"Ma, aku mau pergi sebentar. Mama bisa menginap untuk menemani Vidya malam ini?''
Kedua wanita itu serempak mengarahkan pandangannya kepada Yudistira yang baru keluar dari kamar untuk mengenakan jaket bomber.
"Bahkan dia terlihat tampan meskipun hanya memakai baju kasual," ucap Vidya dalam hatinya sembari mengagumi Yudistira, dalam pandangannya aura di sekitar pria itu seperti bercahaya.
"Harus sekarang banget perginya? Ini sudah jam 8 malam, Nak. Sudah terlalu larut juga, Mama cemas soalnya penjahat baru muncul di jam segini," sahut Rianti dengan raut wajah bingung bercampur cemas.
"Iya Ma, ini penting sekali. Mama tolong temani Vidya malam ini, ya? Papa enggak bakal nyari juga 'kan. Mama tenang aja aku pasti hati-hati," bujuk Yudistira.
"Baiklah, malam ini Mama akan menginap, tapi kamu juga jangan pulang terlalu larut dan tetap waspada," ucap Rianti setelah berpikir beberapa saat.
"Terima kasih, Ma. Vidya, Om pergi dulu ya." Suara Yudistira yang cukup kencang membuat Vidya tersadar dari lamunannya.
"Ekh iya, Om ganteng banget ..." Seusai mengatakan itu Vidya menggigit bibirnya karena sadar telah kelepasan, kedua pipinya langsung memerah.
Rianti tersenyum tipis saat mendengarnya, sebenarnya sudah sejak lama dia tahu jika Vidya menyukai Yudistira. Tapi dulu dia hanya menganggap jika rasa itu hanya sebatas rasa cinta anak remaja. Sekarang Vidya sudah berada di usia layak menikah dan sedang mengandung cucunya. Jadi rasa cinta di antara keduanya tidak salah.
Sementara Yudistira tersipu saat mendengar pujian yang dilontarkan oleh Vidya. Kalau dulu dia akan menganggap omongan Vidya itu sebatas kekaguman semata, tapi sekarang dadanya berdebar sangat kencang.
"Kenapa aku kayak ABG labil yang baru kenal cinta?" gumam Yudistira dalam hatinya.
"Vidya, kayak baru tahu aja kalau Yudis itu ganteng," ucap Rianti tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.
"Yudis, sana buruan jalan ntar kemalaman," sambung Rianti mengingatkan.
Yudistira mengangguk sekilas sebelum benar-benar meninggalkan apartemennya.
***
"Mana wanita yang telah mendorong istri saya?" tanya Yudistira saat dia baru memasuki sebuah ruko berlantai 4.
"Orangnya ada di lantai 2, Bos. Tapi sepertinya ada yang aneh dari hasil penyelidikan kami." Yudistira menghentikan langkahnya yang akan menaiki tangga saat mendengar laporan dari ketua detektif yang disewanya.
"Aneh bagaimana maksud kamu?" tanya Yudistira.
"Memang dari hasil rekaman CCTV yang terlihat, wanita yang berada di lantai dua itulah yang mendorong Bu Bos. Tapi setelah kami interogasi, dia sama sekali tidak mengenal siapa yang didorongnya," jawaban itu membuat kening Yudistira semakin mengerut.
"Jadi kalau tidak kenal kenapa dia sampai mau mendorong istri saya?" tanya Yudistira kembali.
"Dia dibayar dan sama sekali tidak tahu siapa yang telah menyuruhnya, Bos." Yudistira menggeram kesal, tak menyangka jika dia telah kalah beberapa langkah.
"Kalau begitu biar saya bicara dengan wanita itu. Siapa tahu saya bisa mendapatkan petunjuk siapa yang telah memerintahkannya untuk mendorong istri saya," putus Yudistira akhirnya.
"Cepat bangun, ada yang mau bicara sama lo."
Suara anak buah sang detektif menyapa telinga Yudistira dan matanya langsung membulat saat melihat wanita terbaring di lantai di lantai dengan tangan terikat dibelakang tubuhnya. Wanita itu memang bukan orang yang dia curigai sebelumnya. Bahkan Yudistira berani bersumpah jika ini kali pertama dia melihat wanita berkulit hitam eksotis itu.
Dua kali sang anak buah detektif mencoba membangunkan wanita yang masih tertidur itu, namun yang dibangunkan seakan terlelap dalam mimpi.
"Kalian enggak menyiksanya, 'kan?" tanya Yudistira sambil menatap curiga pria yang berjumlah 4 orang itu.
"Enggaklah, Bos. Kami ini masih menjaga prinsip untuk tidak menyiksa ataupun melecehkan perempuan. Mungkin dosis obat bius yang kami gunakan terlalu banyak," jelas salah seorang pria itu.
"Kenapa kalian sampai harus menggunakan obat bius?" tanya Yudistira dengan raut wajah heran.
"Wanita itu terus berteriak saat kami tanya-tanya. Jadi setelah memastikan jika dia hanya pesuruh, saya berinisiatif untuk memberikan obat bius. Sangat berbahaya jika teriakannya sampai mengundang orang-orang yang berada di daerah sini. Yang ada kami nanti digrebek sama polisi dan disangka penculik," jelas sang ketua detektif yang membuat Yudistira mengangguk paham.
"Kalau begitu biarkan efek obat bius itu hilang dan belikan wanita itu makan setelah sadar. Saya enggak mau jika wanita itu sampai mati kelaparan. Belilah juga untuk kalian makan," ucap Yudistira sambil memberikan 5 lembar uang pecahan Rp 50.000,- kepada ketua detektif.
"Saya akan kembali besok siang, pastikan dia kenyang dan merasa nyaman. Kita tidak bisa memaksanya bercerita dalam keadaan seperti ini," sambung Yudistira sebelum meninggalkan ruko.
***
Ada yang aneh saat Yudistira tiba di apartemennya, tapi dia tidak mengetahui apa itu sebab baik Rianti maupun Vidya sudah tertidur lelap di kamarnya. Jadilah sekarang dia menyingkir ke kamar tamu, kamar yang sebenarnya sering di pakai Vidya saat menginap di apartemennya bersama Steven.
Mengingat Steven tiba-tiba membuat ingatannya terlempar pada 15 tahun yang lalu, saat ibu Vidya meninggal akibat pendarahan saat akan melahirkan anak keduanya. Sejak saat itu Steven memutuskan tidak akan menikah karena takut tidak dapat membagi kasih sayangnya dengan wanita yang menjadi istrinya kelak.
Steven yang minim pengetahuan mengurus anak kecil tentu saja kerepotan pada awalnya, dan Yudistira yang memang memiliki pengalaman mengurus 5 orang keponakan dari 2 kakak perempuannya, tentu tidak keberatan membantu Yudistira.
"Aku tahu Mas Steven selalu mengawasi kami dari atas sana. Sekarang aku mohon padamu, Mas, tolong bantu aku menyakinkan Papa agar tidak lagi membenci Vidya," gumam
Yudistira sebelum memejamkan mata.
***
"Ma, aku akan mencari perawat secepatnya untuk Vidya. Dokter menyarankan dia harus banyak bed rest, aku juga enggak mungkin merepotkan Mama setiap hari. Papa pasti enggak menyukai jika istrinya terlalu lama meninggalkan rumah," ucap Yudistira saat sarapan.
Vidya masih terlelap, efek dari obat-obatan yang dikonsumsinya. Sepertinya dokter kandungan yang merawat Vidya cemas jika sang pasien akan melakukan banyak aktivitas fisik yang menguras tenaganya.
"Mama juga sempat terpikir hal itu, rasanya cukup riskan juga meninggalkan Vidya yang sedang sakit seperti ini," ucap Rianti menguatkan perkataan sang putra.
"Dan aku juga takut Papa akan datang tiba-tiba ke sini saat Vidya sedang sendirian. Sebenarnya apa sih yang membuat Papa sangat membenci Vidya, Ma?" tanya Yudistira.
''Kalau itu Mama juga kurang tahu, Nak. Seingat Mama enggak ada yang aneh saat pertemuan pertama Papa sama Vidya," jawab Rianti sambil mengetuk dagunya dengan jari telunjuk.
"Apa sebenarnya ada yang enggak kita ketahui, Ma?" tanya Yudistira yang masih menyuarakan penasarannya.
"Mungkin saja kalau begitu, mungkin Mama harus pelan-pelan bertanya sama Papa," ujar Rianti setelah menghembuskan napas panjang.
"Papaaaaa! Tolongin Vidya, Papa!" jeritan Vidya membuat keduanya langsung berlari ke kamar.
Seketika saja pikiran buruk menghantui Yudistira,
"Ada apa dengan Vidya sampai gadis itu harus berteriak histeris seperti itu?" gumam Yudistira dalam hatinya.