Prolog
Tepuk tangan bergemuruh nyaring begitu moderator mengucap salam penutupan sesi pertama seminar hari ini. Kontan semua peserta satu persatu mengantri keluar dari aula tempat seminar diadakan.
Aku malas berdesakan, jadi aku lebih memilih untuk tetap duduk sambil menunggu pintu keluar terlihat lengang.
“Na, habis ini mau makan apa?”
“Ha?” Tika di sebelahku langsung memutar bola mata malas begitu tahu aku tidak begitu fokus.
“Mau makan apa, neng cantik?” tanyanya lagi.
“Terserah, hari ini aku ikut kamu aja.”
“Bakso mercon beranak yang baru launcing itu, gimana?” Tika memberi penawaran.
“Iya, boleh yang itu. Kebetulan dari kemarin-kemarin lagi pengen nyoba belum sempet.”
“Oke!”
Aku menoleh ke arah pintu keluar, dan tenyata masih ramai. Orang -orang masih mengantri keluar sembari mengambil snack yang disediakan.
Ngomong-ngomong, saat ini aku sedang berada di aula perusahaan karena ikut seminar kewirausahaan yang diadakan untuk semua pegawai. Aku baru tahu kalau perusahaan tempatku kerja ternyata memiliki sangat banyak karyawan. Pantas saja, waktu masuk sini rasanya hampir ‘berdarah-darah’ karena saking banyaknya saingan.
“Na, kamu tahu nggak?” Tika mengetuk lengan atasku.
“Apa?”
“Narasumber sesi kedua nanti, salah satunya adalah cucu pemilik perusahaan kita. Baru pulang dari amrik bulan lalu, katanya sih...”
“Hah? Siapa? Anaknya Pak Rivan?”
“Bukan! Anaknya Pak Rivan mah cewek semua. Yang ini anaknya Bu Ivi, alias keponakan Pak Rivan. Orang kata Mbak Dewi, dia cowok.”
“Eh, iya?”
“Aduh, aku lupa namanya. Arka, Arsa, atau Arga kalau nggak salah.” Tika nyengir dengan sebelah tangan menggaruk pelipisnya.
“Oh, ya udah ntar lihat aja. Kalau ganteng, bisa Tik, buat cuci mata.” Aku meringis, dan Tika langsung mengangguk sambil tersenyum lebar.
“Ho’oh. Sepet bener kita, satu divisi yang cowok cuma dua, eh dua-duanya udah punya buntut semua.”
“Emang nasib!”
Aku dan Tika tertawa pelan, lalu kami kembali menoleh ke arah pintu keluar. Ternyata mulai lengang, jadi kami berdiri dan bersiap-siap keluar.
Oh iya, sebelumnya perkenalkan namaku Nada Adeeva Maharani. Biasa dipanggil Nana, atau Nada juga boleh. Umur dua puluh empat tahun, dan aku adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Aku mempunyai dua kakak laki laki yang sudah menikah dan satu adik perempuan yang masih sekolah. Aku asli Yogyakarta, yang mengadu nasib di ibu kota.
Sebenarnya sebelum di sini, aku sudah bekerja sebagai guru les di salah satu lembaga bimbel ternama di Jogja. Akan tetapi, aku merasa tidak begitu berkembang di sana. Jadi, aku menantang diri untuk survive di kota orang. Itu pun aku berhasil sampai sini setelah melalui perdebatan alot dengan orang tua dan kedua kakakku.
Aku menetap di jakarta baru dua bulan, jadi sampai detik ini aku masih beradaptasi. Entah itu dari segi cuaca, juga kultur masyarakat sekitar. Untung saja, aku bertemu Tika. Dia asli Solo dan dulu kami satu kampus, cuma beda jurusan. Sebelum di sini, kami tidak kenal sama sekali. Kami kenal setelah sama-sama lolos dan bekerja satu divisi.
“Na, ayo keluar. Udah kosong, tuh!” Tika menyenggolku.
“Oh iya, ayo!”
Aku dan Tika setengah berlari keluar aula, dan menyempatkan tersenyum ramah ke arah petugas pembagi snack.
“Bentar,” Tika menahan tanganku ketika kami baru saja keluar dan belok kanan menuju lobi lantai satu perusahaan.
“Apa, Tik?”
“Jangan-jangan dia?” Tika menunjuk dengan dagu, dua laki-laki yang sedang berdiri sekitar sepuluh meter dari tempat kami berdiri. Mereka berdiri berdampingan menatap keluar jendela dan tampak sedang asik berbincang.
“Bukannya itu Pak Rivan?”
“Lah iya, emang. Yang di samping Pak Rivan, maksudku.”
Mataku langsung menyipit untuk melihat wajah laki-laki yang berdiri di samping Pak Rivan, tetapi gagal. Posisinya setengah memunggungi kami, jadi wajah yang terlihat hanya bagian samping.
“Nggak kelihatan, Tik!”
“Iya, sih. Ya udah lah, ntar juga tahu. Yuk keluar, udah keburu laper!”
Aku mengangguk setuju, lalu Tika segera menarikku menuju pintu keluar. Namun, baru saja kami hampir melewati Pak Rivan dan keponakannya, tiba-tiba Pak Rivan menoleh dan melihat kami.
“Siang Pak Rivan,” Aku dan Tika reflek berhenti, lalu kompak menunduk untuk menyapa. Pak Rivan adalah CEO perusahaan kami saat ini, dan aku dengar beliau sudah menjabat lebih dari lima tahun.
“Siang.”
Pak Rivan tersenyum sejenak, mambalas sapaan kami ala kadarnya.
“Fa, Om duluan, ya?” ucap Pak Rivan pada keponakannya.
“Iya, Om. Aku masih mau di sini, sambil lihat-lihat.”
“Oke.”
Setelah Pak Rivan pergi, aku dan Tika melirik ke arah keponakan Pak Rivan yang saat ini tampak sibuk dengan ponselnya, bahkan sedikitpun tidak melirik kami. Meski jaraknya sudah lebih dekat, aku tetap tidak bisa melihat wajahnya karena posisinya semakin menyerong.
“Tik, ayo, Malah bengong!” Aku menyikut Tika pelan, ketika anak itu malah melongo, masih berusaha melihat wajah keponakan Pak Rivan.
“Tik—“
“NANA! BENTAR!”
Aku berjengit kaget ketika Tika tiba-tiba menepis tanganku dan suaranya juga tiba-tiba meninggi.
“Nana?” Tiba-tiba saja, laki-laki itu menoleh.
“Maafkan teman saya, Pak.” Aku segera menunduk lalu bergegas menarik Tika pergi.
Namun, belum sempat aku benar-benar berhasil menarik Tika pergi, sebelah tanganku tiba-tiba ditahan.
“Nana?”
“Iya?” praktis aku mendongak ketika lagi-lagi namaku dipanggil.
Mataku seketika membulat sempurna begitu melihat siapa laki-laki yang saat ini berdiri menjulang di depanku, dengan sebelah tangan menahan tangan kananku.
“M-mas A-arfa?” mataku mengerjap, mencoba memastikan apakah laki-laki ini benar Mas Arfa, laki-laki yang dulu pernah membuatku menangis berhari-hari karena menyesal mencampakkannya.
“Ternyata kamu di sini?”
Aku langsung menepis tangannya yang bertengger di lenganku, lalu kembali menarik Tika pergi. Akan tetapi, lagi-lagi aku ditahan, kali ini kerah belakang blazerku yang dia tarik sampai punggungku menubruk badannya.
Mati, aku!
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan apakah banyak atau tidak, orang yang melihat adegan ini. Aku mendesah lega karena ternyata di lobi lantai satu hampir tidak ada orang.
“Na, kamu kenal—”
“Nggak!” jawabku cepat, sebelum Tika menyelesaikan pertanyaannya.
“Terus?”
“Salah orang—“ kalimatku terputus ketika aku hendak lari, lagi-lagi kerah belakangku ditarik.
“Mau lari lagi?” tanyanya yang membuatku bergidik.
“Lepasin...” cicitku pelan, entah kedengaran atau tidak.
Aku terkesiap, ketika lagi dan lagi aku ditarik kebelakang, kali ini bahkan sampai punggungku mentok di dadanya.
“Urusan kita belum selesai, Na. Senang bertemu kembali!”
Demi apapun, saat ini jantungku terasa mau terjun bebas menuju inti bumi.
***
Run To You, 23/04/21