Sovia kini sudah resmi dilamar oleh Arga. Tadi pagi orang tua Arga datang bersama Arga untuk melamar Sovia, dan Sovia yang sudah meyakinkan diri selama tujuh bulan lamanya. Sovia semakin yakin kalau Arga bisa memberikan kasih sayang lebih untuk dirinya, begitu juga dengan orang tua Arga. Kedua orang tua Arga juga sangat menyayangi Sovia. Rasa sakit yang Bima goreskan di hati Sovia kian memudar, setelah dirinya yakin, bahwa Arga lah sosok laki-laki yang terbaik sekarang, meski belum ada cinta di hatinya untuk Arga.
Bagaimana tidak menyakitkan untuk Sovia? Hampir satu bulan tidak ada sepatah kata pun dari Bima soal hubungannya dengan dirinya, hingga dia tahu dari Alesha, saat Alesha ke Jogja memberitahukan bahwa dirinya akan menikah dengan Bima. Kata maaf pun tak keluar sedikit pun dari mulut Bima.
“Sekarang mungkin kamu sudah bahagia, Bim. Aku pun harus bahagia. Aku berhak bahagia meski tanpa kamu. Dan, Arga lah orang yang akan membahagiakan aku, selamat tinggal, Bim,” gumam Sovia dengan melihat cincin yang melingkar di jari manisnya. Cincin yang tadi di sematkan Arga di jari manisnya, saat melamar dirinya di hadapan orang tuanya, dan di hadapan eyang.
^^^
Sudah satu minggi Sovia resmi menjadi calon istri Arga. Hari ini Arga akan mengajak Sovia ke Surabaya. Keluarga besar dari ayahnya Arga akan datang, jadi ayahnya Arga ingin memperkenalkan calon istri Arga pada keluarganya. Apalagi pernikahan Sovia dan Arga akan di gelar bulan depan.
Semalam Arga menginap di rumah eyangnya Sovia. Mereka sudah semakin akrab, dan Sovia sudah semakin bisa membiasakan diri pada Arga. Sovia menata sarapannya di meja makan dibantu dengan bibinya.
“Pagi, Sov. Aku ngerepotin ya? Pagi-pagi dah bikin kamu dan bibi sibuk sekali menyiapkan sarapan,” ucap Arga yang baru saja dari halaman rumah belakang, bersama eyang.
“Pagi, Ar. Ngrepotin bagaimana? Kan sekalian berlatih kalau nanti sudah jadi istri kamu,” jawab Sovia.
“Hmmm ... gitu?” Arga mendekati Sovia dan berdiri di sebelah Sovia.
“Iya dong, masa mau menikah gak pembekalan dulu?” jawab Sovia.
“Bekalnya bukan hanya memasak saja, Sov. Ada lagi bekal untuk berumah tangga, agar rumah tangga awet,” ucap Arga.
“Apa itu?” tanya Sovia.
“Bekal kepercayaan,” jawab Arga.
“Bukan cinta dan kasih sayang?” tanya Sovia.
“Itu bisa menjadi nomor 2 atau tiga, bahkan bisa jadi yang paling akhir. Itu sebuah perasaan, jadi kapan saja bisa muncul, tapi kalau kepercayaa itu sulit. Kadang orang bilang cinta dan sayang, belum tentu percaya dengan pasangannya. Iya, kan? Jadi kepercayaan itu penting dan paling utama untuk membangun rumah tangga,” jelas Arga.
“Oh gitu? Jadi kalau aku gak cinta gak masalah?” tanya Sovia dengan sedikit menyunggingkan senyuman manisnya.
“Tidak masalah, yang penting kamu selalu percaya, kalau aku sangat mencintaimu, dan aku akan membahagiakan kamu, sampai akhir napasku,” jawab Arga dengan membenarkan rambut Sovia yang agak berantakan.
“Pagi-pagi kamu sudah gombal aja, Ar,” ucap Sovia dengan menunduk malu.
“Aku enggak gombal, itu memang kenyataan,” jawab Arga.
“Dan, kelakuan kamu itu buat eyang diabetes. Manis sekali,” ucap eyang yang sudah berada di ruang makan, tapi Sovia dan Arga tidak mengetahuinya.
“Ah eyang, aku jadi malu, tapi itu memang tulus dari hati Arga kok,” ucap Arga yang juga malu karena kepergok eyangnya sedang menyatakan perasaannya pada Sovia.
“Iya, eyang sangat percaya sama kamu. Makanya eyang menyetujui kamu dengan Sovia, karena kamu laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Eyang titip cucu kesayangan eyang, bimbing dia menjadi istri yang baik, istri yang sholehah dan istri yang berbakti pada suami. Bisa menjaga nama baik suami dan keluarganya,” tutur eyang.
“Itu pasti eyang. Arga akan membimbing Sovia, mencintai, dan menyayangi Sovia,” jawab Arga.
“Sudah yuk sarapan, aku sudah lapar,” ucap Sovia.
“Aksa di mana, Sov?” tanya Arga.
“Sama Febby dan Meta, sepertinya sedang mainan di panti,” jawab Sovia.
“Enggak kamu suapi juga, Sov?” tanya Arga.
“Nanti setelah aku sarapan, tadi udah ngemil biskuit kok sama minum susuu,” jawab Sovia
Arga juga sangat menyayangi Aksa. Aksa memanggil Arga dengan sebutan papa. Dan, itu Aksa sendiri yang memanggil, saat pertama kali dia belajar berbicara. Sekarang Aksa sudah semakin aktif, usianya sudah dua puluh tiga bulan. Satu bulan lagi dia akan dua tahun. Tidak terasa Sovia sudah merawat Aksa dari bayi hingga sekarang. Aksa juga tidak pernah nakal, dia penurut, dan sayang sekali dengan Sovia.
Setiap pagi pasti selalu meminta main ke panti dengan Febby dan Meta. Dia senang bermain di sana, kalau Sovia kerja saja dia sekarang tidak mau ikut. Dia lebih senang bermain di panti dengan teman-temannya. Tapi, kadang Sovia tidak tega dengan Aksa kalau ditinggal di panti dengan pengurus panti dan bibinya saja. Walau bagaimana pun status Aksa sudah menjadi anak angkatnya.
“Aksa diajak ke Surabaya kan, Sov?” tanya Arga.
“Iya dong, masa enggak?” jawab Sovia.
Sovia mengambilkan sarapan untuk calon suaminya. Arga tersenyum bahagia, Sovia sekarang lebih dekat dengannya, lebih terbuka, dan Sovia pun sudah menaruh perasaan sayang untuk Arga. Arga tidak menyangka Sovia juga mengambilkan sarapan untuknya, setelah mengambilkan untuk eyangnya.
“Terima kasih calon istri ....” Arga tersenyum menerima piring dari Sovia.
“Sama-sama calon suami,” jawab Sovia.
“Aduh bahagianya calon pengantin?” ucap Bibi.
“Ih bibi gak usah gitu, kan Sovia malu,” ucap Sovia.
“Lagian malu kenapa? Sama calon suami juga,” ucap Eyang.
“Sudah sekarang kita sarapan, jangan ngobrol dulu.” Sovia menghentikan semua yang meledek dirinya.
Suasana hening kini menyelimuti ruang makan, hanya ada suara dentingan alat makan yang sedikit terdengar lirih. Mereka menikmati sarapannya benar-benar tanpa bicara. Seperti itu eyangnya Sovia, dia selalu mengajari semuanya kalau sedang makan, tidak boleh ada yang bicara.
^^^
Seusai sarpan, Sovia langsung menyusul Aksa yang ada di panti bersama Arga. Dia membawakan sarapan untuk Aksa. Sovia berjalan di sebelah Arga menuju ke panti asuhan yang memang masih berada di lingkungan rumah eyangnya.
“Senang ya Sov tinggal di sini, rame anak-anak setiap pagi dan sore,” ucap Arga.
“Ya seperti itu, Ar. Itu kenapa aku lebih memilih di sini,” jawab Sovia.
“Kalau kita sudah menikah bagaimana?” tanya Arga.
“Ya aku ikut kamu, di mana pun kamu tinggal,” jawab Sovia.
“Kalau kita di Surabaya? Kan pekerjaanku di sana, Sov?” tanya Arga.
“Ya kita tinggal di Surabaya, bertiga. Aku, kamu, dan Aksa,” jawab Sovia.
“Kamu yakin?” tanya Arga.
“Kenapa tidak yakin? Kan ikut suami, Arga?” jawab Sovia.
“Terima kasih ya, Sov. Kamu sudah menerima aku,” ucap Arga.
Sovia menghentikan langkahnya. Dia menghadapa Arga. Menatap wajahanya yang jauh lebih tampan daripada Bima. Dan, Sovia baru menyadarinya setelah dia sudah memiliki rasa sayang pada Arga. Tapi, kalau cinta dia tidak tahu, sudah mulai jatuh cinta sama Arga atau belum.
“Aku yang seharusnya berterima kasih sama kamu. Kamu yang menyelamatkanku dari keterpurukan yang akan aku alami. Kamu satu-satunya orang yang tahu aku, Ar. Terima kasih, karena kamu aku kuat, karena kamu aku masih bisa mengurus Aksa, dan masih bisa menikmati hidupku,” ucap Sovia.
“Jangan bicara seperti itu, Sov. Aku seperti itu, karena aku sayang sama kamu. Dan, aku sangat mencintaimu,” ucap Arga dengan membenarkan rambut Sovia yang terkena angin.
“Terima kasih, dan aku akan terus belajar mencintaimu, Ar. Karena aku sayang sama kamu,” ucap Sovia.
“Katakan sekali lagi, Sov,” pinta Arga.
“Katakan sekali lagi? Yang apa?” tanya Sovia.
“Kata terakhir kamu tadi,” jawab Arga.
“Ehm ... A—aku sayang kamu, Arga,” ucap Sovia dengan menatap mata Arga.
“Aku juga sangat menyayangimu, Sov.” Arga memeluk Sovia dengan erat, dan kali ini Sovia membalas pelukan Arga, mengeratkan pelukannya pada Arga.
“Ajari aku mencintaimu, Arga,” bisik Sovia.
“Itu pasti, Sayang,” jawab Arga.
Sovia semakin mengeratkan pelukannya pada Arga, merasakan cinta yang mengalir dari Arga pada dirinya.
“Seorang yang mencintai, pasti tidak akan pergi, dan pasti akan berjuang. Tidak seperti kamu, Bima. Terima kasih, Arga, kamu telah mengubah hidupku menjadi lebih baik,” gumam Sovia.