20 : Tantangan Mahabala

2285 Kata
Beberapa minggu setelah insiden tercemarnya racun pada sumur sumber mata air. Narayana di pagi yang tenang ini, Hara terlihat sedang berlarian mencari saudara-saudanya. "Kak Hansa, Haridra, aku mendapatkan kabar baik," ucap Hara dari kejauhan sembari berlari menghampiri kakak dan adiknya. Pada saat itu, Hansa sedang duduk santai menikmati teh berdua dengan Haridra di taman pribadi miliknya. "Bukankah aku pernah bilang, untuk tidak berlarian di dalam istana," omel Hansa pada Hara setibanya ia di hadapannya. Hara yang tak mau mendengar omelan kakaknya itu mengubah topik pembicaraan dengan segera. "Aku mempunyai kabar baik," cakap Hara yang sulit bicara karena kehabisan napas. "Kabar apa itu, sampai membuatmu berlarian seperti anak kecil, Kak?" Tanya Haridra penasaran. "Aku dengar dari prajurit yang berpatroli fajar tadi, bahwa bibi Astri telah melahirkan," jawab Hara, terlihat senyum kebahagiaan terpancar pada wajahnya. Walau Astri hanyalah warga biasa tapi Hara turut senang dengan kelahiran anak pertamanya itu. "Bibi Astri? Istri dari paman Dashan penjual makanan itu?" Haridra memastikan. "Iya, aku berencana mengajak kalian berdua untuk menjenguk bibi Astri dan anaknya. Apakah kalian sibuk hari ini?" Ajak Hara pada saudaranya. Hansa dan Haridra diam sejenak untuk mengingat kembali jadwal hari ini. "Aku tidak memiliki jadwal apa pun hari ini, bagaimana denganmu Haridra?" Hansa juga turut senang dengan adanya berita baik ini. "Aku juga tidak ada latihan pagi ini, ayo kita segera pergi ke rumahnya." Haridra akan pergi berlatih pada siang harinya namun ia luang di pagi ini. Hansa dan Haridra mengiyakan ajakan dari Hara, mereka berencana untuk segera pergi ke kediaman Astri pagi ini juga. Setelah berpamitan oleh Daneswari dan telah diberi ijin, mereka bertiga segera menuju ke kediaman Dashan, mereka juga membeli sesuatu di pasar untuk diberikan pada Astri dan Dashan sebagai hadiah atas kelahiran putra pertama mereka. Sesampainya di sana, Dashan terkejut atas kehadiran anak-anak Daneswari, namun kedatangan mereka disambut dengan hangat oleh Dashan, ia menyuruh mereka untuk masuk kedalam rumahnya. Ketiganya pun masuk, di dalam gubuk itu tampak Astri sedang berbaring di kasurnya dengan menggendong seorang bayi. Melihat kedatangan mereka bertiga, Astri segera beruhasa untuk bangun menyambut mereka, tapi hal itu segera dihentikan oleh Hara. "Tetaplah berbaring Bibi, tak perlu memaksakan diri," sembari membaringkan Astri. "Apakah Bibi sudah merasa baikkan?" Sambung Haridra dengan lembut agar sang bayi tidak terbangun. "Keadaan saya baik-baik saja Pangeran, walau saya harus istirahat lebih lama pasca melahirkan." "Syukurlah Bibi baik-baik saja dan dapat melahirkan seorang bayi yang sehat," sahut Hansa memberi selamat sembari mengelus kepala sang bayi. "Ini semua berkat doa dari Pangeran, istri saya dapat melahirkan seorang anak yang sehat, terima kasih atas semua doa-doa yang pengeran panjatkan waktu itu." Dashan merunduk berterima kasih. "Benar apa yang dikatakan suami saya, itu semua berkat doa pangeran dan putri." Astri menambahi. "Bolehkah saya tahu nama dari anak kalian?" Haridra berceletuk, ia amat penasaran tentang nama dari bayi laki-laki itu. "Sebenarnya saya masih belum memutuskan nama untuk anak saya." Rupanya Dashan masih belum memutuskan nama untuk anak pertamanya. "Maukah Pangeran dan putri menamai anak pertama saya ini? Saya dan suami saya akan sangat senang dan merasa terhormat jika Anda berkenan," tambah Astri. Di Narayana terdapat sebuah cerita turun temurun yang diyakini oleh masyarakat setempat, jika anak yang baru lahir diberikan nama oleh seseorang yang memiliki kemampuan hebat, maka kelak anak itu juga akan manjadi anak yang hebat juga, baik itu dalam hal ilmu beladiri atau pun kecerdasan. Hal itulah yang menjadikan Dashan dan Astri ingin anak mereka dinamai oleh ketiga saudara itu, agar kelak dapat menjadi anak yang hebat dan cerdas. "Aku bersedia saja jika kalian tak keberatan untuk aku menamai putra pertama kalian." Hansa menyetujui keinginan pasangan suami istri itu, begitu pun dengan Hara dan Haridra. Mereka bertiga tampak berdiskusi lama untuk menentukan nama dari anak itu, nama adalah hal yang sakral maka dari itu tidak boleh memberi nama seorang anak sembarangan, mereka cukup lama dalam keheningan dan akhirnya Hansa mengakhiri keheningan itu dengan membuka suara. "Aku dan adik-adikku telah memutuskan nama dari anak kalian, Abbiyya Adiyaksa adalah nama yang kami berikan untuk putra kalain." Tampaknya Hansa dan adik-adiknya telah memutuskan dengan matang nama dari anak laki-laki itu. "Adapun dari Abbiyya sendiri memiliki arti berani, sedangkan Adiyaksa memiliki arti luhur. Aku berharap anak kalian akan menjadi seorang prajurit tangguh tak kenal takut dan memiliki hati yang luhur," tambah Haridra menjelaskan arti dan harapan dari nama yang mereka berikan. Setelahnya mereka bertiga mengelus kepala Adiyaksa bersama-sama sembari memanjatkan doa yang baik untuknya. Mereka juga tak lupa untuk memberikan bingkisan yang telah mereka beli di pasar tadi. "Ini mungkin tak banyak, tapi mohon diterima paman." cakap Haridra sembari memberikan sebuah bingkisan yang mereka bawa. "Ini lebih dari cukup pangeran, hanya dijenguk oleh pangeran saja sudah sesuatu berkah bagi saya dan istri saya." Dashan dan Astri yang tak kuat menahan air matanya itu menangis bahagia lantas tak hanya dijenguk oleh ketiga saudara itu, anak mereka juga diberi nama langsung oleh mereka. Itu merupakan suatu kebahagiaan tersendiri mengingat itu adalah hal yang mustahil didapatkan oleh sembarang orang. "Tak perlu menangis Bibi, usaplah air matamu, itu tak baik untuk seorang ibu yang telah memiliki anak, bisa-bisa Abbyya menertawaimu," canda Hara sembari menyodorkan sapu tangan. Astri pun mengambil sapu tangan pemberian Hara dan mengelap air matanya dengan kain itu. "Maaf, saya akan mencuci sapu tangan ini dan segera mengembalikannya." "Tak apa, simpan saja sapu tangan itu untuk mu." Tak lama berselang ketika Dashan dan Astri telah tenang, mereka bertiga pamit undur diri, karena Haridra akan memulai latihan rutinnya. Dashan mengantar kepergian mereka sampai depan pintu sedangkan Astri tetap berbaring di kasurnya, walau sebenarnya ia sangat ingin mengantar kepergian dari mereka. Haridra segera kembali ke istana guna memulai latihannya, sedangkan Hansa dan Hara masih ingin berkeliling untuk melihat kondisi pasar, tak lupa Hansa juga melihat kondisi sumur mata air secara berkala. Sementara itu di istana, Haridra yang telah sampai langsung memulai latihan rutin yang ia lakukan, ia melatih dirinya dengan berbagai macam senjata, baik itu pedang atau pun panah, semua ia kuasai. Ketika Haridra sedang asyik berlatih panah, tiba-tiba datang Mahabala dan Ankara di aula pelatihan, rupanya Mahabala juga ingin berlatih, namun keduluan oleh Haridra. Haridra yang mengetahui kedatangan Mahabala dan pamannya itu menyambut nya dengan lapang hati. "Apakah kau juga ingin berlatih di aula Mahabala? Kita bisa berbagi tempat untuk berlatih," sambut Haridra. "Aku tidak ingin berbagi aula denganmu," cetus Mahabala. Ankara yang melihat keponakannya kesal itu berusaha untuk menenangkannya. "Keponakanku tak apa berbagi aula, dengan begitu kau bisa berlatih sembari mempelajari ilmu dari Haridra," bisik Ankara, ia dengan liciknya ingin mencuri teknik-teknik yang sedang Haridra pelajari. "Aku tidak sudi paman." "Aku ingin mengajukan tantangan padamu, ayo kita latihan tanding dengan tombak sebagai senjatanya, jika aku menang kau akan meninggalkan aula ini untukku, begitu juga sebaliknya." Mahabala dengan sombongnya menantang Haridra. Mendengar hal itu sontak membuat Ankara semakin kaget, ia tak mengira keponakannya akan bertindak sejauh itu. "Apa yang kau lakukan keponakanku, tidak kah kau mengetahui kemampuan dari Haridra?" Tanya Ankara yang tak mengerti apa yang Mahabala pikirkan. "Tak apa, aku akan mengalahkannya dalam pertandingan tombak, karena itu adalah senjata andalanku." Mahabala sangat percaya diri sebab ia adalah pengguna tombak terbaik di Narayana, ia juga telah berlatih akhir-akhir ini bersama Gandana. Ankara yang tak bisa menghentikan keponakannya hanya berharap untuk kebaikan Mahabala, pasalnya Ankara mengetahui bahwa tak ada satu orang pun di Narayana yang bisa mengalahkan Haridra dalam duel satu lawan satu. "Baiklah aku menerima tantangan mu dan bagaimana cara menentukan jika kalah atau menangnya." "Jika salah satu diantara kita menyerah atau terjatuh, maka itu akan menjadi akhir dari pertandingan. Apa kau keberatan?" Tanya balik Mahabala. "Tidak sama sekali, aku setuju dengan usulanmu." Walau Haridra dirugikan karena senjata utamanya adalah pedang, dan tombak adalah senjata utama Mahabala, tapi ia tak merasa dicurangi ia malah menerima tantangan itu. Ia merasa latihan tanding ini dapat mengukur kemampuannya dalam menggunakan senjata tombak. Setelah keduanya menyetujui aturan-aturan yang telah disetujui, mereka bersiap untuk memulai latihan tanding dengan diwasiti oleh Pranaya. Kebetulan ia di sana sedang mengecek peralatan tempur prajuritnya kala itu. Pertarungan pun dimulai, serangan pertama diluncurkan Mahabala secara horizontal kearah wajah dari Haridra, namun Haridra dengan tenang bisa menghindarinya dengan teknik yang ia kuasai tanpa bergerak dari tempat sedikit pun. Pada awal-awal Mahabala tampak menguasai alur pertandingan sebab Haridra hanya menghindar dan tak balik menyerang. "Apakah cuma ini, kekuatan dari Haridra yang dianggap memiliki ilmu beladiri terbaik di Narayana," ejek Mahabala memprovokasi Haridra. Haridra tidak menanggapinya, ia hanya fokus dalam pertarungan. Ia selalu menghindar karena ia ingin berlatih mengindari serang lawan, tapi ia tak bisa melakukannya sendiri, dan Mahabala malah menantangnya itu suatu kebetulan yang menguntungkan untuk Haridra. Bisa saja Haridra menyelesaikan pertarungan itu dengan cepat, namun tujuan utamanya adalah untuk berlatih cara menghindar. Kesal karena ucapannya tidak digubris, Mahabala mengeluarkan jurus andalannya yakni , Tombak seribu tusukan. Jurus itu dapat membuat penggunanya menjadi semakin cepat dalam menusukkan tombak. Tapi ada imbalan yang harus dibayar, jurus ini sangat menguras tenaga dalam milik penggunanya dan jika penggunanya kehabisan tenaga dalam, mereka akan jatuh lemas tak berdaya karena itu adalah sumber kekuatan mereka. Jurus itu sama sekali tak membuat Haridra bergeming, ia sama sekali masih belum bergerak dari tempatnya. Lama kelamaan Mahabala yang selalu menyerang tanpa henti itu terlihat kelelahan dan membuka celah untuk Haridra menyerang. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Haridra yang sudah terlihat bosan itu segera mengakhiri pertarungan dengan satu serangan. Haridra mengayunkan tombaknya secara horizontal dan mengenai tangan kanan Mahabala, Mahabala yang merasa kesakitan dan lelah itu pun terjatuh tak berdaya. Melihat hal itu Pranaya segera menghentikan pertarungan. Sedangkan Ankara langsung berlari ke arah Mahabala. "Keponakanku apakah kau baik-baik saja." panik Ankara. "Aku tak apa paman, minggirlah aku akan membalasnya." Rupanya Mahabala tak ingin mengakui kekalahannya dan masih ingin melanjutkan pertarungan itu. Ia berusaha berdiri dan ingin melanjutkan pertarungan, tapi itu dihentikan oleh Rawindra yang tiba-tiba saja datang entah dari mana. "Aku telah menyaksikan pertarungan kalian, dan Haridra lah yang memenangkan pertarungan ini, namun aku juga bangga padamu, kau bisa melawan Haridra selama ini," puji Rawindra untuk Mahabala agar ia tak merasa sedih atas kekalahannya. Walau Mahabala dipuji langsung oleh ayahnya tapi ia masih tak puas, karena dirinya merasa terhina lantaran ia dikalahkan oleh Haridra tanpa harus bergeser tempat sedikit pun. Namun ia tak memperlihatkan ketidak puasannya dengan jelas. "Terima kasih Ayah, pujianmu terlalu berlebihan untukku," jawab Mahabala sembari berdiri dibantu oleh Ankara. "Juga untukmu Haridra aku juga bangga padamu, kau telah menunjukkan pertarungan yang hebat dan berkelas." Rupanya Rawindra telah berada di aula pelatihan dan menyaksikan pertarungan itu sedari awal. "Terima kasih atas pujianmu Ayah." Setelah itu Rawindra pergia dari aula yang disusul oleh Mahabala dan Ankara. Sebenarnya Mahabala masih ingin bertarung, tapi Ankara membujuknya agar berhenti sampai di sini. Tak ada hal baik jika masih meneruskan pertarungan ini, begitulah ujar Ankara. Sedangkan Pranaya yang masih berada di situ dimintai tolong oleh Haridra untuk menjadi lawan tanding selanjutnya. "Paman maukah kau mencoba bertanding denganku?" "Bukankah itu mustahil untuk saya Pangeran Haridra." "Tak apa, aku hanya akan berusaha menghindar dan paman bisa menyerangku dari sisi manapun." Setelah beberapa paksaan dari Haridra, Pranaya akhirnya menerimanya. Mereka bertanding Samapi sore hari dan Haridra menyudahi latihannya itu, tak lupa juga ia berterima kasih pada Pranaya, karena telah membantunya dalam berlatih dan menjadi wasit pada hari ini. Sementara itu Hansa dan Hara telah pulang dari mereka berkeliling. Setelah ketiga saudara itu mandi dan membersihkan diri, malam harinya mereka berkumpul di taman guna menikmati teh bersama sembari bercanda ria sebagai adik-kakak. "Ku dengar dari ayah, tadi kau mengalahkan Mahabala dan membuatnya terjatuh akibat luka dari tombakmu, apakah itu benar." Hara tampak antusias membahas masalah ini. "Iya itu benar ia menantang ku untuk bertanding tadi siang." "Andai saja aku tahu itu, aku pasti akan pulang terlebih dahulu dan menyaksikan wajah kesal dari Mahabala." Walau Hara terkenal dengan kebaikkannya, tetapi jika ia kesal pada seseorang maka ia sangat suka melihat orang itu kesusahan. Itulah Hara. "Tak baik menggunjinkan saudara kita sendiri," tegur Hansa. "Ohh ... Iya kak, kapan kita akan pergi ke perbatasan." Hara mengubah topik. "Aku berencana untuk pergi melihat kondisi pembangunan di perbatasan esok hari, apakah kalian mau ikut denganku?" Ajak Hansa. "Aku mau, sudah lama aku sangat ingin pergi ke perbatasan juga," sahut Haridra mengiyakan ajakan kakaknya Hansa. "Aku juga ikut," sambung Hara. Di malam yang dingin dan ditemani oleh hanggatnya teh membuat obrolan mereka menjadi nyaman, tak jarang juga sesekali Haridra menggoda kakanya Hara dengan membawa-bawa nama Laksmana. Seperti biasa Hara selalu mengancam Haridra dengan pukulannya jika ia merasa malu dengan candaan adiknya, sedangkan Hansa hanya tersenyum melihat tingkah adik-adiknya Sementara itu di kamar Mahabala tampak berantakan akibat dari amukannya sendiri, ia tak terima atas kekalahan pertandingan tadi siang, ia juga merasa terhina kan lantaran kalah dengan cara memalukan ditambah lagi Riwandra melihat pertarungan tadi. "Sudahkahku bilang untuk jangan menantang Haridra untuk saat ini, karena ilmumu belum setara dengannya." Ankara berusaha untuk menenangkan Mahabala. "Apakah paman berpikir bahwa aku lebih lemah darinya," bentak Mahabala, mendengar ucapan Ankara malah membuatnya merasa diremehkan dan semakin bertambah marah. "Tidak anakku, kau adalah seorang ksatria yang hebat, kau kalah hanya karena Haridra menggunakan cara yang licik," sahut Jyotika, ia tahu cara menenangkan putra semata wayangnya itu. "Benar juga ia pasti menggukan cara licik untuk mengalahkan ku," jawab Mahabala sembari meyakinkan perkataan ibunya itu. Tak ingin menerima kekalahannya begitu saja, ia mencoba membuat dirinya tenang dengan memfitnah Haridra menggunakan cara licik untuk menang. "Suatu hari aku akan membalasnya dengan tanganku sendiri, ketika nanti aku telah berhasil menaiki tahta, aku akan mengusirnya dengan hina dari Istana Narayana." Mahabala mencoba membayangkan sembari tertawa. "Tenang keponakanku, aku memiliki rencana," sahut Ankara sembari mengeluarkan senyum liciknya. "Apa itu paman?" Tanya Mahabala tampak antusias mendengar itu. "Aku dengar besok pagi Hansa dan saudara-saudaranya akan pergi ke perbatasan." Ankara menjelaskan rencananya pada Mahabala dan ia akan menyuruh Gandini dan Gandana untuk melaksanakan rencana jahatnya itu. Entah dari mana Ankara mendapatkan informasi secepat itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN