Pada tengah malam hari, setelah mendengar dari Ankara bahwa ketiga saudara itu hendak pergi ke perbatasan, Gandini dan Gandana menyusup ke kandang kuda guna menanamkan sihir hitam pada salah satu kuda yang akan ditunggangi mereka.
"Kali ini sihir apa yang kau berikan pada kuda itu, Kak?" Tanya Gandana dengan lirih.
"Aku baru saja mempelajari sihir hitam baru, sihir ini dapat membuat hewan bertingkah aneh dan malah dapat melukai seseorang."
"Itu sihir yang berguna jika kita menggunakannya dengan baik."
Setelah mereka berhasil menanamkan sihir hitam pada salah satu kuda, terdengar suara langkah kaki dari luar kandang, kemungkinan itu adalah prajurit yang berpatroli di malam hari. Tetapi nasib baik masih memihak mereka, Gandana dan Gandini berhasil melarikan diri dari pintu belakang.
Keesokan harinya Hansa tengah bersiap hendak pergi ke perbatasan, guna melihat jalannya pembangunan desa untuk para pengungsi di sana, pagi itu juga Haridra dan Hara berencana akan ikut bersama kakaknya.
Hansa yang sudah siap menunggu adik-adiknya di depan gerbang tampak ia memegang tali kuda yang akan ditungganginya untuk ke perbatasan. Tak mau membuat kakaknya menunggu lama, Haridra dan Hara pun segera datang.
Hara terlihat mengenakan celana panjang berwarna putih agar mempermudah ia menaiki kudanya, tak lupa juga ia membawa busur panah andalanya dengan beberapa anak panah, sedangkan Haridra mengenakan pakaian berwarna biru dengan jubah dibelakang punggungnya.
"Kami telah siap untuk pergi, Kak," ujar Hara.
"Apakah kalian telah meminta ijin pada ibu dan ayah untuk pergi denganku?" Tanya Hansa memastikan.
"Kami telah meminta ijin pada ayah dan diperbolehkan untuk ikut denganmu." Haridra menjawab.
"Baiklah, ayo segera berangkat."
Mereka bertiga segera menuju perbatasan dengan menggunakan kuda, awalnya perjalanan mereka baik-baik saja dan tidak ada masalah apa pun, namun di tengah perjalanan kuda yang ditumpangi Haridra mulai bersifat aneh, kuda miliknya tiba-tiba berlari kesana kemari tak terkendali, seolah kuda itu tak mau melanjutkan perjalanannya.
Kuda itu meronta-ronta dan akan menjatuhkan Haridra, beruntungnya Haridra meloncat dari kuda dengan segera dan ia tak terluka sama sekali, sedangkan kuda itu berlari menjauh.
"Kenapa kuda itu bertingkah sangat aneh?" Ucap Haridra kebingungan.
"Aku tak tahu, aku merawatnya dengan baik dan tak ada kejanggalan sampai tadi malam," jawab Hansa.
"Tak mungkin kuda istana yang telah diseleksi dengan baik tiba-tiba berlari tak terkendali seperti itu, pasti ada seseorang yang ingin mencelakai Haridra," sambung Hara.
"Benar juga apa yang kau katakan." Kali ini Hansa setuju dengan apa yang Hara katakan sebab dia sendirilah yang menyeleksi kuda-kuda itu.
"Sudahlah tak perlu membahasnya lagi."
"Naiklah ke kudaku, ayo kita berboncengan." Hansa menawarkan Haridra untuk membonceng pada kuda yang ia tunggangi, ia mengulurkan tangannya untuk membantu Haridra naik ke kudanya.
"Terima kasih Kak," jawab Haridra sembari meraih tangan kakaknya itu.
Setelah Haridra naik, mereka pun melupakan kejadian itu dan melanjutkan perjalanan menuju perbatasan.
Beberapa lama berselang mereka pun tiba di perbatasan, Ponda yang melihat kedatangan mereka segera menyambut kedatangan ketiga saudara itu, diikuti oleh para pengungsi yang juga turut menyambut kedatangan mereka.
"Selamat datang Pangeran, kami telah menanti kedatangan Anda," sambut Ponda.
Kepala desa juga di sana, ikut menyambut kedatangan anak-anak Daneswari, dan segera mempersilahkan mereka bertiga untuk singgah di bangunan yang telah dibangun kusus untuk menjamu tamu.
Kepala desa yang ditunjuk adalah seorang pria paruh baya, ia memiliki nama Birawa. Birawa sendiri adalah seorang pelopor yang mengajak semua pengungsi untuk meninggalkan Wilamangun.
"Terimah kasih paman, telah menyambut kedatangan kami." Hara dengan senang hati mererima sam utan itu.
"Tak apa Putri, itu sudah menjadi kewajiban saya untuk selalu menyambut kedatangan Anda sekalian, berkat bantuan dari Putra Mahkota Hansa dan Raja Rawindra jugalah bangunan ini dapat didirikan."
Mereka disuguhkan dengan makanan seadanya dan air, walau begitu itu lebih dari cukup untuk mereka. Setelah mereka memakan makanan yang disuguhkan Hansa langsung pada intinya.
"Kedatanganku kemari untuk melihat seberapa jauh pembangunan desa, laporkan sampai mana pembangunan desa ini padaku, Paman." Hansa langsung pada intinya.
Ponda yang bertanggung jawab atas pembangunan desa itu, mengajak Hansa untuk melihat-lihat desa sembari melaporkan semua jalannya pembangunan, ia juga melaporkan bahwa ada beberapa barang material yang kurang dan harus dibeli.
Sedangkan Haridra dan Hara hanya mengikuti mereka dari belakang sembari mendengarkan laporan dari Ponda.
Di saat Hansa menoleh ke samping kiri ia melihat masih ada seseorang yang mengangkut air dari sumber mata air yang agak jauh letaknya. Itu membuat ia penasaran tentang penggalian sumur yang telah ia rancanakan dengan Ponda beberapa minggu lalu.
"Bagaimana dengan sumurnya? apakah masih belum selesai?" Tanya Hansa.
"Penggalian sumur masih belum selesai Pangeran.”
Pembangunan desa untuk para pengungsi sudah hampir selesai, hanya membutuhkan beberapa hari saja. Tapi untuk pembangunan sumur masih terkendala sebeb tanah yang digali adalah bebatuan yang sangat keras.
"Bisakah aku melihat sumur itu." Haridra yang sedari tadi diam menyahut pembicaraan mereka.
"Ohh ... Tentu saja bisa Pangeran Haridra, mari saya antarkan." Ponda segera mengantarkan Haridra ke lokasi sumur yang akan dibuat."
Setelah diantar oleh Ponda Haridra memerhatikan sumur itu sembari memegang dagunya, ia sedang berpikir untuk mencari solusi dari sumur itu.
"Bisakah kekuatan yang baru kupelajari bisa untuk menembus bebatuan ini," gumam Haridra.
"Apakah itu bisa?" Hara yang mendengar gumaman adiknya melempar pertanyaan.
"Aku tidak yakin tetapi aku akan mencobanya."
Haridra berencana akan menggunakan kekuatan sihir yang masih ia kembangkan untuk mencoba memecahkan bebatuan yang keras.
Haridra bersiap berdiri di dekat sumur sembari merapalkan mantra sihirnya, tak berselang setelah ia selesai merapalkan sebuah mantra, muncul beberapa cahaya yang mengitari tangan kanannya.
Ia lantas mengayunkan tangan kanannya ke arah bebatuan sumur yang keras, hal itu membuat suara hantaman yang sangat keras beserta debu-debu berterbangan.
Dari balik debu yang berterbangan terlihat muncratan air dari dalam tanah. Semua orang yang melihat itu berdecak kagum dengan apa yang Haridra lakukan.
"Hidup Pangeran Haridra." Sorakan semua orang yang melihat kejadian itu.
"Apakah itu ilmu yang baru kau kembangkan?" Tanya Hara memastikan.
"Itu lebih seperti ilmu yang sudah kau pelajari bertahun-tahun." Hansa juga terkagum-kagum dengan apa yang ia lihat barusan.
"Terima kasih atas pujiannya kak, tapi itu memanglah ilmu yang baru ku pelajari beberapa hari yang lalu."
Haridra adalah seorang jenius dalam hal ilmu beladiri maupun sihir, ia dapat dengan mudah menguasai sihir hanya dalam beberapa hari saja tergantung dengan kesulitan dari sihir itu.
"Aku bangga padamu Haridra."
"Aku juga," tambah Hara.
Setelah Haridra menyelesaikan masalah sumur, akhirnya para warga tak harus pergi ke sumber mata air yang gak jauh letaknya lagi.
Mereka akhirnya meneruskan perjalanan mereka untuk melihat-lihat desa, mereka juga saling bercengkrama dengan para pengungsi, tak jarang juga melihat Hansa tertawa mendengar candaan dari salah seorang pengungsi, cukup lama mereka saling mengobrol dan tak terasa hari sudah mulai sore.
Haridra menyarankan kakaknya untuk segera pulang ke istana sebelum malam tiba.
"Kak, sore hari telah tiba, bukankah lebih baik pulang sekarang sebelum matahari terbenam," saran Haridra.
"Iya, jika kita pulang sekarang, mungkin akan tiba di istana sebelum malam," himbuh Hara.
Mendengar saran dari adik-adiknya Hansa pun mengiyakan dan berpamitan kepada Ponda dan para pengungsi, seolah tak ingin Hansa pergi, para pengungsi meminta agar Hansa cepat untuk datang kembali ke perbatasan.
"Datanglah kemari lagi Putra Mahkota Hansa, kami akan selalu menyambut kedatangan Anda kapanpun itu," kata Birawa.
"Jika Pangeran datang kembali ke sini, Pangeran mungkin sudah akan melihat rumah-rumah telah didirikan dan ladang siap untuk ditanami." Ponda menambahi.
Setelah berpamitan mereka bertiga pulang, mereka masing-masing menunggangi kuda, Haridra dipinjami kuda oleh Ponda setelah mendengar cerita darinya saat di tengah perjalanan menuju ke perbatasan.
Membutuhkan waktu sekitar dua jam lebih untuk sampai di istana dengan kecepatan sedang dan hanya butuh satu jam jika kuda dipacu untuk berlari dengan cepat. Sedangkan mereka hanya menunggangi kuda dengan kecepatan sedang karena tak ingin terlalu memaksakan kuda-kuda mereka.
Di tengah perjalanan mereka dikejutkan dengan adanya bangkai hewan tergeletak di tangah jalan.
"Apa itu? siapa yang menaruh bangkai hewan di tengah jalan seperti ini?" keluh Hara.
Mereka bertiga mendekati bangkai itu untuk meminggirkannya, tapi betapa terkejutnya mereka bahwa bangkai yang mereka temukan adalah bangkai kuda dari Haridra yang tadi ia tunggangi tadi.
"Bukankah ini adalah kuda yang tadi kau tunggangi tadi?" Tanya Hansa, karena ia tahu semua kuda yang ada di istana Narayana.
"Benar, ini adalah kuda yang kabur tadi."
"Bagaimana bisa kuda ini menjadi bangkai dalam kurun waktu beberapa jam saja?" Hara bertanya-tanya.
Haridra segera turun dari kudanya dan menghampiri bangkai kuda itu, ia menyentuh dan memeriksa bangkai itu.
"Kuda ini pasti sudah ditanamkan sihir hitam oleh seseorang."
"Kenapa kau bisa seyakin itu?" Hara tak mengerti dengan semua yang ia sedang alami.
"Aku yakin karena telah membaca beberapa buku tentang sihir hitam di perpustakaan dan luka aneh pada bagian perut kuda yang membusuk ini adalah salah satu tanda dari sihir hitam itu," jelas Haridra.
"Aku juga bisa merasakan sihir yang sama dengan yang ada di sumur sumber mata air." Hansa juga dapat merasakan sihir hitam yang sama dengan sumur mata air yang diracuni.
"Lebih baik kita membakar bangkai ini, jika hanya menguburkannya saja malah akan membuat tanah di sekitarnya menjadi tandus," ucap Haridra.
Dengan busur panah berelemen api milik Hara ia membakar bangkai kuda itu sampai menjadi abu.
"Pasti ada dalang di balik kejadian ini, baik itu racun yang ada di dalam cangkirku, pembunuhan Kumala ataupun sumur mata air, semuanya pasti saling berkaitan." Haridra mencoba menghubungkan semua kejadian-kejadian aneh yang mereka alami di istana.
"Untuk saat ini kita harus waspada, karena di istana terdapat seorang penyihir hitam yang sedang menyusup." Hara memperingatkan agar kedua saudaranya tetap waspada.
"Untuk sekarang kita harus kembali terlebih dahulu ke istana sebelum malam." usul Hansa.
Setelah memastikan bangkai dari kuda itu telah menjadi abu, mereka segera melanjutkan perjalanan mereka kembali ke istana. Tak perlu waktu lama mereka telah tiba, ketiganya kambali ke kamar mereka masing-masing dan berencana untuk mengadukan masalah ini pada Rawindra saat nanti makan malam.
Di saat Haridra baru saja selesai mandi dan bebersih badan, ada suara ketukan pintu terdengar, ia yang sedang merapikan rambut itu segera membukakan pintu.
"Maaf mengganggu Pangeran, saya diperintahkan oleh Raja Rawindra untuk memanggil Anda ke ruang makan segera karena perjamuan makanan sudah hampir dimulai," cakap prajurit yang diperintah Rawindra.
"Apakah kakak-kakakku telah berada di sana?"
"Iya Pangeran, hanya Pangeran saja yang belum datang."
"Baiklah aku akan segera kesana."
Segera setalah mendapat kabar dari prajurit, Haridra menuju ruang makan yang tak jauh letaknya dari kamarnya. Sesampainya ia di sana, semuanya telah hadir termasuk juga ibunya, hanya dia saja yang belum.
Terlihat juga Mahabala dengan muka kesalnya lantaran masih tak menerima kekalahan yang ia alami dari Haridra.
"Maaf Ayah aku terlambat." Maaf Haridra sembari menunduk.
"Tak apa, cepatlah duduk agar dapat kita mulai makan malam kita," ucap Daneswari sembari mempersiapkan tempat duduk putranya.
Haridra segera duduk di kursi yang telah disiapkan oleh ibunya.
"Lihat lah dia, berani sekali datang terlambat dalam acara makan malam," gumam Jyotika dengan lirih agar tak ada yang mendengar.
"Sekarang semua anggota keluarga kerajaan telah lengkap, mari kita mulai makan malam ini."
Mereka semua mulai makan dengan halap, tampak di meja makan terdapat segala hidangan dari daging sampai sayuran, semua terlihat nikmat.
"Sudah sampai mana proses pambangunan desa untuk para pengungsi?" Rawindra membuka pertanyaan pada Hansa.
"Pembangunan desa sudah hampir selesai, mungkin beberapa hari lagi Paman Ponda akan kembali ke istana."
Tak lupa Hansa juga menyampaikan pada Rawindra tentang kurangnya bahan bangunan untuk membangun desa. Untuk masalah itu Rawindra akan segera mengutus seseorang untuk mengirimkan bahan material yang kurang ke perbatasan dengan segera.
Di tengah obrolan Hansa dan Rawindra, Haridra membuka suara, ia mengadukan masalah tantang apa yang ia alami sore hari tadi.
"Ayah aku mau melaporkan suatu hal padamu."
"Apa itu?"
Haridra menceritakan semua yang ia alami dari perjalanannya ke perbatasan samapai ia pulang ke istana.
"Apakah kau yakin itu adalah ulah dari penyihir?"
"Iya Ayah."
"Jika kau seyakin itu, berarti itu memang perbuatan dari seseorang penyihir hitam." Rawindra mempercayainya karena kemampuan Haridra tidaklah main-main.
"Aku akan menyelidiki masalah ini dengan Pranaya nanti," tambah Rawindra.
Mendengar hal itu membuat Jyotika dan Mahabala saling melirik satu sama lain, mereka panik karena jika Gandini dan Gandana tertangkap dan diketahui mereka adalah komplotannya maka mereka akan dalam bahaya.
Di saat saudara-saudaranya yang lain sedang mengobrol, Hara malah memperhatikan gerak gerik Jyotika dan Mahabala. Ia melihat tingkah aneh dari mereka.
"Apakah kau baik-baik saja Mahabala, kenapa kau tampak berkeringat sebanyak itu."
Mendengar ucapan hara membuat semua mata tertuju pada Mahabala.
"Ti-tidak, aku baik-baik saja aku hanya merasa gerah," jawab Mahabala dengan gagap.
"Iya di sini sangat panas." Tambah Jyotika menutupi kegagapan anaknya.
Hara yang masih curiga itu, hanya diam dan terus memperhatikan gerak gerik dari ibu dan anak itu sampai acara makan malam berakhir.