Sovia masih erat memeluk Arga, menikmati aroma tubuh maskulin di tubuh laki-laki yang akan menjadi suaminya. Sovia tidak pernah menyangka akan merasa nyaman dan tentram berada di pelukan Arga.
“Papa ....” Teriakan anak kecil membuat mereka cepat-cepat menguraikan pelukannya. Aksa berlari dengan di pegangi Febby ke arah Arga dan Sovia yang sedang pelukan.
“Ada Aksa, ada Febby juga lagi,” ucap Sovia dengan menunduk sedikit malu dan pipinya bersemu merah.
“Kenapa? Kamu malu? Sama calon suami sendiri kenapa malu? Lagian Febby kan sudah tahu kita bulan depan akan menikah, Sayang?” ucap Arga.
“Iya, tapi kan malu, Ar. Apalagi kita pelukan cukup lama, di luar lagi,” ucap Sovia.
“Kamu juga mau, kan? Enggak apa-apa, kita mau menikah, semua orang di sini kan tahu. Jangan malu gitu,” ucap Arga.
Bagaimana Sovia tidak malu? Aksa melihat dirinya sedang pelukan sama Arga. Dan, baru kali ini Sovia merasakan nyaman dan aman berada di pelukan sosok laki-laki. Dengan Bima pun dia tidak pernah merasakan hal yang baru saja ia rasakan dengan Arga.
“Papa ....” Aksa memeluk Arga dan Arga langsung menggendongnya.
“Sudah mainnya?” tanya Arga dan hanya di jawab dengan anggukkan kepala Aksa.
“Ayo makan dulu sama mama, nanti mama ajak kamu jalan-jalan.” Sovia mengajak Aksa ke rumah, tapi Aksa menggelengkan kepalanya.
“Kok gak mau? Nanti papa yang nyuapi,” ucap Arga.
“Oke ....” Jawabnya sambil melingkarkan jari telunjuk dan ibu jarinya.
“Gitu dong, namanya anak papa,” ucap Arga.
Kalau Arga di Jogja pasti Aksa selalu nempel dengan Arga. Apa-apa maunya sama Arga, bahkan tidur pun inginnya di kelonin Arga. Sovia berjalan mengekoro Arga yang sedang menggendong Aksa. Dia menatap punggung laki-laki yang sedang menggendong bocah kecil yang sangat ia sayangi. Tidak ia sangka, calon suaminya juga menyayangi anak angkatnya.
^^^
Siang ini Sovia sedang dalam perjalanan menuju ke Surabaya bersama Arga. Arga mengajak Sovia ke Surabaya karena ada urusan kantor dan juga urusan pribadi mereka. Tentunya urusan persiapan pernikahan mereka. Bu Rahma ingin mengajak Sovia untuk memilih gaun pengantin. Arga juga ingin mengajaknya membeli cincin kawin dan seperangkat perhiasan untuk Sovia.
Mereka langsung menuju ke Butik yang katanya milik teman ibunya Arga. Ibunya Arga sudah lebih dulu sampai di butik sebelum Sovia dan Arga sampai di butik yang katanya milik temannya Bu Rahma.
“Sov, aku minta maaf sebelumnya, soalnya ibu malah memilih gaun di butik temannya bukan butik kamu,” ucap Arga.
“Ya tidak apa-apa, Ar. Mungkin ibu sudah janjian sama temannya. Dan, ibu kan gak tahu kalau aku punya butuk,” ucap Sovia.
Sovia tercengang saat Arga membelokkan mobilnya ke arah butik yang sangat ia kenal. Almeera Butik nama butik yang sangat familiar bagi Sovia.
“Arga ini butiknya?” tanya Sovia.
“Iy, Sov. Itu mobil ibu sudah di sini,” jawab Arga dengan menunjukkan mobil milik ibunya.
“Kamu tahu ini butik milik siapa?” tanya Sovia.
“Milik temannya ibuku, Sov,” jawab Arga.
“Ini milik mamanya Bima, Ar,” ucap Sovia.
“Jadi mamanya Bima sama ibu berteman? Teman sejak kapan? Bukannya mamanya Bima butiknya ada di Semarang?” tanya Arga.
“Yang di Semarang juga ada, tapi di kelola istrinya Bayu atau Barra aku tidak tahu. Tante Riri punya tiga butik kalau gak salah, yang satu dikelola Aini, dan Almeera Butik ini, salah satu butik yang cukup terkenal,” jelas Sovia.
“Lalu bagaimana? Kamu mau turun atau aku telefon ibu, jangan memilih gaun di sini?” tanya Arga.
“Turun, aku tidak masalah, kalau Tante Riri akan mencemooh aku lagi. Aku sudah tidak peduli, karena aku sudah tidak ada hubungannya lagi dengan keluarga Tante Riri, semenjak Bima menikah dengan Alesha,” jawab Sovia.
“Ya sudah ayo turun,” ajak Arga.
Sovia turun dari mobilnya. Dia hanya bersama Arga saja. Karena sebelum ke Butik Sovia ke rumahnya dulu, mengantar baby sitter Aksa ke rumah. Aksa tidur pulas sekali, jadi dia tidak tega kalau harus tetap ikut mereka yang sedang sibuk mengurus persiapan pernikahannya.
Arga mengedarkan pandangannya, mencari di mana ibunya. Katanya tadi Bu Rahma sedang mengobrol dengan temannya, yang tak lain adalah pemilik butik tersebut. Sovia mencoba menenangkan dirinya yang dari tadi gugup dan sedikit takut. Tapi, dia yakin ibunya Arga akan percaya pada dirinya, jika nanti Mamanya Bima menceritakan semua tentang dirinya.
Tangan Arga menggandeng Sovia. Arga merasakan dinginnya tangan Sovia. Dia tahu, pasti dia takut akan berhadapan dengan mamanya Bima.
“Kenapa, kamu takut?” tanya Arga.
“Eng—enggak ...,” jawabnya gugup.
“Kok telapak tangannya dingin gini kalau gak takut?” Arga menggenggam tangan Sovia dan menciumnya. “Percaya padaku, Tante Riri tidak akan macam-macam dengan kamu. Kalau pun nantinya macam-macam, aku akan bertindak, karena aku tidak ingin calon istriku menangis lagi karena orang-orang yang selalu jahat pada calon istriku,” ucap Arga.
“Terima kasih, Ar.” Sovia sedikit lega karena calon suaminya sangat mengerti keadaan hatinya saat ini.
Arga melihat ibunya yang sedang mengobrol dengan seseorang, yang tentunya Arga sendiri tahu siapa orang itu. Sovia juga melihatnya. Dia terus menenangkan hatinya, saat akan berhadapan dengan orang yang sangat membencinya. Tapi, Riri terlihat sedang mengangkat telefon.
“Ibu,” panggil Arga. Bu Rahma menoleh ke arah sumber suara yang sangat beliu kenal.
“Syukurlah kalian sudah datang, Nak,” ucap Bu Rahma. Riri langsung mencium tangan calon mertuanya itu, yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri.
“Kalian berdua saja? Mana Aksa?” tanya Bu Rahma.
“Aksa tidur, Bu. Jadi Sovi bawa pulang Aksa dulu, mungkin dia kecapean tadi saat di perjalanan,” jawab Sovia.
Riri masih sibuk dengan telefonnya. Entah siapa yang sedang menelefon Riri, hingga dia belum menyadari kalau kliennya adalah Sovia. Rival dalam berbisnis, dan mantan kekasih anaknya, yang tidak direstui olehnya. Satu lagi, Sovia adalah anak dari perempuan yang sudah menghancurkan hidup Riri.
“Maaf Mbak Rahma, jadi menunggu,” ucap Riri selesai menerima telfon dari seseorang.
“Kamu! Ngapain kamu di sini?!” Tatapan sinis Riri langsung ke arah Sovia.
“Sebentar, Mbak Riri kenal dengan calon menantu saya?” tanya Bu Rahma.
“Calon menantu? Oh, jadi calon menantu ibu wanita ini? w************n ini calon istri anaknya ibu yang gagah ini? Tidak pantas sama sekali!” sarkas Riri.
“Murahan, maksud Mbak Riri?” tanya Bu Rahma.
“Oh, jadi ibu belum tahu, berasal dari mana perempuan ini? Dan, seperti apa orang tuanya!” jawab Riri.
“Tante, cukup! Sovia sudah tidak ada hubungannya lagi dengan Tante. Semua sudah selesai sejak Bima menikah! Jadi tolong hargai kami sebagai klien di sini!” tegas Arga.
“Wah ... rupanya sang calon suami membelanya. Kamu sadar tidak akan menikah dengan siapa, anak muda? Wanita ini anak dari perebut suami orang! Kamu tidak jijik menikahi wanita yang berasal dari anak pelakor? Dan, karena dia juga, Bima lahir tanpa sosok ayah! Dan, satu lagi! Aku tidak sudi punya klien wanita seperti dia!” Ucapan Riri semakin ngawur. Tidak salah menurutnya kalau dirinya bicara seperti itu pada Sovia. Karena, melihat Sovia sama saja melihat masa lalunya yang menyakitkan. Saat Sovia menahan Reza untuk pulang, dan saat liburan di Villa.
“Oh, jadi seperti ini sambutan anda kepada klien anda? Baru tahu, butik yang katanya terkenal, butik yang selalu dipuja-puja oleh kalangan pengusaha kaya raya, mungkin juga sekelas bangsawan memuja hasil butik ini. Tapi, ternyata pemiliknya tidak memiliki etitud saat menyambut dan menerima kliennya. Anda harus ingat Ibu Riri yang terhormat, klien anda itu segalanya. Mau klien anda itu anak dari perempuan yang merebut suami anda, mau klien anda p*****r, maling, penjahat, atau apa pun itu, anda harus melayaninya dengan baik. Jangan ungkit masa lalu klien anda di tempat usaha anda, jika memiliki masalah pribadi dengan anda. Anda bisa lancar berbisnis seperti ini juga karena siapa? Karena bunda saya yang mengajari! Iya, Bunda. Bunda yang mengajari anda, dan bunda adalah yang merebut suami anda dari anda! Aku juga tidak butuh mencari gaun di sini! Butikku jauh lebih elegant pelayanannya daripada di sini!” Sovia yang sudah saking geramnya, dia angkat bicara di depan calon suami dan calon ibu mertuanya. Bahkan semua pengunjung banyak yang melihatnya.
“Semua yang ada di sini, tolong dengarkan!” Sovia tiba-tiba berbicara dengan lantang.
“Apa pantas seorang pemilik butik yang sangat terkenal menyambut klien seperti ini? Ya, mungkin di masa lalu, bundaku sedikit berseteru dengan pemilik butik ini. Tapi, itu dulu. Kami datang ke sini baik-baik, tapi disambut dengan ucapan yang menohok, apa itu seorang pemilik yang baik? Oke, saya tidak menyalahkan sang pemilik butik ini yang memiliki dendam dengan keluarga saya, tapi apa tidak bisa menerima tamu dengan baik, dan menepikan dulu dendamnya? Bisa kan menolak dengan baik, tanpa mengeluarkan kata-kata sarkas dari mulut anda? Ya, aku tahu, aku dan bunda memang salah, tapi sikap anda yang seperti tadi, malah justru akan membawa dampak pada butik anda ini! Ingat, Ibu Riri yang terhormat, saya juga memiliki butik, jadi saya tidak butuh beli gaun di sini.” Sovia tidak mengerti kenapa memiliki kekuatan bicara seperti itu, padahal setiap kali Riri mengeluarkan k********r, dia tidak berani menjawabnya. Apalagi balik berkata kasar seperti tadi.
“Sovia, jelaskan kenapa seperti ini? Memang ada hubungan apa kamu dengan Mbak Riri?” Bu Rahma menjadi bingung, melihat Sovia yang seperti itu, juga sambutan Riri tadi yang sangat menohok di hati Sovia.
“Ibu, kita pulang, ya? Kita ke Butik Sovia saja. Nanti Arga jelaskan semuanya,” ucap Arga.
“Iya, kita pulang saja,” ucap Bu Rahma.
“Maaf, Mbak Riri. Saya tidak jadi memilih gaunnya. Maaf sudah membuat huru-hara di sini,” ucap Bu Rahma sebelum meninggalkan butik Riri.
“Ya, silakan pergi! Saya juga tidak butuh klien seperti dia! w************n! Beruntung anak saya tidak menikah dengan kamu! Kalau menikah dengan kamu, bagaimana nasib keturunannya?” Riri masih saja mengucapkan kata-k********r pada Sovia.
“Cukup, Mbak Riri! Sovia wanita baik-baik, dia calon menantuku, dan aku tidak rela Mbak Riri berkata seperti itu pada calon menantuku!” balas Bu Rahma.
“Calon menantu Mbak Rahma itu anak dari wanita perebut suami orang!” sarkas Riri.
“Dan saya tidak peduli itu!” jawab Bu Rahma dan langsung mengajak Arga dan Sovia pulang.
Sovia mengusap kasar wajahnya. Dia tidak menyangka akan seperti ini lagi. Padahal dia sudah mengalah, dia sudah menjauh dari Bima, tapi tetap saja Riri bersikap seperti itu pada Sovia.
“Ibu sama sopir, kan?” tanya Arga.
“Iya, ibu ke sini sama sopir ibu,” jawab Bu Rahma.
“Ibu ikut di mobil Arga, ya? Biar sopir ibu pulang dulu, ada yang ingin Arga dan Sovi bicarakan soal tadi.” Arga meminta ibunya ikut dengan mobilnya, supaya bisa menjelaskan semua yang terjadi tadi di butik. Dan, tahu soal kenapa Riri sampai segitunya dengan Sovia.
“Kamu baik-baik saja kan, Sov?” tanya Bu Rahma yang melihat Sovia sedang tidak baik-baik saja.
“Iya, Sovia baik, Bu,” jawab Sovia.
Arga mengemudikan mobilnya menuju ke Butik milik Sovia. Belum ada yang mulai membuka percakapan di antara mereka. Terlebih Sovia yang masih sangat shoked dengan keadaan tadi. Dan, dia tidak menyangka akan bicara seperti itu pada Riri.
"Sovia?" panggil Bu Rahma yang melihat Sovia sedang menunduk dan menyeka air matanya.
"Sudah, jangan dipikirkan ucapan tadi. Ibu sudah tau semua dari Arga, tapi ibu tidak tahu kalau orang itu Mbak Riri," jelas Bu Rahma.
"Jadi ibu sudah tahu?" tanya Sovia.
"Iya, Arga selalu cerita dengan ibu, kalau Arga mencintai kamu, tapi kamu masih memperjuangkan hubungan kamu dengan kekaksih kamu yang tidak di restui ibu dari kekasihmu. Ibu kira Bima bukan anak Mbak Riri. Kalau ibu tahu Mbak Riri itu ibunya Bima, ibu tidak akan mengungjungi butiknya. Maafkan ibu yan sudah membuat kamu seperti ini," ucap Bu Rahma.
"Aku tidak apa-apa, Bu. Sudah biasa aku diomongin tidak baik oleh Tante Riri. Ucapan menohok dan menyakitkan sudah sering Sovia dengan dari mulut Tante Riri. Aku yang malu, aku malu karena secara tidak langsung sudah mempermalukan ibu. Mungkin ibu malu memiliki calon menantu anak dari perebut suami orang," ucap Riri.
"Jangan berkata seperti itu, Nak. Ibu sama sekali tidak berpikiran seperti itu. Semua orang pasti memiliki masa lali, baik itu masa lalu kelam atau masa lalu yang baik. Kamu jangan berpikiran seperti itu lagi, ya? Ibu sama sekali tidak berpikiran sampai ke situ," Bu Rahma mengusap sayang kepala Riri. Riri menangis dan berhambur ke dalam pelukannya.
"Aku tidak tahu, kenapa Tante Riri masih mengungkit masalah itu setiap kali melihatku. Padahal aku sudah tidak ada lagi hubungan dengan Bima. Aku sama sekali tidak tahu kabar dia, dan sudah aku tutup semuanya masalah itu, aku tutup semua tentang hubunganku dan Bima, dan tidka pernah lagi aku mengusik kehidupan Bima, tapi masih saja Tante Riri seperti itu. Aku tahu, Tante Riri masih sangat benci denganku, bahkan sampai aku mati, Tante Riri tetap akan membenciku," ucap Sovia.
"Sudah, kamu tidak usah mengurusi dia lagi. Sekarang kamu fokus dengan rencana ke depan kamu. Fokus dengan persiapan pernikahan kamu dengan Arga. Ibu tidak mau kamu sedih disaat-saat hari bahagia kamu," tutur Bu Rahma.
"Iya, Bu. Terima kasih ibu tidak membenciku, dan masih mengizinkan aku dengan Arga," ucap Sovia dengan mengeratkan pelukannya pada Bu Rahma.
Bu Rahma juga membalas pelukan Sovia. Beliau sudah sayang sekali dengan Sovia, seperti dengan anaknya sendiri. Bu Rahma tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh Riri.. Dia hanya fokus dengan hubungan Arga dan Sovia, tidak peduli ucapan Riri yang menjatuhkan mental Sovia.