LARA - 7

1543 Kata
Sudah hampir tiga bulan aku berada di Jogja. Tidak kusangka cafeku akan serame ini. Aku semakin nyaman dengan kehidupan di sini. Tentram sekali rasanya. Entah mengaapa bisa setentram ini. Seakan aku hidup berdampingan dengan orang yang aku cintai. Iya, Sovia. Aku merasakan dia selalu ada di dekatku, menemaniku, meski tidak ada raganya, dan hanya dalam bayanganku saja. Rasanya aku tidak ingin kembali ke Surabaya. Kota yang sudah memisahkan aku dengan orang yang sangat aku cintai. Iya, aku harus berpisah dengan Sovia, dan sekarang, aku sendiri, aku merasakan kehampaan yang sangat dalam. Tapi, setelah aku di sini, aku merasa aku bebas memikirkan Sovia tanpan beban mama dan Alesha. Bukannya di sini aku jadi melupakan Sovia, tapi berada di Jogja justru cintaku semakin kuat untuk Sovia. Aku semakin dekat dengan bayang Sovia. Gila? Mungkin jika Bagas di sini, dia akan tertawa dan menganggap kalau aku ini sudah gila karena cinta. Karena Sovia lebih tepatnya. Tapi, aku tidak seperti itu, aku masih waras, hanya saja hari-hariku selalu merasa bersama Sovia saja. Tadi aku seperti melihat Sovia menggendong anak kecil, masa iya itu Sovia? Tidak mungkin dia memiliki anak, baru dua bulan dia pergi, masa iya langsung brojolin bayi? Apa mungkin aku salah lihat? Aku masih berada di ruanganku. Bosan rasanya, di sini hidup sendiri, ke mana-mana sendiri, tapi aku merasa sangat nyaman sendiri seperti ini. Lebih baik aku pulang dulu ke rumah, aku butuh istirahat, dan nanti malam mungkin aku akan berada di cafeku lagi, karena setiap malam cafe pasti rame pengunjung. Aku keluar dari ruanganku. Semburat senja berwarna jingga menyambutku dengan hangat saat aku keluar dari dalam cafe. Aku menyusuri jalanan sekitar daerah yang dekat dengan Cafeku. Toko bunga. Ya, aku melihat toko bunga yang tidak jauh dari cafeku. Aku jadi ingin membeli bunga lavender dan Lily yang sudah mulai kering yang aku taruh di susut ruangan kamarku. Aku memarkirkan mobilku di depan toko Aska Florist. Nama tokonya Aksa Florist. Di sini juga menyediakan berbagai macam cake yang aku lihat cukup menarik dan lucu bentuknya. Rasnya juga sepertinya sangat lezat. Ada kedai kopi kecil-kecilan juga di sebelahnya, mungkin kadang ada yang sengaja makan kue di sini dengan menikmati secangkir kopi, atau bisa juga ingin menikmati es krim, yang juga tersedia di toko bunga ini. Tapi, memang yang menonjol toko bunganya. “Selamat sore, Pak, ada yang bisa saya bantu?” tanya  seorang wanita muda mungkin seumuran dengan Aina adikku. “Selamat sore, Mbak. Saya mau beli bunga lavender dan lily nya ada?” tanyaku. “Ada, Pak. Bunga lavender di sebelah sana, dan sebelahnya bunga lily, silakan bapak lihat dulu. Ada juga bunga mawar, baru datang tadi bunganya masih segar, Pak,” ucapnya dengan ramah. “Duh, bunga mawar untuk siapa, Mbak? Mama dan adikku yang suka bunga mawar tinggal di surabaya,” jawabku. “Kan bisa untuk kekasih bapak?” “Kekasih saya juga jauh, Mbak. Maklum LDR, Mbak. Saya di sini sedang merintis usaha saya. Mbak pasti tahu cafe sebelah sana yang ada di seberang jalang? Itu cafeku, Mbak,” jelasku. “Oh, jadi bapak pemilik cafe itu? Cafenya rame ya, Pak? Kemarin saya juga ke situ dengan teman saya sepulang kerja dari sini,” ucapnya. “Saya mau yang ini ya, Mbak?” Aku menunjukkan bunga lavender dan lily yang aku pilih. Saat penjualnya menyiapkan bunga yang aku pilih, aku berpindah ke etalase yang berisi cake yang sangat cantik-cantik tampilannya. Aku jadi ingin membelinya untuk cemilan nanti malam kalau sedang kesepian. “Mbak ini dijual?” tanyaku pada penjual bunga. “Dijual dong, Pak? Masa enggak?” jawabnya. “Mau pilih cake nya, Pak? Ini asli buatan Bu Bos saya yang cantik, Pak. Tapi, sayangnya Bu Bos tidak ke sini hari ini, dia sedang ada saudaranya,” imbuhnya. “Saya mau cupcake red velvet sama dessert box strawberrry cheesecake, Mbak,” pintaku. “Baik, Pak.” Aku mengira mbak penjualnya itu sekaligus pemilik toko bunganya. Tapi, ternyata ada bosnya lagi. Penataannya bagus sekali, di sebelah sana, tertata berbagai macam bunga yang sangat cantik, dan di sebelah sini, berbagai macam cake dengan tampilan yang cantik pula. Pantas saja sampai sesore ini masih banyak pengunjung yang beli bunga, atau membeli cake dan memesan cake untuk surprize atau untuk acara ulang tahun dan pernikahan. Sovia? Aku jadi ingan Sovia melihat toko bungan dan cake secantik ini. Dia memang suka sekali dengan bunga, dan favoritnya adalah bunga lily dan lavender. Aku mengenal dan suka bunga lavender dan lily juga karena Sovia. Dia sering mengajakku setiap seminggu sekali membeli bunga lily dan lavender untuk ia tarus dia kamar dan di ruang tamu. Sovia juga pernag bilang, kalau dirinya ingin membuka toko bunga, katanya supaya setiap hari hidupnya berwarna. “Pak, ini pesanan bapak tadi dan ini notanya.” Penjual bungan itu sedikit mengagetkanku yang masih mengingat Sovia. “Oh iya, Mbak,” jawabku dengan mengambil pesananku dan membayarnya. Setelah dari toko bunga, aku langsung kembali pulang ke rumah. Belanja bulananku tadi belum aku bawa pulang, karena aku langsung menuju ke cafe. Aku langsung menata bunga di dalam vas, dan meletakkan di sudut kamarku. Aku membuka dessert box strawberry yang aku beli. Aku ingat dulu saat Papa Reza masih ada, Sovia sering membuatkan  dessert box untuk papa. Kenangan itu selalu aku ingat, ketika kami berdua mengurus papa kami yang sakit-sakitan. Meski Sovia bukan anak kandung papa, dia sangat menyayangi papa, hingga dia menyewa perawat laki-laki dan perempuan untuk menjaga papa. Aku menikmati dessert box strawberry yang rasanya sama persis dengan buatan Sovia. Manisnya pas, dan segarnya buah strawberry juga sangat terasa. Dalam hatiku bertanya, apakah mungkin ini yang membuat Sovia? Dia juga suka membuat kue  untuk papa dan aku saat dulu. Dan, satu lagi toko bunga, dia selalu bilang padaku kalau Sovia ingin memiliki toko bunga. Mungkin hanya perasaanku saja, tapi jika benar, berarti ayah tidak bohong padaku, kalau Sovia ada di Jogja. Melihat ponselku berdering dan manampilkan nama dan foto Alesha, membuat moodku memburuk seketika. Ya, Alesaha menelfonku. Setiap malam selalu seperti ini, dia menelfonku dan aku bosan sekali mendengar suaranya yang cempreng mengoceh dibalik telefon. “Ada apa Alesha ...?” “Kangen tahu!” “Hmmm ... belum ada sepuluh tahun aku di Jogja kamu sudah bilang kangen terus setiap malam. Pacar bukan, adik juga bukan, berani bilang kangen tiap malam sama aku!” “Ih ... Bima ... kok bilangnya gitu sih? Kamu lagi apa, Bim?” “Lagi makan cake buatan Sovia.” “Apa! Sovia di situ? Kamu dengan Sovia! Bim, jangan bercanda deh!” “Aduh ... suaranya di kontrol dong, Sha? Cempreng bin rombeng gitu! Sakit telingaku!” “Bim, ini beneran kamu ketemu Sovia?” “Iya, di dalam bayanganku. Karena ke mana pun aku pergi, bayangan Sovia selalu mengikutiku, Alesha ....” “Kok gitu? Apa kamu masih berharap Tante Riri merestui hubungan kamu? Jangan gitu, Bim. Tante Riri kan gak setuju?” “Kalau Allah menghendaki hubungan aku dengan Sovia gimana? Dan, mempertemukan aku dan Sovia lagi?” “Tapi, tetap saja Bima ... kan restu ibu restu Allah juga.” “Aku tahu itu. Tapi, aku akan tetap mencoba supaya mama merestui hubungan aku dan Sovia. Kalau pun tidak, aku akan tetap bersama Sovia, kalau aku dipertemukan dengan Sovia lagi. Aku yakin, aku pasti akan bertemu Sovia lagi.” “Segitu yakinnya? Apa memang kamu sudah bertemu dengan Sovia?” “Kalau sudah kenapa? Iya, memang sudah bertemu, ini aku sedang makan cake buatannya yang sangat lezat sekai, dan aku tinggal satu rumah dengan Sovia.” Aku sengaja bilang seperti itu pada Alesha, pasti dia nanti langsung ngadu sama mama. Aku tahu, dia tukang ngadu soalnya. “Ih ... Bima ... masa kamu satu rumah sama Sovia? Kamu jahat!” “Memang aku mukul kamu? Kok kamu bilang aku jahat?” Aku suka menjahilinya, dia memang seperti anak kecil anaknya. Pantas memang kalau masuk PAUD lagi. Suka ngadu, suka manja, nangis. Mama ... mama ... masa iya aku mau dijodohkan sama perempuan seperti itu? “Ah ... sudahlah, bicara sama kamu malah jadi seperti ini. Dasar gak peka!” Aku hanya tertawa mendengar dia bilang aku gak peka. Dih, peka yang bagaimana? Suka saja enggak malah disuruh peka, mana bisa? Cewek aneh bin ajaib kalau gini. Iya benar, ajaib! Mama nelfon aku gara-gara bocah kecil yang comel kayak mak lampir! Aku malas-malasan menjawab telfon mama, paling juga Alesha ngadu ke mama. Tapi, kalau gak diangkat, mama terus nelfonin aku. “Iya, Ma? Ada apa?” “Kamu apakan Alesha sampao dia nangis, Bim?” “Enggak ngapa-ngapain? Kan Bima jauh di sini? Memang kenap Alesha nangis?” “Kamu dengan wanita itu?” “Sovia? Enggak lah! Mana ada Sovia di sini, Ma? Mama ada-ada saja. Lagian mama kok selalu percaya sama anak PAUD itu?” “Bim, mau kamu menolak atau bagaimana,  mama tetap ingin kamu menikah dengan Alesha!” “Tidak bisa gitu dong, Ma!” “Tidak ada penolakan!” Mama langsung memutus telfonnya. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku saja. Aku bingung, kenapa mama sebenci itu dengan Sovia. Menurutku, yang sudah ya sudah, tidak usah dendam, lagian Papa Reza dan Tante Dilla kan sudah meninggal, mereka juga sudah meminta maaf pada Mama secara langsung. Kadang aku merasa kasihan sama Sovia. Ibunya memang jahat, tapi dia perempuan yang sangat baik. Yang bisa mengalihkan duniaku seketika.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN