, dua hari ini aku nggak bisa kerja soalnya lemas bukan main.” Aku mendesah lega ketika langkah kaki itu kembali menjauh. “Bentar, Papa ambil alatnya dulu. Udah feeling kalau kamu sakit, Mamamu dari tadi udah ngeyel mau cepat-cepat ke sini.”                 Aku kembali mendesah lega ketika suara mereka mulai terdengar mengecil, itu artinya mereka semakin menjauh.   “Fa! Ini kok ada bubur? Bisa masak, kamu? Eh, kok enak, Fa?” Aku tidak bisa kalau tidak tersenyum begitu mendengar bubur buatanku dipuji. “Beli, Ma. Aku nggak bisa masak.” Meski ada sedikit rasa kecewa, tapi aku bersyukur Mas Arfa memilih untuk berbohong. Kalau dia jujur dan aku tertangkap basah, aku berasa jadi perempuan sewaan yang ketakutan digrebek.                 Bukan apa-apa, alasan kenapa aku tidak mau kenalan dengan kedua orang tua Mas Arfa adalah karena aku dan Mas Arfa sudah selesai. Aku tidak mau membuat hubungan kami tampak ambigu. Apalagi situasinya begini, hari sudah malam dan aku ada di apartemen anak mereka, bisa-bisa jadi panjang urusan. “Pantesan. Kamu itu masak mie instan aja nggak enak.” “Makasih lho, Ma, buat pujiannya.” Aku buru-buru membekap mulutku ketika aku hampir saja keceplosan tertawa.  “Eh tapi kok beli banyak banget, dan ini yang atas kompor masih ada banyak juga.” “Memang beli banyak, aku angetin buat persediaan.” “Pinter. Gini, dong! Inisiatif. Ketahuan makan mie instan lagi waktu sakit, Mama sunat habis burungmu, Fa!” “Jangan, Ma! Nggak bisa ngasih cucu, nanti.” Aku memejamkan mata, mencoba untuk mengabaikan dua percakapan terakhir. Please, aku sedang tidak ingin berpikir aneh-aneh! “Mending burung Papa aja, Ma, yang disunat lagi.”                  Ya ampun Mas Arfa, kenapa bahasan burung malah dilanjut? “Mamamu bisa nangis empat puluh hari empat puluh malam, Fa.” “Tahu aja, ih, Mas!” “Capek, Mama sama Papa nggak ingat umur!”                   Aku kembali tersenyum, meski di saat yang sama aku ikutan malu dan otakku mulai traveling. Sepetinya, tingkah Mas Arfa yang jahil dan terkadang absurd menurun dari kedua orang tuanya. Obrolan mereka benar-benar terdengar santai dan mengalir begitu saja. ...                 Lama- kelamaan, aku mulai tidak konsentrasi mendengar obrolan mereka. Suasana hangat plus wangi di lemari ini membuatku mulai mengantuk. Aku mulai menepuk pipiku berkali-kali, tetapi rasa kantukku tak kunjung hilang, justru semakin datang menyerang.                 Alhasil, aku memperbaiki posisi dudukku, lalu meraih sembarang baju yang kugunakan untuk selimut. Perlahan tapi pasti, aku mulai kehilangan kesadaran. ***                        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN