Sovia berusaha membuang kenangan bersama Bima. Meski sulit, dia terus mencobanya, terlebih ada Arga yang benar-benar ingin seriun menjalin hubungan dengannya. Kedua orang tua Arga pun setuju jika hubungan Sovia dan Arga serius. Kakak dan adik Arga juga ingin melihat Arga menikah.
Sovia duduk dengan memangku Aksa di teras rumah eyangnya. Dia menatap ke arah yang cukup jauh, ke rumah lama Alesha. Hatinya kelu mengingat kembali saat ijab qobul itu Bima dengan lancar dan lantang mengeja janji sucinya dengan Alesha.
“Sov.” Eyang menepuk pundak Sovia yang masih melamun, dan Sovia sedikir terjingkat.
“Ah, iya eyang, ada apa?” tanya Sovia dengan gugup.
“Jangan melamun, tidak ada gunanya kamu memikirkan Bima, dia sudah ingkar dengan janjinya. Dia tidak bisa mempertahankan hubungan kalian, kalau dia laki-laki yang sangat mencintaimu, apa pun rintangannya, dia tetap berpihak pada kamu, Sov,” ucap Eyang.
“Mungkin memang sudah jalannya seperti itu, Eyang. Sovia juga sudah mengikhlaskan dia pergi dari Sovia. Sovia juga tidak mau membuat tante Riri sakit karena Sovia. Dari Sovia kecil, Sovia sudah merebut kebahagiaan Tante Riri. Kebahagiaan Tante Riri sekarang adalah Bima, jadi Sovia tidak mau merebutnya lagi. Cukup Papa Reza yang aku ambil,” jelas Sovia.
“Bundamu memang keterlaluan. Maaf eyang bicara seperti ini. Eyang sebenarnya masih sangat kecewa dengan bunda kamu. Sudah sering menyakiti ayahmu. Peselingkuhan Reza dan Dilla itu terjadi jauh sebelum Riri menikah dengan Reza. Eyang menyesal menjodohkan Arfan dengan Dilla, yang ternyata Dilla kelakuannya seperti itu. Eyang kira setelag Reza benar-benar menikah dengan Riri, sudah akan berhenti selingkuhnya, tapi saat Arfan ke luar kota, Reza dan Dilla masih ada main, itu jauh sebelum Riri hamil Bima, dan kamu masih bayi. Arfan memergokinya sendiri, karena dia merasa ada yang tidak beres dengan istrinya. Dia menggrebek mereka di rumah Dilla, ayahmu yang memang orang baik, dia menyembunyikannya dari Riri, dia memaafkan bundamu kembali. Dan, terakhir, yang tidak eyang sangka, Dilla dan Reza berulah lagi, setelah ayahmu meninggal,” jelas Eyang.
“Jadi bunda seperti itu?” tanya Sovia yang tidak percaya.
“Iya, makanya eyang dan bundamu itu jauh, karena eyang tahu semua kebusukan bundamu, dan saat kamu liburan di sini, lalu ada kejadian kecelakaan, kamu dan Alesha menjadi korban tabrak lari, saat itu bundamu langsung membawa kamu pulang, dan tidak memperbolehkan eyang menemui kamu hingga kamu dewasa, hingga bundamu sakit-sakitan, barulah bundamu mengizinkan eyang menemuimu dan bundamu meminta maaf pada eyang,” jelas eyang.
Sovia tidak menyangka, bundanya dan papa sambungnya melakukan hal yang menjijikan dan tega menyakiti ayahnya.
“Tidak salah Tante Riri sangat membenciku, Eyang. Ternyata bunda sudah terlalu sering menyakiti Tante Riri dan ayah,” ucap Sovia.
“Seperti itu bundamu. Eyang juga tidak menyangka, wanita yang terlihat polos dan lugu, ternyata malah sangat liar,” ucap Eyang.
“Maaf eyang boleh tanya sesusatu yang sedikit intern sama kamu? Sola masalah pribadi kamu dengan Bima?” tanya eyang.
“Iya boleh, pasti eyang mau tanya seberapa dalam aku menjalin hubungan dengan Bima, kan?” jawab Sovia dengan bertanya pada eyangnya.
“Iya, eyang mau tanya itu. Maaf, kalau eyang mengurusi privasi kamu. Tapi, eyang adalah penanggung jawabmu sekarang. Eyang tidak mau, saat kamu menikah dengan laki-laki selain Bima, akan mengecewakan laki-laki yang menikah denganmu itu,” ucap Eyang.
“Sovia masih dalam batas kewajaran pacaran dengan Bima, Eyang. Bima laki-laki yang baik, dia selalu menjaga Sovia. Itu yang membuat Sovia jatuh cinta sama Bima. Mungkin, jika saat itu tidak ada Bima. Sovia mau diperkosaa dengan pacar Sovia. Dan, sejak Bima menolong Sovia, Sovia dekat dengan laki-laki hanya Bima saja. Sovia sama Bima, belum pernah melakukan hal yang menjerumus ke situ. Kami belum pernah berhubungan intim sedikit pun. Hanya sekadar peluk dan cium, cium pun Bima jarang sekali mencium bibirku, bahkan bertemu lama di sini hampir dua bulan, kami bertemu hanya mengobrol melepas kangen,” jelas Sovia. “Cinta sejati itu cinta yang suci, Eyang. Cinta yang tidak ternoda, sebelum terikat dalam sebuah pernikahan,” pungkasnya.
“Eyang bangga dengan kamu. Kamu benar-benar menuruni sifat ayahmu,” ucap Eyangnya Sovia dengan menepuk bahu Sovia.
“Kemarin ayahnya Arga telefon eyang. Dia menanyakan kabar kamu, dan tanya juga kapan kamu siap dilamar Arga,” ucap Eyang.
“Menurut eyang bagusnya seperti apa? Sovia nurut eyang saja,” jawab Sovia.
“Mungkin benar kata eyang, sudah saatnya Sovia membuka hati untuk laki-laki lain. Umur Sovia sudah tidak muda lagi, dan Sovia tidak tahu, kapan keajaiban itu datang, supaya Sovia bisa bersama Bima. Dan, Sovia rasa itu sangat mustahil.” Sovia berkata dengan tersenyum kelu.
“Lalu, apa kamu akan menerima Arga?” tanya Eyang.
“Sudah tujuh bulan Bima menikah, dan Alesha pun sama sekali tidak pernah menghubungi Sovia lagi, mungkin mereka sudah bahagia. Tidak salah juga kalau Sovia cari kebahagiaan untuk diri Sovia. Hanya Arga laki-laki yang sangat mengerti Sovia. Sovia akan belajar menerima Arga dan mencintai Arga, Eyang. Aku tidak mau lagi larut dalam kesedihan, memikirkan orang yang jelas-jelas sudah bahagia. Yang jelas-jelas meninggalkan Sovia,” jelas Sovia.
“Kamu yakin?” tanya Eyang sekali lagi, untuk meyakinkan Sovia.
“Yakin, Eyang,” jawabnya.
“Kalau begitu, nanti eyang bicara dengan ayahnya Arga,” ucap Eyang.
“Besok Arga dan kedua orang tuanya akan ke sini, melamar Sovia. Ibunya Arga bicara seperti itu pada Sovia, tadi pagi,” ucap Sovia. “Tadi juga Sovia sudah membicarakannya dengan Arga, Eyang,” imbuh Sovia.
“Jadi benar kamu akan menerima Arga? Sudah siap hati kamu?” tanya Eyang lagi.
“Tujuh bulan Sovia mencoba melupakan Bima. Memang tidak bisa sama sekali, Eyang. Tapi, sampai kapan Sovia akan terkungkung dalam keadaan yang menyiksa Sovia? Ada Aksa, dia butuh Sovia, ada eyang juga. Sovia sadar, masih banyak orang yang menyayangi Sovia, dan Sovia tidak mau menyia-nyiakan hidup Sovia untuk hal yang sudah tidak layak diperjuangkan. Sovia perempuan, perempuan adalah sosok yang harus diperjuangkan, tapi Bima? Dia berhenti memperjuangkan Sovia. Tapi, dia tidak salah, karena yang ia perjuangkan adalah mamanya. Seorang laki-laki, sudah menikah pun tidak bisa lepas dari mamanya. Dia harus tetap berbakti pada mamanya. Dia masih harus bertanggung jawab dengan mamanya. Dan, itu tidak mungkin terjadi kalau Bima menikah dengan Sovia, bakti anak laki-laki pada mamanya sudah tidak berlaku, karena sudah menyakiti mamanya,” jelas Sovia.
“Kamu memang perempuan yang kuat dan hebat, Nduk. Eyang salut, eyang bangga dengan kamu. Eyang yakin, kamu pasti akan bahagia dengan orang yang tepat. Meski jarang sekali, ada pelangi setelah hujan, tapi kebahagiaan setelah turunnya hujan pasti akan selalu ada. Bahagia, nyaman, tentram, dan sejuk,” ucap eyang.
“Doakan Sovia ya, Eyang. Hanya eyang yang Sovia punya. Sovia juga ingin bahagia seperti perempuan di luar sana, memiliki pasangan hidup yang menyayangi dan mencintai Sovia,” ucap Sovia.
“Itu selalu, Nduk.” Eyang memeluk Sovia dan mencium puncak kepalanya.
Sovia sadar, dia tidak mau larut dalam kesedihannya. Dia harus bisa menjemput kebahagiaan lainnya, meski tanpa Bima.
“Luka dan lara akan selalu ada, tapi luka dan lara bisa disembuhkan dengan orang yang tepat. Ya, tentunya orang yang menyayangi dan mencintai kita, dengan tulus dan tanpa pamrih. Dan, tanpa adanya dendam. Semoga pilihanku untuk memulai lembaran baru dengan Arga, adalah pilihan yang tepat, dan direstui Tuhan,” gumam Sovia.
Sovia yakin, Arga adalah laki-laki yang tepat untuknya. Dia tidak akan menyia-nyiakan seseorang yang begitu tulus mencintainya.
"Aku akan mencoba menjadi yang terbaik untuk kamu, Arga. Seperti kamu yang selalu menjadi terbaik untukku," gumam Sovia.