Malam itu, pertengkarannya memang pecah. Bahkan sebuah kursi nyaris melayang ke punggung Hamas andai Mamanya tak bersujud dikaki Papanya. Hamas malah mendengus. Ini lah kenapa ia malas pulang ke rumah ini. Kalau pun pulang, ia hanya mengambil barang seperlunya. Ia lebih sering menetap di apartemen atau sesekali menginap di rumah tantenya yang ada di Depok jika diminta menginap di sana. Hidupnya akan lebih tenang jika berada di sana. Hidup di rumah ini hanya membuatnya bagai hidup di neraka. Rasanya sungguh tersiksa. Tapi ia harus bagaimana? Karena tempat ini lah yang menjadi tempat pulang untuknya? Bagaimana pula ia bisa meninggalkan Mamanya yang menumpukan harapan pada satu-satunya anak lelaki di rumah ini?
Ia menghela nafas lantas berjalan masuk ke kamarnya. Tak lupa, membanting pintu lagi. Kemudian bersujud sejadi-jadinya. Kalau ditanya, apakah ia merasa bersalah atas perlakuannya pada orangtua seperti itu? Tentu saja. Tapi bukan kah orangtua juga tak sempurna? Bukan kah mereka juga bisa salah? Dan dalam hal ini? Bukan kah memaksakan kehendak itu termasuk sebuah kesalahan? Menjadi kesalahan karena sebuah perasaan tak bisa dipaksa. Hamas punya hati dan ia berhak menentukan siapa perempuan yang akan menjadi pendamping hidupnya nanti. Apa orangtua harus memaksa? Ini bukan zaman Siti Nurbaya aaah dan Siti Nurbaya pun perempuan sedangkan ia adalah seorang lelaki. Masa tak boleh memilih?
Lagipula, Papanya bukan Tuhan. Kalau Tuhan wajar saja memaksakan kehendak karena Dia memang lebih tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Sekalipun itu sebuah kepahitan? Sebuah musibah? Iya kan? Lah Papanya?
Hamas ber-istigfar dalam-dalam. Takut hatinya yang sempit dan picik ini memaki tidak semestinya. Bagaimana pun lelaki itu tetap lah orangtuanya. Laki-laki yang mendidiknya hingga sedewasa ini dalam bersikap. Namun dalam beberapa tahun terakhir, Hamas sudah tak menemukan lagi sosok Papa yang ia kenal sedari kecil itu. Mungkin kah ini yang dinamakan dengan perubahan? Berubah karena nafsu bukan karena taat. Sungguh perubahan yang sangat mengerikan karena ketamakan manusia.
@@@
"Pantesaaaaan!" seru Jihan. Kedua lelaki itu menoleh. Wayan sih lebih menanti kelanjutannya. Baginya acara makan malam yang memuat pemaksaan perjodohan itu sama sekali tak penting. Ia hanya perlu konfirmasi Hamas atas apa yang terjadi pada keluarga sahabatnya ini. Bukannya malah bercerita bertele-tele seperti ini. Tapi Hamas hanya ingin mengungkapkan semuanya dengan jelas dan detil agar ia tak perlu mengulang cerita. Agar Wayan juga bisa memahami posisinya kenapa ia mengambil keputusan yang mungkin membuatnya seperti tidak dikenali oleh Wayan lagi. Seperti ia yang menilai Papanya seperti itu. "Itu gosipnya parah banget tauk, Kak. Semua orang percaya kalau Kakak dan....," omongannya terputus. Ada telepon masuk diponselnya Jihan dari.....
Jihan berdeham dan kedua lelaki itu kompak diam. Hamas tahu ith telepon dari siapa. Ia tak perlu melihat layar ponsel Jihan karena wajah Jihan dengan terang memberikan jawaban tanpa ia perlu bertanya.
"Kenapa, Ann?"
Mendengar nama itu disebut, membuat hati Hamas agak-agak sakit. Tiba-tiba ia menjadi pias.
"Baju-baju gue masih ada yang dieulu gak, Ji? Biar gue ambil sekalian. Tadi kelupaan."
Jihan tampak berpikir. Ia juga tak ingat. "Ntar gue cek deh, Ann."
"Yaah. Lu gak lagi di apartemen ya?" tanya perempuan itu. Suara Anne tampak agak terburu-buru di seberang sana. Gadis itu memang datang kembali ke apartemen Jihan.
Kening Jihan mengernyit. "Ada kok."
"Masa sih? Gue dari tadi gedor-gedor apartemen lo tauuk!"
Jihan menepuk jidat dengan mata terbelalak. Tentu saja kaget. Ia berjingkat turun dari sofa sementara Wayan bertanya-tanya kenapa? Dan Jihan hanya menjawab tanpa suara dengan muka panik sambil menunjuk-nunjuk apartemennya. Maksudnya, ada Anne di sana dan ia bingung harus keluar dengan cara apa karena Anne pasti curiga jika ia keluar dari apartemen ini bukan?
"Ada, Ann!" bisiknya.
Aaah. Wayan mengangguk-angguk lantas mendorong-dorong Hamas yang tiba-tiba lesu dan tak mood menceritakan muram kehidupannya dua tahun belakangan. Ditambah pilu dihati karena ditolak Anne. Sementara Jihan memberi kode agar keduanya menyingkir jadi saat Jihan membuka pintu, keduanya tak terlihat. Wayan terpaksa patuh dan Hamas sudah menyingkir duluan sebelum disuruh. Lelaki itu juga enggan melihat Anne kalau bukan karena tak sengaja. Seperti saat terakhir melihat gadis itu di....lobi? Ah entah lah, Hamas tak mau memikirkannya.
Saat pintu apartemen Wayan terbuka, Anne terkaget. Ia kira memang Wayan yang keluar tapi malah Jihan yang keluar dengan tampang cengengesan sambil mematikan telepon darinya. Jihan sudah pasrah karena tertangkap basah.
"Kok lo--"
"Biasa ngobrol, ada Mas Raka juga," bohongnya lantas merangkul Anne dan membawanya masuk ke dalam apartemen miliknya. Anne sih percaya. Sementara Hamas dan Wayan sedang rusuh. Lebih tepatnya, Wayan yang merusuhi Hamas agar menghampiri Anne. Tapi kata-kata Hamas selanjutnya membuat Wayan membeku.
"Dia udah dilamar orang lain."
@@@
"Apa harus dipaksa?" tanyanya dengan nada tajam. "Selama ini Hamas tak pernah membangkang Mama dan Papa. Papa ingin Hamas belajar keras, Hamas turuti, Pa. Mama ingin Hamas masuk kedokteran? Hamas juga turuti. Lantas sekali ini Hamas menolak, begini balasannya?" tuturnya atas balasan tamparan keras yang ia dapati sepagi ini.
Apa salahnya membangkang orangtua jika apa yang mereka perintah kan keluar dari syariat agama? Keluar jalur dari ketaatan kepada Allah? Malah mendorongnya ke dalam lembah dosa? Apa salahnya membangkang jika itu yang terjadi?
Suasana meja makan tentu tegang. Kakak perempuannya sudah berjalan masuk ke kamar sedari tadi. Perempuan itu juga membelanya walau mereka sudah tak pernah akur lagi. Yeah, Hamas dan Hanni memang sudah tak saling bicara. Alasannya? Entah lah. Hamas sulit menjelaskan urusan mereka yang terlalu rumit. Sementara adik perempuannya sedang memaki Papanya terang-terangan. Kini mata tajam Papanya terarah pada Henna yang menatap galak Papanya. Gadis yang satu ini memang sudah tak perduli lagi walau sedari tadi Mamanya menyuruhnya diam sambil menangis.
"APAAAAA? PAPA GAK TERIMAAAA?!" tantangnya.
"Diam kamu!"
Henna malah tertawa. Maka tak tunggu lama, ia juga mendapat tamparan keras dari Papanya. Tapi gadis berseragam SMA itu malah menatap Papanya dengan ekspresi yang masih kaget. Ya, ia kaget karena ikut ditampar. Padahal seingatnya, ia tak punya masalah lagi ini. "Oke-oke," tuturnya lantas mengambil tasnya. "Bukan Aa'ak Hamas yang pergi dari rumah ini tapi Henna!" tuturnya lantas menatap Mamanya dengan kesal. Karena perempuan itu menarik lengannya. "Henna udah gak peduli. Mama urusin aja tuh suaminya!" tukasnya lantas benar-benar pergi. Ia berjalan serampangan keluar rumah. Entah akan ke mana ia pergi, ia juga sudah tak tahu. Yang jelas, ia tak mau tinggal lebih lama di rumah ini. Rumah ini hanya membuatnya emosi tingkat tinggi.
Papanya terduduk di kursi. Mengelus dadanya kuat-kuat seraya masih menatap tajam Hamas yanh terdiam. Istrinya sudah sibuk mengejar Henna yang entah akan menginap ke mana lagi. Anak itu memang sering pergi dari rumah. Namun Mamanya tetap lah khawatir. Namanya juga ibu. Apalagi itu adalah seorang gadis. Kalau terjadi sesuatu padanya bagaimana?
"Pikir kan baik-baik, Hamas," tekannya. Ia tahu bagaimana menghadapi Hamas yang walau terljhat keras tapi hatinya mudah tersentuh. Namun tekad Hamas agak bulat kali ini. Alih-alih melanjutkan sarapan, ia malah ikut pergi keluar dari rumah dan membuat Mamanya berteriak-teriak memanggil. Hengki mengelus kepalanya, pusing dengan ulah anak-anaknya. Pembangkang semua, pikirnya.
Namun sadarkah para orangtua ketika anak-anak mereka membangkang seperti ini? Apakah tak bisa mereka intropeksi diri dengan hal ini? Barangkali ada yang salah dengan sikap mereka dulu makanya menjadi seperti ini? Karena anak pun turunan orangtuanya. Mereka juga asuhannya. Apa yang ditanam makan itu lah yangdituai. Jadi sudah jelas bukan akar masalah ketika terjadi hal semacam ini di dalam sebuah keluarga? Alasan dan penyebabnya tak jauh dari masalah yang terjadi.
Sementara Hamas baru saja menginjak pedal gas kuat-kuat. Tangannya mencengkeram setir mobil kuat-kuat. Matanya sudah memerah. Hatinya sakit sekali dengan tamparan tadi. Hatinya yang sakit bukan pipinya. Kenapa? Karena ia sudah tak menemukan sosok Papanya yang dulu. Yang masih menjadi dosen biasa. Yang tidak gila jabatan seperti ini. Hamas lebih rela hidup sederhana daripada mapan tapi tak bahagia.
Tahu kenapa Hamas menolak perjodohan ini mati-matian? Alasan pertama tentu karena ia memang tak punya perasaan apapun pada Nisa. Kedua? Harga diri. Apa harga dirinya begitu murah hingga tergadai hanya demi jabatan Papanya sebagai komisaris BUMN? Dan lelaki itu ternyata rela menjual anaknya dengan harga serendah itu. Hanya untuk sebuah jabatan.
Namun tak ada yang memahami isi hatinya. Mereka hanya menuruti nafsu. Padahal ia sebagai anak tak pernah menuntut orangtuanya untuk memberikan apapun pada hidupnya. Tapi Hamas hanya bisa menatap jalanan dengan kedua tangan yang kuat memegang setiran mobil. Ia tak tahu akan lari ke mana jika bukan pada Tuhan. Namun disaat seperti ini, hatinya malah terluka parah dengan perlakuan orangtua. Yang ia takutkan adalah keimanannya. Bagaimana jika ia sampai lemah dan mengiyakan apa yang mereka pinta? Akan menjadi apa masa depannya nanti? Apa memperjuangkan cintanya sendiri itu salah?
@@@
Wayan menepuk-nepuk bahunya. Paham akan perasaannya yang terguncang. Ia hanya bisa menghela nafas mendengarnya. Kemudian menyandarkan punggungnya. Apartemennya tiba-tiba hening. Ternyata bukan sekedar perjodohan yang dipikirkan Hamas melainkan harga dirinya sebagai seorang lelaki. Wayan baru paham akan hal itu.
"Gue salut," tuturnya setelah lama berdiam. Wayan menarik nafas panjang. "Kalau gue yang diposisi elo mungkin mau-mau aja dijodohin dengan perempuan kayak Nisa. Well, cantik? Siapa yang gak mau?" tukasnya jujur. Lelaki mana pun akan tertarik. Sementara Wayan sebetulnya masih kaget dengan pola pikir Hamas yang bahkan sejauh itu. Wayan tak pernah terpikir akan ke sana. Ia mungkin hanya akan berpikir sederhana. Tak perduli jika orangtuanya menginginkan jabatan. Ia akan menganggap hal itu sebagai bonus jika ia menjadi Hamas. Ia sudah cukup dengan mendapatkan Nisa. Namun ternyata? Tidak serendah itu. Hamas tidak mau merasa dirinya hina hanya karena menikahi perempuan demi jabatan orangtua. Dan alasan lain, ia memang tak cinta pada gadis itu. Biar kata bisa cinta karena terbiasa, namun nyatanya tak semua orang bisa melakukan itu? Karena apa? Karena cinta tak bisa dipaksakan. Setiap orang berhak memilih orang untuk dicintai. Mereka juga punya hak untuk menerima siapa yang akan mereka cintai. Tidak bisa sembarang karena cint situ menyangkut hati dan juga kehidupan. "Cewek cantik kayak begitu, meskipun otaknya kurang, tapi lumayan untuk dibawa ke mana-mana."
Hamas menggelengkan kepala mendengarnya. Bagi Hamas, cantik saja tidak cukup. Ia perlu perempuan yang memiliki kepribadian yang baik. Dan Nisa? Satu fakultas pun tahu bagaimana kelakuannya.
"Apa coba kurangnya Nisa?" tutur Wayan. Hamas terkekeh mendengarnya. "Ya oke lah, tuh orang songong," ujarnya. "Tapi wajar sih kalo dia bersikap kayak gitu. Dia cantik dan yaaa....keluarganya kaya. Anak menteri, men! Pantas kalo mau sombong juga!"
Hamas menarik nafas dalam mendengarnya. Ia masih menatap Wayan yang tampaknya sudah mengkhayalkan Nisa. Membayangkan dirinya berada di posisi Hamas.
"Iya kan? Kalo gue tanya semua anak cowok di fakultas kita, gue yakin, pasti mau sama Nisa. Gak pandang mau attitude-nya seburuk apa."
Hamas terkekeh mendengar itu. Mungkin ada benarnya. Tapi ia yakin pasti masih ada lelaki yang tak ingin pada Nisa. Contohnya? Apa perlu disebut namanya? Bukan kah sudah terlampau jelas?
"Pengecualian, Yan. Kalau bukan karena sudah tertarik perempuan lain mungkin?" ucapnya yang membuat Wayan menahan tawa. Ia jadi teringat kalau ada sesuatu yang ia ingin tanyakan soal kalimat patah hati tadi. Aah, ia hampir melupakan hal itu.
"Lo tahu dari mana kalau Ann udah ada yang lamar?"
Brak!
"Kata siapa Ann ada yang lamar?" tukas Jihan. Gadis itu baru saja membuka pintu dan kini kembali menutupnya. Tentu saja ia kaget. Anne tidak bilang apapun padanya. Sementara Wayan dan Hamas kompak mengelus d**a. Keduanya juga kaget dengan kehadiran Jihan. Pintu itu memang tidak dikunci sejak Jihan keluar tadi. Keduanya memang sudah mengira kalau Jihan akan kembali ke sini. Gadis kepo itu pasti ingin tahu. Namun enaknya bercerita pada Jihan, gadis itu tidak suka menggosipkan apa yang ia ketahui. Jadi Wayan dan Hamas pun percaya padanya.
"Lu yang jadi sahabatnya masa gak tahu sih?" tutur Wayan. Tapi Jihan malah menatap Hamas. Seolah meminta jawaban karena Hamas tampaknya tahu. Jihan tak menanggapi pertanyaan Wayan karena menurutnya, percuma. Anne begitu tertutup tentang asmaranya. Jihan tak tahu banyak tentang hatinya. Gadis itu hanya bisa menerka-nerka apa yang dialami Anne. Dan mendengar kabar ini, ia tentu saja kaget bukan?
"Kak!" tagihnya.
Hamas menghela nafas panjang. Ia masih sesak dengan banyak hal tapi kedua orang ini kompak sekali menyerangnya dengan tatapan. Namun ia tak punya pilihan selain menjawab rasa penasaran mereka. Meski ia harus sakit disaat yang sama. Mengingat itu memang hanya membuat hatinya semakin perih.
"Agha," hanya itu jawaban yang diberikan Hamas dan keduanya langsung paham. Sementara Jihan tentu syok. Anne tak pernah bercerita apapun bahkan persoalannya dengan Hamas. Jihan tahu semua itu berkat obrolan dengan Wayan juga memerhatikan tingkah laku Anne tiap mengangkat topik Hamas. Terlalu kentara menghindarinya. Dan lagi, ia juga baru menyadari tatapan Anne yang berbeda pada Hamas yaaa setelah Anne patah hati dan setelah Wayan bertengkar lama dengan Hamas. Jihan merasa jika ia sudah melewatkan banyak hal. Tadi Jihan juga sengaja memuji-muji Hamas demi melihat tingkah Anne tapi tak seperti kemarin-kemarin. Tapi Anne begitu datar dan tak menanggapi omongannya. Jihan hanya menjabarkan gosip yang ia dengar kalau Hamas menjadi lulusan terbaik di angkatannya. Keren bukan? Tapi Anne tak memberikan reaksi apapun. Apa ada hubungannya dengan perjodohan itu? tanyanya dalam hati.
Wayan geleng-geleng kepala. "Ternyata lu dan Ann tuh sama aja," gumamnya. Hamas tentu langsung menatapnya. Apa yang dimaksud dengan 'sama aja'?
"Sama-sama tertutup. Padahal, udah berapa lama sih lu kenal sahabat lu ini, Mas?"
Hamas terdiam. Ia tak mau menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan sulit. Ia memang lelaki dengan harga diri. Dijodohkan dengan balasan jabatan komisaris untuk Papanya saja, ia menolak mentah-mentah. Ia tak mau diperdagangkan secara murah.
@@@
Hamas celingak-celinguk tapi sudah tak kelihatan. Ia menghela nafas lantas segera berjalan menuju parkiran. Ia hendak pulang dan harus segera cepat sampai. Ia mendengar dengan jelas kalau Anne tadi hendak ke apartemen Jihan bukan? Tapi tak satupun yang terlihat baik Jihan maupun Anne. Ia bergegas mengendarai mobilnya hingga tiba di apartemen lalu berlari terbiri-b***t menuju lobi. Berharap gadis itu masih di kampus ya atau di manapun sehingga belum akan tiba di dekat apartemen. Hamas memerhatikan area sekitar lobi hanya untuk memastikan kalau Anne tak ada di sana. Begitu tak ada, ia berkesimpulan kalau gadis itu mungkin sudah naik ke lantai atas di mana apartemen Jihan berada. Namun baru hendak berbelok ke arah sana, Anne muncul. Gadis itu sama sekali tak menyadari kehadirannya. Lalu ia segera berjalan mendekat dan berdeham.
Keduanya berdiri bersebelahan di depan pintu lift. Hamas melirik walau matanya tetap tertuju ke depan. Anne justru tampak kaget. Karen ia ingat Anne kalau tadi Hamas masih asyik mengobrol dengan Prof Mita. Sementara ia sudah pergi bersama Jihan dan teman-temannya yang lain. Hamas tak tahu kalau banyak pertanyaan di benak Anne tentang kehadirannya kali ini.
Hening. Setidaknya sampai Hamas akhirnya berbicara. Apa yang dikatakan cowok itu?
Di dalam agama, ada batas hubungan antara lelaki dan perempuan. Namun banyak yang lalai bahkan sengaja melalaikan dengan alibi sosial masyarakat.
Sialnya, ia diabaikan oleh Anne. Hahaha. Gadis itu sengaja tapi Hamas tentu tak menyadarinya sama sekali.
Melihat wajah Anne yang agak berseri sambil menatap ponsel itu membuat Hamas agak frustasi. Ucapannya bahkan tidak didengar. Gemas. Hamas kembali berkata. Kali ini ia mempertanyakan, berapa besar komitmen lelaki yang mengajak pacaran? Bukankah janji mereka terdengar begitu manis? Dan kenapa ia malah membicarakan jenisnya sendiri?
Semakin Anne diam, ia semakin kesal. Kedongkolan yang ditahan-tahan dalam hati meledak dengan kata-kata selanjutnya yang tak sengaja ia lontarkan. Sesungguhnya itu bukan lah kata-kata yang berasal dari hati.
"Apa artinya hijab jika bukan untuk menghalangi dosa kita sebagai manusia, Ann?"
Kali ini Anne bereaksi. Wajahnya tampak tersinggung. Apalagi dengan reflek, gadis itu menoleh ke arah Hamas yang juga tak bisa menyembunyikan wajah emosi. Meski tak ada satu patah kata pun yang terlontar. Seolah kemarahan telah cukup untuk menghantarkan emosi itu. Keduanya tanpa sadar terus saling menatap hingga berhenti dikala suara pintu lift berdenting.
Hamas belum berniat untuk masuk. Namun karena pengunjung apartemen yang lain yang juga telah menunggu, membuat tubuhnya terdorong ke dalam lift. Anne juga sama. Ia mana kuat menahan dorongan dari belakangnya?
Hamas menghela nafas. Sungguh ganjil. Karena mereka bahkan tak saling menatap. Anna sibuk menoleh ke kanan dan Hamas melihat ke kiri.
Hamas diam. Ia mencoba menenangkan diri. Ya setidaknya ia tak boleh berlarut-larut marah seperti ini. Begitu lift tiba di lantai di mana apartemen Jihan dan Hamas berada, Anne langsung keluar terlebih dulu. Hamas melihatnya. Ia juga merasa kalau Anne marah tapi menurutnya, ia lah yang lebih berhak marah. Marah untuk apa?
Hamas berjalan santai. Lelaki itu tak berhenti mengoceh, Yeah tentu saja memarahi Anne. Ya rasanya terdenagr terlalu kasar kalau berbicara seperti itu. Ia tak bermaksud untuk mengomel tapi hanya ingin mengingatkan saja. Lalu ia berjalan mendahului Anne.
Sesungguhnya, ketika ia berjalan mendahului Anne, matanya sempat melirik ke arah gadis itu. Namun ia tak bisa menangkap wajah marah milik Anne. Yang ia dengar kalau gadis itu mendengus. Itu juga samar-samar. Lalu Hamas tak tahu lagi begitu sudah membuka pintu apartemennya.
Lelaki itu masih bersandar di pintu begitu masuk ke dalam apartemennya. Lalu ia membalik badan dan mencoba untuk mengintip dari balik pintu. Telinganya seolah melebar. Dari pintu yang tak benar-benar tertutup rapat itu, ia bisa melihat Anne tampak sibuk mencari sesuatu Hingga tak lama, pintu apartemen sebelahnya itu terbuka dan ia malah ingin keluar tapi langkahnya terhenti begitu saja. Ia sempat berpikir apa yang mungkin bisa ia lakukan? Setidaknya untuk menghibur hatinya yang tak terasa nyaman karena terlanjur bersikap seperti tadi pada Anne. Sungguh, ia tak bermaksud. Akhirnya ia mundur saja dan hendak menutup pintu ketika akhirnya ia mendengar suara gadis itu berteriak.
Spontan ia berlari dan menyelonong masuk begitu saja ke apartemen sebelah. Takut terjadi sesuatu pada Anne. Namun yang ia dapati hanya lah Anne yang terduduk di lantai sambil memeluk kedua kakinya. Tubuh gadis itu tampak bergetar dan kepalanya menunduk. Tampak ketakutan. Hamas justru mengerjab-erjab. Ia memerhatikan sekitar mereka tapi tak ada satu pun yang perlu ditakutkan. Lantas gadis itu kenapa?
"Ann, kenapa?"
Ia mencoba mendekat tapi Anne malah menangis tersedu-sedu. Hamas masih bingung hingga tangan Anne yang gemetar itu menunjuk kucing berbulu putih nan lebat yang sedang memameri pantatnya. Itu kucingnya Jihan. Jago karate. Gak deng!
Kucing itu tak melakukan hal-hal yang menyeramkan, bahkan hanya berdiri di atas sofa. Kemudian berguling-guling dan berbaring pasrah. Hamas menggaruk tengkuknya. Apa yang salah?
Akhirnya ia mengambil kucing itu lalu mendekatkannya pada Anne. Tapi begitu ia bawa mendekat, Anne justru berteriak histeris. Hamas tersadar.
@@@