"Ya Tuhan, Vidya!"
Baik Yudistira maupun Rianti hanya dapat mematung saat menemukan Vidya yang sedang menyayat pergelangan tangan kirinya dengan cutter. Darah bahkan sudah mengalir deras dan membasahi benda kecil tajam itu.
"Papaaaa! Tolong Vidya, Vidya enggak mau ditinggal sendirian. Vidya mau ikut Papa aja!" jerit Vidya yang masih berusaha menggores nadinya dengan cutter.
Yudistira yang tersadar langsung menepis tangan Vidya dan membuat cutter itu terpental jauh.
"Vidya, apa yang kamu pikirkan sampai harus mengambil keputusan konyol seperti ini? Vidya, maafkan Om," ucap Yudistira dengan raut wajah menyesal.
Wajah Vidya semakin memucat mengembalikan kesadaran Yudistira, dia harus tenang agar dapat berpikir dengan kepala dingin. Saat menoleh ke arah Rianti, sang ibu hanya termangu dengan air mata yang mulai menetes.
"Mama! Cepat bantu aku menolong Vidya!" Teriak Yudistira dengan suara menggelegar dan menarik kesadaran Rianti.
"Vidya, kenapa kamu melakukan ini, Sayang?" tanya Rianti dengan tangan bergetar, dia tak sanggup melihat keadaan Vidya yang saat ini menggenaskan.
Vidya tidak menjawab dan hanya menangis tersedu-sedu. Pikirannya terus menerus membisikkan jika lebih baik dia meninggalkan dunia ini untuk bertemu dengan kedua orangtuanya daripada harus menghadapi kejamnya dunia.
Rasa bersalahnya kepada Steven amat dalam dan membuat d**a Vidya terasa sesak. Tadi saat terbangun dan melihat cutter yang tergeletak di meja nakas membuat sesuatu di dalam hati Vidya berbisik untuk mengambilnya.
"Coba gores tanganmu dengan kuat jika kamu ingin berjumpa dengan kedua orang tuamu." Bisikkan yang awalnya pelan namun perlahan semakin kuat terdengar di dalam benak Vidya.
Ragu-ragu Vidya mengambil cutter itu, dia masih menimbang-nimbang apakah perbuatannya ini tepat atau tidak. Hingga akhirnya sekilas bayangan Steven yang terkapar di lantai saat mengetahui kehamilannya membuat Vidya gelap mata dan berteriak memanggil Steven untuk menjemputnya.
Namun sayangnya harapan itu tidak terwujud saat Yudistira datang dan menariknya keluar dari kegelapan. Pria itu terus memeluk Vidya sementara Rianti berusaha agar pendarahan gadis itu cepat berhenti dengan menekan tangan Vidya.
"Lebih baik kita ke rumah sakit, Yudis." titah Rianti saat dirasa keadaan sudah lebih kondusif.
"Aku akan gendong Vidya, Mama bisa buka mobil aku 'kan?" ucap Yudistira sambil menyerahkan kunci mobilnya.
***
Suasana yang masih pagi tentu saja mengundang rasa penasaran para penghuni apartemen saat melihat seorang pria matang yang sedang menggendong seorang gadis belia. Yang lebih memancing perhatian adalah tangan kiri sang gadis ternyata terbalut oleh sapu tangan berlumuran noda darah.
Kasak kusuk pun terdengar jelas di telinga Rianti dan Yudistira, banyak spekulasi gila yang sebagian besar benar adanya.
Seorang gadis ABG yang mencoba bunuh diri karena ditinggal pacar saat hamil.
Ingin rasanya Yudistira memaki semua orang dan mengatakan jika dia ayah dari janin yang sedang di kandung Vidya, tapi Rianti melarang keras. Untuk apa meladeni mulut usil yang membuat mereka terlambat ke rumah sakit. Vidya sudah kehilangan kesadarannya dan itu akan berbahaya untuk dirinya dan janin.
***
Rianti harus pulang karena Andri meneleponnya, sang suami ingin pergi ke pameran lukisan sore ini. Mau menolak tidak dapat dia lakukan, sama saja dengan sengaja menciptakan rumor jika dirinya dan Andri bercerai. The power of netizen dan oknum wartawan sungguh mengerikan. Banyak teman-teman sosialitanya yang mengalami hal serupa.
Maka dari itu Rianti tidak dapat membantu Yudistira menghadapi tampang masam dari dokter yang merawat Vidya. Sang dokter kandungan kebetulan sedang berada di ruangan IGD. Tanpa perlu dikatakan, dia tahu jika dokter kandungan itu kesal jika sang pasien kembali dalam keadaan yang lebih parah dari sebelumnya. Hanya senyuman bodoh yang dapat dilakukan oleh Yudistira saat ini.
Percobaan bunuh diri jelas sudah mengarah kepada isu kesehatan mental dan Vidya membutuhkan bantuan psikiater untuk menyembuhkannya. Dokter kandungan tak berani menambah dosis penenang, sangat berbahaya untuk janin di dalam kandungan calon ibu muda itu.
"Saya sarankan untuk membuat janji dengan psikiater secepatnya. Jika tidak ditangani maka kedepannya akan lebih berbahaya lagi," ucap sang dokter dengan nada datar, dia berusaha menahan amarahnya.
"Lagaknya ingin menjaga sang istri di rumah. Tapi kenyataannya malah calon ibu itu semakin stress dan berniat untuk bunuh diri," cerca sang dokter dalam hati.
"Bagaimana dengan kondisi isteri dan anak kami, Dok?" tanya Yudistira yang merasa canggung saat mendapati tatapan tak bersahabat dari sang dokter.
"Kondisi keduanya sudah stabil, untung saja di rumah sakit tersedia golongan darah AB jadi kami bisa melakukan transfusi darah. Hanya saja kandungan ibu Vidya semakin lemah, Pak."
Yudistira terkesiap saat mendengarnya, ingatannya terlempar saat mendiang istrinya mengalami hal serupa. Kandungan Hanna itu lemah dan dokter menyarankan agar janinnya dibuang untuk mempertahankan hidupnya. Tapi sekali lagi ibu mana yang rela jika anaknya disakiti, bahkan selagi masih berbentuk embrio sekalipun.
Hanna menolak keputusan untuk abortus dan memilih mempertahankan kehamilan. Para dokter pun akhirnya menyerah saat Yudistira juga mendukung keputusan sang istri. Tindakan yang menimbulkan penyesalan mendalam bagi Yudistira, serta ikut terkubur bersama dengan raga Hanna.
Kaki Hanna membengkak saat memasuki usia kehamilan 7 bulan, semakin dekat dengan hari persalinan semakin cemas lah para dokter yang merawat Hanna. Mereka sudah dapat menebak ujung dari kisah ini, tapi tidak dengan Yudistira, dia masih berpegang dengan keyakinan jika semua akan baik-baik saja jika melakukan persalinan secara operasi. Hanna tidak perlu menunggu hingga air ketubannya pecah ataupun mengedan, semua akan teratasi dengan mengeluarkan anak mereka lebih awal dari waktu persalinan normal.
"Pak, apakah Bapak mendengar saya?"
Demi Tuhan, Yudistira tidak menyangka jika kenangan buruk itulah yang menghampiri dirinya saat ini. Yang terburuk adalah seketika dadanya terasa sesak dan napasnya pun tersengal. Dokter wanita itu pun hanya dapat terdiam, dari tanda-tanda yang ditunjukkan oleh Yudistira sang dokter mencurigai jika pria itu juga terkena depresi.
"Ya Tuhan, bagaimana ini? Padahal aku berharap suaminya ini akan menjadi support system Ibu Vidya untuk mengatasi depresinya. Tapi ternyata Bapak ini juga terkena depresi. Sungguh lucu sekali Tuhan kali ini Engkau memberikan aku pasien." Lagi-lagi sang dokter hanya dapat bergumam di dalam hati.
"Apakah Bapak mendengar suara saya?" tanya sang dokter dengan suara meninggi dia tidak peduli jika harus mengundang perhatian di ruangan IGD ini.
"Maafkan saya, entah mengapa tiba-tiba saja melamun. Tadi apa yang mau dokter tanyakan, atau tulis aja apa yang dokter butuhkan nanti saya akan mengusahakannya," jawab Yudistira dengan senyuman tidak enak.
Makin terkejut lah dokter ini, tidak menyangka jika ada seorang suami yang tidak mengetahui kebutuhan dari istrinya, satu barang pun tidak ada!
"Tolong Dokter catat saja, saya benar-benar tidak tahu harus apa sekarang," ucap Yudistira dengan rasa sesal.
"Sepertinya Bapak juga butuh istirahat atau sekalian Bapak juga mau dirawat?" tawar sang dokter.
"Saya tidak sakit, Dok. Untuk apa dirawat?" tanya Yudistira dengan wajah bingung.
"Mentalmu yang sakit!" gerutu sang dokter dalam hati.
"Kalau begitu Bapak harus istirahat, saya permisi dulu karena masih harus visit beberapa pasien lagi," ucap sang dokter yang tidak ingin berlama-lama berbicara dengan Yudistira.
"Keluarga Vidya Adiatmo. Ibu sudah bisa dipindahkan ke ruangan inap. Kami juga akan menyediakan ranjang tambahan untuk Bapak beristirahat."
Yudistira hanya meringis saat mendengarnya. Apakah raut wajahnya sangat nampak jika dia sedang kelelahan?