"Papa! Mau apa Papa datang malam-malam ke sini? Bukannya Papa sendiri yang bilang enggak akan menganggap aku anak lagi karena telah memilih Vidya," ucap Yudistira dengan sinis.
"Papa hanya ingin melihat bagaimana kondisi dari p*****r kecil ini. Sayang sekali janin itu masih bertahan, padahal Papa mengharapkan dia keguguran biar kamu enggak perlu menikahinya," sahut Andri sambil menunjuk-nunjuk Vidya.
"Papaaaa! Sungguh keterlaluan sekali Papa mengharapkan cucu Papa sendiri meninggal. Di mana rasa kemanusiaan Papa?" hardik Yudistira dengan penuh kemarahan, tidak menyangka jika sang ayah sudah tidak memiliki belas kasihan.
Begitu juga dengan Vidya, gadis itu merasa jika perkataan Andri bagaikan sembilu yang menancap di hati. Matanya terasa panas, tapi sekuat tenaga dia tahan. Tanpa sadar Vidya menggigit bibirnya kuat mencegah buliran air itu keluar, dia tidak ingin dianggap cengeng dan lemah oleh Andri.
"Rasa kemanusiaan itu hanya untuk orang yang pantas menerimanya, Yudis. Sedangkan p*****r kecil ini sudah menggadaikan tubuhnya, makanya sekarang dia bisa hamil. Ya, ada bagusnya juga Steven meninggal, jadi dia enggak perlu tahu lebih banyak mengenai kebusukan anaknya," ucap Andri dengan tertawa mengejek.
"Dan Yudis, apa kamu yakin jika itu memang anakmu?" tanya Andri dengan nada meremehkan.
"Lebih baik Papa pergi jika hanya ingin menyakiti Ibu dari anakku. Aku enggak akan membiarkan Papa melakukan lebih dari hari ini," geram Yudistira.
"Ckckck, dasar anak tidak tahu diuntung! Papa sengaja mencarikan kamu jodoh yang baik dan Hanie termasuk di dalamnya," gerutu Andri sambil berlalu dari ruangan Vidya.
Yudistira menghembuskan napas berkali-kali untuk meredakan kemarahannya. Bagaimana bisa Andri membenci Vidya seakan gadis itu memiliki kesalahan yang tak terampuni?
"Hiks, hiks, Papaaaa ..." Suara tangisan Vidya membuat Yudistira menoleh dan langsung menghampiri Vidya yang tampak terpukul, pandangan mata gadis itu bahkan kosong.
Berulang kali Yudistira memanggil Vidya, tapi gadis itu tidak bereaksi malahan tangisnya semakin kencang. Yudistira juga semakin bingung bagaimana cara untuk menyadarkan Vidya. Akhirnya dia terpaksa memanggil petugas medis meski jam sudah menunjuk ke angka 2 pagi.
***
"Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Yudistira saat Vidya sudah selesai mendapatkan penanganan medis
"Ibu Vidya mengalami stress, kalau dibiarkan akan sangat berbahaya untuk keduanya. Untuk sementara Bapak harus menghindarkan Ibu dari penyebab stress nya," jawab sang dokter.
"Baik Dok, saya mengerti. Kalau begitu apa besok Vidya sudah bisa pulang dan dirawat di rumah? Saya akan memastikan jika Vidya akan bed rest selama kandungannya masih rentan."
Setidaknya di apartemennya jauh lebih aman dibandingkan di rumah sakit. Andri tidak akan dapat masuk sembarangan, karena Yudistira akan mengganti kunci apartemennya dengan yang lebih canggih.
Sejenak dokter wanita itu terdiam seakan memikirkan perkataan apa yang harus disampaikan kepada keluarga pasien yang menurutnya 'bandel' ini. Masa iya ada seorang suami yang tega membiarkan istrinya mendapatkan perawatan seadanya di rumah, dengan kondisi kandungan yang lemah.
Namun melihat pancaran mata Yudistira yang penuh tekad akhirnya dokter itu mengizinkan juga, tentunya dengan disertai dengan beberapa catatan apa yang harus dilakukan oleh Yudistira saat merawat Vidya di rumah.
"Terima kasih atas pengertiannya, Dok. Saya tidak akan lalai membawa istri saya untuk kontrol kandungan pada 2 minggu lagi," ucap Yudistira dengan penuh kelegaan.
***
"Vidya, Om akan mencarikan perawat untuk menjaga kamu. Om harus bekerja jadi tidak mungkin menjaga kamu 24 jam. Kamu tenang saja, Mama akan datang setiap hari untuk menjaga kamu," ucap Yudistira saat keduanya sudah sampai di apartemen Yudistira.
Namun Vidya hanya diam, gadis itu tidak memperdulikan perkataan Yudistira dan memilih untuk memejamkan matanya sambil duduk di sofa. Meskipun kesal, Yudistira mencoba mengerti jika perasaan Vidya masih belum stabil akibat perjumpaan dengan Andri.
"Kamu mau makan apa?" tanya Yudistira yang mulai merasa lapar.
Detik berganti menit, tapi Vidya masih bergeming. Gadis itu seakan menikmati lamunannya dan membuat emosi Yudistira mulai terpancing. Selama di rumah sakit, Yudistira berjaga sepanjang malam untuk memastikan tidak ada tamu yang tidak diundang yang memasuki kamar perawatan Vidya.
Lelah? Jangan ditanya lagi, Yudistira mulai merasa sering sakit kepala dan kurang fokus. Pekerjaannya sedikit terbengkalai, untung saja dia memiliki sekertaris yang dapat diandalkan sehingga urusan kantor masih dapat tertangani dengan baik.
"Vidya, kamu mau makan apa?" tanya Yudistira sekali lagi, berharap Vidya akan menjawabnya.
Tapi seperti yang telah Yudistira duga sebelumnya, pertanyaan keduanya hanya ditanggapi dengan diam oleh Vidya. Rasa lapar yang semakin menyiksa Yudistira berubah menjadi pemantik kemarahan pria itu.
"Vidya! Terserah saja jika kamu enggak mau makan, tapi jangan siksa anakku!" bentakan Yudistira berhasil membuat gentar Vidya, gadis itu langsung mendudukkan tubuhnya dan membuat perutnya sedikit merasa keram.
"Aduh!"
"Makanya kalau Om tawari makan jangan diam saja, ingat kamu itu sekarang enggak sendiri lagi. Kamu membawa anakku di dalam sini," ucap Yudistira dengan ketus.
"Om sekarang jahat sama aku. Aku benci Om Yudis, aku mau nyusul Papa aja kalau begitu!" pekik Vidya sambil menangis.
Karena amarahnya sudah berada di ubun-ubun, Yudistira melemparkan sebuah guci hingga tepat berada di samping kaki Vidya. Gadis itu terkesiap serta memandang Yudistira tidak percaya. Seumur hidupnya, baru kali ini Yudistira melampiaskan kemarahannya dengan merusak sesuatu. Wajah Yudistira juga seakan diselimuti oleh kegelapan.
"Vidya, jangan membantah lagi jika tidak ingin ada penyesalan nantinya." Ancam Yudistira.
"Aku mau pulang ke rumah, Om jahat dan kasar sama aku!" balas Vidya tak mau kalah.
"Vidya ..."
Perkataan Yudistira tak sempat terucap karena sebuah suara telah menyelanya serta menyelamatkan keduanya dari suasana yang semakin memanas ini ,"Ada apa ini? Kenapa bisa ada pecahan guci di lantai?"
Baik Yudistira maupun Vidya merasa lega saat mendapati kehadiran Rianti. Tidak butuh waktu lama bagi wanita itu mengerti apa yang telah terjadi.
"Yudis, sebaiknya kamu siapkan makan malam untuk kita bertiga. Mama sudah masak sup iga sapi, perkedel dan ayam goreng. Mama akan membereskan pecahan guci ini sebelum ada yang terluka," titah Rianti.
5 menit lamanya, Vidya hanya menyaksikan Rianti yang sedang membersihkan pecahan guci yang tercecer bahkan sampai separuh ruangan tamu. Rupanya Yudistira memakai penuh kekuatannya saat melempar guci itu. Perasaan menyesal dan bersalah seketika meliputi hati Vidya.
Seandainya saja dia tidak nekad untuk pergi ke pesta yang diadakan oleh teman kuliahnya, Vidya tidak akan masuk ke dalam jebakan dan kehilangan kegadisannya lalu hamil. Mungkin juga Steven masih bersamanya sampai hari ini.
Seandainya saja Vidya tidak bersikeras untuk melupakan rasa cintanya kepada Yudistira yang sudah dia pelihara selama 7 tahun terakhir dengan mencari pria lain. Dia tidak akan melakukan hubungan terlarang itu dengan Yudistira.
"Vidya, minum dulu susunya." Vidya terbangun dari khayalannya saat merasakan pundaknya ditepuk.
Saat melihat mata Rianti, tanpa sadar Vidya merindukan sentuhan Kaila, sang ibu yang telah meninggalkannya 15 tahun yang lalu. Matanya memanas dan tanpa dapat dia cegah, air matanya mengalir deras bak bendungan yang jebol.
"Vidya, apa yang sakit? Coba bilang sama Tante." Sebenarnya kalau ingin menuruti kata hati, ingin rasanya Rianti mendesak Vidya untuk bercerita. Tapi mengingat jika Vidya sedang hamil dan masih sangat muda membuatnya bersabar menunggu Vidya yang menangis seperti balita tantrum.
Yudistira yang baru saja selesai menyiapkan makan dan baru saja mandi tidak berani berkomentar apapun karena tatapan tajam yang dilayangkan oleh sang ibu. Alhasil, keduanya harus menunggu selama hampir 25 menit sampai tangisan Vidya benar-benar reda.
"Lebih baik kita makan dulu," ucap Rianti saat dilihatnya Yudistira akan bersuara. Tidak baik bicara dalam keadaan tubuh yang lelah dan lapar.
Dalam situasi normal Yudistira dan Vidya akan saling melempar candaan, sampai Steven menengahi mereka karena Vidya terlihat mulai menangis. Tapi sekarang, suasana meja makan terasa sunyi dan mencekam, ketiganya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Sesekali Yudistira memang mencuri pandang ke arah Vidya, memastikan gadis itu memakan makanannya hingga habis. Sementara Vidya memaksa untuk memasukkan lambungnya dengan makanan, meskipun rasa mual itu mengganggunya.
Suara dering handphone Yudistira memecahkan kesunyian. Pria itu mengerutkan dahinya saat melihat siapa yang memanggilnya. Detektif yang dia sewa untuk mencari siapa pelaku pendorongan Vidya berbekal rekaman CCTV di rumah sakit.
"Pak, kami sudah menemukan siapa pelakunya dan telah menangkapnya. Apa Bapak mau menemui wanita itu?" Laporan sang detektif menerbitkan senyumannya.
"Tentu saja saya mau," jawab Yudistira dengan menyeringai puas, semoga saja dugaannya tepat dan itu akan membuat Yudistira tidak harus menikah dengan Hanie.