“Lupakan Bima, Sov! Kamu harus bisa!” gumam Sovia dengan menyeka air matanya.
Sovia menelan makanannya yang dari tadi susah sekali masuk ke dalam perutnya. Dia masih terngiang ucapan Bima saat mengucapkan ijab qobul di depan penghulu. Rasa sakit itu belum seberapa dengan apa yang dirasakan mamanya Bima saat melihat perselingkuhan papanya Bima dengan bundanya, terlebih Sovia yang meminta sendiri Reza menjadi papanya, dia juga sering menahan Reza untuk pulang ke rumah.
“Sov, kamu ingin langsung pulang ke Jogja atau mau di sini dulu?” tanya Arga.
“Langsung pulang saja, Ar. Aku udah mendingan kok, tapi sebelum pulang antar aku ke makam bunda sama papa Reza, ya?” pinta Sovia.
“Oke, tapi makanannya di habiskan dulu, ya? Kamu jangan makan yang terlalu keras. Nasi juga yang harus sedikit lembek,” ucap Arga.
“Iya, Arga,” jawab Sovia.
Dokter memeriksa keadaan Sovia lagi. Keadaan Sovia sudah sedikit membaik, dan Sovia boleh langsung untuk pulang, tapi tetap masih harus berobat jalan dan menjaga pola makannya.
Arga melajukan mobilnya ke tempat pemakaman umum sebelum melanjutkan perjalanannya ke Jogja. Sovia ingin mengunjungi makan bundanya dan makam Papa Reza. Dia juga mengunjungi makam ayahnya.
“Bunda, kenapa bunda pergi harus meninggalkan seonggok luka di hati seseorang? Kenapa, Bunda? Lihat putrimu, Bunda. Putrimu yang menanggung semua yang bunda dan papa perbuat. Sovia sayang bunda dan papa, bagaimanapun kelakuan kalian di dunia, Sovia tetap sayang, tapi apa semua ini adil bagi Sovia? Sovia masih di benci orang yang sudah bunda dan papa sakiti hatinya. Sovia tidak bisa bersama dengan orang yang Sovia cinta, tapi Sovia tidak apa-apa, Sovia tidak akan menjadi bunda, yang merebut kebahagiaan orang! Kecewa, ada rasa itu di hati Sovia, kenapa bunda bisa melakukan hal seperti itu. Tapi, semua sudah berakhir, bunda dan ayah sudah mendapatkan balasannya, sekarang mungkin aku. Ini balasan dari anak yang merebut papanya seorang anak,” ucap Sovia dengan berlinang air mata.
Arga merangkul Sovia. Dia tahu batin Sovia berontak. Arga juga tahu kalau Sovia mengatakan semua itu karena memang itu unek-unek yang ada di hatinya.
“Sudah, Sov, jangan bicara seperti itu. Kamu tidak boleh bicara seperti itu lagi Sov. Semua sudah takdir dari Tuhan,” ucap Arga.
“Kalau bunda tidak merebut papanya Bima, mungkin aku tidak dibenci oleh Tante Riri, Ar. Aku ingat saat dulu, waktu pertemanan bunda, Tante Tasya, dan Tante Riri masih baik-baik saja, aku sangat dekat dengan Tante Riri, aku sering rebutan dengan Silvi, rebutan digendong Tante Riri. Tante Riri sangat menyayangi aku, kadang kalau bunda sibuk di butik, Tante Riri mengajakku pergi, dan setelah kepergian ayah, semua berubah. Aku dan bunda merebut Om Reza dari Tante Riri, saat Tante Riri hamil Bima. Ini balasan untuk aku, Ar. Tante Riri sangat benci dengan aku,” jelas Sovia.
Arga mengeratkan pelukannya pada Sovia. Sovia tanpa sadar membalas pelukan Arga. Dia tidak tahu mau berpegangan dengan siapa lagi untuk memberikan kekuatan pada dirinya kecuali Arga. Hanya ada Arga di sebelahnya, dan hanya Arga yang peduli dengan dirinya saat ini.
Sovia juga mengunjungi makam ayahnya. Dia berjongkok mengusap batu nisan milik ayahnya. Sovia yakin ayahnya pun kecewa dengan bundanya. Mendegar cerita dari eyangnya saja Sovia sudah merasakan betapa kecewanya ayah pada bundanya, tapi karena cinta yang tulus untuk bundanya, ayahnya Sovia tetap bisa memaafkan bundanya.
“Ayah, coba kalau ayah masih ada, Sovia tidak akan seperti ini, Yah. Maafkan Sovia, Ayah,” ucap Sovia.
“Sov, sudah ya? Jangan seperti ini terus, kamu harus kuat, kamu harus mementingkann kesehatan kamu sekarang. Jangan memikirkan hal yang macam-macam, Sov. Sudah ya, kita pulang, sudah mau petang,” ucap Arga. Sovia hanya menganggukkan kepalanya.
Arga melajukan mobilnya untuk pulang langsung ke Jogja. Sovia dari tadi hanya diam, hanya bicara kalau Arga tanya dengannya saja. Sovia sadar, sekarang sudah tidak ada lagi Bima. Sudah tidak ada lagi yang diharapkan dari hubungannya dengan Bima, Bima sudah menikah, menjadi milik Alesha, yang tak lain teman masa kecilnya.
“Lupakan Bima, Sov. Meski kamu sangat sulit melupakan cinta untuk Bima. Kamu jangan mengulang kisah bundamu, yang merebut milik orang, kamu harus bisa melalui ini, bahkan kamu harus bisa mencari pengganti Bima, orang yang benar-benar tulus mencintaimu, dan keluarganya menerima kamu apa adanya,” gumam Sovia.
^^^
Tiga bulan telah berlalu. Sovia sudah semakin membaik hatinya. Dia sudah tidak peduli lagi dengan perasaan yang tertinggal untuk Bima di hatinya. Dia lebih Fokus mengurus pekerjaannya dan mengurus Aksa. Dia juga kadang ke Surabaya dua minggu sekali untuk mengurus perusahaannya yang ia titipkan pada Arga.
Hari ini dia berada di Surabaya, dia membawa Aksa juga ke Surabaya, karena dia tidak bisa meninggalkan Aksa selama tiga hari. Di Surabaya dia ada urusan dengan klien selama tiga hari, jadi dia terpaksa membawa Aksa dengan Susternya ke Surabaya.
“Mau langsung pulang, Sov?” tanya Arga.
“Langsung saja, Ar. Kasihan Aksa di rumah sama susternya saja,” jawab Sovia.
“Ehm ... mumpung kamu di sini, nanti malam ibu mengundang kamu makan malam, apa kamu bisa?” tanya Arga.
“Ibu kamu? Kok mendadak? Ada acara apa memangnya?” tanya Sovia.
“Ya acara makan malam saja, ibu bilang sesekali Sovia diajak makan malam di rumah, mumpung di Surabaya agak lama,” jawab Arga.
“Oke, aku bawa Aksa, ya?” Sovia mengiyakan ajakan Arga.
“Boleh, ajak saja Aksa, pasti ibu suka,” jawab Arga.
“Oke, nanti aku ajak Aksa,” ucap Sovia.
“Habis Isya aku jemput kamu di rumah,” ucap Arga.
Sovia semakin nyaman dengan Arga yang selalu baik padanya. Apa pun yang Sovia butuhkan, pasti Arga mencukupinya. Cintanya pada Bima masih terus melekat di hatinya, bahkan dia tidak bisa melupakannya, dia tidak bisa meninggalkan cintanya pada Bima. Tapi, di sisi lain, seorang laki-laki sudah membuat nyaman hidupnya. Seakan hidupnya selalu bersandar pada laki-laki tersebut. Siapa lagi kalau bukan Arga. Arga yang selalu peduli, perhatian, dan semua yang Sovia butuhkan Arga lah yang selalu mencukupinya.
“Lupakan Bima, Sov. Lupakan semuanya, cintanya, kenangannya, dan semua tentangnya. Kamu pasti bisa menemukan cinta yang lain, yang lebih dari cintanya Bima padamu. Kamu jangan lemah karena cinta,” gumam Sovia dengan menyemangati dirinya.
^^^
Alesha sudah menyiapkan makan malam untuk suaminya. Setelah menikah, Bima tidak lagi ke Jogja, bukan tidak lagi ke Jogja, tapi dia jarang-jarang ke Jogja. Dia sekarang tinggal di rumah Alesha, itu semua karena orang tua Alesha tidak di Surabaya, mereka tinggal di Jakarta.
Bima berusaha menjadi suami yang baik pada istrinya, dia juga tidak mau mengecewkan mamanya lagi. Sedikit demi sedikit dia melupakan Sovia, tapi tetap saja cinta itu masih bersemayam di lubuk hatinya. Cinta untuk Sovia masih utuh, tidak pernah hilang sedikit pun, meski dia sudah memiliki Alesha, dan sudah memperlakukannya sebagai seorang istri. Ya, Bima sudah menyentuh Alesha. Meski tanpa cinta, dia tetap harus menyentuh istrinya, karena itu sudah menjadi kewajibannya.
Bima mendekati Alesha yang sedang menata makan malamnya di meja makan. Dia memeluk Alesha dari belakang dan mencium pipinya.
“Terima kasih, ya?” ucap Bima.
“Untuk?” tanya Alesha.
“Untuk semuanya, aku merasa dimanjain sekali selama kamu tidak bekerja, tapi kamu jangan kecapean ada bibi, kalau enggak sempat masak, ya biar bibi yang masak,” ucap Bima.
“Sudah kewajibanku, Mas,” jawab Alesha.
“Jadi sekarang enggak bilang aku anak PAUD lagi dong?” ucap Alesha dengan tersenyum.
“Tetap anak PAUD, manja kalau di ranjang,” ucap Bima.
“Dasar m***m!” Alesha memukul lengan Bima dengan lirih.
“Mas, besok mama mengajak aku ke butiknya sama Aina, boleh aku ikut?” pamit Alesha.
“Boleh, tapi jangan sampai sore, ya? Aku mau ajak kamu makan malam dengan klien, temani aku,” ucap Bima.
Meski Bima tidak mencintai Alesha, dia tetap memperlakukan Alesha dengan baik. Meski hampa terasa, tapi dia tetap memberikan kenyamanan, candaan, dan kadang bersikap romantis dengan Alesha. Hampa. Karena, tidak ada cinta untuk Alesha, Bima hanya merasanya nyaman, tenang, dan entah apa lagi yang ia rasakan setelah menikah dengan Alesha.
“Aku tidak tahu harus bagaimana, Al. Aku memang masih sangat mencintai Sovia, tapi takdirku berhenti di kamu saat ini. Kamu adalah istriku, sudah seharusnya dan sudah kewajibanku membahagiakan istriku, meski tanpa cinta. Maafkan aku yang belum bisa mencintaimu, Al. Tapi, aku janji, aku tidak akan membuat kamu menangis,” gumam Bima.
^^^
Sovia sudah berada di depan rumah Arga. Arga mengajak Sovia masuk ke dalam, menemui ibu dan ayahnya yang katanya sudah menunggu Sovia. Arga hanya tinggal dengan ibu dan ayahnya saja. Kakaknya sudah menikah, dan hidup dengan istrinya di Jakarta. Adik perempuannya juga sudah menikah, sekarang ikut dengan suaminya di Pemalang. Tinggal Arga yang belum menikah, kedua saudara kandungnya sudah menikah.
“Masuk, Sov,” ajak Arga. Sovia masuk ke dalam rumah Arga, Arga mempersilakan Sovia duduk di ruang tamu.
“Ibu, Ayah, Sovia sudah datang.” Arga masuk ke dalam dan teriak memanggil ibu dan ayahnya.
Arga mengajak ibu dan ayahnya keluar menemui Sovia. Sovia yang sedang duduk memangku Aksa, sedikit kaget dan grogi bertemu dengan ibunya Arga. Padahal jauh sebelum malam ini, dia pernah dua kali bertemu dengan ibunya Arga, tapi malam ini Sovia merasakan hal yang berbeda.
“Selamat malam, Pak, Bu.” Sovia menyalami mereka dengan sopan.
“Malam Sovia, lama sekali ibu tidak bertemu dengan kamu. Kamu semakin cantik saja,” puji Bu Rahma.
“Ibu bisa saja, Sovia masih sama seperti dulu, Bu,” ucap Sovia dengan malu-malu.
“Jadi ini, bosnya Arga yang membuat Arga tidak mau melirik wanita lain?” ucap Pak Ridwan, ayahnya Arga.
“Ayah, apaan sih!” Arga menyenggol lengan ayahnya karena dia sedikit malu.
“Bapak bisa saja. Arganya saja yang memang tidak mau, Pak. Bukan karena Sovia,” ucap Sovia.
“Ini siapa, Nak? Anak kamu?” tanya Bu Rahma pada Sovia, dengan mengusap pipi Aksa.
“Ini anak angkatku, Bu. Jadi, eyang punya panti asuhan di Jogja, terus ada bayi baru berumur berapa bulan atau berapa minggu di taruh di teras panti. Aku mengadopsinya, Bu. Entah kenapa aku langsung jatuh hati dengan bayi yang tidak berdosa yang dibuang ibunya. Jadi aku putuskan untuk mengadopsinya,” jelas Sovia.
“Oh, jadi eyangnya kamu punya panti asuhan?” tanya Pak Ridwan.
“Iya, Pak. Saya sekarang juga ikut mengelola di sana,” jawab Sovia.
“Boleh ibu gendong?” pinta Bu Rahma.
“Iya, Boleh,” ucap Sovia.
Bu Rahma lama sekali ingin memiliki cucu. Kedua anaknya yang sudah menikah selama hampir enam tahun, belum di karuniai anak semuanya. Jadi beliau suka sekali dengan anak kecil. Aksa juga langsung mau ikut dengan Bu Rahma.
"Ya sudah yuk, kita makan malam. Ibu sudah memasak masakan spesial untuk kamu," ucap Bu Rahma.
"Iya, Bu. Ehm ... biar Aksa denganku, Bu. Nanti ibu repot," ucap Sovia.
"Tidak apa-apa, biar Aksa dengan ibu. Mau kan sama eyang?" ucap Bu Rahma dengan bahagia.
"Biar Aksa dengan ibu, ayo kita masuk," ajak Arga.
"Enggak enak, ih. Masa Aksa dengan ibu?" ucap Sovia dengan lirih.
"Ibu sudah lama sekali ingin punya cucu, tapi kakak sama adikku belum punya baby," ucap Arga.
Sovia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar penuturan Arga. Dia duduk di sebelah Arga, dan menikmati makan malam dengan kedua orang tua Arga. Setelah selesai makan malam. Bu Rahma mengajak Sovia berbicara berdua di ruang tengah. Entah apa yang ingin Bu Rahma bicarakan pada Sovia, sepertinya sangat serius.
"Nduk, apa kamu belum ingin menikah?" tanya Bu Rahma tanpa basa-basi dulu pada Sovia.
"Ehm, belum memikirkan itu, Bu," jawab Sovia.
"Sudah, Nduk. Yang sudah dan yang menyakitkan kamu harus bisa melupakan dan merelakan. Ibu tahu semua dari Arga. Ibu tahu bagaimana perasaanmu juga," ucap Bu Rahma.
"Jadi Arga cerita semuanya pada ibu?" tanya Sovia.
"Tempat curhat Arga ya sama ibu, semua Arga ceritakan tentang kamu. Dia menyayangimu, dan ibu juga tahu Arga mencintaimu. Itu kenapa sampai saat ini, dia tidak mau menikah," ucap Bu Rahma.
"Arga juga pernah menyatakan perasaannya pada Sovia, Bu. Tapi, ibu juga tahu sendiri, Sovia mencintai laki-laki lain," ucap Sovia.
"Apa kamu akan terus berada di posisi yang seperti ini, Nduk? Apa tidak akan menyakitkan? Berusahalah membuka hati untuk yang lain. Meski sulit, tapi kamu jangan menyiksa hatimu yang masih tergantung di masa lalu, dan kamu sadar kalau masa lalu itu tidak mungkin kembali lagi," tutur Bu Rahma.
"Sovia sedang mencoba membuka hati Sovia, Bu. Dan, Arga tahu itu," ucap Sovia.
"Iya, ibu tahu kok, Arga cerita sama ibu. Ibu akan menunggu kamu siap dengan Arga. Ibu percaya kamu pasti bisa melupakan masa lalu kamu yang pahit," ucap Bu Rahma.
"Iya, Bu. Terima kasih, ibu sudah baik sekali sama Sovia," ucap Sovia.
Tidak Sovia sangka, pertemuannya malam ini dengan orang tua Arga, ternyata hanya karena ibunya Arga ingin Sovia lebih dekat dengan Arga dan menerima Arga menjadi teman hidupnya.
"Apa ini saatnya aku mencoba membuka hatiku, membuka lembaran baru dalam hidupku? Ibunya Arga sudah terlalu baik dengan aku, Arga pun sama. Dia manusia paling baik yang pernah aku kenal," gumam Sovia.