Trauma

1160 Kata
"Sejak kapan Papa jadi lihai membohongi Mama?" tanya Rianti dengan setengah cemberut. Rianti tidak menyangka jika Andri mengajaknya untuk pergi ke rumah orang tua Hanie yang notabene adalah mantan besan mereka. "Papa hanya ingin kita melamar Hanie secepat mungkin," jawab Andre dengan santai. "Tapi tidak dengan cara membohongi Mama seperti ini. Sepertinya Papa sudah mulai pikun jika Vidya sedang mengandung cucu kita," sahut Rianti dengan geram. "Sudah Papa katakan jangan mengungkit p*****r kecil itu lagi, Papa tidak setuju jika Yudis harus menikah dengan gadis rendahan seperti dia," timpal Andri dengan sinis. "Papaaa!" bentakan Rianti membuat Andri terdiam. "Sungguh keterlaluan sekali Papa bicara, apa Papa tidak ingat jika kita memiliki dua anak perempuan. Bagaimana perasaan Papa jika ada yang menghina mereka seperti yang Papa lakukan terhadap Vidya." Rianti menyemburkan kemarahannya kepada sang suami. "Nyatanya semua itu tidak akan terjadi, karena mereka sudah menikah dan memiliki anak," ucap Andri. "Mending Mama balik saja sekarang daripada harus berpura-pura baik di hadapan orang tua Hanie," timpal Rianti dengan nada tidak kalah sinisnya dengan sang suami. "Mama mau mempermalukan Papa di depan keluarga Hanie?" tanya Andri dengan nada sengit. "Justru Mama enggak mau mempermalukan Papa lebih lanjut lagi. Yudistira mempunyai tanggung jawab kepada Vidya dan suka enggak suka Papa harus menerima gadis itu sebagai menantu kita," ucap Rianti dengan nada datar. ''Ckckck, p*****r kecil itu rupanya sudah mempengaruhi Mama sampai-sampai tidak mau mendengarkan perkataan suaminya," desis Andri yang semakin murka. "Cukup pembicaraan kita sampai di sini, Pa. Mama akan menelepon Sueb untuk menjemput Mama, silakan Papa hadapi saja kedua orang tua Hanie sendirian." Rianti yang tidak ingin banyak berdebat dengan sang suami langsung keluar dari mobil Andri dan menelepon supirnya untuk menuju ke kantor. Meskipun sudah memasuki usia senja Rianti tidak ingin bermalas-malasan di rumah dan memilih membuka beberapa cabang usaha. Mulai dari perawatan kulit, kecantikan sampai kesehatan. Yang lebih menyenangkan bagi Rianti adalah dia tidak perlu berkantor setiap hari cukup 5 kali dalam sebulan atau saat dirinya memang benar-benar dibutuhkan. "Kita ke ke kantor dulu sebentar baru setelah itu ke rumah sakit," perintah Rianti saat wanita itu masuk ke dalam mobil Alphard putihnya. *** Sementara itu Andri yang sudah berjanji bertemu dengan kedua orang tua Hanie hanya dapat menahan kekesalan karena sang istri sudah tidak bisa lagi diajak berkomunikasi. Padahal sejak awal Rianti setuju jika adik dari mendiang istri sang putra yang akan menjadi menantu mereka. Tapi ternyata Rianti berubah pikiran saat mengetahui kehamilan Vidya. "Dasar p*****r kecil itu! Dia sudah merusak rencanaku," gumam Andri sambil mengepalkan kedua tangannya. "Pak Andri, kenapa melamun saja di depan pintu. Mari masuk, Pak." Panggilan itu membuat Andri tersadar jika dia sudah berada di depan pintu rumah keluarga Hanie. Rumah yang sama saat dirinya melamar Hanna untuk Yudistira, meskipun hanya bertahan sampai 3 tahun karena keduanya dipisahkan oleh kematian. "Maafkan jika saya melamun, Pak Hariman. Pekerjaan yang belum selesai ini mengganggu otak saya rupanya," ucapkan mencoba berkelakar. "Kalau begitu Pak Andri bisa istirahat di kamar tamu dulu sebentar, baru setelah itu kita bicara lebih santai." tawar Hariman berbasa-basi. "Tidak perlu repot-repot Pak Hariman, saya datang kemari hanya untuk bersilaturahmi saja agar ikatan kekeluargaan kita tidak putus begitu saja," ucap ayah Hanna. "Pak Andri rupanya suka yang to the point, kalau begitu lebih baik kita tentukan tanggal pernikahan keduanya.Kita segerakan pernikahan Yudistira dan Hanie mengingat usia mereka yang sudah tidak muda lagi," celotehan dari Erina, ibu Hanie yang terlontar tiba-tiba membuat Andri menjadi serba salah. "Kalau untuk pernikahan saya minta maaf yang sebesar-besarnya, sepertinya Yudistira belum berminat untuk menjalin sebuah hubungan," ucap Andri dengan nada menyesal. "Apakah p*****r kecil itu yang membuat Mas Yudis tidak ingin menikah denganku?" tanya Hanie dengan nada ketidaksukaan yang kentara. "Kalau memang dia yang melakukannya, maka aku tidak akan diam saja. Paling tidak p*****r kecil itu harus tahu di mana posisinya berada," sambung Hanie dengan nada penuh kebencian. "Siapa p*****r kecil yang kamu maksud, Han?" tanya Erina yang tidak dapat menyembunyikan rasa penasarannya. Akhirnya dengan terpaksa Andri dan Hanie menceritakan mengenai Vidya yang sedang hamil dan mengaku jika itu anak Yudistira. Hariman dan Erina menanggapinya dengan mengeluarkan berbagai macam ekspresi. "Kalau begitu kamu harus lebih menggoda Yudistira, jangan mau kalah dengan anak kecil yang sedang hamil itu," ucap Erina dengan berapi-api. ''Kalau itu Mama tenang saja, aku sudah memiliki rencana bagus. Aku akan pastikan jika p*****r kecil itu menangis darah dan menyesal karena sudah dilahirkan ke dunia ini," timpal Hanie dengan pancaran mata sinis. Dalam hati Andri bersyukur jika Hanie ternyata bukan wanita yang mudah menyerah. Setidaknya kekuatan wanita yang sedang dibutakan oleh cinta itu sangat mengerikan. Andri sempat merasakan dan melihat beberapa wanita yang bertindak gila untuk mendapatkan pria yang menjadi incarannya. *** Yudistira tidak dapat berbuat apa-apa saat satu petugas medis menawarkannya untuk beristirahat. Tempat tidur tambahan yang disiapkan pihak rumah sakit juga seakan memanggil Yudistira untuk berbaring. Vidya sudah dalam keadaan stabil setelah mendapatkan transfusi sebanyak 3 kantung darah. "Bapak tidur saja, saya akan menjaga Ibu," ucap salah seorang suster dengan ramah. Meskipun keadaan sedang ramai, selalu ada prioritas bagi pasien VIP, bukan? "Yang wanita sangat cantik sementara prianya tampan, pasti anak mereka akan memiliki wajah yang sempurna. Tapi sayangnya kenapa pada stress semua? Apa jadi orang kaya itu enggak enak," gumam sang suster pelan karena takut membangunkan sepasang calon orang tua itu. Sang suster hanya dapat meringis saat melihat perban yang membalut pergelangan tangan kiri Vidya. Percobaan bunuh diri jelas harus mendapatkan penanganan yang tepat, salah bertindak akan membuat pelaku self harrasemt akan berbuat nekad. "Semoga saja aku dan salah satu keluargaku tidak akan mengambil keputusan bodoh seperti ini," ucap sang suster kembali dengan pelan. "Papaaaaa, kenapa Papa tinggalin Vidya? Papa enggak tahu apa kalau Vidya menyesal sekali, seharusnya Vidya tidak perlu pergi ke pesta itu." Suara racauan Vidya yang masih tertidur membuat suster terdiam. Wanita itu mengamati Vidya yang menangis lirih dan terkesiap karena suara itu seakan menembus ke jantungnya. Suara yang sarat akan penyesalan dan rasa bersalah. Sedetik kemudian, suster itu seperti tersadar akan sesuatu dan mengambil sebuah buku kecil serta mencatat racauan yang keluar dari bibir Vidya. "Siapa tahu ini akan membantu dokter Yohana dalam mengatasi depresi ibu ini," ucap sang suster. Tak jauh berbeda dengan yang dirasakan oleh Vidya, dalam tidurnya Yudistira mengalami mimpi mengenai Hanna. Bayangan mendiang sang istri yang sudah meninggalkan kurang lebih 3 tahun lalu. Wajah kesakitan Hanna yang menjauh perlahan mendekati, seolah memberi tahu Yudistira jika dia tidak kuat menanggungnya. Saat Yudistira mencoba menggenggam tangan Hanna, tangan itu berubah menjadi dingin yang disusul oleh jeritan Hanna yang terdidik. Darah keluar dengan deras dari jalan lahir bayi mereka. Tak kuat melihat itu semua membuat Yudistira memejamkan mata lalu berteriak. "Hanna! Jangan tinggalkan aku, bertahanlah!" Guncangan hebat tak lama Yudistira rasakan, memaksanya untuk membuka mata. Dadanya terasa sesak, peluh bercucuran dan membasahi baju Yudistira. Masih memproses apa yang terjadi lagi-lagi dia dikejutkan oleh suara Vidya yang menangis histeris. ''Aku benci, Om. Kenapa Om menghamili aku jika enggak bisa melupakan istri Om yang sudah meninggal itu. Lebih baik aku pergi ke tempat Papa aja!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN