Dinner Perjodohan

2940 Kata
"Ke mana lo?" tanya Wayan. Tapi Hamas malas menanggapi. Cowok itu masih emosi perihal Paijo dan Anne. Mau melabrak tapi terkendala sesuatu hal. Apa? Memangnya ia punya hak untuk melarang Paijo dekat dengan Anne? Atau mendekati gadis itu. "Helaaah, dicuekin gue!" keluhnya. Ia menggelengkan kepala. Hamas berjalan menuju ruang BEM dan melihat Evan sedang tidur. Orokannya bahkan besar sekali. Beberapa anak BEM tertawa. "Gue kira kebo yang lagi tidur," celoteh yang lain. Namun Hamas tak menggubris berbagai omongan mereka. Ia sibuk dengan laptop di depan mata. Meski pikirannya jelas berkelana. Apa yang mungkin dilakukan lelaki ketika jatuh cinta pada perempuan? "Komitmen," begitu tutur Hasan. Keduanya bertemu saat Hasan ada waktu. Hamas hanya mampir sebentar ke apartemen Hasan. Hanya bersebelahan. Di sekitar sini memang banyak gedung apartemen. "Kalau udah berani deketin cewek ya berarti berani menawarkan komitmen dan menikahi." Itu tentu saja sesuatu yang berat untu posisi Hamas saat ini. Berbeda dengan Hasan yang sudah bekerja. Hamas kan masih kuliah. Meski sudah tingkat akhir. Tapi bukan berarti mampu. Perjalanannya menjadi seorang dokter saja masih panjang. Kalau pun berani, ia berpikir panjang dulu. Ia bisa saja menawari Anne komitmen jika gadis itu juga mau padanya. Mungkin saat ia selesai koas nanti, ia baru berani mendatangi keluarga Anne. "Dan bukan menawarkannya sekarang. Karena kita tidak pernah tahu, apa yang akan terjadi di masa depan." Hamas terkekeh-kekeh mendengar itu. Ia juga tahu. Hasan juga berpegang pada hal itu. Banyak anak-anak seangkatan Hamas yang melakukan itu. Menawarkan komitmen pada teman-teman satu angkatan yang disukai dengan iming-iming dinikahi setelah koas nanti. Tapi tak banyak yang sampai ke pelaminan. Ada yang malah bablas pacaran padahal katanya akhi-ukhti. Ada yang bablasnya lebih mengerikan dari itu. Hingga gara-gara itu, pernikahan dipercepat. "Kak Hamas itu, calon suaminya si Nisa!" cetus seseorang. Gita yang sedang membuang s****h tak jauh dari mereka pun membeku, mendengar kabar itu. Memang bukan kabar asing lagi. Mereka juga tahu bagaimana hubungan Hamas dan Nisa yang selama ini tampak dekat. Namun tak pernah ada yang menyangka kalau akan seserius itu. Sementara Gita juga tak yakin. Ia dekat dengan Hamas tapi hanya sebatas di organisasi. Kebetulan memang menjadi tim kampanye Hamas. "Gak lah, Git. Ngapain si Hamas sama Nisa?" Begitu komentar Wayan. Tapi Gita masih mengikuti langkahnya. Kalau sampai sahabat Hamas paling dekat ini saja berbicara seperti itu, lantas kenapa kabar itu menyebar dengan begitu percaya diri? "Ya kan gosip-gosip begitu. Dari dulu mereka juga begitu. Deket banget. Nisa juga bilang kalau keluarga mereka saling mengenal." "Kalo Nisa yang suka sama Hamas itu sih bukan rahasia umum lagi." "Memangnya Hamas enggak?" "Menurut lo?" "Gak lah. Buat apa? Kalo dia mau sama si Nisa, udah dari dulu kali. Gak akan naksir cewek lain juga si Hamas." Gita terbelalak mendengarnya. "Ada cewek yang Hamas taksir?" Wayan salah ngomong. Cowok itu memaki dalam hati tapi kemudian menahan tawa. Tidak apa-apa. Orang--orang tidak akan tahu. "Ya elah. Naksir cewek itu naluri laki-laki, Git. Kalo maksudnya gue, itu baru ngeri " Gita terbahak mendengar lelucon itu. Sebetulnya sama sekali tidak lucu. Ia terpaksa tertawa dan kini menampar kuat punggung Wayan yang membuat Wayan berdesis. Sementara Gita sudah pergi menjauh. Hamas? Katanya sibuk di ruangan Prof Mita. Sedang kencan dan tak boleh diganggu. Wayan ingin sekali mencekiknya. "Woi, Van!" panggilnya. Ia melihat Evan baru saja berbicara dengan Anne. Cowok itu melambaikan tangan. "Kenapa, Kak?" "Dekat sama lu? Deket banget?" "Apaan sih?" ia bingung. Wayan terkekeh kemudian menggelengkan kepala. "Enggak. Lagi gabut aja gue. Lo gak ada kerjaan kan?" "Waaah jangan ditanya! Kerjaan gue banyak banget, Kak, sumpaaah. Tugas kagak kelar-kelar!" tuturnya sambil pamit mundur lalu memutar badan dan kabur. Wayan memanggil-manggilnya hingga berkali-kali tapi ia tak menoleh. Ia tahu kalau akan diperbudak Wayan untuk membantunya mengerjakan sesuatu. Hahaha. Bukannya tak hormat pada kakak tingkat tapi Evan sedang malas menggunakan otaknya saat ini. Tak heran kalau ia berakhir dengan terpeleset gara-gara tak melihat lantai yang baru dipel oleh petugas. Ternyata bukan cuma tidak memakai otak, ia juga lupa menggunakan matanya untuk melihat. @@@ Jihan terbahak melihat Wayan yang baru saja melompat demi menjitak kepala Hamas. Hamas tersenyum kecil. Ia hanya berusaha mencairkan suasana agar tak terlalu menyeramkan. Pasalnya, sedari tadi, Hamas bisa melihat urat nadi di wajah hingga leher Wayan yang tampak menahan emosi. Urat nadinya bagai mengeras saking emosinya. Jihan yang tadi khawatir malah ikut tertawa. Ketiganya duduk di atas sofa apartemen Wayan. Merasa lucu dengan cerita Hamas. Tapi memang lucu sih. Buktinya Jihan sampai tertawa saking tak kuasanya. Gadis itu geleng-geleng kepala. Sedari dulu ia memang menyukai kepribadian Hamas yang ramah dan sedikit humoris. Maksudnya, meskipun Hamas terlihat serius tapi ia juga bisa sedikit melucu dan tidak garing. "Bodo amat! Lo mau cemburu kek enggak kek tuh sama si Paijo! Terserah elo!" keluh Wayan. Sedari tadi mereka mendengar kisah Hamas tentang Paijo dan Anne. Padahal cerita utamanya adalah masa lalu Hamas tapi lelaki itu malah menyelipkan kejadian yang membuatnya cemburu pada Paijo hanya gara-gara Paijo membelikan donut pada Anne. Jihan tak berhenti tertawa mengenangnya. Memang sih sejak dulu, Paijo dan Anne sangat dekat. Jihan juga pernah salah paham karena sempat mengira kalau Paijo naksir Anne. Tapi ternyata Jihan salah. Paijo hanya menganggap Anne sebagai adiknya. Tidak lebih dan tidak kurang. Lantas bagaimana kabar Paijo sekarang? Jihan sih tak tahu. Barangkali hanya Anne yang tahu. Jihan yang masih terkikik-kikik pun angkat bicara. "Lagian elo, Kaaak! Cemburu sama si Paijo!" serunya lantas geleng-geleng kepala. Tak habis pikir pula. "Lah? Kan si Ann suka sama tuh orang," tuturnya polos dan itu membuat Jihan terbahak juga Wayan. Kedua orang itu kan sudah lama tahu kalau Anne suka pada Hamas. Wayan tahu dari mana? Ya dari mata Anne lah. Jihan juga. Lama bersahabat dengan Anne, ia bisa memahami perasaan Anne meski Anne tak pernah bercerita apapun persoalan hatinya. Sama seperti Hamas yang gemar menyimpan masalah sendirian. Sementara itu, Hamas malah bingung menatap keduanya. Wayan masih geleng-geleng kepala. Sekian tahun, masih aja b**o, pikirnya. Masa gak bisa melihat mata Anne yang terkadang terlampau jujur itu? Airmata Anne yang mudah jatuh? Ckckck. Wayan menggelengkan kepala untuk ke sekian kali. Tapi wajar sih, Hamas kan lagi patah hati kuadrat karena ditampar Anne beberapa hari yang lalu. Ia tak tahu apa salahnya hingga ditampar seperti itu dan luka itu tentu berbekas dihatinya. Ditambah kenangan cemburunya pada Paijo setiap melihat keduanya begitu dekat. Kesalahpahaman yang terus terjadi hingga sekarang. "Kaaaak! Kaaaak! Dari kapan tahu juga si Ann naksirnya elo kali!" seru Jihan dan itu membuat Hamas terpaku. Kaget luar biasa. Tak lama, Wayan menoyornya biar sadar dari kebodohan yang hakiki. Tapi Hamas masih diam tak percaya. "Mana mungkin lah, Ji." "HAHAHAHAHAA!" Kedua orang terbahak. "Wajah ganteng. Mulut politisi. Asmara kosong!" ledek Wayan. "HAHAHAHAHA!" Kedua orang itu terpingkal-pingkal. Tampak bahagia sekali. @@@ Nisa tentu menyambut kedatangannya dengan ceria. Hamas hanya menghela nafas. Ia berjalan paling belakang ketika memasuki restoran mewah di salah satu hotel bintang lima di Jakarta. Jauh-jauh dari Bogor ke sini hanya untuk makan malam yang menurut Hamas tidak penting. Ia dipaksa untuk datang tentunya. Sekalipun ia tak pernah mau mengiyakan tapi lagi-lagi sama. Pendapatnya tak pernah dianggap oleh kedua orangtuanya. Entah apalagi yang mereka rencanakan? Hamas sama sekali tak paham. "Hamas!" tegur Papanya ketika membalik badan dan mendapati Hamas malah berbelok ke arah lain. Lelaki itu hanya mendelik kemudian berjalan lurus menuju toilet. Tentu saja ia marah akan sikap Hamas yang tidak sopan itu, tapi istrinya menyadarkannya. Satu keluarga Nisa sudah menunggu di salah satu meja. Mereka tentu tak enak hati membiarkan keluarga itu menunggu. "Biar kan aja. Nanti dia akan menyusul," tutur istrinya. Ia tahu kalau Hamas tak akan berulah untuk beberapa menit pertama tapi ia tak berjanji Hamas akan diam saja hingga akhir. Suaminya berdeham lantas melanjutkan langkah. Tak lupa, ia memasang wajah ramah ketika akan tiba di depan keluarga Nisa. "Malam, Tante Helma!" sambut gadis itu dengan ceria. Ia tentu tak hanya menyalami tapi juga cipika-cipiki alias cium pipi kanan dan cium pipi kiri. Kemudian menyalami Papanya Hamas dengan segala hormatnya. Ia tentunya sudah menganggap kedua orangtua ini sebagai ibu dan ayah kandung. Mengingat..... "Hamas mana?" tanya Mamanya si Nisa. "Ke toilet bentar, Jeng," tutur Helma. Kemudian menyambut perempuan itu ke dalam pelukan. Pelukan ibu menteri. Maksudnya, istri dari pak menteri. "Bagaimana kampus?" tanya Bakrie, Papanya Nisa sekaligus Menteri Kesehatan saat ini. Hengki, Papanya Hamas, terkekeh kecil. "Kalau di kampus, tidak ada yang berbeda. Begitu-begitu saja ritmenya. Berbeda dengan pemerintahan kan?" Bakrie tertawa. "Justru kesibukan yang monoton itu yang saya ingin kan, Heng. Bayang kan saja, setiap hari harus pindah-pindah kota. Mengurusi banyak hal. Begitu kembali ke Jakarta, rutinitas nya akan berulang. Lebih lelah tentu saja dibanding hanya berdiam di satu tempat." Para tetua di meja itu tertawa. Sementara Nisa sibuk membalik badan, mencari sosok Hamas. Berharap lelaki itu segera keluar dari toilet. Dan lelaki itu memang muncul tapi hendak berjalan ke pintu luar. Nisa langsung berteriak. Ia tahu kalau Hamas selalu menghindari acara makan malam seperti ini. Hal yang kadang membuatnya kesal. Ia sudah dandan tiga jam tadi demi makan malam ini. Apa tak bisa hargai dandanannya ini? Toh ia dandan juga untuk lelaki itu bukan lelaki lain. Ia berupaya untuk selalu tampil cantik di mana pun dan kapan pun. Dan lagi-lagi, ia hanya melakukan itu untuk Hamas. Ia tidak meminta apapun selain cintanya yang terbalas dari lelaki itu. Karena ia hanya butuh cinta. "KAK HAMAS!" Teriakan Nisa itu tentu membuat mata menoleh. Termasuk Hengki yang kini sudah menatap tajam anaknya. Bukannya datang ke meja ini malah ingin pergi. Hamas menghela nafas. Ia mengalah lantas berjalan mendekati meja mereka. Senyuman Nisa langsung mengembang. Senang sekali melihat kehadiran lelaki itu. Andai buka tempat umum, mungkin ia sudah melompat ke arah Hamas. Ia rela dipeluk dan memeluk lelaki itu. "Malam, Hamas!" sapa si ibu menteri. Hamas mengangguk dan mau tak mau menyalami pasangan menteri itu. Ia tak enak hati karena posisinya sebagai anak kepada orangtua. Ia tak mau dikira anak yang tidak berbakti. Walau Bakrie agak senewen melihat kelakuannya malam ini. Persis malam-malam kemarin. Tapi ia tak berkomentar apapun. Andai bukan karena anaknya yang jatuh hati pada Hamas, ia akan mengusirnya tentu saja. Dan andai itu terjadi, mungkin malam ini tak akan pernah ada. Ada banyak anak-anak pejabat lain atau konglomerat yang bisa ia tawarkan pada Nisa tapi anak semata wayangnya ini hanya ingin Hamas. Ia sampai heran, apa yang dilihatnya dari Hamas? Oke, ia akui kalau Hamas itu tampan dan cerdas. Tapi baginya, itu saja tak cukup. Kekayaaan keluarga harus menjadi patokan karena ia ingin anaknya nanti hidup mewah. Sementara ia tak melihat itu ada pada Hamas dan keluarganya. Dan acara makan malam dimulai dengan pesanan-pesanan yang datang dibawa beberapa pelayan. Makanan memang sudah dipesan duluan. Namun sebelum acara makan ini dimulai, Nisa dengan sengaja meminta salah satu pelayan untuk mengambil foto acara makan malam mereka. Foto yang kemudian ia upload di i********:-nya dan membuat heboh seisi kampus. Hingga tersebar begitu banyak gosip yang berkembang. Memang jitu sekali caranya untuk membuat semua perempuan pengagum Hamas berhenti mengkhayalkan lelaki yang akan menjadi pendampingnya di masa depan nanti. Karena apa? Karena mereka hanya berhalusinasi! "Cobain nih, Kak. Enak loh. Nisa yang pesenin," tutur gadis itu sambil mengarahkan sepiring kepiting ke arah Hamas. Hanya hanya diam tapi lengannya disenggol Mamanya. Hamas tetap diam. Ia enggan menanggapi Nisa. Gadis ini seperti tak tahu malu. Maksudnya, sikap Hamas selama ini pada keluarganya sudah cukup menyiratkan akan ketidaksukaannya pada acara semacam ini. Ia juga malas berinteraksi lebih jauh dengan gadis ini. Kalau bukan karena hati nurani, mungkin ia akan bersikap sangat jahat. Hanya saja, ia tak mau seperti itu. Apalagi terhadap perempuan. Semenyebalkannya Nisa, ia tetap harus menabahkan dan menguatkan hatinya menghadapi gadis ini. "Makasih ya, Nis, sudah merhatiin Hamas," tutur Helma. Ia yang tak enak hati melihat tampang berbinar yang mulai agak kecewa karena Hamas seperti tak menghargai usahanya. Nisa terpaksa tersenyum tipis walau ia rada jengkel juga. Namun ia sembunyikan. Semarah apapun ia pada Hamas, kenyataannya ia tak pernah berani menunjukan perasaan itu. Karena apa? Mudah bagi Hamas untuk meninggalkannya dan patah hati untuk ke sekian kali. Kalau itu sampai terjadi, ia tak mau ada perempuan mana pun yang akan bersanding dengan Hamas. Ia sudah bertekad bahwa tak akan ada satu pun perempuan yang akan mendampingi Hamas kecuali dirinya. Siapapun perempuan yang berani merebut Hamas darinya akan berurusan dengannya. Ia akan hajar habis-habisan dan permalukan perempuan itu di sepanjang hidupnya. Cinta itu segalanya baginya. "Sudah seharusnya begitu loh, Jeng," sahut si istri menteri. "Iya kan, Pa?" tuturnya lantas menyenggol lengan suaminya agar suaminya itu segera membicarakan maksud dibalik ajakan makan malam ini. Tentu saja ada udang dibalik batu. Kalau tidak, mana mungkin Helma susah payah meminta Hamas pulang ke rumah dan memaksanya untuk datang kemari? Mana mungkin luka suaminya sampai berkali-kali marah pada Hamas di sepanjang perjalanan? Lelaki itu juga terus mengingatkan Hamas untuk bersikap baik pada Nisa dan keluarganya. Bakrie berdeham. Tatapannya lurus menatap Hamas yang tak punya minat sama sekali untuk acara makan malam seperti ini. Menurutnya hanya basa-basi. "Kami sudah berencana nak Hamas," mulainya. Hengki tampak tersenyum tegang. Ia was-was akan reaksi Hamas. Ia memang belum mengatakan hal ini pada Hamas. Karena jika ia memberitahu Hamas sebelum datang ke acara ini, ia yakin anaknya tak akan pernah mau datang. "Om ini lama sekali temenan dengan Papamu. Dari belum jadi apa-apa sampai sekarang. Iya kan, Heng?" tanyanya yang membuat Hengki terpaksa tertawa. Ia masih was-was dengan Hamas. Hamas sih tak merespon apapun. Hamas sebetulnya ingin pergi dari sini. Risih pula dengan Nisa yang sedari tadi berupaya memepeti kursinya. Gadis itu benar-benar tak ingin jauh darinya. "Nisa dan kamu juga sudah lama saling mengenal. Jadi saya rasa, tak ada salahnya kan kalau kita atur segera pertunangan kalian? Kamu kan sebentar lagi akan fokus koas, Hamas. Tak akan sempat memikirkan hal-hal semacam ini." Hamas terdiam. Ia sudah menduga akan seperti ini. Maksudnya, dijodohkan dengan Nisa. Sudah sedari SMA dulu, Mamanya juga sering menyuruhnya agar lebih sering bertemu Nisa dan mengajak jalan gadis itu. Disitu Hamas terheran. Sedari kecil, Mamanya yang paling tegas dalam urusan agama dan hal-hal yang berbau pacaran tapi itu? Sungguh bukan seperti Mamanya yang ia kenal lagi. Sungguh jauh sekali. Ia tak pernah tahu apa yang terjadi. Namun malam ini membuat amarahnya benar-benar memuncak. Tapi Hamas tak pernah menyangka jika rencana yang disusun ini jauh dari perkiraannya. Ia pikir hanya sekedar baru berbicara dan tidak akan ada kelanjutannya. Tapi ini? Pertunangan? Hahaha! Ia tak mau. Ia jelas menolak. Walau kini hanya diam karena tak mau membuat gaduh. Tapi ia akan protes keras saat di rumah nanti. Ia akan membangkang. Ia berjanji untuk kelakuan itu. Kedua orangtuanya tak seharusnya menentukan dengan siapa ia akan bersanding. Karena ia sudah memiliki pilihannya sendiri. Ia sudah merencanakan masa depan nya sendiri dengan gadis lain. Bukan gadis di dekatnya ini. Sekalipun Nisa cantik sekali, ia tak perduli. Baginya, Nisa hanya lah perempuan yang menjadi adik kelas dan adik tingkatnya di kampus. Ia tak pernah memiliki perasaan padanya. Ia bahkan tak pernah tertarik. Lagi-lagi hanya sebatas hubungan saling kenal sebagai kakak dan adik tingkat. Tak lebih dari itu. Sementara Nisa agak-agak malu juga gembira sekali dengan rencana yang sudah sejak lama disusun ini. Ia tentu saja menanti-nanti. Bahkan sudah lama mengabari teman-teman dekatnya. Dari curhatan mulut ke mulut itu memang menjadi berita besar. Walau ia terkenal dengan attitude buruknya ketika di kampus, kenyataan kalau pasti akan banyak orang yang mendukung hubungannya dengan Hamas itu sudah pasti. Ia yakin itu. Dan lagi, Hamas juga tak pernah dekat dengan perempuan lain selama ini. Ia kan terus memantau Hamas. Dan kalau pun ada perempuan yang mendekati Hamas, ia akan hajar perempuan itu. Ia sempurna begini. Coba pikir? Ia cantik, tentu. Bakal calon Puteri Indonesia tahun depan dan sedang mengikuti seleksinya kan? Cerdas? Heeeum...mungkin bukan cerdas dijurusannya karena ia masih jumpalitan berhadapan dengan berbagai mata kuliah. Sebagai anak kedokteran yang masuk jalur belakang...hohoho. Jangan munafik deh. Banyak kok yang sepertinya. Ini hanya persoalan uang saja. Siapa yang berani mengeluarkan banyak uang? Iya kan? Lalu kaya. Lelaki mana yang tak tertarik? Sempurna bukan? Akhlak itu tidak penting. Karena akhlak baginya bisa dibeli dengan uang. "Untuk pernikahan juga, tak usah terlalu terburu-buru," ujar si ibu menteri. "Biar kan Hamas selesai kan koasnya. Begitu mendapat kerjaan yang mapan dan bagus, baru kita atur ke arah sana. Bagaimana Jeng Helma?" Ibu Hamas tersenyum kecut. Ujung matanya melirik Hamas yang sama sekali tak berminat dengan omongan kosong ini. "Kalau saya, ikut anak-anak saja bagaimana baiknya," tuturnya sambil menahan pilu dihati. Ia tahu kalau Hamas sama sekali tak menyukai ide ini tapi ia juga tak punya pilihan untuk menolak. Ia terlalu mencintai suaminya. Bagaimana ia bisa menolak? Apalagi, keluarga Nisa sudah banyak berjasa untuk keluarga mereka hingga bisa membawa suaminya menjadi rektor kampus bukan? Bahkan dalam waktu dekat, kemungkinan besar suaminya juga akan terpilih sebagai salah satu komisari di sebuah BUMN. Dengan semua hal itu, bagaimana ia bisa menolak? "Kalau begitu, kita sudah menemukan kesepakatan. Saya sih sudah bicara dengan Nisa waktu di rumah. Nisa mau-mau saja kalau nanti Hamas ingin menikah saat Nisa masih koas. Karena kan perkiraannya, Nisa koas setahun lagi dan Hamas pasti sudah lulus. Dari pada pacaran begini yang tidak jelas kan?" tutur Bakrie. Benar-benar mengira kalau Hamas itu berpacaran dengan anaknya. Meski berkali-kali Nisa sering membuatnya curiga karena tak mengajak Hamas untuk banyak acara keluarga. Nisa memang mengajak Hamas tapi tentu saja lelaki itu menolak. Hamas mana mau datang. BRAK! Tentu saja Hamas akan membanting pintu mobil usai acara makan malam s****n itu. Ia tak perduli dengan wajah Papanya yang menahan marah. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN