Alesha sedang membereskan ruang kerja Bima yang cukup berantakan, karena akhir-akhir ini Bima sering lembur, dan pekerjaan kantor ia bawa pulang ke rumah. Pernikahannya dengan Bima selama hampir delapan bulan baik-baik saja. Meskipun Alesha tahu, Bima belum bisa mencintainya. Soal tanggung jawab Bima sebagai suami, sudah ia penuhi pada Alesah. Menjaganya, menafkahi lahir batin, dan semua tugas suami sudah Bima perankan dalam membangun rumah tangganya bersama Alesha.
Namun, Bima masih belum bisa mencintai Alesha. Sudah hampir delapan Bulan Bima belum bisa merasakan cinta pada Alesha. Meskipun setiap hari bersama, dan setiap malam selalu melakukan ritual malam di atas ranjang dengan Alesha, tapi itu semua tidak merubah rasa cinta Bima terhadap Sovia. Bahkan sekarang Alesha sedang hamil pun dia belum bisa mencintainya. Kandungan Alesha sekarang memasuki bulan ke enam.
Alesha mulai menata meja kerja suaminya. Mata Alesha langsung tertuju pada buku yang berantakan di meja suaminya. Entah itu buku kerja atau buku apa pun berantakan di meja kerja Bima. Alesha melihat buku bersampul biru tua. Buku yang sudah setengah usang itu ada di atas meja kerja Bima.
“Buku apa ini? Bukunya sudah cukup usang,” ucap Alesha lirih.
Alesha membuka buku yang sudah usang itu. Terlihat di halaman pertama menampakkan foto Bima dan Sovia dulu saat masih kuliah. Pertama kalinya mereka menjalani hubungan diam-diam dari orang tua mereka.
Sebalik tabir kalbuku, kini tampakkan gambar. Gambar laksana nyata, itulah awal dari kenyataan.
Aku tidak menyangka, hatiku akan tertambat padamu, Kak Sovia. Perempuan yang sudah aku anggap kakakku sendiri, tapi aku malah jatuh cinta denganmu. Cintaku kini terbalas, tapi aku tahu, ini akan sulit untuk kita lalui. Ya, sulit untuk melalui jalan yang berliku, untuk mencari restu, meski dalam lara disetiap langkah.
Air mata Alesha menetes. Membaca buku agenda milik suaminya. Alesha membuka halaman paling akhir. Dia membaca tulisan Bima yang berada di halaman paling akhir. Tulisan baru Bima. Ya, Baru. Baru semalam Bima menuliskan itu. Saat dia tak bisa membendung rindunya pada Sovia.
Sovia, aku sangat merindukanmu, merindukan senyumanmu, tawamu, merindukan saat-saat kita cerita bersama, merangkai mimpi jika suatu hari nanti mama merestui kita. Meskipun aku tahu, di dalam senyum dan tawamu ada lara dan luka. Tapi, semua itu sirna, Sov. Maafkan aku, aku sudah menjadi milik orang. Alesha, dia teman masa kecilmu yang sangat kamu sayangi. Kini menjadi teman hidupku, menggantikanmu di dalam hidupk, dan itu nyata.
Alesha aku miliki, tapi hati ini bukan miliknya. Hati ini selalu milikmu, Sov. Delapan bulan aku menikah dengan Alesha. Aku sama sekali belum bisa mencintainya. Iya, aku melakukannya dengan Alesha. Tapi, aku hanya melakukan kewajibanku saja sebagai suami Alesha.
Aku tidak tahu kapan kita akan bertemu lagi, Sov. Aku juga tidak tahu, apakah Tuhan masih mempunyai ruang untuk aku dan kamu agar bisa bertemu lagi? Hanya untuk sekadar melepas rindu. Rindu menatap indah matamu, rindu melihat senyuman dan tawa renyahmu. Apakah Tuhan bisa menyatukan kita kembali, Sov? Tapi, sepertinya tidak akan bisa. Semua sudah digariskan oleh Tuhan. Aku menikah dengan Alesha, dan kamu akan menikah dengan Arga.
Tidak ada ruang di dunia ini untuk kita bersama, Sov. Mungkin kelak nanti cinta kita akan bersatu di alam yang berbeda. Dan, aku yakin itu. Karena cinta sejati adalah cinta yang suci. Cinta yang tak pernah ternoda oleh butanya cinta di dunia. Boleh jadi aku akan berjodoh denganmu ketika sama-sama kita sudah dia alam berbeda. Tapi, entahlah. Aku tidak tahu. Yang aku tahu, cinta ini masih utuh untuk kamu. Tidak untuk siapa pun.
Alesha semakin terisak, membaca setiap kata yang Bima tuliskan di buku agendanya. Untaian kata rindu pada kekasih hatinya yang ia curahkan di dalam buku agendanya. Membuat Alesha merasakan sesak di dadanya. Tak terasa isak tangis Alesha semakin keras terdengar. Hanya membaca bagian tulisan di awal dan akhir saja sudah membuat hati Sovia sakit bagai tersayat belati, belum tulisan lainnya yang ada di dalam buku setebal itu. Alesha yakin buku itu adalah buku curahan hati Bima. Semua tentang Bima dan Sovia ada di dalam buku milik Bima yang baru saja Alesha baca.
“Apa sedikit pun tidak ada cinta di hati kamu untuk aku, Bim? Sedikit saja? Apa gunanya pernikahan ini? Pernikahan tanpa cinta, tapi kamu dengan leluasa menggauli istri kamu hingga mengandung benih darimu. Bukan benih cinta yang kamu tanam, melainkan benih dari keterpaksaan sebuah pernikahan,” gumam Alesha.
Alesha bergegas menyelesaikan menata ruang kerja Bima. Dia meletakkan kembali buku agenda Bima di tempat semula, agar Bima tidak curiga kalau dirinya sudah membacanya.
“Aku yakin, nanti malam Bima pasti akan menghabiskan waktunya di sini, dan menuliskan kerinduannya lagi pada Kak Sovia di buku ini. Alesha, kamu harus sabar, karena kamu tahu Bima tidak akan pernah mencintaimu. Kamu beruntung bisa menikah dengan Bima, orang yang kamu cintai, meski Bima tak mencintaimu. Beruntungnya Bima mau menyentuhmu dan memperlakukanmu dengan bai, menjadikan kamu miliknya yang sah, dan hanya kamu satu-satunya miliknya. Jadi jangan sedih, yang terpenting Bima masih bisa memperlakukanmu dengan baik. Jangan memperlihatkan kemarahan karena ini di depan Bima, nanti dia tidak respect lagi dengan kamu, dan anak yang sedang kamu kandung.” Alesha bergumam, menasihati dirinya sendiri dengan batin yang perih.
Alesha menyeka air matanya. Dia mencoba baik-baik saja pada fase yang ia lalui saat ini. Dia tidak ingin Bima melihat dirinya tidak baik-baik saja saat nanti pulang dari kantor. Apalagi katanya Bima akan pulang lebih awal, karena akan mengajaknya makan malam.
Alesha meninggalkan ruang kerja Bima setelah selesai membereskan ruang kerja Bima. Dia berjalan menuju kamarnya, dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Baru saja merebahkan tubuhnya, ponselnya berdering. Ada telefon masuk, dan Alesha bergegas bangun dari rebahannya. Alesha mengambil ponselnya, melihat siapa yang menelefonnya. Alesha menyungginggkan senyumannya, ada sedikit rasa bahagia mendapatkan telefon dari suaminya.
“Pasti dia menelefon aku sudah berkali-kali,” ucapnya lirih dengan melihat layar ponselnya yang memperlihatkan nama suaminya. Semenjak Alesha hamil, Bima memang selalu memperhatikan Alesha, dia juga over protektif sekali pada istrinya. Alesha langsung menggeser tombol berwarna hijau di layar ponselnya.
“Al, kamu ke mana saja sih? Di chat, di telfon enggak ada jawaban.”
“Dari belakang, dari tadi di ruang tengah, hape ku enggak aku bawa, aku tinggal di kamar. Lagian dua jam yang lalu mas kan baru telefon?”
“Kamu sehat, kamu baik-baik saja? Kandunganmu juga baik-baik saja, kan?”
“Iya, aku baik, sehat. Kan baru tanya tadi juga, Mas.”
“Al, nanti malam gak lupa, kan?”
“Iya, Mas. Aku enggak lupa. Aku tidak boleh masak untuk makan malam, kan? Karena, mas mau ngajak aku makan malam?”
“Iya, aku akan ajak kamu makan malam di luar. Sudah kamu istiraha, baik-baik di rumah. Aku enggak sampai malam kok, paling jam empat sore pulang.”
“Iya, mas hati-hati pulangnya. Aku juga mau tiduran.”
“Oke, hati-hati di rumah.”
Bima langsung mengakhiri panggilannya dengan Alesha. Alesha meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Dia ingin sekali, Bima mengucapkan kata cinta pada dirinya. Seperti orang-orang yang sudah menjadi suami istri pada umumnya. Sejak menikah dengan dirinya, satu kata cinta tidak pernah terdengar di telinga Alesha. Hanya ada kata sayang, yang sering ia dengar.
“Kapan Bima akan bilang padaku, i love you, saat akan mengakhiri telefonnya, atau saat akan tidur. Jangan saat seperti itu, saat setelah melakukan hubungan intim saja tidak pernah ia katakan cinta? Huft ... mungkin inilah nasibku, menikah dengan orang yang tidak mencintaiku,” gumam Alesha.
Alesha kembali merebahkan tubuhnya. Dia hanya bisa bersabar, mencintai Bima dalam diamnya, tanpa balasan, dan tanpa sambutan dari Bima.
“Betapa pun melegakan untuk mencintai seseorang tanpa orang itu tahu, tetap saja, mencintai dalam diam adalah perih yang teramat mendalam,” gumam Alesha.
^^^
Bima sengaja pulang agak siangan dari kantor. Dia ingin membelikan hadiah untuk Alesha nanti saat makan malam. Bima memang sering memberikan kejutan kecil untuk istrinya setiap satu bulan sekali. Alesha sampai kadang melarang Bima memberlikan hadiah yang terkesan cukup mewah untuknya. Lemari tasnya sudah penuh dengan tas-tas branded dari suaminya, pun lemari sepatu dan sandalnya, juga sudah hampir penuh. Semua itu Bima yang membelikan tanpa Alesha minta.
Kotak perhiasannya juga sudah penuh dengan berbagai model perhiasan. Bima juga sering membelikan perhiasan untuk istrinya tanpa Alesha memintanya. Semua baju Alesha pun pilihan Bima. Bahkan dalaman dan baju-baju haram juga Bima yang belikan.
Bima sudah sampai di toko perhiasan langganannya. Dia selalu beli perhiasan untuk istrinya di toko yang direkomendasikan Bagas.
“Siang, Pak? Ada yang bisa saya bantu?” Pelayann di toko perhiasan itu langsung menyambut ramah Bima.
“Siang, Mbak. Seperti biasa, ada model perhiasan terbaru?” tanya Bima.
“Ada, Pak. Silakan di sebelah sini,” jawab pelayann tersebut.
Bima mengikuti ke mana pelayann itu mendekati sebuah etalase.
“Ini model terbaru di toko kami, Pak. Silakan,” ucap pelayann dengan ramah.
“Mbak bisa lihat yang itu? Yang satu set,” pinta Bima.
“Yang ini, Pak?” tanya Pelayann.
“Iya, Mbak,” jawab Bima.
“Maaf, Pak. Ini perhiasan pesanan, sebentar lagi akan diambil oleh pemesannya,” ucap Pelayann tersebut.
“Oh, saya kira bukan pesanan orang. Bagus sekali modelnya,” ucap Bima.
“Iya, model yang pelanggann kami pilih itu, model yang limited edition, dan hanya satu model ini saja toko kami membuatkannya,” jelas pelayann tersebut.
“Jadi kalau misal saya pesan untuk bulan depan, dengan model yang seperti itu tidak bisa?” tanya Bima.
“Iya, Pak. Bapak bisa mencari model lainnya, yang sama-sama limited edition,” jawab pelayann tersebut.
“Oke, nanti saya lihat modelnya seperti apa, setelah saya selesai memilih kalung untuk istriku,” jawab Bima.
Bima mencari hadiah untuk istrinya. Meski dia belum mencintai Alesha, tapi sebisa mungkin Bima membahagiakan Alesha, menyayanginya, dan perhatian dengan Alesha. Dia juga sudah mati-matian mencoba untuk mencintai Alesha, tapi tetap saja, hanya Sovia yang sangat ia cintai.
^^^
Selesai mencari gaun pernikahan yang cocok untuk dirinya. Sovia di ajak Arga dke sebuah toko perhiasan langganann ibunya Arga. Arga akan mengambil pesanan satu set perhiasan dan cincin kawin untuk Sovia. Sovia turun dari mobilnya dan berjalan di sebelah Arga, dengan tangan kanannya di gandeng Arga.
“Selamat siang, Pak, Bu? Ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang pelayann di toko perhiasan tersebut.
“Selamat siang, Mbak,” jawab Arga dan Sovia.
“Mbak, saya yang memesan perhiasan minggu lalu, katanya sudah bisa diambil?” tanya Arga.
“Atas nama siapa, Pak?” tanya Pelayann tersebut.
“Galang Arga Mandala,” jawab Arga. “Ini tanda terimanya kemarin.” Arga memberikan copian tanda terima yang kemarin diberikan oleh pihak toko saat memesan perhiasan.
“Oh, baik, Pak. Ke sebelah sini, Pak.” Pelayann tersebut berjalan ke arah etalase tempat di mana perhiasan yang di pesan Arga tersimpan.
Pelayann tersebut mengambilkan perhiasan yang dipesan Arga. Seseorang mengamati pelayann tersebut saat mengambilkan perhiasan yang ia juga taksir. Bima. Ya, Bima juga masih berada di toko perhiasan. Dan, perhiasan yang tadi ia taksir adalah perhiasan pesanan Arga.
Bima terus melihat ke mana pelayann tersebut memberikan perhiasan yang ia taksir, dan kepada siapa memberikannya.
“Silakan, Pak. Ini perhiasan yang bapak pesan, silakan di cek dulu, dan ini cincin kawin yang kemarin di pesan juga,” ucap Pelayann pada Arga saat memberikan pesanannya.
“Terima kasih, Mbak,” jawab Arga.
Mata Bima membola, melihat dua orang yang sangat ia kenal. Tidak disangka perhiasan itu adalah milik Arga yang akan diberikan kepada Sovia.
Arga memperlihatkan perhiasan yang ia pilihkan untuk Sovia. Sovia tidak menyangka Arga memberikan perhisana semewah dan seelegant ini.
“Ini untuk aku?” tanya Sovia.
“Iya, Sayang. Mau untuk siapa lagi? Kamu kan calon istriku,” jawab Arga dengan senyum bahagia, karena melihat Sovia yang bahagia.
“Terima kasih, tapi ini terlalu bagus untuk aku, Arga,” ucap Sovia.
“Untuk orang yang paling spesial dalam hidupku, jadi aku berikan yang spesial juga,” jawabnya.
“Terima kasih, Ar,” ucap Sovia dengan mata berkaca-kaca.
“Jangan nangis, dong. Ini belum seberapa dengan apa yang kamu berikan padaku,” ucap Arga.
“Memang aku memberi kamu apa, Arga?” tanya Sovia.
“Kesempatan, kesempatan untuk hidup bersamamu. Dan, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu, Sov,” jawab Arga.
“Arga ... terima kasih,” ucap Sovia.
“Kamu suka, kan?” tanya Arga.
“Suka, suka sekali, ini sangat bagus, Ar,” jawan Sovia.
Bima melihat dua orang yang sedang bahagia di sebelahnya. Ada rasa sakit di hati Bima melihat Arga yang begitu sayang pada Sovia. Dia juga melihat kebahagiaan Sovi terpancar dari wajahnya. Bima terus memerhatikan mereka yang sedang bahagia menjelang pernikahannya. Sedangkan Arga dan Sovia tidak tahu ada Bima di dekatnya.
“Ehem ... calon pengantin, bahagia sekali rupanya.” Bima mencoba mendekai Arga dan Sovia.
“Eh, Pak Bima? Apa kabar?” sapa Arga.
“Bahagia kalian?” tanya Bima.
“Ya aku bahagia, sama seperti kamu. Juga pastinya sudah bahagia dengan istrimu,” jawab Sovia.
“Bahagia? Kamu yakin dia aka menjamin kebahagiaan kamu?” tanya Bima.
“Kalau tidak yakin, kenapa aku mau memulai hidup baruku dengan Arga?” jawab Sovia.
“Perhiasannya bagus. Pasti itu mahal, dan sepertinya ini tidak berguna diberikan kepada calon istrimu yang tidak mencintaimu?” sarkas Bima.
“Lebih baik mana, memberikan hadiah untuk istri yang tidak mencintai, atau memberikan hadiah pada istri, tapi hatinya mencintai wanita lain? Baik dengan istrinya hanya topeng semata!” balas Arga.
“Arga, selesaikan pembayarannya, lalu kita pulang. Tidak ada gunanya kita bicara dengan orang macam dia!” Sovia memberanikan diri bicara seperti itu. Tidak Sovia sangka Bima menjadi sarkas sekali ucapannya sekarang, sama seperti mamanya.
“Memang benar kata pepatah. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya!” gumam Sovia.
Arga langsung mengajak Sovia pulang setelah menyelesaikan p********n perhiasan yang kemarin di pesannya. Sovia menggenggam tangan Arga saat berjalan keluar dari toko perhiasan.
Bima memandang Sovia yang berjalan keluar dari toko perhiasan. Bima bergegas menyelesaikan p********n kalung yang ia pilihkan untuk Alesha. Setelah itu, dia langsung melajukan mobilnya untuk pulang. Bima sadar, dia yang menyakiti Sovia lebih dulu, seharusnya dia tidak berbicara seperti itu dengan Sovia. Seharusnya dia menyapa Sovia dan Arga dengan ramah. Setidaknya Bima berpikir jernih, karena masih ada seseorang yang mendampingi Sovia, dan membahagiakan Sovia, meski dirinya meninggalkan luka di hati Sovia.
"Aku benar-benar bodoh sekali! Harusnya aku tidak bersikap seperti itu, harusnya aku memberikan dia selemat, menyapa dia dengan baik, bukan justru seperti tadi. Seolah aku ini kalah, aku marah Sovia akan menikah dengan Arga. Padahal aku ini yang memulai, aku yang meninggalkan Sovia tanpa kabar, dan tidak ada ucapan formal dengan Sovia saat aku akan menikahi Alesha," gumam Bima dengan memukul kemudinya.