LARA - 24

2082 Kata
Arga merangkul Sovia yang menangis menyaksikan pernikahan Alesha dan Bima. Sovia bersama Arga menghadiri pernikahan Alesha. Sovia tidak tahan membendung air matanya hingga isak tangisnya terdengar tamu undangan lainnya yang menghadiri dan menyaksikan ijab qobul Alesha dan Bima. Sovia menatap dari kejauhan  Bima menyematkan cincin kawin dan mencium kening Alesha setelah mengikrarkan janji sucinya. “Kuat ya, Sov?” Arga merangkul Sovia menghimpitkan badan Sovia ke badnnya dan mengusap lengannya. “Aku lega, Ar. Aku sudah tidak lagi menyakiti Tante Riri,” ucap Sovia dengan suara serak. “Iya, aku tahu kok, sudah jangan nangis. Kamu perempuan yang kuat, kamu perempuan hebat, aku yakin kamu bisa menjalani ini, melewati semua rasa sakitmu. Jangan nangis, ya?” Arga menyandarkan kepala Sovia ke dadanya dan mengusapnya dengan lembut. “Saki, Arga ... sakit sekali.” Sovia memegang dadanya dan sedikit menekannya. Dia merasakan sesak yang teramat di dadanya. “Aku tahu ini sangat menyakitkan, Sov,” ucap Arga. Arga merasa tubuh Sovia melemah di dekapannya. Tubuh Sovia terjatuh, dia pingsan di pelukan Arga. “Sov ... Sovia!” Arga sedikit teriak, hingga suaranya terdengar sampai ke tempat Bima dan Alesha yang sedang melakukan sesi foto keluarga setelah ijab qobul dan acara sungkeman. “Kak Sovia?” Alesha mengangkat gaunnya berlari ke arah kerumunan, tempat di mana Sovia pingsan. “Permisi ... tolong kasih jalan ...,” Ucap seseorang yang berada di sebelah Alesha yang berlari menghampiri Sovia. “Kak Sovia?” Alesha berjongkok di depan Sovia, melihat Arga yang menepuk pipi Sovia. “Kak Sovia, bangun kak. Maafkan Alesha, maafkan Alesha, Kak.” Alesha menangis dengan menepuk pipi Sovia. “Mbak ada yang bawa kayu putih, atau minyak angin mungkin?” Alesha meminta minyak kayu putih pada tamu undangan yang mengerubungi Sovia pingsan. “Aku bawa ke rumah sakit saja, Al. Sudah kamu teruskan acaramu, biar aku yang mengurusnya,” ucap Arga. Kedua orang tua Alesha berjalan menuju ke arah di mana Sovia pingsan. Bima pun turut, tak peduli mamanya yang mencekal tangan Bima saat akan melihat keadaan Sovia. “Bawa ke kamar tamu saja, Mas,” ucap Pak Teguh pada Arga. “Terima kasih, Pak. Aku bawa Sovia ke rumah sakit saja, dia tidak hanya pingsan biasa. Permisi.” Arga berusaha membopong tubuh Sovia. Bima yang melihatnya akan membantu Arga, tapi Arga menepis tangan Bima. “Biar aku saja, selesaikan urusanmu hari ini,” tukas Arga. “Apa Sovia sakit? Sovia sakit apa?” tanya Bu Maya. “Tidak perlu jawaban untuk itu. Ibu seorang wanita pasti tahu apa yang Sovia rasakan!” sarkas Arga. Arga tidak memedulikan mereka lagi. Dia langsung membopong tubuh Sovia dan segera membawa Sovia ke rumah sakit. Arga tahu Sovia sudah satu minggu ini mengurung diri di kamar. Itu kata eyangnya. Kemarin Arga hanya menuruti Sovia, menjemput Sovia untuk mengantarnya menghadiri Pesta Pernikahan Bima dan Alesha di Surabaya. Arga menemani Sovia yang masih belum sadar di IGD. Dia menggenggam tangan Sovia yang terasa sangat dingin. Keringat dingin pun terus keluar di keningnya. Arga yakin, Sovia pasti tidak menjaga pola makannya. Dia bilang baik-baik saja, tapi Arga tahu kalau Sovia tidak sedang baik-baik saja. Dokter menghampiri Arga, dan memeriksa lagi keadaan Sovia yang masih belum sadarkan diri. “Apa bapak anggota keluarganya?” tanya Dokter tersebut. “Saya teman satu kantornya, Dok. Keluarganya ada di Jogja,” jawab Arga. “Apa bapak teman dekatnya?” tanya Dokter. “Iya, saya dekat dengan pasien, karena dia atasan saya di kantor,” jawab Arga. “Bisa bicara sebentar di sana, Pak?” pinta Dokter tersebut. “Iya, bisa dok,” jawab Arga. Arga mengekori dokter yang memeriksa Sovia ke arah meja kerjanya yang ada di IGD. “Silakan duduk, Pak.” Dokter tersebut mempersilakan Arga duduk di kursi yang ada di depannya. “Apa pola makan pasien akhir-akhir ini tidak teratur?” tanya Dokter. “Iya, mungkin, Dok. Dia juga punya asam lambung yang sudah kronis,” jawab Arga. “Tolong di bantu awasi pola makannya ya, Pak. Benar lambungnya sudah sangat kronis, sudah terdapat luka di lambungnya. Jangan sampai telat makan, saat ini jangan makan nasi dulu, makan nasi yang agak lunak atau bubur lebih baik. Dan, satu lagi, jangan stres juga banyak pikiran,” jelas Dokter yang menangani Sovia. “Baik, Dok. Apa teman saya perlu di rawat? Atau bisa rawat jalan?” tanya Arga. “Seharusnya perlu perawatan intensif dulu di sini, supaya pola makan dan kesehatannya lebih terkontrol dokter. Tapi, kalau bapak memilih rawat jalan juga tidak apa-apa. Nanti setelah pasien sadar, saya kasih obat, dan bisa langsung pulang kalau keadaan sudah baik-baik saja,” jawab Dokter. “Teman saya tinggal di Jogja, tadi ke sini Cuma menghadiri undangan pernikahan kerabat kami, jadi biar teman saya melanjutkan berobat di Jogja, Dok,” ucap Arga. “Oh, tidak masalah, yang penting atur pola makannya, dan jangan kebanyakan pikiran atau setres,” jawab Dokter tersebut. “Iya, Dok. Terima kasih,” ucap Arga. Setelah selesai berbicara dengan Dokter, Arga kembali mendekati Sovia yang masih belum sadarkan diri. Arga mengusap kening Sovia, menatap wajah Sovia yang pucat pasi, manatapnya dengan tatapan sendu, dan sesekali mengusap matanya yang sudah berembun dan hampir meneteskan air matanya. “Sov, sembuh, ya? Kamu harus kuat,” ucap Arga dengan menggenggam tangan Sovia dan menciumnya. Ada rasa yang tidak bisa Arga jelaskan. Cintanya kepada Sovia sudah melebihi apa pun. Dia tidak tega sekali melihat wanita yang dia cintai terbaring lemah karena seseorang yang sangat dicintainya. “Andai saja kamu mau membuka hatimu untukku, Sov. Aku akan jaga kamu, aku akan selalu membuat kamu bahagia, meski cinta darimu tak pernah kumiliki,” ucap Arga dengan suara serak, dan sesekali mengusap air matanya. Arga mendengar ponselnya berdering, ada telefon masuk dari seseorang yang sangat ia kenal. Siapa lagi kalau bukan dari Bima. Arga mengepalkan telapak tangannya, melihat siapa yang menelefon dirinya. “Mau apa pengecut ini menelfonku?!” Arga tidak mau berurusan lagi dengan Bima, dia memilih menekan tombol diam, dan tidak mau menjawab telefon dari Bima. Tidak menyerah, Bima terus menelfon Arga, dan membuat Arga semakin geram denga Bima. Arga menggeser tombol berwarna hijau dan menjawab telefon dari Bima. “Ada apa?” “Sovia bagaimana, Ar?” “Masih  berani tanya Sovia kamu? Dasar pengecut!” “Oke, aku memang pengecut, Ar. Maafkan aku, aku mengkhianatinya. Ini bukan keinginanku, Ar. Kamu tahu sendiri, kan?” “Kamu saja jadi laki-laki kurang tegas! Kalau kamu mencintai Sovia, kamu harusnya tegas! Bilang dengan mamamu, perjuangkan Sovia. Sekarang, sampaikan kepada mamamu, jangan buat Sovia menderita lagi! Sudah cukup membalas sakit hatinya pada Sovia! Dan, kamu yang menjadi laki-laku malah tidak bisa tegas!” “Aku tidak mau menyakiti mamaku, Ar. Kamu harusnya tahu posisiku sekarang seperti apa? Aku menikahi wanita yang tidak aku cintai sama sekali, Ar! Tolong katakan padaku, bagaimana Sovia?” “Dia masih belum sadarkan diri. Kalau sudah sadar, aku akan bawa dia pulang ke Jogja, dan berobat jalan di sana.” “Sekarang Sovia ada di rumah sakit mana?” “Mau apa kamu tanya Sovia sekarang ada di mana? Mau ke sini? Mau bawa mama kamu, dan menambah luka di hati Sovia?! Iya, begitu?! Stop menyakiti Sovia, jangan temui dia lagi, Bima! Sekarang kamu bukan siapa-siapa Sovia lagi, Sovia berhak bahagia dengan seseorang yang bisa menjaga dirinya, dan tidak menyakitinya! Camkan itu!” “Aku mau lihat Sovia, di rumah sakit mana, tolong katakan aku!” “Maaf, tidak bisa aku katakan. Urusi rumah tanggamu, jangan mengurusi hidup Sovia lagi. Setelah kamu datang, kamu kembali menjatuhkan Sovia. Sovia sudah tenang hidup di Jogja, kamu kembali usik dia, dan kamu sakiti dia lagi, Bima! Aku tidak akan membiarkan itu terulang lagi!” Arga memutus pembicaraannya dengan Bima. Dia menonaktifkan ponselnya. Bima tidak bisa menghubungi Sovia, karena nomor Sovia terpaksa harus ganti lagi, demi menjauh dari Bima dan Alesha. ^^^ Bima mencoba menghubungi kembali nomor Arga, tapi sudah tidak aktif. Tidak mungkin dia menghubungi nomor Sovia, karena nomor Sovia sudah tidak aktif sejak sebulan yang lalu, sehabis acara makan malam itu, Sovia mengganti nomornya saat sudah berasa di Jogja. “Arrgghhtt ...!!!” Bima mencengkram kepalanya, menjambak rambutnya. Dia tidak tahu harus bagaimana, apalagi statusnya sekarang sudah berbeda. Dia sudah menjadi seorang suami hari ini. Alesha  melihat Bima yang sedang kacau, dia takut untuk mendekati Bima yang sedang frustrasi karena tidak mendapat kabar dari Sovia. Alesha hanya bisa menangis. Seusai acara resepsi tadi, Bima langsung mengganti pakaiannya, dan setelah itu meninggalkan Alesha di kamar sendiria, tanpa ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Bima. Bima meninggalkan Alesha, dia menuju ke arah teras samping rumah yang agak sepi dari orang, dan menelfon Arga. Alesha memberanikan diri mendekati Bima yang sedang kacau pikirannya. Alesha tidak menyangka Sovia dengan Arga akan datang ke acara pernikahannya. Dia memang mengundang Sovia, saat satu minggu lagi akan menikah, Alesha dan kedua orang tuanya mendatangi rumah eyangnya Sovia. Menyampaikan maaf pada Sovia dan eyangnya, lalu memberitahukan kalau Alesha akan menikah dengan Bima. Dan, Alesha memberikan undangan pernikahannya untuk Sovia. “Bima,” panggil Alesha. Bima tidak menjawab panggilan Alesha yang sudah berada di sebelahnya. Dia hanya diam menatap layar ponselnya yang belum berubah wallpapernya. Masih foto Sovia dan dirinya yang terpampang di ponselnya. Alesha melihat itu. Sesak sekalu rasanya, suami yang ia cintai masih mencintai wanita masa lalunya. “Sabar, Al. Mungkin ini awal, apalagi tadi suami kamu melihat Sovia seperti itu. Kamu harus kuat, karena hidup satu atap dengan seseorang yang tidak mencintaimu, membutuhkan kesabaran yang sangat banyak. Kamu jangan menyerah Al,” gumam Alesha yang berdiri di sebelah Bima. “Sovia belum sadar, Al. Aku tanya Arga ada di rumah sakit mana, tapi dia tidak mau memberitahukannya,” ucap Bima. “Dari tadi belum sadar? Kak Sovia sakit apa sebenarnya?” tanya Alesha. “Aku sendiri tidak tahu, Al. Kamu tahu sendiri, meski aku menjalin hubungan dengan Sovia, tapi tak seperti orang-orang di luar sana yang sangat tahu soal kekasihnya. Sovia perempuan yang tertutup, dia enggan menceritakan masalahnya, meski dengan aku, yang tak lain adalah kekasihnya,” jawab Bima. Memang Sovia seperti itu, dia lebih tenang menyimpan masalahnya sendiri, daripada harus bercerita dengan orang lain. Seperti sakitnya, dia tidak pernah bilang kalau Sovia punya sakit lambung yang sudah kronis. Hanya Arga yang tahu, karena Arga yang sering melihat Sovia kambuh, dan berulang kali dia sering membawa Sovia ke rumah sakit saat sedang kambuh. “Apa kamu akan mencari di mana Kak Sovia sekarang? Di rumah sakit mana gitu?” tanya Alesha. “Entahlah, aku tidak tahu. Lagian tidak mungkin bisa, tidak mungkin aku tinggalkan acara ini, Al. Aku tidak tahu, aku harus bagaimana. Benar kata Arga, aku lelaki pecundang, aku lelaki pengecut,” ucap Bima. Alesha hanya diam. Dia pun sama, tidak mungkin meninggalkan acaranya untuk mencari di mana Sovia di rawat. Rumah sakit di daerahnya banyak, tidak mungki satu persatu mereka mengunjungi rumah sakit, dan mencari Sovia. “Kita bicarakan ini nanti setelah acara, Bim. Aku akan bantu kamu cari Kak Sovia,” ucap Alesha. “Untuk apa? Untuk menyakiti Sovia lagi? Lagian dia mungkin sudah kembali ke Jogja, Arga bilang Sovia akan rawat jalan di Jogja. Aku tidak tahu dia sakit apa, aku lihat Sovia sangat baik-baik saja dan sehat,” ucap Bima. “Mungkin Kak Sovia sakit cukup serius, tapi Kak Sovia nyembunyiin sakitnya dari kamu, Bim,” ucap Alesha. “Aku tidak tahu, Al. Aku juga tidak tahu harus bagaimana saat ini,” ucap Bima. Alesha mengajak Bima masuk ke dalam, karena masih banyak tamu yang belum mereka temui. Bima masih memikirkan Sovia, bagaimana keadaan Sovia. Pesta pernikahannya yang ramai tamu undangan, tapi Bima merasakan sendirian. Hati dan jiwanya sepi. Sepi sekali. “Sov, maafkan aku. Aku tidak tahu harus berbuat apa, semua sudah terjadi, dan aku sudah menjadi suami Alesha. Aku masih sangat mencintaimu, Sov. Sangat mencintaimu. Mungkin di dunia ini kita tidak bisa bersatu, tapi cinta suci kita akan mempersatukan kita di akhirat nanti,” gumam Bima. ^^^ Sovia sudah sadarkan diri dari pingsannya. Dia melihat Arga yang sedang duduk di hadapan dirinya. Menggenggam tangannya, dengan wajah yang tertunduk. "Ar, aku di mana?" tanya Sovia dengan suara parau. "Kamu sudah sadar, Sov? Syukurlah," ucap Arga. "Ini di rumah sakit, Ar?" tanya Sovia. "Iya, Sov, kamu di rumah sakit, tadi kamu pingsan. Kamu jaga pola makan kamu ya, Sov? Lambung kamu sudah kronis," jelas Arga. Sovia hanya diam. Matanya menatap langit-langit ruang IGD. Dia masih memikirkan yang baru saja terjadi. Ya, dia ingat, kalau dirinya baru saja menghadiri Pesta Pernikahan Bima dan Alesha. "Selamat, Bim. Semoga kamu dan Alesha bahagia," ucapnya dalam hati Sovia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN