5. Rifqi Dhananjaya

1418 Kata
                Pagi ini aku bangun agak telat. Karena kemarin aku baru pindahan, badanku terasa lebih lelah dari biasanya. Mau abai dengan barang-barang yang belum sempat aku selesaikan, ternyata tidak bisa. Alhasil aku baru bisa benar-benar tidur kisaran jam setengah dua belas malam.                 Krek!                 Aku menutup pintu apartemen cukup keras karena buru-buru. Mataku melebar begitu melihat pintu lift yang hendak tertutup. “Bentar! Jangan tutup dulu liftnya!” aku memakai sepatu ala kadarnya, lalu segera menyusul masuk.                 Wangi parfum yang sangat familiar, seketika menyeruak tanpa permisi ke indra penciumanku. Aku sengaja tak menoleh, karena aku langsung paham siapa manusia yang berdiri di sebelahku saat ini.                 Mas Arfa ini benar-benar!  Aku masih ingat kalau wangi ini adalah wangi yang aku pilihkan untuknya beberapa tahun lalu! Waktu itu kami masuk ke stan parfum dan saling memilih wangi kesukaan untuk satu sama lain. Aku masih sangat ingat dengan wanginya, karena kebetulan wangi parfum itu agak berbeda dari yang lain. “Pagi, Na.” Mas Arfa menyapaku dengan suara baratnya. “Hm.” Aku hanya menanggapi sekenanya, lalu beringsut ke pojok, jongkok sebentar untuk membenarkan letak sepatuku.                  Awalnya aku benar-benar ingin menganggapnya tidak ada, tetapi begitu aku tak sengaja menoleh dan melihat kerah kemejanya agak miring, seketika tanganku terasa gatal ingin membenarkan letaknya. Oh ya ampun! Jangan sampai aku reflek membenarkan letak kerahnya seperti dulu ketika kami masih bersama. Tidak, tidak akan! Itu hanya akan membuatku terlihat gagal move on!   Ting!                 Aku buru-buru keluar begitu pintu lift terbuka dan tiba di lantai satu.  Aku menghembuskan napas lega, karena tanganku berhasil mengabaikan kerah sialan itu!                 Serius, dari dulu Mas Arfa ini kebiasaan kerah bajunya suka miring. Dia bahkan dengan suka hati menunduk agar aku lebih mudah merapikan kerah bajunya. Kebiasaan buruknya itu, membuatku menjadi reflek tiap kali melihat kerahnya miring, aku pasti merapikannya.                 Namun, kali ini tidak. Aku tidak akan peduli. Lihat saja! “Na!” Mas Arfa memanggilku, dan aku tak menyahut. Aku terus bergegas menuju motorku yang terparkir tidak jauh dari pintu keluar parkiran. “Nada Adeeva Maharani!”                 Kali ini aku langsung berhenti, lalu balik badan dan menatap Mas Arfa kesal. “Apa lagi, sih? Apa? Mau apa?” “Nama kamu masih sama ternyata.” Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk seulas senyum yang dulu pernah sangat aku sukai. “Ya sama, lah! Emang bisa, gitu, tiba-tiba namanya ganti? Dasar, nggak jelas!” “Ya kan, siapa tahu. Kali aja ganti. Bisa gawat kalau nanti aku sampai salah sebut nama lengkap kamu waktu kita akad.”                 Batu, mana batu! Kasih aku satu truk sini, aku ingin melempar Mas Arfa dengan semua batu itu supaya dia sadar kalau kami sudah putus. PE U TE U  ES! “Mimpi!”                 Aku kembali bergegas menuju motor, mengabaikan panggilan Mas Arfa, juga apa pun yang membuatku kurang fokus. Lima belas menit lagi sudah jam masuk kantor, aku takut telat karena ini pertama kalinya aku berangkat lewat jalan yang berbeda.                 Setelah memakai helm dan siap pergi, aku memejamkan mata kesal begitu melihat Mas Arfa berdiri kurang lebih dua meter di depanku. “Mas Arfa! Kalau  nekat di situ aku tabrak, loh!” “Bentar, cuma sepuluh detik.”  Kali ini Mas Arfa berjalan ke arah motorku, lalu tiba-tiba menyantelkan satu kresek hitam yang entah dia dapat dari mana. “Apa ini?” aku menatapnya penuh sangsi. “Buat ganjal perut. Aku yakin seratus persen kamu belum sarapan. Nggak papa, Na, belum mau aku ajak balikan, tapi please, kamu nggak boleh sakit sakit,” ujarnya pelan, dengan tangan terulur membenarkan pengait helm yang lupa aku kaitkan. Detik berikutnya, Mas Arfa langsung pergi menuju mobil hitam miliknya yang terparkir agak jauh. Tanpa sadar aku tersenyum, meski dadaku mendadak terasa sesak bukan main.                 Ah, sudahlah... ***                 “Cepet kumpul, cepet kumpul, ada berita penting!” Aku yang baru saja meneguk s**u beruang pemberian Mas Arfa, seketika meletakkan kembali benda itu dan bergegas menuju meja Mbak Sarah, salah satu staf senior di divisiku.                 Setelah semua berkumpul, Mbak Sarah celingukan sebentar, lalu dia menatap kami yang berkumpul di mejanya satu per satu. “Mas Aga kan dipindah cabang. Nah, divisi kita akan diambil alih orang lain!” “Heee?” serentak, semua yang berkumpul tampak terkejut. “Laki-laki juga, dia yang akan jadi bos langsung kita. Katanya utusan Pak Rivan langsung.” Mbak Sarah kembali celingukan, tampaknya dia ingin memastikan kalau dia tidak sedang membuat huru-hara. “Udah nikah, Mbak?” Venti meringis, yang dibalas getokan bulpoin oleh Tika. “Otak lo cepet banget konek, Ven.”                 Mbak Sarah tertawa pelan. “Kali ini agak segar lah, aku dengar belum menikah. Belum berkepala tiga juga kayaknya.” “Ganteng nggak, Mbak?” tanya Tika, lengkap dengan ringisan antusiasnya.   “Sama aja, lo! Bangke!” Venti membalas Tika dengan menggetok penggaris plastik yang memang selalu ada di meja Mbak Sarah. “Aku udah dikasih lihat fotonya sama Mas Eko, ganteng banget!” Mbak Sarah tampaknya agak sungkan memuji, karena memang Mbak Sarah sudah menikah. “Wah! Asik, cuci muka!” Venti berseru senang.   “Cuci mata, dodol!”                 Lagi dan lagi, Venti dan Tika mulai getok-getokan. “Lah Mas Eko kemana, Mbak?” “Masih di ruangan Pak Rivan—“ “EHM!”                 Begitu mendengar deheman dari arah pintu masuk, seketika kami semua yang melingkar di meja Mbak Sarah bubar. Tika yang mejanya berada tepat di sebelahku, langsung menyikutku begitu melihat dua laki-laki yang saat ini berdiri di ambang pintu. Dua laki-laki itu adalah Mas Eko dan satu lagi wajahnya asing.     Ngomong-ngomong, Mas Eko itu sama seperti Mbak Sarah, sama-sama staf senior di divisi kami. Sebenarnya ada satu lagi orang di divisi kami, namanya Mas Aga. Dia justru kepala Divisi, atau bisa dikatakan bos langsungku. Nah, seperti yang Mbak Sarah katakan tadi, mulai minggu ini Mas Aga dipindah dan akan digantikan orang baru. “Na, ganteng, Na!” Tika di sebelahku mulai heboh. Dia bahkan sesekali menyikut lenganku. “Ssst!” aku menyikut balik Tika agar anak itu diam. “Hi semuanya! Pasti sudah dengar kabar tentang saya, kan?” sapa laki-laki berwajah asing tadi, yang aku yakini adalah pengganti Mas Aga. Saat ini, semua yang ada di ruangan langsung saling pandang, lalu tersenyum sambil mengangguk. Mas Eko kembali ke mejanya, sementara laki-laki itu justru berjalan mendekat ke mejaku. “Pinjam kursinya, ya?” pintanya ramah, sembari menarik kursi kecil yang kebetulan ada di dekat mejaku. “I-iya.”                  Laki-laki itu duduk di tengah-tengah ruangan, lalu mengedarkan pandangan. “Karena saya nggak pandai berbasa-basi, langsung saja ya, perkenalkan Nama saya Rifqi Dhananjaya, saya yang akan menggantikan Mas Aga sebagai atasan langsung kalian. ... .”                 Selama memperkenalkan diri, aku merasa laki-laki ini sesekali melirikku dengan tatapan yang agak aneh. Kuharap ini hanya perasaanku saja dan aku yang kepedean, karena kalau benar kenyataannya begitu, aku malah jadi takut. “Nanti kita manggilnya Pak Rifqi atau pakai Mas Rifqi, ya?” mulut cablak Venti memang nomor satu. Dia bahkan dengan santainya menanyakan itu dengan ekspresi cengar-cengir. “Panggil Pak, boleh, tapi panggil Mas saya lebih suka. Di kantor sebelumnya, nggak ada yang manggil saya Pak, karena saya memang belum setua itu.” “Boleh tahu umur berapa, Mas Rifqi?” Aku mendelik ketika dengan beraninya Tika ikut bertanya. “Baru dua puluh sembilan.”                 Ah, lebih tua sedikit dari Mas Arfa...                 EH BENTAR! Kok nama itu tiba-tiba muncul? Aku buru-buru menggeleng sambil bergidik. Bisa-bisanya malah kepikiran mantan sok kegantengan itu! “Nada Adeeva, ada apa kok geleng-geleng?” “Hah?” aku seperti orang oon yang ketangkap basah sedang melamun. “Ng-nggak papa, Pak Rifqi—“ “Panggil Mas Rifqi saja seperti yang lain.” “Ah, i-iya.”                 Aku mengangguk, lalu menunduk sambil menepuk jidat. “Mulai minggu ini, laporan kalian dikumpulkan ke saya. Saya ada di ruangan yang dulu dipakai Mas Aga.” “Siap, Mas!”                 Begitu Mas Rifqi berdiri, semua orang kembali saling pandang. Jangan tanya, yang jomblo matanya sudah ijo. Lihat cogan berasa lihat uang milyaran. “Eh sebentar...” tiba-tiba saja, Mas Rifqi kembali datang. “Gimana, Mas Rifqi? Ada yang bisa kami bantu?” Mbak Sarah berdiri, menawarkan bantuan. “Itu... Kamu... siapa tadi?” Mas Rifqi kembali menatap nama yang tertera di mejaku “Ah, Nada Adeeva. Habis ini ke ruangan saya, bisa?” “S-saya?” Aku menunjuk diriku sendiri. “Iya, kamu. Saya tunggu lima belas menit lagi.” Setelah mengatakan itu, Mas Rifqi pergi meninggalkan ruangan. Seketika, semua orang yang ada di ruangan menatap lurus ke arahku. “Na, apa kami semua udah kecolongan start?” ***        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN