Ia hampir tak khusyuk dalam solatnya karena memikirkan seorang gadis yang berada di saf perempuan, sepertinya sendirian di dalam masjid kampus mereka. Ia menghela nafas. Usai zikir, ia langsung beranjak. Ia menunggu di dekat pintu keluar dan sesekali membalas sapaan mahasiswa yang kenal dengannya. Ia hanya mengangguk saja. Dalam hati bertanya-tanya apa yang dilakukan gadis itu hingga begitu lama. Zikir atau memikirkannya? Eeeh! Ia tersenyum sendiri memikirkan itu. Lalu menegakkan tubuhnya ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia melirik ke arah sepatu yang sudah tergeletak tak tentu arah.
"Ini?"
Ia tahu kalau Anne tampaknya mencari sepatunya. Kalau tak ditaruh di dalam rak, sepatu-sepatu itu akan berantakan. Padahal sudah ada tulisannya untuk menaruh di rak. Tapi biasanya penuh. Yah jumlah raknya tida sebanding dengan jumlah mahasiswa di sini. Hamas berdeham saat Anne melangkah mendekati sepatunya. Ia bukannya ingin ge-er tapi kali ini harus tahu tempatnya.
Ia agak menyingkir sedikit agar tak menghalangi Anne yang ingin mengambil sepatunya.
Lalu gadis itu bertanya. Kenapa ia belum pulang? Gadis itu memang ingin menyapa. Maksudnya mengajak ngobrol. Apalagi kan Hamas hanya diam saja. Cowok itu juga tenggelam di dalam pikirannya. Ia ingin sekali menawarkan untuk pulang bersama. Tapi malah terlalu banyak berpikir dan gadis ini yang bertanya lebih dulu.
Tapi kemudian ia bertanya kembali, kenapa gadis itu juga belum pulang?
Anne tak menjawab namun senyuman kecilnya sudah cukup menjadi jawaban. Gadis itu berjalan terlebih dahulu. Hamas segera menyusulnya lalu keduanya berjalan berdampingan. Tahu kah? Kalau mengobrol dengan gadis ini bagai candu. Ia tak bisa berhenti. Setiap datang ke kampus, hatinya langsung reflek mencari keberadaannya yang kadang tak ditemukan atau tertangkap oleh radar. Gadis ini bukan gadis yang misterius. Ia saja yang mungkin kehilangan sinyal. Hihihi.
Lalu ia melempar pertanyaan pada Anne, apakah gadis itu menyukai visi dan misinya? Hohoho. Lalu apa jawaban gadis itu?
Gadis itu tampak berpikir hingga keningnya berkerut-kerut. Lipatannya sampai terlihat. Hamas tersenyum kecil.
Lumayan. Itu lah jawabannya.
Hamas tersenyum kecil. Ya anggap saja itu adalah kata ganti dari rasa tertarik. Hahaha. Kenapa ia menerjemahkannya sendiri dengan lancang seperti ini?
Gadis itu terkekeh bahkan gigi kecilnya terlihat. Andai Hamas bisa melihatnya, pasti merasa lucu. Mereka malah membicarakan masalah statistik. Salah satu mata kuliah dasar kesehatan. Tapi ada kata bio di depan statistik. Kemudian digabung menjadi biostatistik.
"Biasanya dalam survei pendapatan yang digunakan dalam berbagai penelitian, ada yang namanya rendah, menengah dan atas."
Hamas mengangguk-angguk. Ya itu namanya skala ordinal. Ya kah? Karena ada tingkatannya. Atau ia salah? Dunia statistik memang rumit. Kemudian ia melempar pertanyaan lagi hanya dengan satu kata. Lalu?
Gadis itu mengendikan bahunya, ia juga tak tahu jawabannya. Lalu gadis itu memberikan pandangannya. Baginya, yang penting itu bukan visi-misinya tapi pencapaian dari visi-misi tersebut. Sementara Hamas mempunya pendapat yang berbeda. Baginya visi dan misi itu sama pentingnya dengan tujuan yang ingin dicapai. Karena dengan adanya visi dan misi itu yang akan mengarahkan agar mencapai target. Semua perencanaan di dalam visi dan misi seolah menunjukkan arah yang jelas. Menurut Anne, itu juga sebuah pendapat yang masuk akal. Gadis itu bahkan mengangguk-angguk. Ia terus mendengar bagaimana Hamas menjabarkan secara detil dampak dari penggunaan visi dan misi di dalam hidup. Dan semua perencanaan itu akan tergantung pada tujuan dan cara yang ingin dicapai.
"Visi-misi yang sederhana tapi sasarannya sulit diukur bukan? Lantas apa dengan visi-misi bisa menjamin kalau segalanya akan dapat mencapai target?"
Hamas tersenyum kecil mendengar pernyataannya. Ia sudah menduga kalau gadis ini cerdas dan begitu kritis. Karena pasti tak akan berhenti pada satu fakta saja. Sebuah fakta yang bermunculan harus dicari penyebabnya. Agar bisa memahami proses yang terjadi.
"Kalau probabilitas, Ann pernah mendengarnya?"
Anne hanya mengangguk sebagai jawaban. Hamas kembali menjabarkan jawabannya. Manusia itu selalu diberikan kesempatan. Ya kesempatan ini yang disebut Hamas sebagai peluang. Peluang itu selalu ada bagi yang mau berusaha. Setiap usaha yang dilakukan oleh manusia jika digerakkan bersama doa maka insya Allah, akan dijawab Allah. Dan apapun jawabannya pada akhirnya, tergantung cara manusia menanggapi hasilnya.
Hamas tersenyum kecil. Ia senang dengan sikap antusias gadis ini. "Ann, dijemput lagi?"
Keduanya sama-sama baru menyadari kalau sudah tiba di lobi fakultas. Malam ini, suasana fakultas tampak sepi. Yeah namanya juga malam minggu.
Gadis itu menggeleng. Ia akan naik ojek hingga stasiun lalu naik kereta.
Muncul rasa ingin mengajak pulang bersama tapi ia tak menjamin apa yang akan terjadi pada imannya jika ia melakukan itu. Imannya yang begitu kecil dan tipis itu. Ia membiarkan gadis itu pergi. Tak lupa mengucapkan pesan agar gadis itu berhati-hati di jalan. Terlebih ini malam hari.
Terkadang Hamas bertanya-tanya, gadis anak konglomerat itu kerap naik kereta ke kampus. Ini yang membuatnya terheran-heran. Anne yang tampak sederhana namun berasal dari keluarga yang sangat terhormat dan sangat mampu jika hanya untuk membiarkan Anne membawa sebuah mobil. Tapi gadis itu tak melakukannya. Ia heran saja. Kok bisa? Maksudnya, ada gadis sepertinya?
@@@
Hamas menyetir mobil menuju apartemennya. Setidaknya masih ada satu-satunya apartemen yang tidak disita kepolisian. Tapi ia sudah menjualnya untuk tabungan. Mana mungkin ia hanya mengandalkan uang jajan dari Om-Tantenya meskipun, sudah seperti anak sendiri. Dan lagi, Om-Tantenya memang tak punya tanggungan lagi. Talitha sudah menikah. Dua tahun terakhir, yang membantu koassnya tentu keluarga Talitha. Tante Herdianti itu adalah adik kandung ayahnya. Jadi memang tak masalah kalau hanya menanggung hidupnya. Tapi Hamas enggan untuk bergantung pada orang lain. Ia tahu kalau hanya diri sendiri lah yang akan menolongnya nanti. Maksudnya, tentu saja dengan melibatkan Allah dalam setiap urusannya. Ia hanya belajar dari masa lalu untuk urusan ini. Setelah sempat frustasi dan hampir pergi selamanya dari-Nya. Tapi ya begitu lah hidup. Barangkali itu memang cara terbaik untuk membuatnya semakin dekat pada-Nya. Pernah mendengar kan kalau ujian hidup itu memang untuk membuat manusia agar ingat bahwa ia masih punya Tuhan yang lebih besar dari segala masalah hidup yang pernah dihadapinya?
Hamas menghela nafas. Ia sudah lama tak datang ke apartemen ini. Ia membelokan mobilnya dan membawanya masuk ke area parkiran di basemen. Ia memarkirkan mobilnya dengan rapi. Kemudian berjalan menuju lobi. Di lobi itu, ia melihat Anne yang baru keluar dari lift. Pasti menemui Jihan, pikirnya. Dan melihat gadis itu, Hamas merasa suram.
"Gue sih gak tahu diterima atau enggaknya, Bang. Tapi kemungkinan, Om Feri berat menolak karena yang ngelamar itu orangnya baik."
Itu yang diucapkan Agha kemudian menepuk-nepuk bahu Hamas sebagai tanda prihatin. Hamas mengetahui kabar kalau Anne sudah dilamar tentu saja dari Agha. Agha kan sepupu Anne. Ia mengenal baik Agha yang sering menghubunginya saat hendak mencalonkan diri sebagai ketua BEM beberapa bulan lalu. Hamas menghela nafas. Ia hendak mengambil sisa-sisa barnag yang ada di apartemen sekaligus membersihkannya. Kemudian menitipkan kuncinya pada fasiliti apartemen untuk diberikan kepada pembeli yang baru. Hari ini kali terakhir ia bisa datang ke sini. Setelah ini? Mungkin hanya akan menjadi kenangan.
Ia baru mengeluarkan kunci disaku celananya ketika suara pintu apartemen sebelah terbuka. Jihan muncul dan agak terkaget melihat Hamas yang kini tersenyum tipis. Lelaki itu tampak lesu sekali. Jihan sudah lama tak melihatnya di sini dan entah kenapa, ia teringat Anne yang tadi pulang. Keduanya tak mungkin berpapasan kan? Karena rasanya pasti akan canggung sekali. Jihan yang hanya melihat keduanya saja merasa canggung.
"Jihan dengar kalau kakak jual apartemen ini," tuturnya. Ia mendengar kabar itu beberapa hari yang lalu saat sang pembeli baru datang melihat-lihat isi apartemen. Hamas tak ada saat itu. Lelaki itu menitipkannya pada pihak apartemen.
Hamas hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Udah dapet kerjaan, Kak?" tanyanya. Sebetulnya hanya basa-basi tapi ia memang ingin mengobrol sesuatu dengan Hamas. Hanya saja, bingung cara memulainya.
"Udah," tuturnya dan pintu apartemennya berhasil dibuka. "Lo gimana? Rencana koass?"
"Di Bandung, Kak. Bareng Ann," ceplosnya kemudian menutup mulut. Hamas hanya mengangguk-angguk. Ia tentu sudah tahu karena pernah tak sengaja bertemu dengan Sara, mommy-nya Anne di dekat gerbang komplek. Perempuan itu yang bilang kalau Anne akan koas ke Bandung. Sementara Hamas malah mendapat proyek di Sukabumi untuk tiga bulan saja. Kemudian akan pindah kota lagi, tapi belum tahu akan ditempatkan di mana. Yang jelas, ia mungkin tak akan pernah bertemu Anne. Dan lagi, bukan kah hatinya malah akan semakin sedih jika terus dipertemukan dengan Anne?
"Euung, Kak," ia mencoba memanggil saat Hamas hendak masuk ke dalam apartemennya. Lelaki itu menoleh namun tak lama, pintu di depan apartemen Jihan terbuka tiba-tiba lalu sang pemilik langsung berlari ke arah Hamas dan memukulnya habis-habisan. Jihan yang melihat kejadian itu hanya sanggup berteriak. Sungguh kaget dengan apa yang terjadi di depan matanya saat ini.
@@@
Seseorang memanggilnya dari belakang. Tak lama sudah muncul dari samping. Anne menoleh dan terkaget dalam satu waktu. Gadis itu segera mengucapkan terima kasih. Karena Hamas sudah membantunya semalam. Hamas mengangguk. Tapi bukan hal itu yang penting menurutnya. Ia terus bertanya apakah sekiranya keadaan Anne sudah baik-baik saja. Ia kira Anne tak akan masuk kuliah hari ini mengingat semalam, gadis ini sampai gemetar gara-gara kucing Anggora yang menurutnya lucu. Memang tak semua menganggap itu lucu, contohnya gadis di sebelahnya ini yang malah ketakutan. Ia terus terbayang bagaimana takutnya Anne semalam. Tapi ketika teringat kejadian saat mengantar pulang Anne. Rasanya bertemu ayah perempuan ini lebih menakutkan. Wajahnya tak ramah sama sekali. Dan ia sudah berkeringat dingin kala itu. Oke, ia memang terlihat seperti pengecut semalam. Karena ayah Anne mampu mengulitinya hanya dengan tatapannya.
Anne cuma berdeham sebagai jawaban. Gadis itu menggigit bibirnya, berupaya menahan diri agar matanya tak melirik lelaki di sebelahnya ini. Ia sebetulnya rindu. Eh? Apa yang hatinya barusan katakan?
"Jam berapa kuliahnya selesai, Ann?"
Eung? Anne spontan menoleh dan bersitatap dengan wajah serius Hamas yang tampan pagi ini. Yeah selalu tampan. Lalu ia menjawab pertanyaan itu. Ia akan selesai kuliah jam tiga sore nanti. Untuk apa lelaki ini bertanya?
Tidak ada. Hamas justru mengingatkannya untuk tak lupa pemilihan ketua BEM dalam waktu dekat. Lalu ketika ia menoleh, gadis itu tersenyum kecil. Sesungguhnya Hamas menunggu senyum itu. Ia bertanya lagi. Siapa yang akan dipilih gadis itu?
Inginnya sih agar Anne memilihnya. Tapi ia tak boleh mencampuri urusan ini dengan urusan hati kan? Jadi harus tetap profesional. Walau sulit sekali. Hati siapa yang bisa mengkhianati? Rasanya tak ada. Jika pun ada, Hamas akan memberikan kedua jempolnya sebagai pertanda kagum.
Namun gadis itu tak memberikan jawaba, hanya berpura-pura berpikir. Hamas terkekeh. Lalu kedamaian itu terganggu oleh suara lain yang memanggil Hamas. Laki-laki itu mengacungkan tangan. Ia akan segera menyusul. Tak lupa, ia meninggalkan pesan yang membuat Anne tersenyum. Anne tak menjawab dan ia sudah keburu pergi. Saat tiba di depan ruang BEM, ia sempat menoleh ke arah Anne tapi gadis itu sudah tak terlihat. Hamas menghela nafas dengan senyuman tipis. Senang melihat Anne sudah kembali sehat.
@@@
"b******k lu!" maki Wayan. Ia hendak memukulnya lagi andai Jihan tak berteriak. Akhirnya, tangannya hanya bisa menarik kuat kerah baju Hamas. Lelaki itu mendengus usai menatap Hamas cukup lama. Ada marah, ada kesal tapi ada juga rasa rindu pada sahabatnya ini. Seburuk-buruknya Hamas, lelaki ini lah satu-satunya sahabat terbaik yang pernah ada dihidupnya. Ia marah bukan karena keburukan Hamas tapi karena lelaki itu selalu merahasiakan hidupnya hingga ia merasa tidak dianggap sebagai apapun. Padahal ia rela melakukan apa saja jika Hamas meminta bantuannya. Ia memang ingin sekali meninju Hamas. Tapi ditahannya. Akhirnya, ia hanya menatap Hamas dengan tatapan lurus. Kemudian ia membalik badan tapi tak lama, kembali menatap Hamas. "Lu!" katanya sambil menatap tajam. Hamas malah menatapnya dengan tatapan kosong. Isntingnya mengatakan kalau Wayan sepertinya sudah tahu apa yang ia alami selama dua tahun ini. Seolah menghilang dan menyelesaikan koasnya sendirian. Memang sih, sejak sebelum koas dimulai, hubungan persahabatan mereka memang sudah hancur. Dan itu karena dirinya sendiri. Ia memang terbiasa memikul semua beban hidup sendirian. Karena apa? Ia takut orang-orang akan tahu bagaimana buruk kehidupannya. Ia tak mau dijauhi karena hal itu. Tapi bukan kah Wayan sahabatnya? Dan sahabat sejati tidak akan pernah pergi?
Wayan terpukul karena tak tahu apa-apa tentang Hamas. Dan makin marah saat tahu apa yang terjadi. Meski masih tak mengerti dengan Hamas. Apa yang sebetulnya terjadi dan kenapa hubungan mereka menjadi jauh seperti ini? Namun puncaknya adalah ketika ia tahu kalau Hamas menjual apartemen ini. Ia merasa kalau Hamas benar-benar tak menganggapnya.
"Gue tunggu lo di dalem!" tuturnya sambil memberi kode agar Hamas masuk ke apartemennya. Hamas menghela nafas. Ia tak jadi masuk ke apartemennya dan malah mengikuti langkah Wayan. Jihan yang takut Hamas dibantai lagi, menghadang langkah keduanya.
"Gue boleh ikut ya, Kak?" tanyanya yang membuat Wayan berbalik menatap Hamas. Itu terserah Hamas.
@@@
"Hamas," panggil ibunya yang berdiri di dekat pintu rumah. Wajah kuyu dan pucat itu sudah menyapanya ketika ia bahkan baru saja keluar dari mobilnya. Ia menghela nafas. Ia sudah lama menghindar dan tak kunjung pulang selama dua bulan ini. Ia lebih memilih tinggal di apartemennya ketimbang balik ke rumah yang suram ini. Rasanya, kebahagiaan mereka sirna begitu cepat. Di rumah ini pun, sulit sekali menemukan kebahagiaan. "Ke ruangan Papa."
Hamas menghela nafas. Lelaki itu memang sudah berkali-kali menghubunginya. Terakhir, tentu saja memarahinya karena tak menghadiri acara makan malam dengan Menteri Kesehatan itu. Hamas sama sekali tak berminat. Apalagi anak perempuan si menteri yang terus menempelinya sejak SMA. Ia tak enak hati menolak tapi penolakan itu tidak dianggap sebagai apapun. Justru perempuan itu semakin betah menempelinya. Oke, awalnya ia memang biasa saja meski akhirnya semakin menganggu. Apalagi kali ini orangtuanya ikut campur.
Tanpa mengetuk, ia langsung masuk ke ruangan besar yang tidak hanya berisi meja kerja tetapi juga lemari buku yang tinggi-tinggi. Mamanya menatap dari kejauhan. Sementara kakak perempuannya baru saja membanting pintu, keluar dari kamar.
"Jadi Mama setuju dengan perjodohan s****n itu?" tanyanya dengan nada tinggi yang sebetulnya, ia lakukan dengan sengaja agar terdengar oleh Papanya. Karena Mamanya hanya diam, ia mendengus lantas berjalan menuruni tangga usai menyenggol bahu Mamanya dengan sengaja. Ia sudah tak perduli sekalipun perempuan itu adalah ibu kandungnya. Ia juga tak perduli pada Papanya yang menurutnya s****n itu. Semua orang di rumah ini egois dan s****n menurutnya.
"Nanti malam kita berangkat untuk makan malam lagi."
Itu kalimat yang sama sekali tak ingin Hamas dengar. Ia bahkan tak berbicara apapun. Padahal semua ini selalu melibatkannya bahkan menjadikannya sebagai umpan hingga kambing hitam. Tapi keputusan bulat sudah diambil tanpa pendapat apa-apa darinya.
"Bukan kah Hamas sudah pernah bilang ke Papa ka--"
"Hanya makan malam biasa. Apa susahnya?" tutur lelaki itu. Ia tampak sibuk sekali di depan laptopnya. Hamas menghela nafas, ia malas berdebat. Lebih baik balik badan kemudian masuk ke kamar untuk istirahat. Toh ia tak akan pernah menang jika berdebat dengan lelaki ini. "Dan berbaik hati lah sedikit pada Nisa. Perlakukan perempuan dengan baik."
Hamas membalik badan. Menatap Papanya dengan kesal. Harus berapa kali ia bilang kalau ia tak menyukai perempuan itu? Selama ini ia selalu memperlakukan Nisa dengan baik. Mana tahu kalau perlakuan baiknya malah disalahpahami Nisa. Aaah, Hamas tak tahu sih kalau gadis itu memang sejak awal menyukainya. Sekalipun berulang kali Hamas sering berterus terang klau ia menolak. Namun gadis itu seperti tak menyerah. Bahkan sering salah paham dengan penolakannya makanya penolakannya tak dianggap sebagai sebuah penolakan. Akhirnya malah berbuntut panjang seperti ini. Tapi ia tak mengatakan apapun pada Papanya dan memilih pergi dari ruangan itu. Percuma berdebat, pikirnya. Kedua orangtuanya keras kepala. Mana perduli apakah ia setuju atau tidak.
"Pergi ya, Mas?" pinta Mamanya begitu ia keluar. Ia melihat wajah kuyu yang kini menatapnya dengan sendu. Rasanya wajah Mamanya tak pernah bersinar lagi semenjak beberapa tahun belakangan ini. Perempuan ini juga tak sekuat dulu yang selalu menentang Papanya. Kini? Bagai b***k Papanya yang selalu mengikuti dan menaati perintah Papanya sekalipun tak masuk akal dan terkadang di keluar dari jalurnya. Sudah benar-benar tersesat jauh.
Hamas mengangkat tangannya kemudian mengelus wajah yang kini sudah meneteskan airmata. Hamas berupaya mati-matian menahan isakan tangis yang ingin menyeruak. Ia pulang hari ini ke rumah juga karena perempuan ini. Mamanya sampai menelepon sembari menangis demi memintanya pulang. Bagaimana ia bisa menolak?
Maafin, Mama, Hamas. Mama sangat mencintai Papamu.
@@@
Ann, bisiknya dalam hati. Ia melihat gadis itu melengos begitu saja, melewatinya yang sedang mengawasi TPS di gedung kampus. Hari ini pemilihan ketua BEM. Ia hendak menyapa gadis itu tapi hanya berdiri kaku di sebelah gadis yang tak henti memegang lengannya meski berkali-kali ia melepaskan diri. Wayan bahkan sudah mengirim tatapan tajam tadi, heran karena melihatnya terus menempeli Nisa. Padahal gadis itu yang terus menempelinya. Bahkan kini heboh menyerukan agar memilihnya tapi kemudian ditegur panitia TPS karena masa kampanye sudah selesai kemarin.
Anne memaki dalam hati lantas ber-istigfar. Begitu membuka kertas yang berisi calon ketua dan wakil ketua BEM, ia mengangkat tangannya ke atas lalu menekan wajah Nathan kuat-kuat saking kesalnya pada Hamas di depan sana. Setelah itu, ia langsung pergi. Hamas hanya menghela nafas melihatnya.
Esoknya di kantin....
"Ann!"
Hamas langsung menoleh. Ia sudah tak menyimak apa yang dibicarakan Nisa karena terlalu membosankan. Perempuan itu hanya berkisah tentang hidupnya sendiri. Cerita yang malas sekali Hamas dengar. Atau berkisah tentang drama-drama Korea yang ia tonton, Hamas lebih tak perduli lagi. Ia hanya malas tapi terpaksa terus terjebak dengan perempuan ini. Sementara itu terjadi percakapan lain tak jauh darinya. Apa?
Paijo. Yeah-yeah. Kejadian terakhir, ia melihat cowok itu begitu dekat dengan Anne. Lalu kini Paijo malah mengobrol dengan Anne lalu mengatakan kalau ada donut untuk Anne namun ia titipkan pada Evan.
Hamas langsung menggeram mendengarnya. Padahal ia sudah memberitahu Anne agar tak dekat-dekat dengan lelaki seperti Paijo. Ia juga tahu kalau kabarnya, Paijo dan Tessa berpacaran tapi kenapa masih mendekati Anne bahkan memberinya donut?
Lalu apa kata Anne? Katanya....donutnya kurang dan kata-kata itu terdengar sangat manja.Hamas ternganga mendengar nada manja itu. Tapi ia hanya diam dikursinya. Meski kedua tangannya sudah terkepal. Lalu tak lama.....
BRAK!
Hamas spontan menggebrak meja dengan kuat lantas beranjak dari bangku usai membuat kegaduhan. Semua mata tertuju pada lelaki yang kini menjauh dari keramaian dan mengabaikan Nisa yang terus memanggil-manggilnya. Tak perduli pula dengan gadis itu.
@@@