Yudistira yang masih belum mengerti apa yang terjadi dengan Vidya hanya dapat memandang heran gadis yang berdiri di samping ranjangnya. Air mata Vidya mengalir dengan deras.
Sementara sang suster lebih memilih keluar dari ruangan untuk memanggil dokter spesialis kejiwaan. Kedua orang yang terjebak dalam trauma masa lalu tidak baik jika dibiarkan terlalu lama dalam satu ruangan.
"Vidya, kamu jangan bicara seperti itu lagi. Apa kamu tidak tahu betapa paniknya Om tadi saat melihat kamu menyakiti diri sendiri?" ucap Yudistira dengan nada tidak senang.
"Kalau Om panik saat melihatku menyakiti diri, kenapa Om masih saja memikirkan wanita yang sudah tiada itu? Apakah aku masih harus kalah dengan Tante Hanna?"
Vidya yang masih kesal tentu saja menyemburkan amarahnya. Dadanya mengembang kempis sesaat setelah selesai berkata.
"Vidya, jangan mengada-ada kamu. Mana mungkin Om memilih istri hanya karena teringat akan Hanna. Itu sama artinya Om mengharapkan Hanna hidup kembali," jelas Yudistira.
"Tapi kenyataannya Om berteriak memanggil Tante Hanna dalam mimpi dan sudah dua kali Om memanggil Tante Hanna!" timpal Vidya dengan emosi.
Yudistira terdiam, tidak mungkin dia menceritakan mengenai mimpi mengerikan itu. Mimpi yang membangkitkan kenangan buruk mengenai kematian Hanie dan juga Kaila, ibu dari Vidya juga mengalami pendarahan hebat saat mengandung anak keduanya.
"Kenapa Om hanya diam saja? Enggak bisa jawab 'kan?" tanya Vidya dengan nada menyindir.
"Vidya ... Bukan begitu, Om ... Ah, pokoknya fokus Om sekarang itu kamu dan anak kita," jawaban Yudistira yang terputus-putus membuat Vidya semakin berang hingga membuat perutnya merasakan kram hebat.
Hal itu tentu saja membuat Yudistira panik, dengan cepat pria itu menghampiri Vidya dan bertanya kepada gadis yang sedang memegangi perutnya itu," Vidya, jangan marah lagi. Om harus apa supaya kamu enggak ngomel-ngomel lagi?"
Tak lama kemudian suster yang tadi menjaga Vidya masuk dengan beberapa bala bantuan. Semuanya terlihat tegang saat melihat Vidya yang kembali merasa kesakitan. Yudistira kali ini melihat secara langsung bagaimana para petugas medis itu menangani Vidya. Tapi itu tak serta merta menghilangkan rasa cemas yang ada di dalam hatinya.
"Pak, sebaiknya Bapak juga butuh dirawat, wajah Bapak sangat pucat.'' Suara laki-laki yang agak berat menghentak kesadarannya.
''Tapi saya tidak sakit, Dok. Untuk apa saya juga ikutan dirawat?" Protesnya yang merasa jika dugaan dokter adalah asumsi belaka.
"Pak, tolonglah menurut. Istri Bapak membutuhkan kehadiran Bapak. Jangan sampai Ibu kehilangan sandaran karena Bapak ikut runtuh," ucapan yang sangat keras itu membuat Yudistira terdiam.
Memang benar yang dikatakan oleh salah satu dokter itu, jika dia membutuhkan perawatan dari dokter. Mimpi buruk itu jelas akan terus menghantuinya dan membuat Yudistira uring-uringan.
"Baiklah, Dok. Tapi biarkan saya menelepon ibu saya untuk mengurus kami berdua disini," putus Yudistira akhirnya.
***
"Jadi anak dan menantu saya sakit apa, Dok?" tanya Rianti saat dia baru saja masuk ke ruang perawatan Vidya dan Yudistira yang dijadikan satu tempat.
"Apa Ibu sudah siap mendengarnya?" tanya dokter wanita yang bernama Yohana, terlihat dari name tag yang digunakan.
"Saya sudah siap, Dok. Jadi jangan sembunyikan apapun dari saya," ucap Rianti yang merasa gelisah di dalam hatinya.
Tapi seorang ibu harus tampak tegar untuk anak-anaknya. Begitu juga yang dialami oleh Rianti. Walau sulit, dia tetap harus menerimanya.
"Mari kita bicara di ruangan saya, Bu. Jangan khawatir ada perawat yang menjaga kedua anak Ibu sementara kita berbicara," ucap dokter Yohana.
"Baik, Dok."
Padahal jarak antara ruangan inap dan ruangan praktek dokter Yohana cukup jauh, tapi Riana merasa perjalanannya sangat singkat. Tak sadar langkah kakinya sudah membawa Rianti ke ruang praktek dokter kejiwaan itu.
"Jadi bisa Dokter jelaskan apa yang terjadi dengan anak dan menantu saya?" tanya Rianti saat keduanya sudah duduk dalam posisi yang nyaman.
"Dari hasil diagnosa saya menurut dari laporan suster yang menjaga Ibu Vidya di ruangan, dapat saya simpulkan jika keduanya terkena depresi. Dan Ibu Vidya yang paling parah depresinya ..."
Rianti tidak memotong perkataan dokter Yohana, otaknya masih mencerna apa yang disampaikan oleh sang dokter yang berkata dengan serius ini.
"Tindakan menyakiti diri yang dilakukan oleh Ibu Vidya itu sudah termasuk depresi berat. Perbuatan Ibu Vidya dapat mengantarnya menuju kematian suatu saat nanti jika kita tidak segera menanganinya."
Kepala Rianti terasa penuh dan ingin pecah saat sang dokter kembali menjelaskan mengenai penyebab dan akibat dari perilaku menyakiti diri yaitu salah satunya tidak mampu meluapkan emosi yang ada di dalam diri orang tersebut.
"Jadi sekarang saya harus bagaimana?" tanya Rianti yang memang awam mengenai ilmu psikologi manusia.
"Yang paling penting adalah kita harus menemukan penyebab dari trauma yang Bapak Yudis dan Ibu Vidya alami." Rianti hanya mengangguk saat mendengarnya.
"Lakukan saja yang menurut Dokter yang terbaik, saya sebagai orang tua ingin yang terbaik untuk anak-anak saya," ucap Rianti.
***
"Apa kamu yakin jika rencana ini akan berhasil?" tanya seorang wanita yang berpakaian seksi dan menampakkan belahan dadanya yang besar.
"Kamu tenang saja, Hanie. Aku itu sudah sering memakai rencana ini untuk menggoda para pria kaya m***m," jawab wanita lain dengan terkekeh kecil.
"Tapi Yudis itu bukan pria kaya yang m***m. Aku saja ragu jika dia akan bereaksi saat melihatku," ucap Hannie dengan merenggut.
"Dia pria tulen 'kan?" tanya wanita yang bersama Hanie dengan nada usil.
"Tentu saja dia itu pria tulen," sahut Hanie dengan nada kesal.
"Kalau begitu kamu percaya aja deh sama aku, dijamin bakal berhasil. Kita sepertinya terlalu banyak bicara, ayo cepat beraksi," ucap wanita itu sambil menarik tangan Hanie agar mengikuti dirinya.
Kedua wanita itu mengamati suasana di depan ruangan inap Vidya, Hanie sebenarnya merasa kesal saat tahu jika Yudistira juga ikut dirawat dalam ruangan yang sama dengan gadis yang dianggapnya p*****r kecil. Dadanya terasa panas seakan ada bara api menyala dengan kuat. Bagaimanapun caranya, dia harus mendapatkan Yudistira.
"Udah siap belum, Han?" tanya sang teman.
"Siap dong," jawab Hanie dengan rasa percaya diri yang tinggi.
"Do it girl," ucap sang teman sambil mendorong pelan punggung Hanie.
Hanie berjalan dengan percaya diri memasuki ruangan itu, hanya ada Yudistira dan Vidya saja. Rianti harus pergi sebentar ke kantor, sementara suster yang ditugaskan untuk menjaga ruangan itu harus bertugas di bagian bangsal anak dan baru akan berjaga di ruangan Vidya selepas makan siang.
"Mas Yudis, astaga! Kenapa Mas Yudis bisa sampai dirawat segala sih?" Tanpa malu-malu Hanie langsung menghambur ke tempat Yudistira berbaring yang seketika menggerutu dalam hati. Nada suara Hanie pun dibuat semanja mungkin.
Yudistira masih merasa lelah, sejak kemarin sampai sekarang dia telah menghabiskan 3 botol cairan infus hanya dapat diam menghadapi kelakuan Hanie. Matanya terpejam berharap wanita itu segera pergi
Sementara Vidya bergidik ngeri melihat Hanie yang mulai terlihat seperti wanita jalang yang menjajakan tubuhnya. Tapi yang membuatnya kesal adalah Yudistira seakan menikmati apa yang diperbuat oleh Hanie.
Tanpa sadar Vidya mendengkus keras saat mengamati lebih lama apa yang dilakukan oleh Hanie. Rupanya hal itu menarik atensi wanita yang selalu memakai riasan tebal dan tak lama keduanya saling bertatapan.
"Tante girang ini rupanya sudah kehilangan urat malu," ucap Vidya sinis.
"Tapi buktinya Mas Yudis menikmati apa yang aku lakukan," sahut Hanie yang menyalahartikan sikap diam Yudistira.
"Lagipula aku ini sudah direstui oleh Om Andri sejak awal. Tidak seperti kamu p*****r kecil," sambung Hanie yang membuat Vidya tersenyum kecut menyadari kebenaran dari kalimat itu.
Tiba-tiba saja perasaan Vidya berubah menjadi tidak enak, bayangan penolakan Andri yang disertai dengan penghinaan pria itu melekat pada ingatannya. Tiba-tiba saja tubuh Vidya bergetar hebat dan air mata pun luruh dari kedua matanya.
Hanie yang melihatnya tentu saja tersenyum licik, rencananya untuk menjatuhkan mental Vidya sukses. Sekarang langkah selanjutnya adalah memastikan Yudistira jatuh dalam pesonanya.
"Hanie..."
Panggilan itu membuat Hanie semakin melebarkan senyumnya. Tapi tidak bagi Vidya yang semakin muram wajahnya.