“Nana! Kabar bagus!” teriakan Tika membuatku seketika terbangun. Dalam hitungan detik, Tika sudah membuka pintu kamar kosku dengan sekali sentakan.
“Apa?” aku yang dari tadi sibuk rebahan sambil baca n****+, langsung menatap Tika degan alis berkerut.
“Aku dapat info tentang kos baru!”
“Beneran?” tanpa sadar, aku sudah melempar begitu saja n****+ yang ada di tangan kananku.
“Bukan kos, ding, tapi apartemen—“
“No! Meninggoy aja lah, gaji belum dua digit mau tinggal di apartemen!” Aku kembali menghempaskan badan di kasur.
Tika ini menghina atau gimana, sih? Dia kan tahu sendiri kalau gaji kami masih belum dua digit. Ya memang sudah di atas UMR, tetapi untuk tinggal di apartemen, itu sama saja super boros. Bisa-bisa, tiap hari aku hanya makan nasi hangat campur garam, minumnya air kran!
“Aku belum jelasin, oneng! Nih aku ada info lebih lanjut makanya berani kasih tahu kamu.” Kali ini Tika segera duduk di sebelahku.
“Info apa, emang?”
“Jadi ini aku dapat dari Oliv, saudara jauhku yang asli orang sini. Oliv kan udah bayar DP separuh lebih, malah nikah, terus dibawa suami ke Jawa Timur. Kata Oliv, dia suruh nyari orang buat lanjutin dia, daripada mubadzir karena uang DP nggak bisa dikembalikan. Kalau kamu mau, kamu nggak usah ganti DP katanya. Tinggal bayar sisanya aja.”
“Serius, Tik?”
“Iya, mana uang DP-nya itu udah buat setahun.”
“Info valid nggak, nih? Jangan-jangan bohong.”
“Nggak lucu kali, Na, bohong tentang kaya gini.”
Aku meringis. “Ya maaf. Eh, tapi apa nggak mending kamu ambil aja, Tik? Lumayan, loh!”
“Enggak, ah. Pertama, kamu yang lagi butuh. Kedua, aku udah nyaman di sini. Ketiga, aku nggak bisa nambah pengeluaran lagi soalnya buat ngirim rumah.”
Aku mengangguk paham. Aku dengar, Ayah Tika sudah meninggal. Dia di Jakarta mencari nafkah untuk ibu dan kedua adiknya yang masih sekolah. Sejauh aku kenal Tika, dia jauh dari kata hedon. Dia sama sekali tidak boros, tetapi juga tidak sampai pelit pada diri sendiri.
“Atau kita berdua aja sekamar, biar irit—“ kalimatku terhenti ketika Tika sudah lebih dulu menggeleng. “Kenapa?”
“Bukannya gimana-gimana, nih, Na. Aku tuh nggak bisa sekamar berdua. Oke lah, kalau sekali dua kali, atau sesekali mampir. Kalau tiap hari, aku nggak bisa. Mau sedekat apa pun kita, tetap ada yang namanya privasi. Ada yang namanya kadang lelah pengen sendiri dan nggak mau diganggu. Nah, aku menghindari kita bertengkar. Coba kalau satu kamar, selain lebih akrab, peluan berantem juga besar. Aku berani ngomong gini, soalnya udah pengalaman.”
Setuju, sih, apa kata Tika. Mau sedekat apa pun orang, tetap ada yang namanya privasi. Jangankan sama teman, sama keluarga, bahkan orang tua sekalipun, tetap ada yang namanya privasi.
“Iya, sih, Tik. Bener. Tapi beneran nggak kamu aja yang ambil?”
Tika menggeleng. “Aku di sini aja, ntar aku sering main-main ke tempatmu.”
“Eh bentar, ngomong-ngomong, itu berapa biaya sewa yang harus aku bayar? Jangan-jangan tetep mahal?”
“Aku kurang tahu berapa perbulannya ya, maksudku harga asli. Tapi setelah di-DP saudaraku itu, kayaknya kamu tinggal bayar tiga puluh enam juta setahun. Bisa dicicil empat sampai lima kali kalau nggak salah.”
“Serius? Segitu udah setahun?”
“Iya, Na. Mana bagus, ih. Aku udah lihat soalnya.”
“Kalau udah di-DP separuh lebih masih bayar tiga jutaan per bulan, jadi harga awal berapa ya? Beneran, jadi kepo.
Tika menggeleng. “Nggak tahu, aku. Tapi kayaknya mendekati sepuluh—“
“Hah?”
“Orang apartemennya itu bagus! Makanya aku nawarin ke kamu. Selain kamu lagi butuh cepat, aku tahu kamu banyak duit tabungan. Iya, kan?”
Aku meringis. “Ya meski tetap lebih mahal dari biaya sewa kos ini, tapi kalau segitu udah dapat apartemen bagus, rasanya nggak bisa nolak. Apalagi Bu Santi udah nanyain terus kapan aku mau pindah.”
“Makanya, Na! Ambil aja. Lumayan banget ini. Setahun, loh!”
“Iya, ya? Seenggaknya aku udah nggak mikirin tempat tinggal selama setahun.”
“Nah! Kali aja tahun depan juga nggak mikirin tempat tinggal lagi, soalnya udah tinggal sama suami. Aw aw aw!”
Tika malah terbahak begitu kulempar boneka monyet ke arahnya.
“Malam ini aku mau telfon rumah dulu, tapinya.”
“Nggak papa, telfon aja. Cepetan tapi, sebelum diambil orang lain.”
“Ya!”
***
“Waaah!” Aku melongo, bahkan sampai menutup mulut begitu membuka pintu apartemen yang sebelumnya ditempati oleh saudara Tika, alias Kak Oliv.
“Bagus kan, Na?”
“Banget banget, Tik! Ini beneran nggak, sih, setahun bayar segitu doang buat apartemen sebagus ini? Jangan ngaco kamu, Tik. Aku nggak mau tiba-tiba diusir lagi, loh, ya!”
Tika malah tertawa. “Nggak, lah, santai aja. Kalau kamu diusir, aku tampung.”
“Terus Kak Oliv udah ke Jatim?”
“Udah dari seminggu lalu kayaknya. Ini udah kosong semingguan lebih. Sepuluh harian mungkin.”
“Sayang banget, asli!”
Aku celingukan, menatap setiap sudut apartemen yang mulai hari ini akan aku tempati.
“Oliv juga beruntung, sih. Ini dibayarin suaminya, waktu masih pacaran. Orang suami Oliv itu crazy rich Jawa Timur. Bayarin DP apartemen doang, kecil banget!”
“Jadi terlepas dari cerita Kak Oliv, ini juga udah jadi rejekiku kali, ya?” Tika mengangguk, lalu mendorong koperku ke sudut ruangan.
Ngomong-ngomong, hari ini sudah bertemu dengan hari minggu lagi, di mana Bu santi sudah memaksaku untuk segera keluar. Aku yang tak sempat survey apartemen ini karena sibuk kerja, hanya dikirimi foto sebagai gambaran. Dan hari ini, begitu aku tiba di apartemen yang Tika maksud, aku dibuat takjub berkali-kali.
Apartemennya lebih bagus dari yang aku lihat di foto. Tidak terlalu luas, tetapi juga tidak bisa dibilang sempit. Karena aku akan menempatinya sendiri, ini jelas lebih dari cukup. Aku tadi juga sudah transfer sepuluh juta sebagai DP lanjutan. Aku transfer ke Mas Didit, orang yang dipercaya mengelola keuangan apartemen ini.
Aku bisa langsung transfer segitu karena selain aku memang ada tabungan, uang pengembalian dari Bu santi juga lumayan. Bu Santi mengembalikan uang kosku dua kali lipat plus kemarin aku diberi satu juta untuk uang minta maaf.
Sejujurnya, aku merasakan ada beberapa kejanggalan di sini, tetapi aku malas untuk memikirkannya. Aku sudah cukup pusing dengan kerjaanku di kantor. Aku anggap keberuntunganku mendapatkan apartemen ini adalah ganti dari aku yang diusir dari kos sebelumnya. Meski aku dapat ganti rugi secara finansial, tetapi sampai detik ini aku tetap merasa kalau Bu Santi itu keterlaluan.
“Na, aku pulang dulu, ya. Sampai ketemu besok di kantor—“
“Kamu nginep sini aja malam ini, Tik,” potongku sembari menahan tangan Tika, ketika anak itu sudah bersiap-siap pergi.
“Nggak, Na. Lain kali aja aku nginepnya. Janji.”
“Oke, deh. Makasih banyak, ya?”
“Sama-sama.”
Setelah mengantarkan Tika sampai lift, aku segera kembali menuju unit apartemenku. Aku buru-buru membereskan seluruh barangku dan menatanya. Hanya butuh kisaran satu jam lebih beberapa menit, aku sudah selesai dengan semuanya. Maksudku, hanya tinggal beberapa, dan itu bisa dilanjut nanti atau besok kalau lagi luang.
“Empuknya, kasur!” aku menghempaskan badan di ranjang baruku dengan bibir mengembang lebar.
Namun, tepat ketika aku hendak memejamkan mata sejenak untuk istirahat, tiba-tiba perutku berbunyi. Aku melirik jam, tenyata saat ini sudah menunjukkan pukul delapan malam lebih beberapa menit. Pantas saja perutku berontak, selain karena terakhir makan itu tadi siang, aku juga habis kerja romusha.
Aku segera bangun, lalu mencari sembarang makanan yang ada di kulkas kecil yang tadi sempat Tika isi dengan jajanan yang tadi kami beli sebelum kemari. Sebenarnya aku belum sekenyang itu, tetapi aku sedang malas keluar. Setidaknya jajanan yang ada di kulkas sudah berhasil untuk mengganjal perut. Setelah selesai dengan semuanya, aku berencana akan langsung bersih-bersih, dan lanjut tidur.
Aku mengambil seluruh sampah yang ada, lalu memasukkannya ke dalam kresek hitam. Kata Tika, aku hanya perlu membuang sampah di tong sampah besar dekat lift.
Benar saja, begitu keluar dari pintu, aku langsung melihat ada tong sampah berukuran cukup besar, berwarna biru, terletak tepat di sebelah lift. Aku buru-buru membuang sampahku, kira-kira ada satu keresek hitam berukuran besar, dan dua berukuran kecil.
Ting!
Tiba-tiba saja, pintu lift terbuka. Aku yang baru selesai membuang sampah, reflek menatap orang yang keluar. Aku terkejut bukan main begitu melihat wajah orang itu, laki-laki yang langsung memicingkan matanya begitu melihatku. “Nana?”
“M-mas Arfa? Kok di sini?”
Demi apa pun! Iya, laki-laki ini si mantan sok kegantengan itu!
“Bukannya aku yang harusnya nanya kenapa kamu ada di sini?”
“Aku tinggal di sini mulai hari ini. Itu unitku!” aku menunjuk pintu nomor 909 dengan jari telunjuk.
“Beneran? Kamu tinggal di situ?” Aku mengangguk berkali-kali, tetapi aku yakin kalau ekspresiku saat ini pasti tidak begitu enak dipandang.
Aku reflek mundur ketika Mas Arfa tiba-tiba maju satu langkah ke arahku. “MAU APA?”
“Cuma mau bilang, selamat datang, tetangga! Aku tinggal di 910.”
Jantungku seketika terasa seperti terjun bebas menuju kerak bumi, begitu mendengar ucapan Mas Arfa. “Jangan bohong! Nggak lucu!”
“Aku memang nggak lucu. Yang lucu kan kamu, Na.”
Senyum khas Mas Arfa membuatku menggeram tertahan, membangkitkan hasrat ingin menyentil bulu hidungnya. “Aku akan anggap kita nggak pernah tahu kalau tetanggaan!” Detik berikutnya, aku langsung balik badan untuk bergegas pergi.
“Bentar dong, Na—”
“Mas Arfa! Nanti kukasih piring pecah kalau suka narik-narik baju—“ aku tak dibiarkan melanjutkan kalimat, karena saat ini sudah ada sapu tangan menempel di dahiku.
“Nggak perlu marah-marah. Itu lap dulu keringat di dahi. Besarnya udah kaya biji kopi luwak.”
“Sembarangan!”
Mas Arfa tertawa pelan, lalu dengan santainya meninggalkanku, membiarkan sapu tangan miliknya masih menempel di dahiku.
“Besok pasti aku kembaliin kalau udah dicuci!” ujarku tepat ketika Mas Arfa sedang menekan password apartemennya.
“Iya, Na. Sekarang sapu tanganku dulu yang kamu cuciin. Lain kali jangan lupa baju dan dalamanku sekalian. Selamat malam!”
Mendengar itu, seketika napasku terasa seperti berhenti di tenggorokan. “D-dia bilang apa, barusan?”
***